"Kau bukan orang biasa, tapi belum cukup untuk jadi pemenang."
Suara berat yang terdengar sedikit menyebalkan itu terdengar dari balik pilar kayu tempat Lin Qian bersandar setelah keluar dari aula ujian. Ujian terakhir akan dilaksanakan besok pagi. Para peserta yang berhasil lolos diberi waktu istirahat untuk memulihkan tenaga dan berkeliling menjelajahi Balai Medis Istana. Langit sore mulai menggelap, udara Wangjing terasa mengigit tulang. Aroma tanah basah dan rumput lembab berpadu dengan harum dupa yang dari kuil di kejauhan, membuat nuansa menenangkan. Lin Qian membuka mata perlahan. Di dekatnya berdiri seorang pemuda berpakaian hanfu biru dilengkapi bros keluarga Huang yang berkilau di dadanya. Rambutnya diikat dengan jepit giok putih. "Huang Ziyan." gumam Lin Qian, tak ada sedikitpun keraguan dalam nadanya. Pemuda itu melangkah santai, menyandarkan bahunya di pilar kayu yang Lin Qian sandari. "Jadi kau yang menyamar dengan nama Lin Yuan." Siapa pun tidak bisa menipu Huang Ziyan. Ia seperti rubah pegunungan, licik, cerdas, dan penuh intuisi. Matanya terlalu tajam dan jeli untuk melewati kebohongan, ciri khas seorang pengamat. "Apa maksudmu?" tubuh Lin Qian sempat menegang sepersekian detik, namun wajahnya tetap tenang seperti permukaan kolam di musim gugur. Huang Ziyan menatapnya tajam seperti menilai. "Aku bisa merasakan aura wanita, terlebih lagi aku hafal sorot mata mereka. Mata perempuan tidak bisa disembunyikan." "Dan juga, wajahmu terlalu lembut mau seberapa hebat kau meniru suara atau langkah laki-laki." Huang Ziyan tertawa kecil mengejek, menikmati kebodohan orang lain. Angin sore menerbangkan helaian rambut Lin Qian yang mengintip dari simpul. Ia menatap lurus ke depan, menghela napas pelan. "Kau salah, aku ini pria sejati." Lin Qian menyangkal dengan senyum mengejek, memberitahunya bahwa ia sangat sok tahu. Dalam hatinya panik, badai berkecamuk. Jantungnya berdetak tidak beraturan, takut identitas aslinya tersebar bahkan sebelum ia memulai. Namun alih-alih mengacam, lawan bicaranya justru menyeringai dan menatapnya lucu. "Aku takkan melaporkanmu, kau cukup menarik untuk jadi lawan." Lin Qian hanya memutar bola matanya, enggan menjawab pria yang menurutnya hanya tukang usil yang menyebalkan. Namun ia tidak bisa menganggap remeh lawannya, pria bangsawan bernama Huang Ziyan ini. Diam-diam Lin Qian merasa lega. Tapi ia tahu, kewaspadaannya terhadap Huang Ziyan tetap harus terjaga. "Aku sudah memperhatikanmu sejak ujian teori," ujar Huang Ziyan saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari Lin Qian. Lin Qian yang sudah malas mendengar ocehan dari Huang Ziyan segera membalikan badan dan melangkahkan kakinya. Ingin menjauh dan menenangkan diri sejenak. Sebelum ia menghilang di balik tikungan, suara pria itu terdengar kembali. "Kau bisa menyembunyikan wajahmu dari dunia, tapi jangan sampai kau lupa siapa dirimu." Lin Qian berhenti sejenak, kata-kata itu menghantam lebih dalam dari yang ia kira. Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya. Malam itu di dalam kamar asrama peserta, Lin Qian duduk di sisi jendela kayu kecil. Menatap lampu-lampu lentera yang menyala terang di pekarangan. Namun pikirannya tidak tenang. Ia masih mengingat wajah Kaisar Wang Rui yang muncul secara tiba-tiba saat ujian praktik. Bukan hanya karena statusnya sebagai penguasa, tapi karena ia masih mengingat dengan jelas wajah pria yang pernah ia selamatkan di hutan gunung Shenlan. "Bagaimana kalau aku ketahuan? Pasti aku mati kan?" Lin Qian menggigit jarinya merasa resah, takut dirinya ketahuan. Keesokan paginya, suara gong menggema di seluruh aula Balai Medis Kekaisaran. Para peserta yang tersisa dipanggil menuju Pavilium Jingde untuk mengikuti ujian terakhir, ujian etika dan moral. Di dalam pavilium, para peserta duduk bersila membentuk lingkaran besar. Menghadap deretan penguji yang mengenakan jubah biru tua. Lin Qian duduk tenang di belakang, seolah jiwanya telah ditempa oleh gemuruh badai pegunungan. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh para penguji. "Jika seorang pasien miskin dan seorang bangsawan datang bersamaan, siapa yang harus didahulukan?" Lin Qian menjawab dengan lantang saat sudah gilirannya. "Yang nyawanya lebih genting harus didahulukan tidak peduli apapun statusnya. Jika seorang tabib menakar darah dari harta, maka dia lebih pantas jadi pedagang daripada penyelamat." Tidak lama setelah sesi utama selesai, seorang kasim memasuki aula. Ia berbisik pada penguji utama. Penguji itu berdiri dan memandang ke arah Lin Qian. "Peserta Lin Yuan dari wilayah utara. Harap berdiri dan mengikuti kasim ke pavilium dalam. Ada ujian khusus untukmu." Beberapa peserta menoleh, mata mereka mengikuti langkah Lin Qian. Lin Qian berjalan dengan tegap menuju luar aula, meski jantungnya berdetak tidak karuan. "Jangan-jangan karena kemarin..." pikir Lin Qian sedikit geliah. Ia mengikuti kasim melewati lorong panjang berukir naga. Di ujung lorong, pintu besar yang berdiri gagah terbuka perlahan. Di dalamnya, ruangan lebih sunyi dan mewah. Aroma dupa kayu cendana memenuhi udara. Di tengah ruangan, di atas takhta naga berlapis emas, duduklah Kaisar Wang Rui. Sorot matanya tenang, namun menusuk. Seperti melihat jauh ke dalam jiwa Lin Qian. Lin Qian berlutut. "Hormat kepada Matahari Kekaisaran." Kaisar Wang Rui tidak segera menjawab. Ia hanya memandangi Lin Qian lama, mengamatinya. "Ramuanmu kemarin bukan dari kitab kekaisaran," suara kaisar tenang namun penuh wibawa. "Benar, Yang Mulia." Jawab Lin Qian pelan, tetap menunduk. Ujian tambahan untuk Lin Qian sudah dimulai, yaitu diuji langsung oleh sang kaisar. "Apa kau tahu itu bisa dianggap penghinaan terhadap metode resmi?""Apa kau tahu itu bisa dianggap penghinaan terhadap metode resmi kekaisaran?"Suara Kaisar Wang Rui menggema dalam ruangan megah berhiaskan ukiran naga dari emas. Seolah bergema dari kedalaman langit. Kata-katanya mengalir dingin seperti salju gunung Xuanlong.Lin Qian tetap berlutut. Tubuhnya tegak, sorot matanya bagaikan api kecil yang tak padam. "Saya tahu, Yang Mulia.""Tapi saya juga tahu, jika seorang pasien berada di ambang maut dan harapan terletak pada ramuan yang tak tercantum dalam kitab, apakan seorang tabib harus menutup mata demi mematuhi metode yang tidak mempan?" ucap Lin Qian mantap, suaranya tenang namun penuh bara api.Wang Rui turun dari singgasana naga dengan gerakan tenang. Jubah hitamnya menyapu lantai giok dengan keheningan yang anggun namun mencekam.Ia mengintari Lin Qian seperti angin yang menakar kekuatan seekor burung kecil yang menentang badai. "Berani sekali lidahmu di hadapan kaisar. Apa kau tidak takut kepala yang tidak seberapa ini terpisah dari tubuh
"Kau bukan orang biasa, tapi belum cukup untuk jadi pemenang."Suara berat yang terdengar sedikit menyebalkan itu terdengar dari balik pilar kayu tempat Lin Qian bersandar setelah keluar dari aula ujian.Ujian terakhir akan dilaksanakan besok pagi. Para peserta yang berhasil lolos diberi waktu istirahat untuk memulihkan tenaga dan berkeliling menjelajahi Balai Medis Istana.Langit sore mulai menggelap, udara Wangjing terasa mengigit tulang. Aroma tanah basah dan rumput lembab berpadu dengan harum dupa yang dari kuil di kejauhan, membuat nuansa menenangkan.Lin Qian membuka mata perlahan. Di dekatnya berdiri seorang pemuda berpakaian hanfu biru dilengkapi bros keluarga Huang yang berkilau di dadanya. Rambutnya diikat dengan jepit giok putih."Huang Ziyan." gumam Lin Qian, tak ada sedikitpun keraguan dalam nadanya. Pemuda itu melangkah santai, menyandarkan bahunya di pilar kayu yang Lin Qian sandari. "Jadi kau yang menyamar dengan nama Lin Yuan."Siapa pun tidak bisa menipu Huang Ziyan
"Tunjukkan kepekaanmu. Nadi tak akan berbohong."Suara pengawas ujian bergema di aula praktik Balai Medis Kekaisaran. Ruangan praktik lebih sempit, karena saat beralih ke ujian praktik jumlah peserta berkurang setengah. Namun sunyi di ruangan praktik lebih mencekam. Cahaya sore menembus celah jendela kayu, jatuh tepat di atas ranjang-ranjang pasien yang berjejer. Di atas ranjang-ranjang kayu, para pasien dari kalangan rakyat biasa berbaring diam. Para peserta melangkah dengan langkah hati-hati. Atmosfer udara di ruangan ini membawa aroma pahit dari ramuan herbal dan dupa penenang.Pengawas ujian membacakan tata tertib ujian kedua, "Waktu pemeriksaan lima belas menit. Hanya titik nadi yang boleh disentuh. Diagnosa dan penanganan awal ditulis dalam gulungan yang sudah disediakan." Lin Qian menunduk, di hadapannya ada seorang pasien tua dengan wajah sepucat kertas dan kuku yang kebiruan. Seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat, nyaris membeku.Ia duduk perlahan. Tiga jarinya menye
"Jika kau hanya tahu setengah racikan, maka setengah nyawa pasienmu sudah kau kubur!" Suara kepala balai medis menggema lantang dari atas panggung kayu menghentak suasana aula luas dengan dinding batu giok dan langit-langit tinggi. Lukisan Bunga Teratai Kesembuhan dan Sembilan Naga Pelindung Kekaisaran menghiasi langit-langit seolah turut mengawasi para peserta ujian.Suasana aula sunyi, namun terasa menegangkan. Ratusan calon tabib berdiri tegak dalam barisan sesuai wilayah masing-masing. Beberapa peserta ada yang berdiri gugup, ada pula yang sampai banjir berkeringat. Di hadapan mereka terdapat meja kayu berjajar rapih. Di atas meja terdapat kuas, tinta hitam beraroma kayu cendana dan gulungan kertas putih dari kulit pohon Zhengmu.Lin Qian berdiri di barisan wilayah utara, tangannya masih menggenggam surat seleksi yang sedikit lecek. Walaupun sempat gugup, mata Lin Qian dengan cepat memancarkan keyakinan. Pengawas Ujian berjalan menyusuri barisan, membagikan gulungan soal sambil
"Apakah ini nyata? Kekaisaran serius membuka pintu bagi rakyat biasa?" pertanyaan tak percaya menjalar dari mulut ke mulut. Di antara kerumunan, mata Lin Qian menangkap setiap kalimat seolah tiap hurufnya mengandung takdir. Matanya membulat dan binar bahagia terpancar terang dari hatinya. "Ujian ini akan dilaksanakan tiga hari lagi di Ibukota dengan tiga tahap seleksi! Cukup membawa seritifikat medis dan surat kelulusan. Hadiahnya berupa kedudukan, emas, dan kehormatan." Sinar pagi memantul dari lembaran sutra, seolah takdir itu sendiri sedang berpihak padanya. Dewa telah membuka jalan untuk Lin Qian. Ia tidak bisa melewatkan kesempatan emas ini dan segera membulatkan keputusan gilanya. "Ini..jalan kita! Dewa takdir mendengar doaku!" seru Lin Qian dengan suara bergetar antara terlalu senang dan yakin. Lin Yuan menoleh cepat dengan wajah kebingungan, merasakan firasat yang tidak enak terhadap adiknya yang terlihat sangat bersemangat melihat pengumuman ini. Membuat pikirannya melay
"Qian'er, kau yakin ingin meneruskan ini?" tanya Lin Yuan tiba-tiba. Beberapa hari yang lalu Lin Qian pulang lebih malam dari biasanya, dengan kondisi yang sangat lusuh dan kotor. Ekspresi wajah Lin Qian saat kembali tidak menunjukan dirinya baik-baik saja. "Mengobati orang demi beberapa butir beras, sementara tubuhmu sendiri semakin kurus." Lin Yuan merasa khawatir dengan keadaan sang adik yang jarang makan tepat waktu. Lin Yuan memandang adiknya lekat. Adiknya yang cantik sudah tumbuh dewasa seperti Bunga Hanmei di musim dingin, namun selalu mekar pada waktunya. Di balik wajah yang kelelahan dan rambut yang dikepang berantakan, tersembunyi tekad sekeras batu giok. Lin Qian selalu pulang dengan mata berbinar, seolah setiap tanaman liar yang ia bawa punya rahasia yang ingin dibisikan padanya. Gadis itu sangat mencintai tumbuhan herbal dari pada perhiasan perak dan emas. Lin Qian menatap langit-langit lalu bergumam, "Kita hanya punya satu warisan yang tersisa dari ayah dan ibu,