"Tama mengacak-acak rambut Alana, lalu bertanya, "Apa kita bisa berangkat sekarang?""Tentu," jawab Alana, "tapi aku harus ganti baju dulu.""Tidak perlu, ini juga sudah bagus," kata Tama, "kamu bawa jaket saja biar tidak kedinginan saat di jalan nanti, sepertinya kita akan sampai di sana pada malam hari.""Baik, Paman." Alana bergegas mengambil jaketnya dari lemari. Kemudian ia berpamitan kepada saudara kembarnya. "Alan, aku pergi dulu. Kamu jangan merindukan aku," ucapnya sambil tertawa.Alana terlihat sangat bahagia akan pergi jalan-jalan bersama Tama. Anak itu jarang sekali bermain di tempat keramaian sejak ia pindah rumah."Aku akan belajar lebih tenang jika kamu tidak ada." Alan mendelik sambil tersenyum miring. Selama ada Alana ia tidak bisa menggambar dengan tenang karena adiknya itu selalu saja mengomentari apa yang ia gambar. Alana selalu mengatur Alan untuk menggambar objek kesukaannya."Alan, Paman pergi dulu." Tama mengusap kepala Alan. "Kamu mau dibelikan apa? Sebagai g
"Ada, Tuan," jawab Pak Jo. Tanpa diperintahkan, dia segera menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa kotak ice krim yang memang sudah disediakan atas perintah Tama. Pak Jo membawanya ke meja makan. "Ada tiga rasa yang tersedia, coklat, vanilla dan strawberry," ucap lelaki tua itu sambil sesekali melirik anak kecil yang berada di hadapannya.Kepala pelayan itu terus menatap Alana dan mengingat-ingat wajah siapa yang mirip dengan anak itu. Wajah yang tidak asing baginya, tapi sulit sekali ia mengingat pemilik wajah yang mirip dengan anak kecil di hadapannya saat ini.Pandu tidak langsung menjawab, dia malah menoleh pada Alana. "Kamu mau yang rasa apa, Alana?" tanyanya."Aku ingin vanilla dan strawberry, bolehkah?" tanya Alana, lagi-lagi menatap Pandu dengan sorot mata penuh permohonan."Kamu ambil semua juga boleh," kata Pandu, "semua ini memang Paman sediakan untukmu, Sayang." Pandu mengusap kepala anak itu.Sejak kedatangan Alana, Pandu tidak pernah berhenti tersenyum. Selain ra
Alana langsung terdiam, dan wajahnya berubah menjadi datar. "Tapi, Paman kan bukan ayahku. Aku hanya punya satu Ayah saja, aku tidak mau punya dua Ayah." Jawaban polos itu meluncur begitu saja dari bibir Alana, membuat Pandu hanya bisa meringis untuk menyembunyikan kekecewaannya. Hatinya terasa sakit mendengar Alana menolaknya memanggil Ayah. Melihat Alana adalah pribadi yang tidak mudah dibujuk, membuat Pandu akhirnya bungkam dan tidak lagi meminta hal tersebut pada anak itu. Ia khawatir Alana tidak mau bertemu dengannya lagi. Pandu akan menyelidiki sendiri kebenaran tentang Alana, ia sangat yakin kalau anak itu adalah darah dagingnya sendiri karena ia mulai sadar rasa sayangnya terhadap Alana itu tidak biasa. Bahkan kepada keponakannya saja dia tidak seperti itu. "Baiklah, Sayang, Paman tidak memaksa," kata Pandu, "Paman tidak bermaksud ingin menggantikan ayahmu. Maksudnya kamu boleh meminta apa pun kepada Paman sama seperti kepada ayahmu." Padahal tujuan Pandu memang ingin meny
"Tam, aku ingin tes DNA, tapi jangan sampai Amanda tahu." Pandu memberikan satu helai rambut Alana pada sang asisten. "Aku yakin Alana itu anakku. Dan pastikan tidak ada yang tahu hasil dari tes nanti, ini hanya di antara kita berdua "Tama mengambil tisu, lalu membungkus satu helai rambut Alana dengan sangat hati-hati dan memasukkannya ke dalam saku kemejanya. "Semoga hasilnya seperti yang Anda harapkan Bos. Besok saya akan langsung melakukan perintah Anda."Tama berkata dengan yakin supaya sang bos percaya padanya. Dan tentunya ia akan membicarakan tentang semua ini kepada Amanda. Tama tidak mau mengingkari janji kalau ia tidak akan membongkar rahasia anak kembar sang bos sebelum mendapat izin dari mantan istri bosnya itu."Kamu memang selalu bisa diandalkan, Tam." Pandu menepuk lengan asistennya, lalu keluar dari kamar Alana. "Aku mau tidur dulu karena besok pagi aku akan bermain lagi dengannya. Aku tidak mau melewatkan waktu satu detik pun dengan anak itu."Pandu tidak mau bangun
Pandu membiarkan Alana memeluk Tama walau ia cemburu karena Tama terlihat lebih dekat dengan anak itu. Setelah itu ia akan menghabiskan waktu bersama dengan putri dari mantan istrinya.Tama melepaskan pelukan Alana setelah gadis kecil itu kembali terlelap. Ia membaringkan Alana di samping Pandu yang sejak tadi menatapnya."Saya akan kembali ke kamar saya," ucap Tama pelan karena khawatir Alana terbangun mendengar suaranya."Bagaimana kalau dia bertanya tentangmu?" Walau tidak suka Tama dekat dengan Alana, tapi ia tetap mengutamakan perasaan anak itu yang terlihat lebih nyaman dengan asistennya daripada dengannya."Alana tidak akan mencari saya, yang terpenting ada seseorang di sampingnya," jawab Tama, kemudian keluar dari kamar itu.Pandu tersenyum mendengar ucapan Tama. "Ternyata seperti itu," gumam Tama sambil menoleh pada Alana, "aku akan membuatmu nyaman bersamaku Alana. Walaupun aku tidak bisa kembali pada ibumu, setidaknya kamu mau menjadi anakku. Seandainya kamu memang bukan an
"Ayah?" Pandu tercengang mendengar Alana memanggil ayah kepada Tama. "Apa dia ayahmu?" tanya Pandu kepada Alana.Alana menengadah menatap Tama. "Paman baik bukan ayahku, tapi dia sangat baik seperti ayahku sendiri," jawab Alana sambil tersenyum, "ayo, Ayah!"'Kenapa dia mau memanggil Tama Ayah, tapi dia tidak mau memanggilku Ayah walau sudah diminta,' gumam Pandu dalam hati, 'sikap Tama memang selalu tenang, mungkin itu yang membuat Alana lebih nyaman padanya daripada denganku.'Tama mengangguk sambil tersenyum kepada Alana. Lalu, menatap Pandu. "Saya antar Alana pulang dulu, Bos."Alana tersenyum sambil melambaikan tangannya kepada Pandu. Hari itu, hati Pandu diliputi kebahagiaan karena bisa bersama Alana. Tetapi tidak setelah Alana pulang. Dia kembali dengan pemikirannya yang rumit.Setelah bertemu dengan Alana, Pandu semakin bersemangat. Ia ingin segera terlepas dari Sonya. Setelah itu akan memikirkan bagaimana caranya bisa bersama dengan Amanda lagi.Setelah mengantar Alana, Pandu
Nani mematung mendengar ucapan Pak Jo. Ia berpikir apa ini waktu yang tepat untuk mengucapkan rasa terima kasih kepada tuannya? 'Ya Tuhan, bagaimana ini? Saya tidak seberani itu menghadapi Tuan yang sedang marah. Tuan Tama dan Tuan Pandu memang orang baik. Saya percaya itu, tapi tatapannya jika sedang marah sangat mengintimidasi.' Nani sudah tidak bersemangat lagi untuk bertemu dengan Pandu dan Tama. Ia tidak berani menghadapi kedua lelaki yang sedang marah itu. Walau sang tuan tidak pernah menyakiti dirinya, tapi Nani begitu takut kepada sang majikan. "Nani, apa yang terjadi? Kenapa kamu diam saja?" Pak Jo menepuk bahu pelayan itu. "Kamu baik-baik saja kan?" Pak Jo khawatir kalau Nani sedang sakit karena kelelahan. Sebelumnya wanita itu bekerja dengan sangat semangat, bahkan Nani membantu mengerjakan pekerjaan yang bukan bagiannya. Nani terperanjat saat Pak Jo menepuknya. "I-iya, Pak Jo, saya baik-baik saja." Nani menunduk hormat. "Maafkan saya." "Ya sudah cepat temui Tuan!" per
"Saya ini hanya manusia biasa yang tidak mungkin tidak mempunyai kesalahan," jawab Tama, "yang harus Anda percaya adalah kata hati Anda sendiri, Bos. Ikuti kata hati saja karena hanya hati kita yang tidak akan membohongi diri sendiri."Bukan hanya terikat janji dengan Amanda yang membuat Tama bungkam bertahun-tahun, tapi ia juga harus memikirkan keselamatan Amanda dan anak-anaknya. "Kamu salah, Tam," sahut Pandu, "aku telah membohongi diri sendiri. Waktu itu aku mengusir Amanda karena aku membencinya yang telah berkhianat, tapi hatiku tidak pernah membencinya apalagi melupakan cintaku padanya. Sampai detik ini pun, Amanda masih ada di hatiku, tidak ada yang bisa menggantikannya, tapi ....""Tapi apa, Bos?"Pandu mengembuskan napasnya perlahan, "tapi hatiku sakit jika teringat foto Amanda dengan laki-laki itu." Selama bertahun-tahun Pandu memendam rasa cinta dan sakit hatinya terhadap Amanda. Cintanya kepada Amanda sangat besar, tapi ia tidak bisa untuk tidak memercayai ibunya."Itul