LOGINDengan langkah kaki berat, Renzo meninggalkan istri yang baru ia nikahi. Amarahnya masih belum reda.
Ia merasa tersinggung dengan perilaku Viona yang sudah keterlaluan dan berani melawan.
"Akhirnya kau datang juga! Cepat masuk." Alfonso menyambut di depan pintu ruangan. "Kenapa lama sekali?"
Semua orang di ruang sidang dibuat gagal fokus karena melihat Renzo datang dengan kondisi bibir sedikit terluka.
Ia mengambil posisi duduk di paling tengah di depan sekelompok internal anggota mafia keluarga Rossi.
"Hey, kenapa bibirmu?" Alfonso, adiknya bertanya saat menyadari ada yang janggal dengan bibir bawah kakaknya.
"Aku kena gigitan ular tadi." Jawabnya datar.
Alfonso hanya tertawa mendengar jawaban saudaranya. "Ular betina pastinya!"
Renzo tidak sedang dalam mood untuk bercanda saat ini.
"Sudahlah.. yang jelas sekarang diamlah dan mari kita mulai mengatur strategi kita!" Begitu Renzo mengumumkan kalimat itu, semua yang hadir diam.
"Lorenzo, kami sebenarnya sudah puas dengan perluasan wilayah yang ada ke daerah utara. Namun, ada beberapa masalah yang harus segera kita selesaikan." Ucap salah satu tetua di keluarga Rossi.
"Dengan pernikahanmu ini, aku harap kamu bisa mendapatkan sisa yang belum kita kuasai." Kata Fernando, ayah Renzo.
Tetua tadi mengiyakan dan sepakat dengan apa yang dikatakan ayah Renzo, "Betul yang dikatakan Papamu, Renzo. Sebagai mantan anggota inti, Papamu adalah orang yang sejak dulu berusaha untuk menguasai kawasan utara. Keluarga Rusdi dan pendahulunya terkenal sangat dekat dengan pemerintah. Itu yang membuat mereka sejak dulu sombong!"
"Siap, Papa!"
"Satu lagi, pastikan kamu bisa menghamili anak Rusdi itu. Entah nanti dia jadi istrimu untuk satu tahun atau dua tahun, yang jelas... setidaknya kamu harus dapat anak dari dia. Biar kita tidak rugi!" Papanya menambahkan.
"Bagi keluarga Rossi, keturunan itu sangat penting!" Pamannya mengingatkan. "Meski kami para tetua tidak lagi punya istri, tapi kami punya kalian. Anak-anak dan keponakan-keponakan kebanggaan keluarga Rossi!"
"Tenang, Pa. Aku bisa mengatasi anak perempuan Rusdi itu!" Ucap Renzo penuh keyakinan.
Alfonso berbisik, "aku ragu apakah kamu bisa menaklukkan ular betina itu. Kelihatannya dia tipe-tipe pembangkang. Tapi...itu cocok untukmu! Haahahahahaa..."
Renzo menyikut perut adiknya yang makin lancang saja menjadikan dirinya sebagai bahan guyonan.
"Untuk wilayah yang diperkirakan memiliki sumber air itu, sudah kita pastikan memang itu berada tepat di dekat lahan keluarga Rusdi. Sebaiknya, entah dengan cara apapun, aku ingin kita segera memilikinya. Karena menurut perkiraan, itu akan menjadi salah satu dari tiga sumber air terbesar di wilayah ini yang tersisa! Kita harus menguasainya..."
"Baik, Pa." Sahut Renzo.
Tanggung jawabnya begitu besar karena sekarang klan keluarga Russo berada di bawah kepemimpinannya.
"Kalau dengan jalur damai mereka bertingkah, kau tahu apa yang harus kau lakukan, Renzo! Kita memiliki stok senjata tambahan yang baru dikirim langsung dari Rusia. Jadi, jangan ragu untuk menunjukkan taringmu!" Papanya pergi dari ruang sidang sambil menepuk pundaknya.
Diikuti oleh tetua lain.
"Renzo, kalau saranku... ikuti kata Paman. Segera hamili Viona." Alfonso berbisik.
"Kau tak perlu mengajariku! Urus saja perkebunan ganj* itu dengan betul... Jangan sampai diendus oleh wartawan lagi. Ingat, kita tidak boleh melakukan kecerobohan lagi..." Sindirnya pada sang adik.
"Itu kan kemarin ketahuan gara-gara drone para insinyur yang akan membangun villa. Tapi semua sudah terkendali.. Oh ya, kudengar Viona itu seorang arsitek ya?"
Lorenzo mengedikkan bahu. Ia sama sekali tidak tahu menahu tentang latar belakang istrinya.
Bahkan ia tak tahu umur berapa gadis itu saat ini.
"Astaga, sudah aku duga kau tidak tahu apa-apa tentang istrimu. Apa kau juga tidak tahu ukuran tubuhnya? Hahahaa!"
"Cukup! Aku harus segera mengecek persediaan senjata yang baru dikirim kemarin. Orang-orangmu tidak becus bahkan untuk urusan sepele begini! Kau harus ikut!" Renzo menarik lengan saudaranya.
Keduanya pun berjalan beriringan menuju ke lokasi di luar istana mereka.
"Kukira... kita harus mencari senjata lain. Jangan hanya mengandalkan kiriman dari Rusia saja!" Renzo menyampaikan idenya pada Alfonso.
"Aku setuju. Tapi, kau tahu sendiri kalau Papa dan Paman sangat dekat dengan produsen di sana karena dulu mereka sama-sama bersekolah intelijen di Amerika!" Alfonso merasa kalau usulan mereka akan sia-sia dan tidak akan digubris.
"Kemarin aku sempat mendengar kalau produsen dari Afganistan bisa memproduksi dengan harga lebih murah!"
"Tapi, bagiku kita tidak bisa percaya begitu saja sebelum kita mengetahui kualitas senjata buatan mereka." Kata Lorenzo.
Tak lama setelah mereka mulai mengecek beberapa senjata laras panjang, seorang asisten mereka memasuki gudang dan membisikkan sesuatu pada Lorenzo.
"Tuan, Nona Viona mengamuk dan merusak perabot di ruang tidur Anda!"
Darah Lorenzo seketika mendidih. Alfonso hanya bisa mengekor tanpa berani bertanya tentang apa yang sedang terjadi.
Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, barulah ia menyadari kenapa saudaranya bisa semarah itu.
Vas dan meja kerja Renzo nampak berantakan. Bahkan sofa berbahan kulit impor dari Italia sudah sobek serta patah.
"Apa maumu?" Tanya Renzo sambil mencengkeram dagu Viona.
"Bebaskan aku dari sini!"
Lorenzo segera menutup pintu ruangan dan kini hanya tinggal mereka berdua. Ia tak banyak bicara dan mulai melepas kancing baju yang ia kenakan satu per satu.
"Apa? Silvano itu jadi..."Viona tak mampu melanjutkan kata-katanya. Hati wanita mana yang tak hancur ketika tahu suaminya yang sebelumnya belum pernah menikah, ternyata telah memiliki seorang anak dengan wanita lain.Ini membuatnya sangat kecewa, meski ia tak pernah mengakui kalau dirinya memiliki rasa pada Renzo."Iya, Renzo belum tahu soal ini karena test DNA dilakukan Papaku secara tersembunyi..." Alfonso menjawab."Kamu pasti bohong!" Viona mengelak dan tak bisa mempercayainya."Buat apa aku bohong untuk hal sepenting ini? Kami para mafia tidak boleh berbohong untuk soal urusan anak!"Viona makin meradang, "berarti kalian boleh bohong soal yang lain?""Tidak begitu juga, Viona..." Alfonso adalah pria dari keluarga mafia yang punya perasaan halus.Ia tahu kalau apa yang ia katakan ini akan menyakiti hatinya."Aku..." Viona tak mampu lagi bagaimana harus menghadapi hal yang menurutnya sama saja dengan pengkhiana
"Kenapa mengkhawatirkan? Ia sudah dewasa dan pergi dalam keadaan baik-baik saja!" kata Alfonso menjelaskan.Ia paham kalau Viona menanyakannya karena ada suatu hal yang disembuyikan dari Alfonso.Untuk urusan rumah tangga, rasanya dia tak perlu tahu dan turut campur."Iya, sebaiknya mungkin aku kembali ke kamar tidur saja!" ia membawa satu lilin sebagai penuntunnya berjalan pelan-pelan ke kamar tidur.Rupanya, setelah bersusah payah menemukan kamar dengan lilin itu, ia mendapati beberapa panggilan tak terjawab dari Alex."Ya ampun... aku lupa kalau aku harus mengecek lagi handphone-nya..." ia mengambilnya dari tempat di mana suaminya biasa meletakkan.Aji mumpung ketika suaminya tak berada di rumah, ia bisa menggunakannya sesuka hati."Halo, Alex?"Syukurlah pria itu bisa dihubungi dengan mudah."Viona? Kamu bisa menghubungiku juga akhirnya...""Iya, Alex. Aku..."Alex memotong pembicaraannya, "sementara ini keluarga Ivanov kebingungan karena kehilangan anak Viktoriya... dan... aku ha
"Kita ke mana, Paman Renzo?" tanya Silvano yang merasa bosan karena sepanjang jalan tiba-tiba Renzo jadi diam.Pria itu terus menyusuri jalanan yang mengarah semakin dekat dengan area tempat tinggal Silvano."Kita mau ke pegunungan...""Jangan!" ia mendadak menolak."Kenapa?" Renzo kaget."Aku lebih suka pantai dari pada gunung..." terangnya.Aneh, anak ini punya kesukaan yang sama dengan Renzo semasa kecil."Tapi suasana pantai akan sangat ramai. Sebaiknya... kita tidak ke pantai malam begini!" "Baiklah.. kita ke pegunungan saja kalau begitu! Tapi, jika ada orang yang bertanya tentangku, bilang saja Paman tidak tahu!" ia berjaga-jaga dan masih memiliki kecemasan kalau-kalau bertemu dengan body guard keluarga Ivanov nanti.Ada getaran yang tak biasa ketika ia mengatakan kalau Silvano adalah anaknya. Seolah ini adalah hal yang lumrah dan memang sewajarnya."Apa kamu tahu banyak soal orang bernama Alex itu?" Renzo sebenarnya sangat tidak menyukai pria itu lagi.Meski dulu sempat dikon
"Hey. bocah tengil...kembalikan!" teriak Viona mengejarnya sampai ke ujung rumah.Rupanya Silvano akhirnya menyerah.Ia segera menggeletakkan handphone itu ke lantai lalu berlari menjauh."Kenapa dia?" Viona tidak sadar kalau Alex masih belum menutup teleponnya."Halo? Viona?""Alex, maaf ada gangguan tadi..." kata Viona menyambung panggilan."Iya, tidak apa-apa. Ngomong-ngomong siapa yang kamu teriaki bocah tengil tadi? Apakah aku?" tanya Alex."Tentu, bukan kamu... itu adalah... itu keponakan Alfonso yang baru datang. Dia memang sering usil dan mengganguku..." jawab Viona.Mereka berdua terdiam."Kalau aku boleh jujur padamu, aku juga merasa kamu berubah, Viona!" Alex mengakuinya.Perasaan yang selama ini ia pendam, kini ia lega bisa mengungkapkannya."Berubah apa maksud kamu?""Kamu jadi lebih... berpihak pada keluarga Rossi dari pada sebelumnya!"Viona mendadak emosi saat ia dibilang lebih
"Bau? Bagiku kamu selalu wangi, Viki..." sahut Alex gemas."Alex! Menjauhlah dariku..." suara Viktoriya terdengar lebih seperti menggoda daripada menyuruh teman prianya itu pergi."Apa aku perlu membantumu mandi?""Ya Tuhan... apa kata mereka nanti kalau tahu aku mandi bersama kamu?" Viktoriya nampak malu-malu dengan godaan pacar berondongnya."Viki... kita sudah dewasa dan sama-sama tahu... aku tidak mandi bersamamu, dalam konteks ini aku hanya memandikanmu..." Alex meralat kalimatnya."Hmmm... itu lebih terdengar seperti kamu memandikan binatang peliharaanmu, Alex..."Wanita yang lebih tua darinya itu berjalan menuju kamar mandi dan sengaja menanggalkan bajunya di depan pintu."Viki... aku harus menggantikan spreimu. Sepertinya sudah kotor dan..." Alex tak mendapati sahutan karena wanita itu sudah masuk ke dalam kamar mandi dan terdengar jelas suara gemericik air.Ia dengan cekatan melepaskan sprei dan menggantinya dengan yang baru.Nampaknya sudah disiapkan oleh pembantu namun belu
"Memangnya siapa anak ini?" Viona penasaran dan mengamati dari dekat anak kecil yang pintar bicara itu.Baginya, anak ini hanyalah seperti anak pada umumnya.Tak ada tanda-tanda keistimewaan bagi Viona."Doa bukan anak sembarangan, Viona!" Alfonso memberikan clue agar wanita itu mau sejenak berpikir.Masih juga ia belum menemukan apa yang dimaksudkan oleh adik iparnya.Bukan anak sembarangan? Lantas apakah maksudnya anak dari seseorang yang Viona kenal baik?"Kamu mungkin tak akan tahu siapa orang tuanya, tapi keberadaannya benar-benar akan merubah hidupmu!" ucapnya lagi."Apa wajahnya mirip denganmu juga?" tanya Viona setelah mengamati sejenak wajah dan bentuk tulang rahangnya."Ah... jadi kamu mengira anak ini adalah anakku? Sebuah tebakan yang bagus..." Alfonso tertawa terbahak-bahak."Jangan-jangan... ini adalah anak Papamu? Sehingga kamu adalah kakaknya meski kalian pantas sebagai ayah dan anak kalau dilihat dari umur kalian!"Pernyataan Viona layaknya tebakan seorang wartawan."







