Dengan satu gerakan halus tangan sang pelayan, lorong batu yang semula tertutup rapat perlahan membuka, menguak jalan rahasia seolah gua sendiri membuka hatinya. Dindingnya tidak lagi keras dan kelam—melainkan berpendar dengan semburat kehijauan yang berdenyut seperti nadi bumi. Akar-akar bercahaya menjuntai dari langit-langit, menggantung bagai lampion hutan purba. Beberapa bahkan tampak berpendar lembut saat disentuh oleh hembusan angin, menghasilkan kilau berwarna-warni bak kaca patri yang hidup.
“Astaga,” gumam Senala lirih, hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Si Manis di bahunya beringsut maju. Dua matanya membesar, menatap bola-bola cahaya kecil yang beterbangan, menari mengikuti langkah sang pelayan. Bola cahaya itu—entah roh, entah kunang-kunang purba—berpendar serempak setiap kali pelayan itu melangkah.
Langkah
Rimba bersama Cucu menghabiskan waktu berjuang bersama Raka, Wijaya dan orang-orang proletar Ragajaya. Berbagai gerilya sudah mereka lakukan. Pada waktu siang, malam, pagi buta, dini hari. Pada intinya, semua waktu yang disenarai tepat pasti akan mereka perjuangkan keberhasilannya.Hampir 36 purnama, seingat Rimba, mereka berdua bergerilya bersama pejuang GPBTTB. Kendati begitu, Rimba merasakan bahwa wilayah Ragajaya memiliki keanehan. Waktu terasa lambat di Ragajaya. Itu Rimba rasakan meskipun dia sendiri sulit untuk memastikan kebenarannya karena dia tidak memiliki pembandingnya. Tiga puluh enam purnama di Ragajaya mungkin seperdua kali lipat dari waktu purnama di Bukit Berkabut.Selain itu, makhluk-makhluk yang hidup di Ragajaya tergolong awet muda. Panjang umur. Rimba mengetahuinya tatkala bayi-bayi yang lahir lalu diculik oleh para pejuang, tetap berwajah bagaikan anak-anak meski sudah beberapa purnama mereka lalui di langit yang menaungi Ragajaya. Kejelian Rimba
Rimba termangu sembari mengelus cincin di salah satu jemari tangannya yang kanan. Masih dia di Lembah Rahasia ditemani Cucu. Semenjak peristiwa luar biasa dan beruntun yang dialaminya bersama Cucu, murid Calistung itu berusaha menerka-nerka mengapa semua itu terjadi kepada dirinya.Kehadirannya ke Lembah Rahasia adalah untuk mengobati luka hatinya yang remuk redam. Dengan meninggalkan Bukit Berkabut, Senala, dan semua yang membangkitkan kenyataan menyakitkan, dia berharap akan mampu menghabiskan sisa waktunya dan melupakan remuk redam di hati. Sungguh pun sulit, Rimba Rangkuti harus melakukannya.Cincin yang tersemat di jemari Rimba seperti mampu berkomunikasi dengan si pemakainya. Komunikasi internal yang terjadi antara Rimba Rangkuti dengan cincin itu membuat Rimba kian banyak memahami bagaimana cara memperlakukan cincin itu dengan sebaik-baiknya.“Aku
Baramundi berdiri diam di tengah kabut yang terus bergerak, seolah-olah Bukit Berkabut sendiri sedang bernapas. Jemarinya gemetar saat dia menyentuh gagang Golok Rajawali yang tergantung di pinggangnya. Selama ini, senjata itu hanya dia kenali sebagai alat bertarung—sebuah bagian dari dirinya yang terpisah dari ingatannya. Namun kini, sesuatu dalam dirinya bergetar, seakan-akan Golok Rajawali tidak sekadar baja yang ditempa untuk membunuh. Ia adalah saksi bisu dari malam yang merampas segalanya dari Salman Baramundi.Zulaika tetap di sisinya, menunggu tanpa mendesak. Dia tahu ingatan Baramundi tidak akan kembali dalam sekejap, tapi dia juga tahu bahwa lelaki itu sedang bergulat dengan sesuatu yang semakin mendekati kebenaran.Baramundi menatap ujung goloknya yang terbungkus sarung kulit tua. Kilasan-kilasan ingatan mulai muncul—kilat baja yang bersinggungan, suara dentingan yang mengisi udara, dan wajah seorang lelaki yang pernah menjadi musuh bebuyutannya.
Kabut di Bukit Berkabut semakin menebal, menyelimuti pohon-pohon tua yang berdiri kokoh di lereng bukit. Cahaya matahari merembes melalui celah-celah dedaunan, menciptakan kilasan-kilasan cahaya yang berpendar di antara embun yang masih menggantung di rerumputan. Udara di sekitar mereka basah, membawa aroma tanah yang bercampur dengan wangi dedaunan yang basah karena embun semalam.Baramundi berjalan perlahan, jejak langkahnya menghilang hampir seketika dalam tanah yang lembap. Di sisinya, Zulaika tetap melangkah sejajar. Cadar ungu yang menutupi wajahnya bergoyang lembut setiap kali angin berembus. Matanya tajam, bukan karena ketegangan, tetapi karena harapan—harapan bahwa di tempat ini, di saat ini, sesuatu akan berubah."Kau tahu," suara Zulaika melayang ringan di antara desiran angin, "Bukit Berkabut bukan hanya tempat bagi mereka yang mencari ilmu atau perlindungan. Calistung menceritakan hal itu kepadaku."Baramundi meliriknya sekilas. "Lalu tempat a
Kabut Bukit Berkabut semakin pekat, membungkus pohon-pohon tua dalam bayangan yang samar. Angin berembus pelan, mengusap lembut cadar ungu yang menutupi wajah Zulaika. Dia berjalan sejajar dengan Baramundi, tapi pandangannya tidak pernah benar-benar lepas dari lelaki itu."Baramundi," panggilnya lirih.Pendekar Golok Rajawali itu melangkah tanpa menoleh. Sejak mereka meninggalkan teras rumah, pikirannya terjebak dalam pusaran kenangan yang belum bisa dia pecahkan.Zulaika menghela napas lalu mempercepat langkahnya agar bisa sejajar dengannya. "Aku ingin bertanya sesuatu," katanya. Nada suaranya hati-hati dengan penuh harap.Baramundi akhirnya menatapnya sekilas, tapi hanya dengan sisa-sisa perhatian. "Apa itu?"Perempuan bercadar ungu itu menelan ludah, menimbang kata-kata yang tepat. "Kalikabur. Apa kau benar-benar tak mengingat apa pun tentang malam itu?"Langkah Baramundi terhenti. Ada sesuatu yang menusuk di dadanya—sesuatu yang be
Mamak Jambul dan Senala berpamitan kepada tuan rumah Bukit Berkabut. Urusan mereka berdua sudah selesai. Senala kelihatan berbeda ketimbang saat kedatangannya pertama kali ke Bukit Berkabut. Lekuk tubuhnya menjadi berisi. Setiap gerakannya tertata hati-hati. Nyaris ilmu Mamak Jambul sudah bersemayam, membuat Senala bukanlah Senala yang dulu lagi.Dengan bertengger di bahu kanan Senala, si Manis melambaikan tangan kepada Nenek Suyatim, Calistung, Baramundi dan Zulaika. Mamak Jambul dan Senala sudah pula saling berjabat tangan dengan mereka berempat. Punggung murid dan guru itu lama-kelamaan menghilang di balik pemandangan indah yang diselimuti kabut.Zulaika dan Baramundi memutuskan tetap berada di Bukit Berkabut. Mereka berdua mengikuti saran Calistung.“Lebih baik kalian berdua menenangkan pikiran selama beberapa waktu di sini.”“Ah, Calistung, urusan Senala sudah beres,” elak Baramundi menolak saran Calistung. “Sebaiknya, a