Tanpa melepas tangan Lara, pria aneh itu tiba-tiba memejamkan mata rapat-rapat. Ekspresinya kaku, seolah sedang berusaha menerawang sesuatu yang tak kasatmata. Wajahnya menegang, alisnya berkerut dalam, dan bibirnya gemetar menahan sesuatu yang samar-samar ia rasakan. Hening beberapa detik, hingga akhirnya ia membuka mata lebar-lebar. Pandangannya beralih bergantian pada Lara dan Abian dengan sorot penuh keterkejutan dan kegelisahan.“Dia energi hitam itu!” serunya lantang sambil menunjuk tepat ke arah Lara.Lara seketika mengerutkan kening, bingung dengan tuduhan yang tak masuk akal. Matanya melebar, napasnya tercekat, dan tubuhnya menegang karena terkejut.Pria itu lalu menoleh kepada Abian, tatapannya melembut meski masih diliputi keraguan. “Dan kamu adalah pusaran energi putihnya,” lanjutnya dengan nada lirih, seakan masih belum percaya dengan apa yang ia saksikan. Telunjuknya kini mengarah pada Abian.Kini pria itu merasa mengerti arti pusaran cahaya putih yang perlahan berputar
Lampu pada alat itu terus menyala bergantian dengan cepat, laksana detak jantung yang kacau. Tiba-tiba seluruh cahaya berhenti seolah terputus, hanya menyisakan lampu merah yang menyala kian terang. Jarum kecil yang sejak tadi berputar liar, kini menancap mantap, menunjuk lurus ke arah tangga yang menjulang.Pria aneh itu tertegun, matanya membesar menatap alat temuannya. Ada sorot keterkejutan sekaligus kegirangan dalam wajahnya. Kedua bola matanya berkilat, seakan menemukan sesuatu yang telah lama dicarinya. Lantas, ia mendongak ke arah tangga dengan penuh keyakinan.“Di sana!” serunya lantang, jari telunjuknya menuding ke atas. “Ayo ikuti petunjuk alat ini!” Tanpa menunggu, ia segera bangkit berdiri dan melangkah cepat membawa alat itu. Tubuhnya condong ke depan, terburu oleh rasa penasaran yang tak terbendung.Abian dan Kris hanya sempat bertukar pandang singkat sebelum akhirnya mengikuti langkahnya. Ada keraguan di wajah mereka, tetapi juga dorongan kuat untuk menemukan jawaban.
Abian mendadak dikuasai amarah. Sorot matanya menusuk penuh kecurigaan, rahangnya mengeras, dan langkahnya terayun cepat menuju pria paruh baya yang terbaring di lantai. Topeng seram yang tadi menutupi wajah pria itu telah terlepas, menyingkap wajah asli dengan kerutan lelah namun menyimpan senyum samar yang entah bermakna.Dengan gerakan kasar, Abian berjongkok tepat di samping pria itu. Tangannya mencengkeram kerah baju hitam sang pria dengan kuat, hingga kain tipis itu terlipat dan menegang. Tarikan kerasnya membuat tubuh si pria setengah terangkat dari lantai. Suara Abian meluncur rendah namun sarat amarah.“Apa tujuanmu menakuti kami?” desaknya penuh curiga.Pria paruh baya itu terkekeh canggung. Kedua tangannya menepuk-nepuk udara, seolah berusaha meredakan ketegangan.“Tuan, tolong… lepaskan saya dulu, bisa?” pintanya dengan suara terbata.Wajah Abian tetap dingin, namun ia melepaskan cengkeramannya begitu saja. Tubuh pria itu terhempas kembali ke lantai, punggungnya menghantuk
"Dulu sikapnya begitu angkuh, lalu mendadak jadi baik hati dan lembut. Jika memang berubah dan berusaha menjadi lebih baik juga tidak akan sedrastis itu," ujar Abian, penuh nada curiga. Alisnya berkerut rapat, tatapan matanya tajam namun dibayang-bayangi kegelisahan yang tak mampu ia sembunyikan."Ya, Pak. Sikap Nyonya memang jauh berbeda dari sebelumnya. Saya sebenarnya sudah menyadari hal itu sejak lama, tapi takut untuk mengatakannya." Wajah Kris tampak serius, matanya menunduk namun bibirnya tetap bergetar seolah menahan keraguan. "Awalnya saya berusaha berpikir positif, jika sikap angkuh Nyonya hanyalah desas-desus semata," lanjutnya lirih."Tidak, itu bukan hanya desas-desus semata. Aku mengenalnya sejak kecil." Nada suara Abian mengeras, pandangannya menerawang jauh seakan menembus ruang dan waktu. "Belakangan ini dia lebih ceria, dan dalam senyuman itu, aku seperti melihat orang lain." Ia mendongak, menatap kosong ke langit-langit, lalu bibirnya bergetar pelan, "Senyumnya terl
“Kenapa aku bilang akan mengganti bonus bulanannya? Oh… mulutku….” batin Lara. Kedua tangannya refleks menepuk bibirnya sendiri, seolah ingin menghapus kalimat yang barusan terucap. Wajahnya seketika menegang, menyesali kebodohan yang baru ia lakukan.Namun, di hadapannya, raut wajah Kris berubah sumringah. Senyum tulus merekah, menyinari wajahnya yang tadinya muram. “Terima kasih, Nyonya. Bulan depan adik saya harus bayar biaya semester di luar negeri. Saya sempat khawatir saat Pak Abian bilang akan memotong seluruh bonus bulanan saya.” Suaranya terdengar penuh kelegaan, seakan beban besar baru saja terangkat dari pundaknya. Semangatnya pun kembali menyala, terlihat jelas dari sorot matanya yang berbinar.Ucapan itu membuat Lara terdiam. Dadanya terasa sesak, seolah ditindih perasaan bersalah. Ia tidak sanggup menarik kembali kata-katanya. 'Kris sudah banyak membantuku. Karena aku juga, dia tertimpa masalah seperti ini. Jika kali ini aku menjilat ludahku sendiri, artinya aku bukan ma
Lara semakin penasaran. Kedua alisnya terangkat tinggi, tatapannya tajam menuntut jawaban. Ada kerutan halus di dahinya yang menandakan rasa ingin tahu bercampur kegelisahan.“Ini… tanda kehidupan baru,” jawab ibu itu, suaranya bergetar samar, seolah kalimat itu bukan sekadar ucapan biasa. Tatapannya terarah penuh pada Lara, dengan sorot mata yang jelas menampakkan keterkejutan.Lara menatap balik, kebingungan. Ia tidak sepenuhnya mengerti. Kedua alisnya kini berkerut rapat, bibirnya sedikit terbuka, seakan hendak bertanya lebih jauh namun tertahan oleh rasa ragu.Tiba-tiba, suara seorang pria memecah keheningan. “Nyonya.” Suara itu terdengar dari kejauhan, tegas namun penuh kehati-hatian.Serentak, Lara dan wanita itu menoleh bersamaan. Dari balik tembok rumah sakit, muncullah sosok Kris. Tubuhnya tegap, wajahnya menyembul sedikit ke luar dengan kepala mengintip. Pandangannya penuh keanehan ketika tertuju pada Lara.Kris mendapati Lara duduk seorang diri di bangku putih panjang yang