Home / Zaman Kuno / Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku / Bab 6 - Rubah & Pria dari Hutan

Share

Bab 6 - Rubah & Pria dari Hutan

Author: Chryztal
last update Last Updated: 2025-08-13 12:25:10

"Kau bukan orang biasa, tapi belum cukup untuk jadi pemenang."

Suara berat yang terdengar sedikit menyebalkan itu terdengar dari balik pilar kayu tempat Lin Qian bersandar setelah keluar dari aula ujian.

Ujian terakhir akan dilaksanakan besok pagi. Para peserta yang berhasil lolos diberi waktu istirahat untuk memulihkan tenaga dan berkeliling menjelajahi Balai Medis Istana.

Langit sore mulai menggelap, udara Wangjing terasa mengigit tulang. Aroma tanah basah dan rumput lembab berpadu dengan harum dupa yang dari kuil di kejauhan, membuat nuansa menenangkan.

Lin Qian membuka mata perlahan. Di dekatnya berdiri seorang pemuda berpakaian hanfu biru dilengkapi bros keluarga Huang yang berkilau di dadanya. Rambutnya diikat dengan jepit giok putih.

"Huang Ziyan." gumam Lin Qian, tak ada sedikitpun keraguan dalam nadanya.

Pemuda itu melangkah santai, menyandarkan bahunya di pilar kayu yang Lin Qian sandari. "Jadi kau yang menyamar dengan nama Lin Yuan."

Siapa pun tidak bisa menipu Huang Ziyan. Ia seperti rubah pegunungan, licik, cerdas, dan penuh intuisi. Matanya terlalu tajam dan jeli untuk melewati kebohongan, ciri khas seorang pengamat.

"Apa maksudmu?" tubuh Lin Qian sempat menegang sepersekian detik, namun wajahnya tetap tenang seperti permukaan kolam di musim gugur.

Huang Ziyan menatapnya tajam seperti menilai. "Aku bisa merasakan aura wanita, terlebih lagi aku hafal sorot mata mereka. Mata perempuan tidak bisa disembunyikan."

"Dan juga, wajahmu terlalu lembut mau seberapa hebat kau meniru suara atau langkah laki-laki." Huang Ziyan tertawa kecil mengejek, menikmati kebodohan orang lain.

Angin sore menerbangkan helaian rambut Lin Qian yang mengintip dari simpul. Ia menatap lurus ke depan, menghela napas pelan.

"Kau salah, aku ini pria sejati." Lin Qian menyangkal dengan senyum mengejek, memberitahunya bahwa ia sangat sok tahu.

Dalam hatinya panik, badai berkecamuk. Jantungnya berdetak tidak beraturan, takut identitas aslinya tersebar bahkan sebelum ia memulai.

Namun alih-alih mengacam, lawan bicaranya justru menyeringai dan menatapnya lucu. "Aku takkan melaporkanmu, kau cukup menarik untuk jadi lawan."

Lin Qian hanya memutar bola matanya, enggan menjawab pria yang menurutnya hanya tukang usil yang menyebalkan. Namun ia tidak bisa menganggap remeh lawannya, pria bangsawan bernama Huang Ziyan ini.

Diam-diam Lin Qian merasa lega. Tapi ia tahu, kewaspadaannya terhadap Huang Ziyan tetap harus terjaga.

"Aku sudah memperhatikanmu sejak ujian teori," ujar Huang Ziyan saat tak kunjung mendapatkan jawaban dari Lin Qian.

Lin Qian yang sudah malas mendengar ocehan dari Huang Ziyan segera membalikan badan dan melangkahkan kakinya. Ingin menjauh dan menenangkan diri sejenak.

Sebelum ia menghilang di balik tikungan, suara pria itu terdengar kembali. "Kau bisa menyembunyikan wajahmu dari dunia, tapi jangan sampai kau lupa siapa dirimu."

Lin Qian berhenti sejenak, kata-kata itu menghantam lebih dalam dari yang ia kira. Ia menghela napas panjang sebelum melanjutkan langkahnya.

Malam itu di dalam kamar asrama peserta, Lin Qian duduk di sisi jendela kayu kecil. Menatap lampu-lampu lentera yang menyala terang di pekarangan.

Namun pikirannya tidak tenang. Ia masih mengingat wajah Kaisar Wang Rui yang muncul secara tiba-tiba saat ujian praktik.

Bukan hanya karena statusnya sebagai penguasa, tapi karena ia masih mengingat dengan jelas wajah pria yang pernah ia selamatkan di hutan gunung Shenlan.

"Bagaimana kalau aku ketahuan? Pasti aku mati kan?" Lin Qian menggigit jarinya merasa resah, takut dirinya ketahuan.

Keesokan paginya, suara gong menggema di seluruh aula Balai Medis Kekaisaran. Para peserta yang tersisa dipanggil menuju Pavilium Jingde untuk mengikuti ujian terakhir, ujian etika dan moral.

Di dalam pavilium, para peserta duduk bersila membentuk lingkaran besar. Menghadap deretan penguji yang mengenakan jubah biru tua.

Lin Qian duduk tenang di belakang, seolah jiwanya telah ditempa oleh gemuruh badai pegunungan.

Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkan oleh para penguji. "Jika seorang pasien miskin dan seorang bangsawan datang bersamaan, siapa yang harus didahulukan?"

Lin Qian menjawab dengan lantang saat sudah gilirannya. "Yang nyawanya lebih genting harus didahulukan tidak peduli apapun statusnya. Jika seorang tabib menakar darah dari harta, maka dia lebih pantas jadi pedagang daripada penyelamat."

Tidak lama setelah sesi utama selesai, seorang kasim memasuki aula. Ia berbisik pada penguji utama.

Penguji itu berdiri dan memandang ke arah Lin Qian. "Peserta Lin Yuan dari wilayah utara. Harap berdiri dan mengikuti kasim ke pavilium dalam. Ada ujian khusus untukmu."

Beberapa peserta menoleh, mata mereka mengikuti langkah Lin Qian. Lin Qian berjalan dengan tegap menuju luar aula, meski jantungnya berdetak tidak karuan.

"Jangan-jangan karena kemarin..." pikir Lin Qian sedikit geliah.

Ia mengikuti kasim melewati lorong panjang berukir naga. Di ujung lorong, pintu besar yang berdiri gagah terbuka perlahan.

Di dalamnya, ruangan lebih sunyi dan mewah. Aroma dupa kayu cendana memenuhi udara. Di tengah ruangan, di atas takhta naga berlapis emas, duduklah Kaisar Wang Rui.

Sorot matanya tenang, namun menusuk. Seperti melihat jauh ke dalam jiwa Lin Qian.

Lin Qian berlutut. "Hormat kepada Matahari Kekaisaran."

Kaisar Wang Rui tidak segera menjawab. Ia hanya memandangi Lin Qian lama, mengamatinya.

"Ramuanmu kemarin bukan dari kitab kekaisaran," suara kaisar tenang namun penuh wibawa.

"Benar, Yang Mulia." Jawab Lin Qian pelan, tetap menunduk.

Ujian tambahan untuk Lin Qian sudah dimulai, yaitu diuji langsung oleh sang kaisar.

"Apa kau tahu itu bisa dianggap penghinaan terhadap metode resmi?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 148 - Strategi Pertama

    Enam hari menjelang Festival Dongzhi, suasana Istana tampak tenang di permukaan, namun arus bawahnya bergolak seperti sungai musim hujan. Kaisar Wang Rui berdiri di paviliun belakang, menatap hamparan taman beku yang memantulkan cahaya matahari pucat. Di balik ketenangan wajahnya, pikirannya bekerja tanpa henti. Ia sudah mengetahui betapa jauh Ibu Suri dan Bai Hua bergerak, dan ancaman mengenai Lin Qian masih menggantung seperti pedang tipis di atas lehernya. Karena itu, pagi itu ia memanggil seseorang yang jarang muncul kecuali pada urusan terpenting.Pintu geser terbuka perlahan, dan Panglima Han Sheng melangkah masuk, membawa hawa dingin tajam dari luar. Pria itu menunduk hormat, namun matanya langsung menangkap perubahan sikap sang Kaisar. Wang Rui tidak menunggu lama. Ia memulai pembicaraan dengan suara rendah dan terkontrol, memastikan tidak ada mata dan telinga tersembunyi di sekitar paviliun. Empat pelayan penjaga ditempatkan berjauhan untuk memastikan tidak ada yang berani

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 147 - Pengakuan Huang Ziyan

    Angin sore merambat lembut melewati lorong-lorong Istana. Tetapi bagi Huang Ziyan, hembusan itu terasa seperti pisau dingin yang menghujam kulitnya. Langkahnya gelisah, napasnya tidak teratur. Ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti bayangannya sendiri yang terus menggandakan kegelisahan di dadanya.Ia berhenti di bawah pohon plum yang mulai bertunas. “Aku...sudah terlalu jauh."Namun gumaman itu tidak mampu menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.Seorang pelayan istana lewat dan memberi salam singkat. Ziyan mengangguk sekadarnya, berusaha menjaga wibawa meski wajahnya tampak pucat.Setelah pelayan itu berlalu, Ziyan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan ancaman Ibu Suri dan Putri Bai Hua berputar-putar di kepalanya. Setiap kata yang ia dengar dari balik taman pertemuan sebelumnya menggema bagai tamparan keras.Ia menendang kerikil kecil hingga terpental. “Aku tidak bisa hanya duduk diam. Tidak boleh seperti ini, sama saja dengan pengecut.”Sementara itu, di pavi

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 146 - Ancaman Dari Ibu Suri

    “Aku tidak akan mengulanginya.” ucap Ibu Suri, suaranya bening seperti bilah pedang yang ditempa dingin. “Menikahi Bai Hua, atau Tabib Lin yang akan menanggung akibatnya.” Ibu Suri tersenyum tipis, seolah ia akan meraih kemenangannya.Kaisar menatapnya tanpa berkedip. “Mengancamku dengan seseorang yang tak berkuasa, sungguh langkah yang menunjukkan keputusasaan, Ibu Suri.”Aula dalam istana tampak redup, diterangi cahaya lentera yang goyah seolah takut menyentuh percakapan itu. Kaisar duduk tegap, tetapi sorot matanya mengandung api yang berputar tanpa henti. Ia tahu ancaman Ibu Suri bukan sekadar gertakan untuk memaksanya tunduk, wanita tua itu tidak pernah berbicara tanpa memastikan kemenangan di telapak tangannya terlebih dahulu.Sementara itu, di hadapannya, Ibu Suri berdiri dengan jubah sutra ungu gelap yang bergerak pelan, seolah ia adalah pusat angin itu sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang menyentuh dasar bumi dan bergaung di langit tinggi.“Ka

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 145 - Tekanan Dua Arah

    “Besok, kau akan ikut bersamaku dalam pertemuan resmi dengan Yang Mulia.”Ucapan Putri Bai Hua jatuh pelan, tetapi mengandung bobot yang langsung mengguncang isi kepala Ziyan. “Aku ingin kau mendukung semua pernyataanku tanpa kecuali.”Taman yang menjadi tempat pertemuan mereka terasa semakin sempit. Angin yang tadinya bergerak lembut sekarang seperti membawa sesuatu yang dingin dan mengancam. Suasana itu menekan, seakan segala sesuatu bersiap bergerak menuju arah yang tidak ia inginkan.Ziyan berdiri tanpa suara, mencoba memproses kalimat yang baru saja ia dengar. Permintaan Bai Hua bukan permintaan ringan. Mendukung semua pernyataannya, berarti ia harus masuk langsung ke jantung permainan berbahaya antara Putri Bai Hua dan Ibu SuriIa mulai melihat pola-pola kecil yang selama ini ia abaikan. Cara Putri Bai Hua tersenyum terlalu manis. Cara Ibu Suri mengirim utusan secara tidak wajar. Cara para dayang mulai bergerak seperti untaian benang yang mengikuti titik pusat.Dalam senyap, Ziy

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 144 - Teman Kecil

    Taman dekat kolam bunga salju berada dalam kondisi yang nyaris terlalu tenang untuk ukuran jantung Ziyan. Embun sore menempel di rerumputan, sementara angin tipis menggerakkan kelopak bunga salju yang menggantung di batang ramping mereka. Di tengah keteduhan itu, Bai Hua sudah menunggu. Ia duduk di bangku batu dengan sikap yang tampak santai tapi tidak pernah benar-benar santai. Ziyan melangkah mendekat dengan hati yang terasa seperti menahan dua beban sekaligus. Satu adalah ketakutannya pada apa yang mungkin dilakukan Bai Hua, dan satunya lagi adalah penyesalan yang semakin menumpuk karena ia merasa telah mengkhianati seseorang yang sebenarnya ingin ia lindungi. Bai Hua tersenyum kecil, seperti seseorang yang ingin terlihat ramah di tengah agenda yang tidak sepenuhnya ramah. “Aku senang kau datang.” Ziyan berhenti beberapa langkah di depannya, menjaga jarak aman. “Kau bilang ingin berbicara. Jadi, langsung saja.” “Aduh, kau terus saja bersikap kaku seperti ini?” Bai Hua men

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 143 - Huang Ziyan Gelisah

    Ziyan merasa seperti terjebak dalam siklus tanpa ujung sejak mendengar bahwa namanya masuk dalam rencana Ibu Suri. Ia mencoba menenangkan diri, memastikan pikirannya jernih sebelum mengambil langkah apa pun, tetapi setiap menit yang berlalu justru menambah ketegangan di dadanya. Ada sesuatu yang menggelayuti hatinya, sesuatu yang menuntutnya untuk segera memperingatkan Lin Qian. Namun menemukan Lin Qian ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan.Ia mencoba mencarinya di Balai Medis Kekaisaran. Seorang tabib senior menyambutnya dengan sopan, tetapi jawabannya membuat Ziyan terhenti untuk kesekian kali.“Tabib Lin sedang berada di Paviliun Utama. Kesehatan Yang Mulia sudah pulih, tetapi agenda beliau semakin padat. Tabib Lin diminta untuk mengawasi kondisi beliau menjelang Festival Dongzhi.” Tabib itu menunduk sopan sebelum melanjutkan pekerjaannya.Festival Dongzhi. Mendengarnya saja membuat Ziyan sadar betapa sibuknya istana. Perayaan itu s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status