"Denger, ya. Nggak akan ada yang percaya, bahkan orang tua kamu sekali pun, karena aku yang bakal bikin semuanya jadi begitu." "Yang ada nanti orang tua kamu kehilangan muka, kehilangan citra baiknya, terus dikerubut rasa malu sampe buat nunjukin wajah ke pintu umum aja gak berani." "Di luaran sana orang-orang yang nggak kenal kamu sekali pun akan lihat gimana sosokmu yang telanjang ini, apalagi yang tahu siapa kamu." "Dan anak-anak yatim yang mengagumimu, anak-anak polos yang sampai punya impian pengin jadi kayak Kakak Ais ini, orang-orang rapuh yang kamu kuatkan, bayangin dulu aja gimana kecewanya mereka." "Dampaknya." "Bayangin." "Bahwa ... oh, percuma pake hijab juga. Percuma nutup aurat juga. Kak Ais yang begitu aja ternyata 'begini.'" "Dan mereka akan berpikir, belum tentu orang baik itu baik. Buat apa jadi orang yang tampilannya sebagus Kakak Ais, yang citranya se-MasyaAllah dia, tapi ternyata ... busuk." "Terus berpikir, okelah, mending yang keliatannya nakal s
"Pas banget, Mama juga lagi kangen sama kalian. Baru aja bilang sama papa, gimana kalo besok main ke rumah Ais. Ya, Pa, ya?" ucap mama seraya melirik papa. Pun, menyambut anak-menantunya. "Iya, nih. Eh, tahu-tahu nyetrum ke Garda. Nelepon Papa sama mama ada di rumah apa nggak. Bisa gitu, ya?" Papa terkekeh. Daisha mencium tangan orang tuanya seperti yang Garda lakukan. Yang membedakan, senyum Daisha bahkan kaku. "Eh, tangan Ais dingin banget. Lagi sakit, Nak?" tanya mama. Masih sambil menjabat tangan putrinya. "Lho, pucet juga mukanya. Sakit, Sayang?" Kening Daisha sampai disentuh, mengukur suhu tubuh. Mama tampak begitu khawatir. Sontak, Daisha menggeleng. "Di mobil AC-nya dingin, masih kebawa-bawa sampe sini kayaknya, Ma." "Beneran?" Mama Nuni tampak tidak percaya. "Papa telepon dokter dulu." "Eh, nggak usah, Pa. Ais nggak pa-pa, beneran." "Di rumah," celetuk Garda. Dan sepertinya saat-saat sang suami buka mulut, Daisha selalu dirundung takut. Jantungnya berdebar kencang. "
"Kalo sampe ada cewek lain ...." Daisha berucap di detik Garda masuk rumah. Sontak membuat langkah lelaki itu berhenti dan memandangnya yang duduk di sofa ruang tamu. Sejak tadi Daisha menunggu. Dari saat matahari masih bertugas sampai bumi disinari rembulan."Apa? Cerai?"Datar nada suara Garda, tetapi Daisha berasa dicemooh. Mungkin karena ekspresi suaminya di setelah mengatakan dua kata itu."Tolong jangan terlalu terang-terangan." Lirih Daisha lantunkan, sebab ada perih di dalam dada yang tak kuasa dia tepikan. Ini yang hendak Daisha utarakan.Walaupun sebenarnya ... bukan.Daisha tak sanggup bilang cerai, meski kata pisah sempat menggentayangi pikiran."Tolong jangan sampai ketahuan, Kak." Justru ini yang dia utarakan, dengan sisa-sisa ketahanan. Tak mau ada air mata yang membersamai ucapannya.Tampak di sana, sepertinya Garda mendengkus tak habis pikir. Apalagi saat Daisha rampungkan, "Khususnya sama papa dan mamaku, jangan sampai mereka tahu."Tatapan Daisha dan Garda bertemu.
[Abang, jam dua siang jadi, ya.] Daisha membaca notifikasi pesan masuk di ponsel suami. Yang saat itu langsung Garda telungkupkan ponselnya. Benar, sedang sarapan dalam keheningan seperti biasa. "Abang?" Daisha me-notice. Garda diam saja. Daisha mulai merasa kesulitan menelan makanannya. Rambatan perih itu datang, menggentayangi dengan denyut nyeri dalam dada. Rongga paru sampai dirasa menyempit. Oh, Daisha sesak. Dan dalam ketercekatan itu dia tanyakan, "Berapa umurnya, Kak?" Tidak dijawab. Daisha meremas sendok tanpa sadar. "Lebih muda dari aku, kan, pasti?" ucap Daisha lagi. Yang dia yakini sebagai sosok serupa dengan si pemilik kuciran pink di laci dashboard mobil Garda kemarin. Gardanya masih mode hening. Daisha menggigit bibir bagian dalam. Tak tahan, tetapi ditahan-tahan sampai tergelincir ucapan, "Dikara pernah lihat kalian jalan bareng." Oh, akhirnya Daisha tuturkan tentang yang selama ini cuma menggelayuti pikiran. "Dan aku lihat dari video call
"Sampai kapan kita mau kayak gini terus, Kak?" "Masih nanya?" Daisha menatap Garda yang sedang mengganti pakaiannya jadi lebih casual. Daisha sendiri juga mengganti gamisnya dengan kaus dan celana training milik lelaki itu walau agak kebesaran. Menolak sopan baju Mama Gea, memilih pakaian suaminya. Garda meraih ponsel di nakas. Kemudian duduk bersandar ke kepala ranjang dan fokus dengan benda itu. Daisha memainkan jemari. "Aku bukannya nggak mau ngasih tahu, tapi nggak bisa." Garda mendengkus. "Bisa. Kamunya aja yang nggak mau." Daisha menahan napas sebab rasa sesak itu kembali menyerang dada. "Kalau aku kasih tahu, Kakak bisa janji buat nggak usah melakukan apa pun dan terus rahasiakan ini dari semua orang, terkhusus papa dan mamaku?" Ada sorot mata yang terlempar sengit. Itu tatapan Garda kepadanya. Daisha lagi-lagi dihujami tatapan yang demikian. Lain dengan sorot lembut yang Daisha pancarkan. "Bukan aku mau ngelindungin orang itu, Kak. Bukan. Aku juga maunya dia t
"Buat apa mesin espresso itu?" Daisha menoleh. Sudah lewat satu minggu dari apa yang dia lihat di video call dan hingga detik ini belum Daisha bicarakan, sengaja. "Bikin kopi." Garda tahu. Lagi pula mesin espresso, kan, mesin untuk membuat kopi. "Kamu suka ngopi?" Soalnya Garda tidak terlalu. "Suka." Singkat jawaban Daisha. Dia sedang mencoba mesin baru. Ada rencana untuk buka kafe, tetapi masih sekadar rencana. "Ini aku beli pakai uang sendiri, kok." Barangkali maksud Garda menyinggungnya adalah karena terpikir menggunakan uang nafkah. Sama sekali tidak. Uang nafkah yang jadi terkesan seperti gaji itu mulai tidak Daisha senangi, tetapi tak protes. "Uang apa pun kalo adanya di dompet dan rekening kamu, ya, emang uang kamu sendiri." Daisha senyum. Sebatas itu. Garda pun berlalu. Kalau Daisha tidak banyak bicara maka rumah ini serasa tidak benar-benar ada penghuninya. Obrolan yang terajut cuma sepatah dua patah, habis itu sudah. Seringnya Garda diam di kamar, mungk