"Tunjukkan kepekaanmu. Nadi tak akan berbohong."
Suara pengawas ujian bergema di aula praktik Balai Medis Kekaisaran. Ruangan praktik lebih sempit, karena saat beralih ke ujian praktik jumlah peserta berkurang setengah. Namun sunyi di ruangan praktik lebih mencekam. Cahaya sore menembus celah jendela kayu, jatuh tepat di atas ranjang-ranjang pasien yang berjejer. Di atas ranjang-ranjang kayu, para pasien dari kalangan rakyat biasa berbaring diam. Para peserta melangkah dengan langkah hati-hati. Atmosfer udara di ruangan ini membawa aroma pahit dari ramuan herbal dan dupa penenang. Pengawas ujian membacakan tata tertib ujian kedua, "Waktu pemeriksaan lima belas menit. Hanya titik nadi yang boleh disentuh. Diagnosa dan penanganan awal ditulis dalam gulungan yang sudah disediakan." Lin Qian menunduk, di hadapannya ada seorang pasien tua dengan wajah sepucat kertas dan kuku yang kebiruan. Seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat, nyaris membeku. Ia duduk perlahan. Tiga jarinya menyentuh titik meridian pada pergelangan tangan kanan pasien. Denyut nadinya terasa samar di permukaan. Tidak teratur, dalam, dan rapuh. Tangannya dingin, napasnya dalam dan berjarak cukup lama. Ada keheningan yang mencurigakan dalam tubuh lelaki itu. "Stagnasi Yin, ketidakseimbangan limpa. Energi dingin mengendap di dalam sumsum." Lin Qian berkata lirih, matanya menajam. Ia segera mencatat dengan kuas dan kertas yang sudah disediakan. Mendiagnosa dan cara penanganannya. 'Pasien menunjukkan tanda-tanda stagnasi Yin-Xue. Denyut nadi mengambang dalam, melemak pada titik guan kiri. Kuku kebiruan, suhu tangan dingin. Saran penanganan awal: Rebusan Hanxiao dan bunga Meilan dosis ringan, diberikan tiga kali sehari. Kompres hangat perut bawah dengan daun Yushu setiap pagi untuk mengaktifkan Qi.' Tulisan itu mengalir seperti aliran sungai, lincah dan terkendali. Lin Qian meletakkan kuas dan mengumpulkan gulungan kertas kepada pengawas ujian. "Bagi yang sudah mengumpulkan boleh bergeser menjauhi pasien, hasil akan langsung diumumkan." perintah pengawas ujian, memberikan gulungan kertas pada seorang kasim untuk disampaikan pada penguji. Lin Qian melangkahkan kakinya ke sudut ruangan. Belum sempat ia duduk lama, seorang pria tua dengan jubah ungu melangkah masuk ke aula. Di tangannya tergenggam gulungan. "Seseorang menuliskan diagnosa yang menyalahi prosedur resmi Balai Medis Kekaisaran." pria itu membuka gulungan yang sudah ia periksa Suasana di ruangan itu tegang, suhu di ruangan praktik mendadak dingin. Wajah-wajah mulai menoleh, napas mereka tertahan. Pria tua itu membacakan isinya, "Rebusan Hanxiao dan bunga Meilan, ini bukan metode yang diajarkan dalam kitab pengobatan kekaisaran." Lin Qian sadar bahwa itu adalah gulungan kertas miliknya. Jantungnya berdetak kencang, gugup. Pria tua itu menunjukan jawaban kertasnya di depan banyak peserta, "Katakan, siapa orang yang bernama Lin Yuan? Pemilik kertas ini." Lin Qian berdiri perlahan. Suaranya tenang namun mengandung bara. "Saya Lin Yuan, dari wilayah utara." Penguji mendekat, matanya bagai mengikis setiap keberanian Lin Qian. "Berani mengajukan metode di luar standar medis kekaisaran. Kau tahu resikonya?" Di saat-saat seperti ini, otak Lin Qian akan memutar kembali semua perkataan dan nasihat gurunya dulu. Jangan gemetar saat ilmumu diremehkan. Perlahan dirinya merasa tenang dan yakin. Semua nasihat Shifu Xu sangat ajaib dan manjur. Bagaikan obat penenang bagi Lin Qian. Lin Qian tetap berdiri tegak mengepalkan tangannya di sisi tubuh, "Saya tahu, tapi saya juga tahu pasien ini tidak bisa disembuhkan hanya dengan salinan buta dari kitab kuno. Ramuan ini pernah saya racik dan hasilnya menyelamatkan nyawa." "Kau yakin atau sombong, peserta Lin Yuan?" penguji itu mendengus, sepertinya mental calon tabib muda ini sekeras baja. Lin Qian menatap lurus. "Tabib sejati bukan penyalin huruf. Ia penyelamat. Saya tidak menulis untuk terlihat pintar, tapi untuk mencegah kematian." Hening. Pria tua itu tidak bisa berkata lagi. Calon tabib muda di hadapannya tidak bisa diremehkan. Suara pelan namun tajam menyusul dari sisi aula, "Jawaban yang masuk akal dan berani." Semua menoleh. Seorang pemuda dengan pakaian emas berlambang naga berdiri santai. Mahkota besar yang berkilau di atas kepalanya menunjukan status dirinya. Sontak semua orang yang ada di dalam ruangan itu berlutut memberikan hormat, "Hormat kepada Matahari Kekaisaran, Yang mulia Kaisar Wang Rui." Kaisar berjalan pelan menghampiri Lin Qian yang berlutut, ia memerintahkan semuanya untuk kembali berdiri. "Kalau semua tabib hanya mengikuti salinan tua tanpa berpikir, dunia pengobatan akan berhenti dan tidak berkembang." langkahnya sampai tepat di hadapan Lin Qian yang menunduk dalam, tidak berani menatap kaisar. "Bagaimana kau akan mempertanggung jawabkan ini?" Tatapan Wang Rui menusuk ke arah Lin Qian, seolah melihat lebih dari yang tampak. Lin Qian menegakkan tubuhnya perlahan. Meski jantungnya berdetak lebih cepat, sorot matanya tidak goyah. "Yang mulia, bila hamba salah maka hamba bersedia menerima hukuman setimpal. Tapi bila benar, izinkan hamba membuktikan bahwa ilmu tidak hanya hidup di atas kertas, tapi dalam keberanian mengambil keputusan di saat nyawa dipertaruhkan." Para peserta terdiam, tak satu pun berani bersuara. Bahkan para penguji pun menunduk, tidak ingin ikut terseret dalam ujian yang berlangsung di hadapan Kaisar. Kaisar Wang Rui tidak langsung menjawab. Ia menatap Lin Qian lama. lalu menoleh pada penguji. "Catat namanya! Tabib seperti ini lebih berguna di medan perang baik di luar atau pun dalam istana." perintahnya pada penguji yang menunduk di sampingnya. Tatapannya kembali pada Lin Qian, "Besok kau akan hadapi ujian terakhir. Saat itu, tidak ada kata-kata indah yang bisa menyelamatkanmu.""Apa kau tahu itu bisa dianggap penghinaan terhadap metode resmi kekaisaran?"Suara Kaisar Wang Rui menggema dalam ruangan megah berhiaskan ukiran naga dari emas. Seolah bergema dari kedalaman langit. Kata-katanya mengalir dingin seperti salju gunung Xuanlong.Lin Qian tetap berlutut. Tubuhnya tegak, sorot matanya bagaikan api kecil yang tak padam. "Saya tahu, Yang Mulia.""Tapi saya juga tahu, jika seorang pasien berada di ambang maut dan harapan terletak pada ramuan yang tak tercantum dalam kitab, apakan seorang tabib harus menutup mata demi mematuhi metode yang tidak mempan?" ucap Lin Qian mantap, suaranya tenang namun penuh bara api.Wang Rui turun dari singgasana naga dengan gerakan tenang. Jubah hitamnya menyapu lantai giok dengan keheningan yang anggun namun mencekam.Ia mengintari Lin Qian seperti angin yang menakar kekuatan seekor burung kecil yang menentang badai. "Berani sekali lidahmu di hadapan kaisar. Apa kau tidak takut kepala yang tidak seberapa ini terpisah dari tubuh
"Kau bukan orang biasa, tapi belum cukup untuk jadi pemenang."Suara berat yang terdengar sedikit menyebalkan itu terdengar dari balik pilar kayu tempat Lin Qian bersandar setelah keluar dari aula ujian.Ujian terakhir akan dilaksanakan besok pagi. Para peserta yang berhasil lolos diberi waktu istirahat untuk memulihkan tenaga dan berkeliling menjelajahi Balai Medis Istana.Langit sore mulai menggelap, udara Wangjing terasa mengigit tulang. Aroma tanah basah dan rumput lembab berpadu dengan harum dupa yang dari kuil di kejauhan, membuat nuansa menenangkan.Lin Qian membuka mata perlahan. Di dekatnya berdiri seorang pemuda berpakaian hanfu biru dilengkapi bros keluarga Huang yang berkilau di dadanya. Rambutnya diikat dengan jepit giok putih."Huang Ziyan." gumam Lin Qian, tak ada sedikitpun keraguan dalam nadanya. Pemuda itu melangkah santai, menyandarkan bahunya di pilar kayu yang Lin Qian sandari. "Jadi kau yang menyamar dengan nama Lin Yuan."Siapa pun tidak bisa menipu Huang Ziyan
"Tunjukkan kepekaanmu. Nadi tak akan berbohong."Suara pengawas ujian bergema di aula praktik Balai Medis Kekaisaran. Ruangan praktik lebih sempit, karena saat beralih ke ujian praktik jumlah peserta berkurang setengah. Namun sunyi di ruangan praktik lebih mencekam. Cahaya sore menembus celah jendela kayu, jatuh tepat di atas ranjang-ranjang pasien yang berjejer. Di atas ranjang-ranjang kayu, para pasien dari kalangan rakyat biasa berbaring diam. Para peserta melangkah dengan langkah hati-hati. Atmosfer udara di ruangan ini membawa aroma pahit dari ramuan herbal dan dupa penenang.Pengawas ujian membacakan tata tertib ujian kedua, "Waktu pemeriksaan lima belas menit. Hanya titik nadi yang boleh disentuh. Diagnosa dan penanganan awal ditulis dalam gulungan yang sudah disediakan." Lin Qian menunduk, di hadapannya ada seorang pasien tua dengan wajah sepucat kertas dan kuku yang kebiruan. Seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat, nyaris membeku.Ia duduk perlahan. Tiga jarinya menye
"Jika kau hanya tahu setengah racikan, maka setengah nyawa pasienmu sudah kau kubur!" Suara kepala balai medis menggema lantang dari atas panggung kayu menghentak suasana aula luas dengan dinding batu giok dan langit-langit tinggi. Lukisan Bunga Teratai Kesembuhan dan Sembilan Naga Pelindung Kekaisaran menghiasi langit-langit seolah turut mengawasi para peserta ujian.Suasana aula sunyi, namun terasa menegangkan. Ratusan calon tabib berdiri tegak dalam barisan sesuai wilayah masing-masing. Beberapa peserta ada yang berdiri gugup, ada pula yang sampai banjir berkeringat. Di hadapan mereka terdapat meja kayu berjajar rapih. Di atas meja terdapat kuas, tinta hitam beraroma kayu cendana dan gulungan kertas putih dari kulit pohon Zhengmu.Lin Qian berdiri di barisan wilayah utara, tangannya masih menggenggam surat seleksi yang sedikit lecek. Walaupun sempat gugup, mata Lin Qian dengan cepat memancarkan keyakinan. Pengawas Ujian berjalan menyusuri barisan, membagikan gulungan soal sambil
"Apakah ini nyata? Kekaisaran serius membuka pintu bagi rakyat biasa?" pertanyaan tak percaya menjalar dari mulut ke mulut. Di antara kerumunan, mata Lin Qian menangkap setiap kalimat seolah tiap hurufnya mengandung takdir. Matanya membulat dan binar bahagia terpancar terang dari hatinya. "Ujian ini akan dilaksanakan tiga hari lagi di Ibukota dengan tiga tahap seleksi! Cukup membawa seritifikat medis dan surat kelulusan. Hadiahnya berupa kedudukan, emas, dan kehormatan." Sinar pagi memantul dari lembaran sutra, seolah takdir itu sendiri sedang berpihak padanya. Dewa telah membuka jalan untuk Lin Qian. Ia tidak bisa melewatkan kesempatan emas ini dan segera membulatkan keputusan gilanya. "Ini..jalan kita! Dewa takdir mendengar doaku!" seru Lin Qian dengan suara bergetar antara terlalu senang dan yakin. Lin Yuan menoleh cepat dengan wajah kebingungan, merasakan firasat yang tidak enak terhadap adiknya yang terlihat sangat bersemangat melihat pengumuman ini. Membuat pikirannya melay
"Qian'er, kau yakin ingin meneruskan ini?" tanya Lin Yuan tiba-tiba. Beberapa hari yang lalu Lin Qian pulang lebih malam dari biasanya, dengan kondisi yang sangat lusuh dan kotor. Ekspresi wajah Lin Qian saat kembali tidak menunjukan dirinya baik-baik saja. "Mengobati orang demi beberapa butir beras, sementara tubuhmu sendiri semakin kurus." Lin Yuan merasa khawatir dengan keadaan sang adik yang jarang makan tepat waktu. Lin Yuan memandang adiknya lekat. Adiknya yang cantik sudah tumbuh dewasa seperti Bunga Hanmei di musim dingin, namun selalu mekar pada waktunya. Di balik wajah yang kelelahan dan rambut yang dikepang berantakan, tersembunyi tekad sekeras batu giok. Lin Qian selalu pulang dengan mata berbinar, seolah setiap tanaman liar yang ia bawa punya rahasia yang ingin dibisikan padanya. Gadis itu sangat mencintai tumbuhan herbal dari pada perhiasan perak dan emas. Lin Qian menatap langit-langit lalu bergumam, "Kita hanya punya satu warisan yang tersisa dari ayah dan ibu,