Share

Bab 5 - Riuh Dalam Ujian

Author: Chryztal
last update Last Updated: 2025-08-13 12:23:44

"Tunjukkan kepekaanmu. Nadi tak akan berbohong."

Suara pengawas ujian bergema di aula praktik Balai Medis Kekaisaran. Ruangan praktik lebih sempit, karena saat beralih ke ujian praktik jumlah peserta berkurang setengah. Namun sunyi di ruangan praktik lebih mencekam.

Cahaya sore menembus celah jendela kayu, jatuh tepat di atas ranjang-ranjang pasien yang berjejer. Di atas ranjang-ranjang kayu, para pasien dari kalangan rakyat biasa berbaring diam.

Para peserta melangkah dengan langkah hati-hati. Atmosfer udara di ruangan ini membawa aroma pahit dari ramuan herbal dan dupa penenang.

Pengawas ujian membacakan tata tertib ujian kedua, "Waktu pemeriksaan lima belas menit. Hanya titik nadi yang boleh disentuh. Diagnosa dan penanganan awal ditulis dalam gulungan yang sudah disediakan."

Lin Qian menunduk, di hadapannya ada seorang pasien tua dengan wajah sepucat kertas dan kuku yang kebiruan. Seolah darah dalam tubuhnya mengalir lambat, nyaris membeku.

Ia duduk perlahan. Tiga jarinya menyentuh titik meridian pada pergelangan tangan kanan pasien. Denyut nadinya terasa samar di permukaan. Tidak teratur, dalam, dan rapuh.

Tangannya dingin, napasnya dalam dan berjarak cukup lama. Ada keheningan yang mencurigakan dalam tubuh lelaki itu.

"Stagnasi Yin, ketidakseimbangan limpa. Energi dingin mengendap di dalam sumsum." Lin Qian berkata lirih, matanya menajam.

Ia segera mencatat dengan kuas dan kertas yang sudah disediakan. Mendiagnosa dan cara penanganannya.

'Pasien menunjukkan tanda-tanda stagnasi Yin-Xue. Denyut nadi mengambang dalam, melemak pada titik guan kiri. Kuku kebiruan, suhu tangan dingin. Saran penanganan awal: Rebusan Hanxiao dan bunga Meilan dosis ringan, diberikan tiga kali sehari. Kompres hangat perut bawah dengan daun Yushu setiap pagi untuk mengaktifkan Qi.'

Tulisan itu mengalir seperti aliran sungai, lincah dan terkendali. Lin Qian meletakkan kuas dan mengumpulkan gulungan kertas kepada pengawas ujian.

"Bagi yang sudah mengumpulkan boleh bergeser menjauhi pasien, hasil akan langsung diumumkan." perintah pengawas ujian, memberikan gulungan kertas pada seorang kasim untuk disampaikan pada penguji.

Lin Qian melangkahkan kakinya ke sudut ruangan. Belum sempat ia duduk lama, seorang pria tua dengan jubah ungu melangkah masuk ke aula. Di tangannya tergenggam gulungan.

"Seseorang menuliskan diagnosa yang menyalahi prosedur resmi Balai Medis Kekaisaran." pria itu membuka gulungan yang sudah ia periksa

Suasana di ruangan itu tegang, suhu di ruangan praktik mendadak dingin. Wajah-wajah mulai menoleh, napas mereka tertahan.

Pria tua itu membacakan isinya, "Rebusan Hanxiao dan bunga Meilan, ini bukan metode yang diajarkan dalam kitab pengobatan kekaisaran."

Lin Qian sadar bahwa itu adalah gulungan kertas miliknya. Jantungnya berdetak kencang, gugup.

Pria tua itu menunjukan jawaban kertasnya di depan banyak peserta, "Katakan, siapa orang yang bernama Lin Yuan? Pemilik kertas ini."

Lin Qian berdiri perlahan. Suaranya tenang namun mengandung bara. "Saya Lin Yuan, dari wilayah utara."

Penguji mendekat, matanya bagai mengikis setiap keberanian Lin Qian. "Berani mengajukan metode di luar standar medis kekaisaran. Kau tahu resikonya?"

Di saat-saat seperti ini, otak Lin Qian akan memutar kembali semua perkataan dan nasihat gurunya dulu. Jangan gemetar saat ilmumu diremehkan.

Perlahan dirinya merasa tenang dan yakin. Semua nasihat Shifu Xu sangat ajaib dan manjur. Bagaikan obat penenang bagi Lin Qian.

Lin Qian tetap berdiri tegak mengepalkan tangannya di sisi tubuh, "Saya tahu, tapi saya juga tahu pasien ini tidak bisa disembuhkan hanya dengan salinan buta dari kitab kuno. Ramuan ini pernah saya racik dan hasilnya menyelamatkan nyawa."

"Kau yakin atau sombong, peserta Lin Yuan?" penguji itu mendengus, sepertinya mental calon tabib muda ini sekeras baja.

Lin Qian menatap lurus. "Tabib sejati bukan penyalin huruf. Ia penyelamat. Saya tidak menulis untuk terlihat pintar, tapi untuk mencegah kematian."

Hening. Pria tua itu tidak bisa berkata lagi. Calon tabib muda di hadapannya tidak bisa diremehkan.

Suara pelan namun tajam menyusul dari sisi aula, "Jawaban yang masuk akal dan berani."

Semua menoleh. Seorang pemuda dengan pakaian emas berlambang naga berdiri santai. Mahkota besar yang berkilau di atas kepalanya menunjukan status dirinya.

Sontak semua orang yang ada di dalam ruangan itu berlutut memberikan hormat, "Hormat kepada Matahari Kekaisaran, Yang mulia Kaisar Wang Rui."

Kaisar berjalan pelan menghampiri Lin Qian yang berlutut, ia memerintahkan semuanya untuk kembali berdiri.

"Kalau semua tabib hanya mengikuti salinan tua tanpa berpikir, dunia pengobatan akan berhenti dan tidak berkembang." langkahnya sampai tepat di hadapan Lin Qian yang menunduk dalam, tidak berani menatap kaisar.

"Bagaimana kau akan mempertanggung jawabkan ini?" Tatapan Wang Rui menusuk ke arah Lin Qian, seolah melihat lebih dari yang tampak.

Lin Qian menegakkan tubuhnya perlahan. Meski jantungnya berdetak lebih cepat, sorot matanya tidak goyah. "Yang mulia, bila hamba salah maka hamba bersedia menerima hukuman setimpal. Tapi bila benar, izinkan hamba membuktikan bahwa ilmu tidak hanya hidup di atas kertas, tapi dalam keberanian mengambil keputusan di saat nyawa dipertaruhkan."

Para peserta terdiam, tak satu pun berani bersuara. Bahkan para penguji pun menunduk, tidak ingin ikut terseret dalam ujian yang berlangsung di hadapan Kaisar.

Kaisar Wang Rui tidak langsung menjawab. Ia menatap Lin Qian lama. lalu menoleh pada penguji.

"Catat namanya! Tabib seperti ini lebih berguna di medan perang baik di luar atau pun dalam istana." perintahnya pada penguji yang menunduk di sampingnya.

Tatapannya kembali pada Lin Qian, "Besok kau akan hadapi ujian terakhir. Saat itu, tidak ada kata-kata indah yang bisa menyelamatkanmu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 148 - Strategi Pertama

    Enam hari menjelang Festival Dongzhi, suasana Istana tampak tenang di permukaan, namun arus bawahnya bergolak seperti sungai musim hujan. Kaisar Wang Rui berdiri di paviliun belakang, menatap hamparan taman beku yang memantulkan cahaya matahari pucat. Di balik ketenangan wajahnya, pikirannya bekerja tanpa henti. Ia sudah mengetahui betapa jauh Ibu Suri dan Bai Hua bergerak, dan ancaman mengenai Lin Qian masih menggantung seperti pedang tipis di atas lehernya. Karena itu, pagi itu ia memanggil seseorang yang jarang muncul kecuali pada urusan terpenting.Pintu geser terbuka perlahan, dan Panglima Han Sheng melangkah masuk, membawa hawa dingin tajam dari luar. Pria itu menunduk hormat, namun matanya langsung menangkap perubahan sikap sang Kaisar. Wang Rui tidak menunggu lama. Ia memulai pembicaraan dengan suara rendah dan terkontrol, memastikan tidak ada mata dan telinga tersembunyi di sekitar paviliun. Empat pelayan penjaga ditempatkan berjauhan untuk memastikan tidak ada yang berani

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 147 - Pengakuan Huang Ziyan

    Angin sore merambat lembut melewati lorong-lorong Istana. Tetapi bagi Huang Ziyan, hembusan itu terasa seperti pisau dingin yang menghujam kulitnya. Langkahnya gelisah, napasnya tidak teratur. Ia berjalan tanpa arah, hanya mengikuti bayangannya sendiri yang terus menggandakan kegelisahan di dadanya.Ia berhenti di bawah pohon plum yang mulai bertunas. “Aku...sudah terlalu jauh."Namun gumaman itu tidak mampu menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dirinya.Seorang pelayan istana lewat dan memberi salam singkat. Ziyan mengangguk sekadarnya, berusaha menjaga wibawa meski wajahnya tampak pucat.Setelah pelayan itu berlalu, Ziyan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Bayangan ancaman Ibu Suri dan Putri Bai Hua berputar-putar di kepalanya. Setiap kata yang ia dengar dari balik taman pertemuan sebelumnya menggema bagai tamparan keras.Ia menendang kerikil kecil hingga terpental. “Aku tidak bisa hanya duduk diam. Tidak boleh seperti ini, sama saja dengan pengecut.”Sementara itu, di pavi

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 146 - Ancaman Dari Ibu Suri

    “Aku tidak akan mengulanginya.” ucap Ibu Suri, suaranya bening seperti bilah pedang yang ditempa dingin. “Menikahi Bai Hua, atau Tabib Lin yang akan menanggung akibatnya.” Ibu Suri tersenyum tipis, seolah ia akan meraih kemenangannya.Kaisar menatapnya tanpa berkedip. “Mengancamku dengan seseorang yang tak berkuasa, sungguh langkah yang menunjukkan keputusasaan, Ibu Suri.”Aula dalam istana tampak redup, diterangi cahaya lentera yang goyah seolah takut menyentuh percakapan itu. Kaisar duduk tegap, tetapi sorot matanya mengandung api yang berputar tanpa henti. Ia tahu ancaman Ibu Suri bukan sekadar gertakan untuk memaksanya tunduk, wanita tua itu tidak pernah berbicara tanpa memastikan kemenangan di telapak tangannya terlebih dahulu.Sementara itu, di hadapannya, Ibu Suri berdiri dengan jubah sutra ungu gelap yang bergerak pelan, seolah ia adalah pusat angin itu sendiri. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang menyentuh dasar bumi dan bergaung di langit tinggi.“Ka

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 145 - Tekanan Dua Arah

    “Besok, kau akan ikut bersamaku dalam pertemuan resmi dengan Yang Mulia.”Ucapan Putri Bai Hua jatuh pelan, tetapi mengandung bobot yang langsung mengguncang isi kepala Ziyan. “Aku ingin kau mendukung semua pernyataanku tanpa kecuali.”Taman yang menjadi tempat pertemuan mereka terasa semakin sempit. Angin yang tadinya bergerak lembut sekarang seperti membawa sesuatu yang dingin dan mengancam. Suasana itu menekan, seakan segala sesuatu bersiap bergerak menuju arah yang tidak ia inginkan.Ziyan berdiri tanpa suara, mencoba memproses kalimat yang baru saja ia dengar. Permintaan Bai Hua bukan permintaan ringan. Mendukung semua pernyataannya, berarti ia harus masuk langsung ke jantung permainan berbahaya antara Putri Bai Hua dan Ibu SuriIa mulai melihat pola-pola kecil yang selama ini ia abaikan. Cara Putri Bai Hua tersenyum terlalu manis. Cara Ibu Suri mengirim utusan secara tidak wajar. Cara para dayang mulai bergerak seperti untaian benang yang mengikuti titik pusat.Dalam senyap, Ziy

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 144 - Teman Kecil

    Taman dekat kolam bunga salju berada dalam kondisi yang nyaris terlalu tenang untuk ukuran jantung Ziyan. Embun sore menempel di rerumputan, sementara angin tipis menggerakkan kelopak bunga salju yang menggantung di batang ramping mereka. Di tengah keteduhan itu, Bai Hua sudah menunggu. Ia duduk di bangku batu dengan sikap yang tampak santai tapi tidak pernah benar-benar santai. Ziyan melangkah mendekat dengan hati yang terasa seperti menahan dua beban sekaligus. Satu adalah ketakutannya pada apa yang mungkin dilakukan Bai Hua, dan satunya lagi adalah penyesalan yang semakin menumpuk karena ia merasa telah mengkhianati seseorang yang sebenarnya ingin ia lindungi. Bai Hua tersenyum kecil, seperti seseorang yang ingin terlihat ramah di tengah agenda yang tidak sepenuhnya ramah. “Aku senang kau datang.” Ziyan berhenti beberapa langkah di depannya, menjaga jarak aman. “Kau bilang ingin berbicara. Jadi, langsung saja.” “Aduh, kau terus saja bersikap kaku seperti ini?” Bai Hua men

  • Raja Yang Agung Itu Berlutut Di Hadapanku   Bab 143 - Huang Ziyan Gelisah

    Ziyan merasa seperti terjebak dalam siklus tanpa ujung sejak mendengar bahwa namanya masuk dalam rencana Ibu Suri. Ia mencoba menenangkan diri, memastikan pikirannya jernih sebelum mengambil langkah apa pun, tetapi setiap menit yang berlalu justru menambah ketegangan di dadanya. Ada sesuatu yang menggelayuti hatinya, sesuatu yang menuntutnya untuk segera memperingatkan Lin Qian. Namun menemukan Lin Qian ternyata lebih sulit daripada yang ia bayangkan.Ia mencoba mencarinya di Balai Medis Kekaisaran. Seorang tabib senior menyambutnya dengan sopan, tetapi jawabannya membuat Ziyan terhenti untuk kesekian kali.“Tabib Lin sedang berada di Paviliun Utama. Kesehatan Yang Mulia sudah pulih, tetapi agenda beliau semakin padat. Tabib Lin diminta untuk mengawasi kondisi beliau menjelang Festival Dongzhi.” Tabib itu menunduk sopan sebelum melanjutkan pekerjaannya.Festival Dongzhi. Mendengarnya saja membuat Ziyan sadar betapa sibuknya istana. Perayaan itu s

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status