LOGIN"Apa kau tahu itu bisa dianggap penghinaan terhadap metode resmi kekaisaran?"
Suara Kaisar Wang Rui menggema dalam ruangan megah berhiaskan ukiran naga dari emas. Seolah bergema dari kedalaman langit. Kata-katanya mengalir dingin seperti salju gunung Xuanlong. Lin Qian tetap berlutut. Tubuhnya tegak, sorot matanya bagaikan api kecil yang tak padam. "Saya tahu, Yang Mulia." "Tapi saya juga tahu, jika seorang pasien berada di ambang maut dan harapan terletak pada ramuan yang tak tercantum dalam kitab, apakan seorang tabib harus menutup mata demi mematuhi metode yang tidak mempan?" ucap Lin Qian mantap, suaranya tenang namun penuh bara api. Wang Rui turun dari singgasana naga dengan gerakan tenang. Jubah hitamnya menyapu lantai giok dengan keheningan yang anggun namun mencekam. Ia mengintari Lin Qian seperti angin yang menakar kekuatan seekor burung kecil yang menentang badai. "Berani sekali lidahmu di hadapan kaisar. Apa kau tidak takut kepala yang tidak seberapa ini terpisah dari tubuhmu?" "Saya lebih takut jika kelak saya hanya menjadi bayang-bayang tabib dan gagal menjadi tabib sejati." jawab Lin Qian mantap seolah tidak takut pada apapun. Kaisar berhenti di belakangnya. hening menyelimuti mereka. Tiba-tiba suara keras terdengar. Kaisar tertawa kencang, suara tawanya menggema memantul di dinding-dinding batu giok. Mengejutkan tubuh tegang Lin Qian. Seolah jawaban Lin Qian adalah hal yang layak ditertawakan. Kaisar kembali ke singgasana dan duduk, bibirnya tersenyum miring. "Menarik. Kau sungguh menarik, tabib Lin Yuan. Kau tidak tahu takut rupanya." "Terima kasih atas pujiannya, Yang Mulia." Lin Qian membungkukkan dalam dengan tenang sebelum kaisar memerintahkannya untuk kembali ke aula. Menjelang sore, seluruh peserta dikumpulkan di aula besar balai medis kekaisaran. Di depan aula terbentang gulungan merah bertinta emas. Seorang petugas ujian berdiri di tengah ruangan, membuka gulungan merah tersebut. Membacakan isi gulungan tersebut dengan suara lantang. "Nama-nama berikut ini dinyatakan lulus ujian dan diterima sebagai tabib istana." Beberapa nama disebut satu per satu. Sorak tertahan, air mata kebahagiaan dan kebanggan, dan bisikan doa bercampur mengisi suasana di dalam aula. "Lin Yuan, dari wilayah utara. Peringkat pertama." Nama yang ditunggu-tunggu Lin Qian akhirnya terdengar. Matanya mengkilap, seperti permata yang baru diasah. Perasaan bahagia membuncah dalam dadanya seperti mata air yang meledak dari celah batu. Lin Qian maju ke depan, melangkah dengan mantap. Menerima penghargaan sebagai peserta ujian terbaik dan pin perak berbentuk bunga teratai yang dililit ular sebagai simbol resmi bahwa ia telah menjadi tabib istana. "Huang Ziyan, dari wilayah tengah. Peringkat dua." Langkah ringan namun percaya diri terdengar dari sisi aula. Saat Lin Qian menoleh, Huang Ziyan sudah berdiri di sampingnya. Menunjukan senyum tipis tengil yang sudah menjadi ciri khas pria bangsawan tampan itu. "Ternyata aku harus mengaku kalah, padahal nilai kita hanya beda sedikit." bisik Huang Ziyan pelan padanya. "Ternyata aku harus mengakui kalau aku berhasil mengalahkan pria bangsawan." Lin Qian menjulurkan lidah sebentar, meledek pria peringkat dua itu dengan penuh kepuasan. "Lihat saja, aku tidak akan menyerah." mata Huang Ziyan menyala. Separuh kesal, swparuh tertantang. Tawa kecil keduanya menyatu dalam tatapan saling menantang. Mereka kini bukan lagi dua orang asing. Mereka adalah dua bintang yang berjalan di langit yang sama. Setelah upacara tanda berakhirnya ujian usai, hari berlanjut dalam kesibukan para pengurus Balai Medis. Sementara peserta yang lulus diminta berkumpul untuk menerima pengarahan lebih lanjut. Langit mulai menguning keemasan, sinarnya menyapu ubin aula dan pilar-pilar kayu bersulam awan. Angin berhembus membawa aroma cendana dan teh hangat yang disajikan di meja-meja pavilium. Lin Qian duduk di teras belakang paviliun barat. Ia memandangi halaman batu yang basah oleh embun malam dan dihiasi ukiran bunga peony merah. Seorang pengurus muda menghampiri dengan membawa kotak kayu kecil berbalut kain merah. "Tabib Lin Yuan, ini untukmu. Penghargaan dari kepala balai atas diagnosa kemarin." Lin Qian menerimanya dengan hati-hati. Saat membuka kotak itu, cahaya emas memantul dari sebilah pena bambu yang diukir halus, serta seutas pita merah bertuliskan karakter "Shou Ming", yang bermakna penyelamat hidup. "ini...terlalu berharga untuk orang sepertiku." gumamnya lembut, matanya bergetar. "Kepala tabib berkata, tulisanmu seperti bilah pedang. Tajam, terarah dan menyelamatkan. Jadi anda layak menerimanya." pengurus muda itu tersenyum sebelum pamit pergi. Matanya menghangat, hatinya membuncah. Ia menggenggam pena itu erat. Benda kecil itu bukan hanya sekadar hadiah. Itu adalah pengakuan. Di tempat lain tidak jauh dari Lin Qian berada, Huang Ziyan berdiri di balkon lantai dua. Angin malam menggoyangkan jubah birunya. Berdiri mengamati Lin Qian dari kejauhan. Ia bersandar dengan tangan menyilang, bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Lin Yuan, aku akan membuatmu mengakui nama aslimu suatu hari nanti." Langit Wangjing berganti warna. Malam turun perlahan seperti tirai sutra, lentera mulai menyala satu per satu. Udara mulai dingin, membawa aroma plum dan dupa. Lin Qian melangkah ke taman belakang, menyusuri jalan setapak batu yang terdapat pohon plum di sisi kanan kirinya. Kelopak-kelopak merah muda berjatuhan perlahan seperti salju. Langkahnya berhenti bersamaan rasa terkejutnya. Seseorang memanggilnya. "Qian'er..?"Enam hari menjelang Festival Dongzhi, suasana Istana tampak tenang di permukaan, namun arus bawahnya bergolak seperti sungai musim hujan. Kaisar Wang Rui berdiri di paviliun belakang, menatap hamparan taman beku yang memantulkan cahaya matahari pucat. Di balik ketenangan wajahnya, pikirannya bekerja tanpa henti. Ia sudah mengetahui betapa jauh Ibu Suri dan Bai Hua bergerak, dan ancaman mengenai Lin Qian masih menggantung seperti pedang tipis di atas lehernya. Karena itu, pagi itu ia memanggil seseorang yang jarang muncul kecuali pada urusan terpenting.Pintu geser terbuka perlahan, dan Panglima Han Sheng melangkah masuk, membawa hawa dingin tajam dari luar. Pria itu menunduk hormat, namun matanya langsung menangkap perubahan sikap sang Kaisar. Wang Rui tidak menunggu lama. Ia memulai pembicaraan dengan suara rendah dan terkontrol, memastikan tidak ada mata dan telinga tersembunyi di sekitar paviliun. Empat pelayan penjaga ditempatkan berjauhan untuk memastikan tidak ada yang berani
Angin sore merambat lembut melewati lorong-lorong Istana. Tetapi bagi Huang Ziyan, hembusan itu terasa seperti pisau dingin yang menghujam kulitnya. Langkahnya gelisah, napasnya tidak teratur. Ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti bayangannya sendiri yang terus menggandakan kegelisahan di dadanya.Ia berhenti di bawah pohon plum yang mulai bertunas. “Aku...sudah terlalu jauh."Namun gumaman itu tidak mampu menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.Seorang pelayan istana lewat dan memberi salam singkat. Ziyan mengangguk sekadarnya, berusaha menjaga wibawa meski wajahnya tampak pucat.Setelah pelayan itu berlalu, Ziyan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan ancaman Ibu Suri dan Putri Bai Hua berputar-putar di kepalanya. Setiap kata yang ia dengar dari balik taman pertemuan sebelumnya menggema bagai tamparan keras.Ia menendang kerikil kecil hingga terpental. “Aku tidak bisa hanya duduk diam. Tidak boleh seperti ini, sama saja dengan pengecut.”Sementara itu, di pavi
“Aku tidak akan mengulanginya.” ucap Ibu Suri, suaranya bening seperti bilah pedang yang ditempa dingin. “Menikahi Bai Hua, atau Tabib Lin yang akan menanggung akibatnya.” Ibu Suri tersenyum tipis, seolah ia akan meraih kemenangannya.Kaisar menatapnya tanpa berkedip. “Mengancamku dengan seseorang yang tak berkuasa, sungguh langkah yang menunjukkan keputusasaan, Ibu Suri.”Aula dalam istana tampak redup, diterangi cahaya lentera yang goyah seolah takut menyentuh percakapan itu. Kaisar duduk tegap, tetapi sorot matanya mengandung api yang berputar tanpa henti. Ia tahu ancaman Ibu Suri bukan sekadar gertakan untuk memaksanya tunduk, wanita tua itu tidak pernah berbicara tanpa memastikan kemenangan di telapak tangannya terlebih dahulu.Sementara itu, di hadapannya, Ibu Suri berdiri dengan jubah sutra ungu gelap yang bergerak pelan, seolah ia adalah pusat angin itu sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang menyentuh dasar bumi dan bergaung di langit tinggi.“Ka
“Besok, kau akan ikut bersamaku dalam pertemuan resmi dengan Yang Mulia.”Ucapan Putri Bai Hua jatuh pelan, tetapi mengandung bobot yang langsung mengguncang isi kepala Ziyan. “Aku ingin kau mendukung semua pernyataanku tanpa kecuali.”Taman yang menjadi tempat pertemuan mereka terasa semakin sempit. Angin yang tadinya bergerak lembut sekarang seperti membawa sesuatu yang dingin dan mengancam. Suasana itu menekan, seakan segala sesuatu bersiap bergerak menuju arah yang tidak ia inginkan.Ziyan berdiri tanpa suara, mencoba memproses kalimat yang baru saja ia dengar. Permintaan Bai Hua bukan permintaan ringan. Mendukung semua pernyataannya, berarti ia harus masuk langsung ke jantung permainan berbahaya antara Putri Bai Hua dan Ibu SuriIa mulai melihat pola-pola kecil yang selama ini ia abaikan. Cara Putri Bai Hua tersenyum terlalu manis. Cara Ibu Suri mengirim utusan secara tidak wajar. Cara para dayang mulai bergerak seperti untaian benang yang mengikuti titik pusat.Dalam senyap, Ziy
Taman dekat kolam bunga salju berada dalam kondisi yang nyaris terlalu tenang untuk ukuran jantung Ziyan. Embun sore menempel di rerumputan, sementara angin tipis menggerakkan kelopak bunga salju yang menggantung di batang ramping mereka. Di tengah keteduhan itu, Bai Hua sudah menunggu. Ia duduk di bangku batu dengan sikap yang tampak santai tapi tidak pernah benar-benar santai. Ziyan melangkah mendekat dengan hati yang terasa seperti menahan dua beban sekaligus. Satu adalah ketakutannya pada apa yang mungkin dilakukan Bai Hua, dan satunya lagi adalah penyesalan yang semakin menumpuk karena ia merasa telah mengkhianati seseorang yang sebenarnya ingin ia lindungi. Bai Hua tersenyum kecil, seperti seseorang yang ingin terlihat ramah di tengah agenda yang tidak sepenuhnya ramah. “Aku senang kau datang.” Ziyan berhenti beberapa langkah di depannya, menjaga jarak aman. “Kau bilang ingin berbicara. Jadi, langsung saja.” “Aduh, kau terus saja bersikap kaku seperti ini?” Bai Hua men
Ziyan merasa seperti terjebak dalam siklus tanpa ujung sejak mendengar bahwa namanya masuk dalam rencana Ibu Suri. Ia mencoba menenangkan diri, memastikan pikirannya jernih sebelum mengambil langkah apa pun, tetapi setiap menit yang berlalu justru menambah ketegangan di dadanya. Ada sesuatu yang menggelayuti hatinya, sesuatu yang menuntutnya untuk segera memperingatkan Lin Qian. Namun menemukan Lin Qian ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan.Ia mencoba mencarinya di Balai Medis Kekaisaran. Seorang tabib senior menyambutnya dengan sopan, tetapi jawabannya membuat Ziyan terhenti untuk kesekian kali.“Tabib Lin sedang berada di Paviliun Utama. Kesehatan Yang Mulia sudah pulih, tetapi agenda beliau semakin padat. Tabib Lin diminta untuk mengawasi kondisi beliau menjelang Festival Dongzhi.” Tabib itu menunduk sopan sebelum melanjutkan pekerjaannya.Festival Dongzhi. Mendengarnya saja membuat Ziyan sadar betapa sibuknya istana. Perayaan itu s







