Share

Terjebak Hutang

Suara ketukan pintu terdengar sampai kamar Sahira yang cukup mengganggu membuat gadis itu bergegas ke depan untuk melihat siapa yang datang. 

“Maaf, cari siapa ya?” tanya Sahira sopan kepada beberapa lelaki bertubuh kekar dengan baju dan celana serba hitam. 

“Kami mencari Vanita,” jawab salah satu diantara mereka. 

“Ada perlu apa mencari Mama saya?” raut wajah Sahira langsung berubah serius. 

“Sudah panggil saja dia ke sini atau kami yang mencarinya sendiri.” Lelaki itu mencoba untuk masuk rumah, namun langsung dihadang oleh Sahira. 

“Tunggu dulu di sini.” Sahira kembali menutup pintu rumahnya, bukan untuk kabur, melainkan untuk memanggil sang mama. 

“Siapa yang datang? Tidak sopan sekali membuat keributan di rumah orang,” kata Vanita, pada saat Sahira menghampirinya. 

“Sahira juga tidak tahu, Mah, semuanya laki-laki bertubuh kekar dan pakaiannya serba hitam,” jelas Sahira. 

Vanita yang penasaran langsung ke depan untuk melihat sendiri siapa yang datang. Pada saat membuka pintu utama wanita itu dibuat terkejut dan langsung diam di tempat. Seketika tubuhnya kaku. 

“Ketemu juga kamu di sini. Mana janji yang kamu katakan? Katanya kemarin mau melunasi hutang.”

Vanita menangkupkan tangan ke depan dengan wajah memelas. “Maaf, uang sebanyak itu mana mungkin saya bisa langsung mendapatkannya? Bari saya waktu satu sampai dua bulan lagi, saya berjanji akan melunasinya.”

“Halah! Omong kosong! Kalau kamu tidak bisa melunasi hutang itu, ikut dengan kami hari ini juga!”

Vanita menggelengkan kepalanya ketakutan. “Tidak, saya mohon jangan dibawa. Kali ini saya benar-benar berjanji, baru waktu satu sampai dua bulan untuk melunasi hutang itu.”

“Sejak kapan Mama berhutang sama rentenir seperti ini?” tanya Sahira yang tiba-tiba saja datang karena menguping pembicaraan. 

“Tidak usah banyak bertanya kamu. Semua ini karena kamu yang tidak bisa membantu perekonomian keluarga. Seandainya kamu bekerja, sudah pasti Mama tidak akan terlilit utang seperti ini.”

“Sudah, jangan banyak drama kalian! Kami kesini hanya ingin menagih hutang, jika tidak bisa membayar kamu harus ikut dengan kami.”

Dua lelaki dengan otot yang kekar mencekal kedua tangan Vanita kanan dan kiri. Vanita memberontak minta untuk dilepaskan. 

“Jangan bawa saya, bawa saja gadis yang ada di samping saya ini. Saya sudah tua pasti tidak bisa diandalkan tenaganya, sedangkan dia masih muda dan masih kuat.”

Sahira yang mendengar ucapan sang mama pun terkejut. 

“Apa yang Mama katakan? Mama ingin menjual Sahira?” 

“Kamu harus berguna untuk keluarga. Ikuti apa kata Mama dan semuanya akan selesai.” Vanita tetap pada keputusannya tidak memikirkan perasaan Sahira hancur. 

Dua laki-laki yang memegangi tangan Vanita pun pindah memegangi Sahira. Sahira memberontak mencoba melepaskan diri, tapi usahanya sia-sia. 

“Bisa tolong lepaskan saya dulu? Tiba-tiba perut saya mulas, saya janji tidak akan kabur,” kata Sahira, mulai tenang. 

Dua laki-laki yang memegangi tangan Sahira saling menatap lalu keduanya mengangguk secara bersamaan. 

Sahira menyelinap masuk ke kamarnya. Buru-buru mencari ponsel untuk menelepon satu nama yang tiba-tiba terlintas di pikirannya tadi. 

“Sha, aku boleh minta tolong sama kamu?” suara Sahira bergetar seperti sedang menahan tangis. 

“Kamu menangis?” Asha nampak khawatir. 

“Ada rentenir yang datang ke rumah untuk menagih hutang,” kata Sahira. 

“Astaghfirullah. Bagaimana bisa kamu meminjam uang sama rentenir, Sha? Kan aku sudah bilang kalau butuh apa-apa termasuk uang bilang aja sama aku.”

“Bukan aku, Ra, tapi Mama. Sekarang hutangnya sudah mencapai 15 juta beserta bunganya dan aku tidak punya uang sebanyak itu untuk melunasi hutang. Jika tidak segera melunasi hutang itu maka aku yang akan dibawa mereka.” Suara Sahira semakin bergetar. 

“Kamu tenang, masalah hutang biar aku saja yang melunasinya,” kata Asha. 

“Makasih banyak, Sha, kalau  tidak ada kamu, aku sudah dibawa sama mereka. Uangnya pasti akan aku ganti.”

“Tidak perlu diganti, Ra, aku tahu beban hidupmu sudah banyak. Anggap saja aku sedang membantu saudaraku dalam kesulitan.”

“Ra, kamu sudah banyak membantuku, semoga Allah membalas kebaikanmu berkali-kali lipat.”

“Aamiin. Sudah jangan menangis, sekarang masalahmu sudah selesai. Aku akan segera transfer uang itu.”

“Sekali lagi terima kasih, Sha.”

“Iya sama-sama.”

Setelah selesai bercakap dengan Asha melalui telepon, Sahira pun keluar. 

“Cepat telepon Bos kalian dan tanyakan utang atas mana Vanita sudah lunas atau belum!” perintah Sahira. 

Semuanya mendadak bingung termasuk Vanita. 

“Maksud kamu apa, Sahira?” tanya Vanita. 

Sahira hanya melirik sekilas dengan wajah datar. Sungguh, Sahira masih sakit hati dengan mamanya. 

“Bagus, utangnya sudah lunas. Masalah ini selesai. Dan untuk kamu, Vanita, jika tidak bisa membayar utang jangan sesekali meminjam pada rentenir atau kehidupan kamu akan sengsara seumur hidup,” ujar lelaki itu, lalu memberikan isyarat pada teman-temannya untuk meninggalkan tempat. 

“Kamu dapat uang sebanyak itu dari mana, Sahira?” tanya Vanita penasaran. 

“Bukan urusan Mama. Sekarang semua utang itu sudah lunas, Sahira berharap tidak ada rentenir selanjutnya yang datang ke rumah.”

“Makanya kamu cepat cari kerja supaya bisa memperbaiki ekonomi keluarga ini. Jangan diam terus di rumah, keluar hanya menghabiskan uang orang tua.”

“Memangnya siapa yang membayar utang Mama tadi? Sahira juga, ‘kan?” lalu Sahira berlalu pergi. 

***

“Assalamualaikum.” 

Asha mengetuk pintu rumah Sahira. Setelah pagi tadi mendengar kabar soal utang rentenir, sore harinya Asha memutuskan untuk main. 

 “Waalaikumsalam.” Sahira membuka pintu rumahnya lalu berkata dengan terkejut, “Loh, Asha, ke sini kok nggak bilang-bilang dulu sih? Ayo masuk ke dalam.”

Asha pun masuk ke rumah Sahira, seperti biasa mereka lebih memilih mengobrol di kamar Sahira agar tidak ada orang lain mendengar. 

“Tumben sekali kamu datang ke sini? Ada apa?” tanya Sahira. 

“Tidak, aku hanya ingin main saja. Bagaimana masalah utang itu?”

“Alhamdulillah, Asha, berkat kebaikan kamu semua hutang Mama lunas dan aku tidak jadi dibawa pergi,” jelas Sahira penuh rasa bahagia. 

“Syukurlah. Jadi, kamu sudah siap menikah dengan Mas Cakra, bukan?”

“Hah, maksud kamu apa? Sejak kapan aku setuju menikah dengan Cakra?” bingung dan terkejut bercampur menjadi satu. 

“Iya, uang 15 juta itu tidak gratis, Sahira, sebagai imbalannya kamu harus menikah dengan Mas Cakra untuk punya keturunan,” jelas Asha. 

Sahira menggelengkan kepalanya, tidak habis pikir Asha menjadi manusia tega seperti ini. “Asha, pikirkan dulu keputusan kamu itu matang-matang supaya tidak menyesal.”

Asha tersenyum. “Justru aku sudah memikirkan matang-matang.”

“Tidak Asha, aku tidak mungkin menikah dengan Cakra!” tolak Sahira, tegas. 

“Jika kamu tidak mau menikah dengan Mas Cakra, uang 15 juta yang sudah aku transfer kemarin kembalikan hari ini juga,” kata Asha. 

“Itu tidak mungkin, semua uang sudah aku serahkan pada orang kemarin.”

“Jika tidak bisa maka kamu harus mau menikah dengan Mas Cakra.”

“Lalu apa bedanya kamu dengan orang kemarin, Asha?” tatapan Sahira nampak kecewa karena yang ia pikir Asha sahabat yang baik, tapi justru membawanya dalam masalah. 

“Bukankah kita saling membutuhkan, Sa? Kamu membutuhkan uangku untuk membayar semua hutang orang tuamu dan aku membutuhkan rahimmu untuk melahirkan anak Mas Cakra.”

“Apakah semua orang ketika punya banyak uang akan lebih berkuasa? Bahkan ketidak berdayaanku bisa kamu beli dengan mudah, Sha.” Air mata Sahira mengalir deras tidak bisa lagi menutupi rasa kecewa itu pada sahabatnya. 

“Setelah kamu melahirkan setidaknya satu keturunan untuk Mas Cakra maka kamu dibebaskan. Aku juga tidak mau melihat suamiku menikah lagi, Sa, tapi kondisi yang membuatku harus mengambil jalan ini. Semua keputusan yang aku ambil tidak mudah.”

“Kamu membawa orang luar sepertiku masuk ke dalam masalahmu, Sha. Berpikirlah lebih jauh lagi, aku juga tidak mau merusak hubungan rumah tangga sahabatku sendiri. Aku tahu betul bagaimana dulu Cakra meminta restu orang tuamu yang sangat sulit. Aku juga tahu perjalanan kalian saat pacaran dulu tidak main-main.”

“Pilihanmu hanya dua, Sa; mengembalikan uang 15 juta itu hari ini atau menikah dengan Mas Cakra maka uang 15 juta itu aku anggap lunas.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status