Sekolah masih libur, jadi Ratu menemani Risma bekerja memulung sampah. Awalnya Risma tidak mengizinkan karena khawatir anaknya itu kelelahan. Namun, Ratu bersikeras.
“Ratu mau bantu Bunda. Kasihan Bunda, setiap pulang pasti capek. Siapa tahu, capeknya berkurang karena Ratu bantu.” Risma menoleh pada tetangga kos yang sudah berbaik hati mengajaknya bekerja memulung. Meminta izin untuk mengajak anak perempuannya yang ingin berbakti. Tetangga kos yang baik hati itu mengangguk tanda setuju. Ia tidak keberatan sama sekali. Maka, berangkatlah tiga wanita berbeda usia itu menyusuri jalanan untuk mengumpulkan sampah kardus dan plastik bekas. Sepanjang perjalanan, Risma tak henti memerhatikan Ratu, khawatir jika anaknya kelelahan. Sesekali mereka beristirahat dan memakan bekal yang dibawa. Apa yang Risma khawatirkan tentang Ratu, justru tidak terjadi sama sekali. Sebaliknya, Risma-lah yang merasa kesulitan dan perjalanan mereka. Sinar matahari yang bersinar terik membuat dirinya merasa lelah dan terus menerus kehausan. “Kita… kita istirahat dulu,” pinta Risma sambil melepaskan gerobak yang tengah didorongnya bersama tetangga kosnya. “Eh? Bu? Apa kita pulang saja?” tanya tetangga kosnya panik. “Iya, Bunda. Apa Bunda masih sanggup?” timpal Ratu tak kalah cemas melihat keadaan ibunya. “Tidak apa-apa, kok. Istirahat sebentar juga nanti mendingan,” balas Risma pelan. Risma duduk di trotoar, setengah membungkuk dengan lesu. Wajahnya pucat dengan peluh yang membasahi wajah dan tubuhnya. Ratu memberinya minum dari botol, lalu memijat lembut bahu Risma. Di dekat mereka, tetangga kos Risma juga duduk sambil minum. Siang itu memang panas membakar. Jalanan tempat mereka bertiga beristirahat, tidaklah seberapa besar, namun cukup ramai oleh lalu lalang kendaraan bermotor. Di kedua sisi jalan terdapat berbagai jenis usaha seperti toko-toko dan warung-warung makan yang ramai oleh pengunjung. Sambil menemani ibunya, Ratu sesekali menengok ke toko aneka mainan di seberang jalan. Risma tahu, putrinya tertarik pada boneka-boneka yang dipajang di sana. Apalagi, dahulu Ratu memiliki cukup banyak mainan karena kakek neneknya kerap memberikan hadiah sebagai tanda cinta mereka pada cucu pertama mereka itu. “Sabar ya, Nak. Kalau Bunda punya uang, nanti kita beli boneka di sana,” kata Risma menghibur anaknya. “Eh? Nggak apa-apa kok, Bunda. Ratu cuma lihat-lihat,” kilah Ratu dengan wajah tersipu. Risma tersenyum, menyembunyikan kegundahannya. Untuk mendapatkan biaya hidup sehari-hari saja dia harus bekerja sebagai pemulung dengan penghasilan tak seberapa, lantas bagaimana ia memenuhi keinginan anaknya untuk memiliki boneka baru? Perhiasan emas yang Risma pertahankan sebelum diusir oleh Ronny, sudah dirampas oleh pria itu. Kini Risma bingung, bagaimana membiayai pendidikan Ratu selanjutnya. Jangankan biaya kuliah, untuk transportasi dan jajan Ratu di sekolah saat ini saja, Risma tak mampu menyediakan. Padahal, sekolah akan dimulai minggu depan. Untuk membayar uang sewa kos-kosan dan biaya hidup sebelum mendapatkan pekerjaan sebagai pemulung, Risma terpaksa menjual ponsel miliknya dan Ratu. Ia bersyukur bisa menyambung hidup dengan pekerjaannya sekarang. Tapi, bagaimana Risma akan membiayai pendidikan anaknya dalam keadaan tak berharta seperti saat ini? Sepertinya, ia tak punya pilihan selain bekerja lebih keras lagi. “Bu,” kata Risma pada tetangga kosnya yang baik hati, “kita jalan lagi, yuk. Saya sudah mendingan.” “Yakin, Bu? Kalau memang Bu Risma sudah baikan, kita jalan lagi,” balas tetangga kos sekaligus rekan kerja Risma itu. Mereka bertiga kembali berjalan. Kali ini tetangga kos Risma yang mendorong gerobak miliknya, sementara Risma dan Ratu berjalan di depan untuk mencari dan memungut sampah yang masih bisa dijual. Akan tetapi, baru berjalan beberapa meter, Risma sudah terhuyung. Ratu yang sedang memungut botol plastik, terkejut saat mendengar bunyi tubuh yang jatuh menimpa aspal. Bruk! “Bunda!” sergah Ratu sambil menghampiri ibunya. Kepanikan terjadi. Sebagian orang yang berada di dekat Risma, buru-buru menghampiri. Sementara sebagian orang lagi hanya menengok sejenak sebelum kembali beraktivitas seperti biasa. Cuek seperti para pengendara yang melintas di jalan. Namun, Ratu dan tetangga kos yang berusaha menggendong Risma untuk dibaringkan di dalam gerobak, terkejut saat seorang pria mengambil alih pekerjaan mereka. Dengan cekatan, pria yang sebaya dengan Risma tersebut menggendong Risma dan membawanya menjauh dari jalanan. “Kita ke warung saya saja,” kata pria itu pada Ratu dan tetangga kos. Ratu yang masih panik, mengikuti pria yang menyelamatkan ibunya itu. Sementara tetangga kos mengambil gerobaknya, lalu menyusul dengan terburu-buru. *** Rika merajuk lagi. Ronny sebenarnya pusing dibuatnya. Tak habis pikir, mengapa ada saja hal yang menjadi masalah di mata istri keduanya itu. Rika sudah mendapatkan perhiasan emas yang ia inginkan. Selain itu, tak lama lagi, Rika akan menjadi penghuni rumah mewah yang dibangun oleh mertuanya. Lantas, mengapa hal itu tak juga cukup baginya? “Kenapa Bapak dan Ibu masih mau mencari Kak Risma dan anaknya? Apa aku dan Razka tidak cukup untuk Bapak dan Ibu? Aku bisa memberikan cucu laki-laki, sedangkan Kak Risma hanya memberikan cucu perempuan? Jadi, lebih hebat aku, ‘kan?” tuntut Rika. Ronny memijat pelipisnya. Ternyata itu masalahnya. Rika ingin menjadi menantu satu-satunya di rumah ini. “Sabar, Dik. Untuk menceraikan Risma, Abang harus mendapat persetujuan dari Bapak dan Ibu. Apalagi, Ibu sangat sayang pada Ratu. Jadi, akan sulit melepas Risma kalau Ibu tidak setuju. Bisa-bisa Abang gagal mendapatkan rumah yang sedang dibangun itu, Dik,” bujuk Ronny. Walaupun kamar yang mereka tempati memiliki pendingin udara, reaksi Rika seakan membuat suhu di kamar tersebut mendadak naik puluhan derajat. Wanita itu membelalak dengan wajah memerah. “Apa?! Sesayang itu Ibu pada Kak Risma?” sentaknya, marah sekaligus iri. “Bukan. Ibu sangat sayang pada Ratu,” ralat Ronny. “Sama saja,” tukas Rika. Cemberut hingga bibirnya maju satu sentimeter. “Makanya, Abang minta, bersabarlah. Abang akan membujuk Bapak dan Ibu dulu sebelum….” “Ronny!” Seruan Rukmini membuat kalimat Ronny terpotong. Ronny berdecak, lalu buru-buru meninggalkan Rika yang masih diliputi dengki. “Iya, Bu. Ada apa?” tanya Ronny seraya menghampiri ibunya di teras rumah mereka yang nyaman. “Ini, Nak,” jawab Rukmini sambil menunjukkan ponselnya. “Ibu sejak kemarin menelepon istri dan anak pertamamu, tapi selalu tidak tersambung. Apa ponsel mereka rusak atau hilang, ya?” “Bukannya Ibu baru akan mencari Risma besok? Coba telepon lagi besok. Siapa tahu sudah tersambung,” balas Ronny. Dia bisa menerka alasan mengapa panggilan ibunya tak tersambung. Tapi, tentu saja dia tidak akan mengatakannya. “Iya, tapi ‘kan kalau bisa Ibu cari tahu dulu, di mana mereka sekarang. Ya sudah. Besok kau antar Bapak dan Ibu ke rumah Risma, ya. Kita cari di sana dulu. Mudah-mudahan mereka ada di sana.” “Rumah Risma? Yang mana, Bu?” tanya Ronny dengan wajah memucat. “Rumah yang mana lagi? Ya itu, rumah peninggalan orang tua Risma. Kau masih ingat, ‘kan?” Ronny tak menjawab. Sebaliknya, keringat dingin bergulir di wajahnya. Gawat!"Kenapa sih, Mas Raka? Takut pandangan miring orang-orang?" goda Risma."Iya. Kok kesannya aku ini menikahimu karena harta. Aku tidak enak hati. Termasuk pada 'mereka'," sungut Raka."'Mereka'? Duh, suamiku ini baik banget orangnya. Perasaan orang jahat juga dipikirkan segala. Jadi makin cinta, deh," kata Risma lalu mencium pipi Raka.Wajah Raka bersemu. Ia berdiri usai menyelesaikan sarapannya."Aku pamit, mau ke warung," kata Raka sambil menyambar kunci motornya."Aku temani saja. Bantu-bantu. Bosan di rumah," sahut Risma, ikut berdiri.
Sudah dua hari berlalu setelah Risma dan Ratu berhasil ditemukan. Kepulangan mereka ke rumah Rahmat dan Rukmini, membawa kebahagiaan bagi pasangan suami istri yang sudah tua tersebut, sekaligus menguak berbagai hal yang mengejutkan.Pada awalnya Rahmat dan Rukmini berusaha membujuk agar Risma tidak bercerai dengan Ronny. Sebaliknya, mereka menginginkan agar Rika-lah yang keluar dari rumah itu."Tapi Pak, Bu, saya tidak bisa lagi menerima Bang Ronny sebagai suami saya. Cinta dan harapan padanya sudah tidak ada lagi," jelas Risma saat mereka berkumpul di ruang tengah.Ronny dan Rika sendiri masih ditahan di kantor polisi atas laporan percobaan penculikan atas Ratu. Rahmat dan Rukmini sengaja membiarkan mereka di sana agar da
Rusdi menatap istrinya. Ratih mengangguk sebagai balasannya. Rusdi kembali menatap majikannya.Maka, meluncurlah pengakuan Rusdi mengenai apa yang terjadi. Rahmat duduk mendengarkan sambil sesekali menghela napas.Usai mendengar penjelasan Rusdi, Rahmat memberi perintah."Beri tahu Ibu tentang ini. Bilang juga, kalau mau ikut, kita berangkat mencari Ratu dan Mbak Risma sekarang," perintahnya pada Ratih."Baik, Pak Rahmat," balas Ratih. Ia lalu mencari Rukmini yang sedang memasak di dapur.
Ratu tidak tahu, sudah berapa lama ia menunggu di dalam kamar kos-kosan. Bunda menyuruhnya menunggu hingga Bunda bisa menjemputnya. Tapi, ini sudah terlalu lama.Ratu mondar-mandir di dalam kamar, menunggu dengan gelisah. Ia tidak tahu, berapa lama sudah berlalu sejak ia berhasil lari dari kejaran Tante Rika dan meminta tolong pada para penghuni kos lainnya. Ratu tak punya jam, arloji atau ponsel agar dapat mengetahui waktu.Sudah terlalu lama. Juga terlalu sepi. Ke mana orang-orang? Apakah mereka berhasil menolong Bunda?Tiba-tiba terdengar bunyi ketukan pintu. Ratu terkesiap, tidak berani bersuara. Apakah itu Bunda? Atau justru Ayah dan Tante Rika?
Plak! Plak!Risma terhuyung karena tamparan itu. Ronny merangkul pinggangnya, lalu menarik istri tuanya itu untuk dibawa ke mobil."Kejar Ratu. Abang tunggu di mobil," perintahnya pada Rika yang penampilannya kini acak-acakan."I-iya, Bang," balas Rika sambil meringis menahan sakit, lalu mengejar Ratu yang sudah menghilang di balik sebuah belokan jalan.Sambil berlari, Ronny menggendong Risma yang masih pusing. Saat istri pertamanya itu mulai pulih, ia kembali melawan hingga ia dan Ronny jatuh bersama-sama menimpa jalanan.Risma segera bangkit dan berlari menuju ke ko
Ronny dan Rika terus membuntuti dua orang yang mereka yakini sebagai Risma dan Ratu tersebut. Saat kedua orang itu berbelok menuju ke jalanan yang lebih kecil, tidak ramai dan agak gelap, Ronny memarkir mobilnya."Kita jalan kaki saja. Sorot lampu mobil akan bikin kita ketahuan," kata Ronny.Pasangan suami istri itu pun turun untuk melanjutkan perburuannya. Sayup-sayup, mereka bisa mendengar suara-suara yang sudah sebulan ini tidak mereka dengar."Bunda jangan marah ke Om Raka lagi. Kasihan Om Raka.""Bunda tidak marah, Nak.""Terus, siapa dong yang marah?"