Di tengah lautan makhluk tengkorak berwarna putih yang jumlahnya tak terhingga, sosok Angkara berdiri di antara kabut perang. Dari tubuhnya memancar aura berkilau keemasan yang melingkupi pedang di tangan kanannya, sementara di tangan kirinya tergenggam perisai hitam berukir wajah mengerikan yang tampak seolah hidup.Ia mengayunkan pedangnya ringan, namun setiap tebasan menciptakan getaran hebat yang menghantam tanah dan menghancurkan barisan pasukan tengkorak di depannya menjadi debu. Tebasan demi tebasan ia lakukan tanpa henti, disertai suara benturan yang bergema di udara. Setiap serangan yang diarahkan kepadanya tak pernah berhasil menembus pertahanannya, perisai hitam itu menyerap seluruh serangan dan memantulkannya kembali, menghancurkan musuh dalam sekali benturan.Angkara, sosok yang dulunya dikenal sebagai Dewa Perang, kini telah bereinkarnasi dalam tubuh seorang pelayan biasa. Namun pada saat ini, ia bukanlah manusia biasa, ia adalah mesin pembantai yang bergerak tanpa ras
Angkara yang baru saja menolong salah satu anggota pemberontak itu menatap lurus ke arah menara hitam di kejauhan. Aura kelam dari bangunan itu bergulung seperti kabut pekat yang menelan udara di sekitarnya. Dalam hatinya, ia sadar bahaya yang sedang mengintai. “Menara ini… berbahaya. Saat ini baru mencapai tahap pertama. Jika sampai tahap ketiga, bahkan para penghuni surgawi pun akan kesulitan. Setengah dari mereka terbantai pada kejadian sebelumnya…” pikirnya dengan wajah serius.Seraya mengangkat tangan kanannya, Angkara menggerakkan jari-jemarinya cepat, membentuk segel tak dikenal. Seketika aura hitam pekat mengalir dari tubuhnya dan membelit pasukan tengkorak di sekeliling mereka. Jeritan dari makhluk-makhluk itu bergema bersamaan, sebelum akhirnya tubuh-tubuh mereka terhimpit dan meledak menjadi abu. Namun bahkan setelah puluhan tengkorak hancur, masih banyak lagi yang bermunculan dari kaki menara, tak terbatas jumlahnya.Di tengah kekacauan itu, tawa mengerikan menggema dari
Menara itu memancarkan aura hitam pekat yang segera menelan seluruh kota. Warna gelap itu menjalar cepat, merayap di antara bangunan, menutupi jalanan, hingga perlahan menembus langit. Langit dunia bawah yang semula berwarna merah tanda datangnya pagi, berubah menjadi hitam legam seolah malam abadi baru saja lahir. Tak ada lagi cahaya, tak ada lagi bayangan, hanya gelap yang terasa menyesakkan dada, seperti kabut maut yang menindih seluruh kehidupan di bawahnya.Para penduduk menengadah, memandang langit dengan kebingungan dan ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Tak ada yang berani bersuara lantang, beberapa hanya bergumam, mencoba memahami anomali yang belum pernah terjadi di sepanjang sejarah dunia bawah. Namun, keheningan cepat berubah menjadi kepanikan. Mereka bukan merasa kagum atas keajaiban langit, melainkan dicekam rasa takut yang menusuk tulang, sebuah firasat buruk bahwa sesuatu yang mengerikan telah bangkit.Di depan sebuah toko roti kecil, seorang bocah laki-laki bern
Setelah menyaksikan adegan kacau di dunia bawah, Angkara memutuskan sudah waktunya pergi. Di matanya, tak ada lagi manfaat atau tujuan tinggal lebih lama di tempat itu, semua yang bisa dipelajari atau dimanfaatkan dari peristiwa tersebut telah selesai.“Kalau tak salah, si pirang tadi menyuruh lebih dari separuh pasukannya menuju kantor walikota, kan?” gumamnya pelan, sambil tetap tak terlihat. Ia mengaktifkan kembali kemampuan menyamarkan wujudnya, lenyap dari pandangan siapapun yang mungkin mengincarnya.Angkara segera keluar dari persembunyian pemberontak dan menempatkan dirinya di atas atap sebuah bangunan yang rendah, posisi yang memungkinkan ia memantau sekeliling tanpa terganggu. Dari sana, ia mengamati lanskap kota dengan tajam. Ia hendak mengetahui di mana markas walikota berada, pengetahuan itu penting untuk arah langkahnya selanjutnya.Langit dunia bawah perlahan memerah menandakan pagi akan datang. Cakrawala di sini tak serupa dunia timur, tak ada bulan yang lembut atau ma
Franz, sang pemimpin pemberontakan, bergegas keluar dari ruang kantornya dengan wajah tegang. Di tangannya tergenggam sebuah papan kayu berukir simbol kuno yang samar berpendar. Tanpa ragu, ia melemparkannya ke lantai dan melompat ke atasnya. Dalam sekejap, papan itu melayang sekitar satu meter di atas permukaan tanah, memancarkan cahaya samar kebiruan dari ukiran di permukaannya.Dengan gerakan cepat dan lincah, Franz mengendalikan papan itu seperti seorang ahli yang telah terbiasa. Ia melesat menembus kepulan asap dan puing-puing reruntuhan, menghampiri Citra yang masih terlibat dalam pertarungan sengit melawan raksasa. Begitu mendekat, ia meraih tubuh Citra dan mengangkatnya ke atas papan.“Franz! Apa yang kau lakukan?” seru Citra dengan nada kesal, tubuhnya masih tegang menahan adrenalin dari pertarungan. “Aku hampir mengalahkannya!”Franz menatap lurus ke depan, keringat menetes di pelipisnya. “Tidak, Citra! Aku merasakan sesuatu yang tidak beres darinya,” katanya dengan suara be
“Dia berani menghadapi raksasa itu? Hah, orang ini benar-benar nekat.” Angkara menghela napas tipis, menghentikan niatnya turun tangan. Ia memilih tetap menghilang di sela keruwetan itu, lebih senang menyaksikan aksi Citra dari jarak aman daripada mencampuri langsung.Raksasa itu segera mengumpulkan tenaga. Kepalan tangannya membesar, dipenuhi aura pekat, ketika ia melepaskan pukulan, gelombang hantaman menyapu udara, membuat debu beterbangan dan lantai bergetar. Namun, Citra di hadapannya tak menunjukkan rasa gentar. Ia meluncur mengelak dengan mudah, lalu melompat gesit menapaki lengan raksasa sebagai pijakan. Dalam sekejap, tinjunya melayangkan pukulan tepat ke dagu raksasa itu.Deng! Kepala raksasa mendongak, darah memercik dari mulutnya. Citra tidak memberi kesempatan pulih, ia menendang dengan keras ke kepala lawan hingga sosok besar itu terjungkal. Para petugas kota yang berada di sekitar menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak, senjata pamungkas mereka, yang selama i