LOGIN
Suasana yang tenang lebih tenang dari biasanya, tidak. Lebih tepatnya seperti ini setiap hari orang-orang sudah sibuk melakukan rutinitasnya setiap hari ada yang pergi ke sawah, ke pasar, dan ada yang hanya berdiam diri di rumah. Namun, di rumah kecil ini aku hanya sendirian karena baru saja menyelesaikan semua tugasku yang ku awali dari subuh tadi. Rutinitas seperti ini sudah biasa ku jalani, terlahir dengan keadaan di mana aku harus menghidupi diriku sendiri dikarenakan kedua orang tuaku sudah tidak ada dan tumbuh melalui belas kasih orang lain, membuatku harus berhenti menerima uluran tangan dari orang-orang di sekitarku. Pagi ini dengan udara yang masih sejuk terlihat ibu-ibu yang sedang sibuk menata dagangannya di pasar, sementara anak-anak berlarian menikmati udara pagi yang masih sejuk, dan para petani berjalan ke sawah.
Hari ini di antara hiruk pikuk itu, waktunya aku berlatih di sanggar milik keraton yang tidak jauh dari rumah sebagai penari lepas cara ini merupakan satu-satunya yang dapat ku lakukan agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejujurnya menjadi penari di keraton sangatlah sulit dan seleksinya cukup ketat, maka dari itu aku hanyalah cadangan dapat dikatakan sebagai penari panggilan untuk acara-acara tertentu. Terkadang pekerjaan ini membuatku sedikit khawatir karena upah yang kudapatkan berbeda dengan penari tetap, tapi inilah satu-satunya cara untuk menyambung hidup. Tidak terasa kakiku sudah sampai di sanggar. Suasana di sanggar hari ini cukup ramai rasanya sedikit mengobati rasa sepiku yang hidup sendiri. Bersama mereka, aku seperti memiliki keluarga karena mereka cukup baik denganku.
“Danastri kali ini kita akan menarikan tari Bedhaya Semang,” ucap Ratih salah satu penari tetap keraton dan orang yang selalu menyapaku setiap datang ke keraton.
“Untuk acara besar kah?” tanyaku sambil membenarkan selendangku. “Betul sekali, kali ini pagelaran yang disuguhkan dari keraton sangat istimewa dan kamu harus tahu jika para bangsawan maupun ningrat akan menonton kita,” tambah Ratih yang sangat bersemangat dan aku tersenyum.
“Ayo semuanya kita mulai berlatih,” ucap Manik ketua tari dan orang kepercayaan keraton yang mengurus acara budaya memulai latihan dan memberi pengumuman terkait acara yang digelar di keraton.
Setelah selesai kegiatan menari, aku memutuskan untuk pulang. Latihan hari ini terasa lebih berat berulang kali aku menarik napas saat Manik memberikan arahan menari tadi. Di sepanjang jalan aku memikirkan berbagai hal dalam waktu 2 minggu lagi acara pagelaran dari keraton akan dilaksanakan, sebenarnya bukan pertama kali aku menari di keraton hanya saja kali ini lebih meriah dari biasanya membuatku sedikit berdebar apalagi semua bangsawan akan diundang ke acara itu.
“Danastri...Danastri....” panggil seseorang ta ku dengar sampai akhrinya ada yang menepuk bahuku pelan.
“Atma, kamu mengagetkanku saja!” teriakku sambil memegangi selendangku dengan kuat dan hampir saja memukuli Atma. Atma adalah temanku dari kecil, keluarganya menganggapku sebagai anaknya meskipun keluarga Atma bukanlah keturunan bangsawan atau ningrat, tapi keluarga mereka termasuk jajaran orang kaya. Atma adalah sahabatku dan keluargaku satu- satunya.
“Hahaha, begitu saja kaget. Payah,” ucap Atma mengejekku, “Kurang ajar tentu saja aku kaget kamu tiba-tiba turun dari pohon mangga seperti monyet.”
“Jika aku monyet kamu juga monyet, Danastri.” Atma mencibir, sambil menjulurkan lidahnya. Kemudian, Atma menarik hidungku dengan kencang dan tanpa kata aku mengejarnya yang sudah berlari menjauh dariku.
“Atma aku membencimu, berani sekali kamu berbicara seperti itu!” teriakku, sedangkan laki-laki itu semakin menjadi mengejekku tanpa lama aku mengambil batu di dekatku dan melemparnya sampai menyentuh punggungnya.
“Kurang ajar kamu Danastri. Ini namanya penyiksaan anak gila,” keluh Atma yang tersungkur di bawah tanah dan aku memandangnya dari atas sambil menjulurkan lidah.
“Siapa yang menyuruhmu berani denganku Atmajaya?” tanyaku sambil membantunya berdiri.
“Denganmu saja kenapa aku harus takut? Apa kamu tidak tahu aku harus bisa melindungimu dari marabahaya?”
“Ya, terima kasih sudah mau melindungiku, tapi aku masih bisa menjaga diriku dengan baik.” Atma hanya tersenyum dan mengacak rambutku pelan.
“Kamu mau mangga?” tanyanya sambil tersenyum usil dan aku tahu sore ini akan melakukan hal gila bersama Atma.
“Stt...diam saja jangan berisik,” ucap Atma yang sudah berada di pohon mangga. Jujur saja aku ingin naik ke sana, tapi pakaian ini sangat sulit untuk melakukan hal itu. Atma yang sepertinya menyadari hal itu menarik tanganku membantu untuk naik.
“Sulit sekali bodoh,” aku memarahi diriku sendiri yang tak kunjung dapat naik ke atas. “Pegang ranting itu bodoh dengan begitu kamu dapat naik,” ucap Atma setengah berbisik.
“Siapa yang kamu katakan bodoh, Atma?” tanyaku dengan melotot tidak terima, tapi tetap saja aku mendengarkan sarannya.
“Begitu saja kamu tidak bisa, Danastri. Ayo makan ini.” Atma menyerahkan mangga ke depan mulutku sebelum aku berbicara lebih banyak lagi.
Pohon mangga ini sebenarnya milik keluarga Asmoro yang merupakan saingan terbesar dan musuh bebuyutan keluarga Atma. Atma sering sekali mengambil mangga milik keluarga itu meskipun nanti ketahuan yang akan maju membela Atma adalah kepala keluarga di rumahnya, Dharma. Ayah dari Atma yang merupakan tandingan dari Asmoro, aku tidak tahu jelas sebenarnya duduk perkara dari kedua keluarga ini yang jelas keluarga Asmoro sering merendahkan keluarga Atma dan cara yang bisa dilakukan Atma adalah mengambil buah- buahan di belakang rumah Asmoro.
“Mereka memang menyisakan untuk kita atau bagaimana?” tanyaku sambil sibuk memakan buah itu dengan nikmat.
“Tentu saja tidak mungkin–”
“Anak setan berani-beraninya kalian makan dengan santai di pohon manggaku.” Ya, suara itu milik Asmoro. Orang itu baru saja keluar dari pintu belakang dan melihat kami di atas pohon mangga sambil menikmati mangga yang ditanam dari zaman nenek moyangnya.
“Bagaimana ini, Atma.” Panikku yang ku tatap laki-laki itu mengambil beberapa mangga lagi.
“Turun kalian sekarang, hari ini kalian harus diadili massa karena mencuri manggaku!” Teriak Asmoro sambil membawa tongkat panjang ingin memukuli kami berdua.
“Lihat, memangnya kami peduli. Manggamu ini paling sebentar lagi akan mati karena tersambar petir hahaha...benar kan, Danastri?” ucap Atma dengan enteng, sedangkan pria tua itu sudah mengepalkan tangannya.
“Anak gila bagaimana bisa kamu mengatakannya semudah itu padahal kamu memang mencuri,” ucapku berbisik sambil memukuli lengannya di satu sisi Asmoro pemilik mangga ini masih marah-marah sambil mengacungkan tongkat bambu ke arah kami.
“Tenanglah, Danastri jangan panik,” ucap Atma seperti tanpa beban, “Berisik sekali orang satu ini, apa keluargamu tidak sadar menjadi omongan tetangga karena pelit jika diminta mangga? Kamu tidak tahu?”
“Si-sialan, bocah sialan. Lihatlah bapakmu itu–”
“Kenapa bapakku? Tampankan?” balas Atma cepat. “Berhenti membawa bapakku, sampai kapan Pakdhe akan cemburu dengan bapakku?”
Aku tidak tahu sejak kapan, hanya saja kini rumahku menjadi perkumpulan ketiga orang ini, Atma, Barga, dan Manik. Setelah ku ingat-ingat dulu Atma sering sekali bertengkar dengan Barga dan menyuruhku menjauhinya, tapi lihat kini mereka berteman seperti tidak pernah melempari jagung satu sama lain.“Jadi Danastri, apa kamu ikut dengan kami?” tanya Barga setelah menghidupkan rokoknya.“Pergi kemana?”“Tentu saja, pasar malam!” seru Atma antusias sambil melirik ke Manik.“Ayo, Danastri. Akan sangat menyenangkan jika kita pergi bersama,” pinta Manik memohon.“Atma, ini semua akal-akalanmu, kan? Agar kamu bisa pergi bersama Manik,” ucapku sambil menyipitkan mata dan Atma bersiul-siul menatap pintu luar.“Danastri, aku sudah lama sekali tidak pergi denganmu...aku janji akan membelikan apapun yang kamu mau,” tawar Barga yang tetap saja tidak menarik dimataku, dia pikir aku perempuan yang hanya ingin uangnya.“Ayo, Danastri. Tidak mungkin kamu tega membiarkanku bersama dua laki-laki kurang wa
Mataku menemukan wanita menggunakan pakaian berwarna putih bersama salah satu dayang keraton, semua yang ada di keraton terlihat lebih indah saat ada wanita itu mungkin dia salah satu alasan raja berani memperjuangkan cintanya. Selir Kahiyang. Dia tesenyum lembut menatapku dan mendekatiku, rasanya aku tidak sudi memberikan hormat pada orang ini setelah mendengar semua cerita kebenaran tentang orang tuaku.“Namamu tadi siapa? Aku sedikit lupa,” tanya Selir Kahiyang setelah berada di depanku, aku tidak mau melihat wajahnya benar-benar tidak sudi melihatnya.“Da-Danastri.”“Kamu tumbuh dengan baik dan mirip sekali dengan Kinasih, sangat cantik,” pujinya yang memegang daguku dengan cepat aku langsung bersimpuh memberikan hormat.“Maaf, saya belum memberikan salam. Perkenalkan saya Danastri penari keraton bersama Manik,” ujarku yang sepertinya orang itu cukup terkejut dengan reaksiku langsung menjauhinya.“Berdirilah, Danastri. Aku hanya ingin melihatmu,” ujarnya dan dengan berat hati aku
Sesaat setelah aku selesai menjemur pakaian di luar, aku dikejutkan oleh Manik yang menungguku tidak jauh dari tempatku. Wajahnya yang entah menurutku setelah pertengkaranku dengan Ambar dan Suci, wajah Manik lebih lembut atau mungkin karena hubungannya kembali membaik dengan Atma.“Ayo, Danastri,” ajaknya, “Kemana, Manik?” tanyaku yang ku dapati wajahnya sedikit was-was.“Keraton.”“Untuk apa aku kesana? Aku sudah mengatakan padamu tidak akan kembali ke sana,” tolakku yang langsung ingin masuk rumah, tapi tertahan karena lenganku dipegang dengan erat.“Aku tahu...tapi bukan untuk menari melainkan undangan perjamuan dari Ratu.”Mataku membulat sempurna benar-benar enggan untuk pergi, “Tidak, aku tidak mau,” tolakku keras.“Danastri, kamu tidak bisa menolaknya. Kita hanya makan setelah itu pulang,” jelas Manik sambil menyeretku untuk mengikutinya, tapi aku masih kekeuh dengan pendapatku.“Aku tidak mau, Manik. Lepaskan aku!”Manik berhenti dan menatapku sepenuhnya menemukan wajahku yan
Kakikku rasanya terpaku di bumi tidak bisa ku gerakkan, aliran darahku seperti memompa lebih cepat. Dadaku sangat sakit mengingat semua cerita kebenaran tentang keluargaku dan kini penyebab dari masalah ini semua ada di sini di dekatku. Derap langkahnya semakin mendekat, tapi sialnya sangat sial kakikku tidak bisa bergerak. Ku tundukkan leherku dan berusaha sekuat tenaga agar bisa menggerakan kakiku untuk cepat pergi.“Danastri, ada apa?” tanyanya yang mencoba memegang lenganku, “Jangan sentuh aku!” teriakku yang mana dia bisa melihat pelupuk mataku menggenang air dan pergi begitu saja.“A-astaga ada apa dengan anak itu, Raden?” tanya Wardi yang sama terkejutnya mendapati aku seperti itu. Di satu sisi Raden Kaningrat merasa ada yang tidak beres denganku. Malam hari saat aku tertidur aku bermimpi bertemu bapak dan ibu, di sana kami sedang berada di rumah yang mungkin milik keluarga bapak dulu. Suasananya sangat hangat, aku bisa mengetahui wajah bapak meskipun d
Hari-hari berikutnya aku menikmati hidupku sebagai orang yang sudah tidak bekerja di sanggar tari, keputusan itu akhirnya diizinkan oleh keluarga Atma mereka membiarkanku untuk menenangkan diri. Dan pekerjaanku sekarang membantu bapak mengurusi pasokan pangan terkadang membantu ibu membatik untuk di jual di pasar atau dikirim ke tengkulak untuk dijual kembali.“Danastri.” Suaranya membuatku menoleh setelah menyerahkan kain batik pesanan ke pasar dan dengan cepat aku belari menjauhi orang tersebut yang terlihat bingung mendapati reaksiku tidak seperti biasanya.“Danastri ada apa?” tanya Atma yang tidak jauh denganku melihatku sudah berlari pulang, tidak lama matanya berhasil menemukan seseorang yang dia kenal. Wajahnya sangat sumringah mendapati seseorang mendekatinya dengan cepat.“Ma-”“Atma, apa yang sebenarnya terjadi? Sudah dua minggu ini Danastri tidak datang ke sanggar. Apa dia masih sakit?” tanya Manik tecetak jelas di wajahnya penuh kekhawatiran. Tangan kanannya penuh membawa
Sayup-sayup aku bisa mendengar suara anak-anak sedang bermain di luar, dunia yang sangat berbeda denganku saat ini. Air mataku yang tak kunjung berhenti, dan rasa buah-buah ini seperti hilang dari indera perasaku bahkan tenggorokanku masih tercekat karena emosiku sendiri. Ku letakkan pisang yang tidak bisa ku telan lagi dan aku mulai membenci buah pisang tanpa alasan jelas.“Kadang kita diberikan hal-hal yang tidak bisa kita ketahui alasannya, kamu hanya bisa memilih, Danastri,” ucap Pakdhe Asmoro lebih lembut dari biasanya. “Hidup dengan perasaan menerima dan memaafkan mereka atau mengisinya dengan dendam serta amarah...pilihlah itu Danastri untuk kehidupanmu sendiri,” lanjutnya yang membuatku kesal.“Bagaimana bisa aku hidup seperti itu? Setelah semua yang terjadi dan aku baru mengetahuinya setelah usia 24 tahun, aku harus bersikap seolah tidak terjadi apa-apa, Pakdhe.”“Kehilangan orang yang bahkan belum pernah ku temuin karena perbuatan orang lain, sangatlah menyakitkan, Pakdhe.







