Share

Romansa Rapshodi
Romansa Rapshodi
Author: Petra Vie

BAB 1

Author: Petra Vie
last update Last Updated: 2025-03-10 11:24:28

       Suasana yang tenang lebih tenang dari biasanya, tidak. Lebih tepatnya seperti ini setiap hari orang-orang sudah sibuk melakukan rutinitasnya setiap hari ada yang pergi ke sawah, ke pasar, dan ada yang hanya berdiam diri di rumah. Namun, di rumah kecil ini aku hanya sendirian karena baru saja menyelesaikan semua tugasku yang ku awali dari subuh tadi. Rutinitas seperti ini sudah biasa ku jalani, terlahir dengan keadaan di mana aku harus menghidupi diriku sendiri dikarenakan kedua orang tuaku sudah tidak ada dan tumbuh melalui belas kasih orang lain, membuatku harus berhenti menerima uluran tangan dari orang-orang di sekitarku. Pagi ini dengan udara yang masih sejuk terlihat ibu-ibu yang sedang sibuk menata dagangannya di pasar, sementara anak-anak berlarian menikmati udara pagi yang masih sejuk, dan para petani berjalan ke sawah.

        Hari ini  di antara hiruk pikuk itu, waktunya aku berlatih di sanggar milik keraton yang tidak jauh dari rumah sebagai penari lepas cara ini merupakan satu-satunya yang dapat ku lakukan agar dapat memenuhi kebutuhan sehari-hari. Sejujurnya menjadi penari di keraton sangatlah sulit dan seleksinya cukup ketat, maka dari itu aku hanyalah cadangan dapat dikatakan sebagai penari panggilan untuk acara-acara tertentu. Terkadang pekerjaan ini membuatku sedikit khawatir karena upah yang kudapatkan berbeda dengan penari tetap, tapi inilah satu-satunya cara untuk menyambung hidup. Tidak terasa kakiku sudah sampai di sanggar. Suasana di sanggar hari ini cukup ramai rasanya sedikit mengobati rasa sepiku yang hidup sendiri. Bersama mereka, aku seperti memiliki keluarga karena mereka cukup baik denganku.

“Danastri kali ini kita akan menarikan tari Bedhaya Semang,” ucap Ratih salah satu penari tetap keraton dan orang yang selalu menyapaku setiap datang ke keraton.

“Untuk acara besar kah?” tanyaku sambil membenarkan selendangku. “Betul sekali, kali ini pagelaran yang disuguhkan dari keraton sangat istimewa dan kamu harus tahu jika para bangsawan maupun ningrat akan menonton kita,” tambah Ratih yang sangat bersemangat dan aku tersenyum.

“Ayo semuanya kita mulai berlatih,” ucap Manik ketua tari dan orang kepercayaan keraton yang mengurus acara budaya memulai latihan dan memberi pengumuman terkait acara yang digelar di keraton.

       Setelah selesai kegiatan menari, aku memutuskan untuk pulang.  Latihan hari ini terasa lebih berat berulang kali aku menarik napas saat Manik memberikan arahan menari tadi. Di sepanjang jalan aku memikirkan berbagai hal dalam waktu 2 minggu lagi acara pagelaran dari keraton akan dilaksanakan, sebenarnya bukan pertama kali aku menari di keraton hanya saja kali ini lebih meriah dari biasanya membuatku sedikit berdebar apalagi semua bangsawan akan diundang ke acara itu.

“Danastri...Danastri....” panggil seseorang ta ku dengar sampai akhrinya ada yang menepuk bahuku pelan.

“Atma, kamu mengagetkanku saja!” teriakku sambil memegangi selendangku dengan kuat dan hampir saja memukuli Atma. Atma adalah temanku dari kecil, keluarganya menganggapku sebagai anaknya meskipun keluarga Atma bukanlah keturunan bangsawan atau ningrat, tapi keluarga mereka termasuk jajaran orang kaya. Atma adalah sahabatku dan keluargaku satu- satunya.

“Hahaha, begitu saja kaget. Payah,” ucap Atma mengejekku, “Kurang ajar tentu saja aku kaget kamu tiba-tiba turun dari pohon mangga seperti monyet.”

“Jika aku monyet kamu juga monyet, Danastri.” Atma mencibir, sambil menjulurkan lidahnya. Kemudian, Atma menarik hidungku dengan kencang dan tanpa kata aku mengejarnya yang sudah berlari menjauh dariku.

“Atma aku membencimu, berani sekali kamu berbicara seperti itu!” teriakku, sedangkan laki-laki itu semakin menjadi mengejekku tanpa lama aku mengambil batu di dekatku dan melemparnya sampai menyentuh punggungnya.

“Kurang ajar kamu Danastri. Ini namanya penyiksaan anak gila,” keluh Atma yang tersungkur di bawah tanah dan aku memandangnya dari atas sambil menjulurkan lidah.

“Siapa yang menyuruhmu berani denganku Atmajaya?” tanyaku sambil membantunya berdiri.

“Denganmu saja kenapa aku harus takut? Apa kamu tidak tahu aku harus bisa melindungimu dari marabahaya?”

“Ya, terima kasih sudah mau melindungiku, tapi aku masih bisa menjaga diriku dengan baik.” Atma hanya tersenyum dan mengacak rambutku pelan.

“Kamu mau mangga?” tanyanya sambil tersenyum usil dan aku tahu sore ini akan melakukan hal gila bersama Atma.

“Stt...diam saja jangan berisik,” ucap Atma yang sudah berada di pohon mangga. Jujur saja aku ingin naik ke sana, tapi pakaian ini sangat sulit untuk melakukan hal itu. Atma yang sepertinya menyadari hal itu menarik tanganku membantu untuk naik.

“Sulit sekali bodoh,” aku memarahi diriku sendiri yang tak kunjung dapat naik ke atas. “Pegang ranting itu bodoh dengan begitu kamu dapat naik,” ucap Atma setengah berbisik.

“Siapa yang kamu katakan bodoh, Atma?” tanyaku dengan melotot tidak terima, tapi tetap saja aku mendengarkan sarannya.

“Begitu saja kamu tidak bisa, Danastri. Ayo makan ini.” Atma menyerahkan mangga ke depan mulutku sebelum aku berbicara lebih banyak lagi.

       Pohon mangga ini sebenarnya milik keluarga Asmoro yang merupakan saingan terbesar dan musuh bebuyutan keluarga Atma. Atma sering sekali mengambil mangga milik keluarga itu meskipun nanti ketahuan yang akan maju membela Atma adalah kepala keluarga di rumahnya, Dharma. Ayah dari Atma yang merupakan tandingan dari Asmoro, aku tidak tahu jelas sebenarnya duduk perkara dari kedua keluarga ini yang jelas keluarga Asmoro sering merendahkan keluarga Atma dan cara yang bisa dilakukan Atma adalah mengambil buah- buahan di belakang rumah Asmoro.

“Mereka memang menyisakan untuk kita atau bagaimana?” tanyaku sambil sibuk memakan buah itu dengan nikmat.

“Tentu saja tidak mungkin–”

“Anak setan berani-beraninya kalian makan dengan santai di pohon manggaku.” Ya, suara itu milik Asmoro. Orang itu baru saja keluar dari pintu belakang dan melihat kami di atas pohon mangga sambil menikmati mangga yang ditanam dari zaman nenek moyangnya.

“Bagaimana ini, Atma.” Panikku yang ku tatap laki-laki itu mengambil beberapa mangga lagi.

“Turun kalian sekarang, hari ini kalian harus diadili massa karena mencuri manggaku!” Teriak Asmoro sambil membawa tongkat panjang ingin memukuli kami berdua.

“Lihat, memangnya kami peduli. Manggamu ini paling sebentar lagi akan mati karena tersambar petir hahaha...benar kan, Danastri?” ucap Atma dengan enteng, sedangkan pria tua itu sudah mengepalkan tangannya.

“Anak gila bagaimana bisa kamu mengatakannya semudah itu padahal kamu memang mencuri,” ucapku berbisik sambil memukuli lengannya di satu sisi Asmoro pemilik mangga ini masih marah-marah sambil mengacungkan tongkat bambu ke arah kami.

“Tenanglah, Danastri jangan panik,” ucap Atma seperti tanpa beban, “Berisik sekali orang satu ini, apa keluargamu tidak sadar menjadi omongan tetangga karena pelit jika diminta mangga? Kamu tidak tahu?”

“Si-sialan, bocah sialan. Lihatlah bapakmu itu–”

“Kenapa bapakku? Tampankan?” balas Atma cepat. “Berhenti membawa bapakku, sampai kapan Pakdhe akan cemburu dengan bapakku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Romansa Rapshodi   BAB 11

    “Atma! Aku tidak ingin menikah denganmu, kita ini sahabat yang sudah seperti keluarga. Mana mungkin aku mau menikah denganmu, kamu tidak mungkin menyukaiku, kan?” panikku dan berhasil membuatnya tertawa senang.“Ibu...Ibu dengar Danastri tidak mau menikah denganku hahaha.”“Danastri, Masmu Atma hanya bercanda saja. Dia hanya menggodamu jangan terlalu dipikirkan,” ucap Terta, ibu Atma yang duduk mendekatiku. Atma memang dua tahun lebih tua dariku dan biasanya orang-orang di sekitar kami diusia seperti Atma sudah menikah. Namun, keluarga Atma membebaskan Atma untuk menikah umur berapa saja hanya saja pikiran Atma adalah dia tidak akan menikah sebelum aku menikah.“Ini kamu makan,” ucap Ibu Terta memberikan sepiring makanan berisi lauk, nasi, dan sayur untuk ku makan.“Atma berhentilah makan mangga, sehari ini kamu sudah makan mangga lima kali. Lihatlah mulutmu sudah penuh dengan sisa mangga,” tambahnya memperingati anak semata wayangnya itu.“Baru lima buah, masih ada delapa

  • Romansa Rapshodi   BAB 10

    Aku menghela napas panjang rasanya seperti bisa bernapas lega sekali akhirnya mereka percaya aku tidak melakukan hal buruk. Aku sangat senang sekali, besok bisa bekerja lagi. Namun, ada satu hal yang ku lupakan masalah baru.“Danastri!” teriaknya mendekatiku, “Sekarang bagaimana dengan semua manggaku? Aku sudah membantumu menyelesaikan masalahmu,” lanjutnya dengan suara emosi.“Memang Pakdhe yang harus bertanggungjawab dengan masalahku kemarin, jika saja Pakdhe tidak menyimpulkan sesuatu dengan cepat dan mengundang dukun beranak berandalan itu, mangga Pakdhe akan baik-baik saja,” jawabku cepat tidak ingin kalah.“Tap-““Dan tadi aku sudah mengajak Pakdhe dengan nada halus dan sopan, tapi Pakdhe sendiri tidak mau turun jika ku paksa. Pakdhe hanya akan sibuk panen mangga dan menanggapku tidak ada di sana,” lanjutku memotong ucapannya sebelum mengomel lebih jauh.“Tapi tetap saja caramu salah!”“Lalu caranya seperti apa?!” teriakku yang sedikit menantang, terlihat Pakdhe Asmoro terdiam ti

  • Romansa Rapshodi   BAB 9

    Hari ini sehari setelah kejadian Pakdhe Asmoro membawakan dukun beranak itu datang ke rumah, tersiar kabar yang entah-entah. Banyak orang yang beranggapan aku melakukan perbuatan tercela. Bahkan sekarang dihadapan teman-teman penari mereka menanyaiku macam-macam.“Buktikan jika tidak, Danastri...Kalau memang kamu melakukannya kamu harus mundur dari pekerjaan ini. Aku beri waktu sampai nanti siang datanglah ke pendopo putri!” perintah Manik yang tidak mengizinkanku untuk ikut menari. Ucapan Manik masih terngiang-ngiang di otakku, kehilangan pekerjaan yang benar-benar ku sukai sejak kecil bukanlah hal yang mudah. Hidupku hancur jika harus berhenti menjadi penari dan ini semua karena satu orang yang harus bertanggung jawab mengembalikan nama baikku di depan semua orang.“Pakdhe Asmoro!” teriakku di kebun belakang rumahnya yang membuatnya hampir terjatuh dari pohon mangga.

  • Romansa Rapshodi   BAB 8

    “A-anu...bukan begitu maksudku,” ucapku merasa malu dan bingung, “Jadi maksudmu Raden Kaningrat tidak tampan?!” tanya Wardi yang tidak terima.“Tentu saja dia tampan!” jawabku setengah berteriak dan membuat kami berdua melirik ke Kaningrat yang terdiam membeku dengan wajah merah sekali.“Ra-raden?” tanya Wardi sambil menggoyangkan tubuh Kaningrat, sedangkan aku yang panik langsung berdiri.“A-a...aku...pamit dulu, terima kasih banyak atas makannya,” pamitku yang berlari menyadari ucapanku tadi benar-benar tidak pantas untuk dikeluarkan. Aku berlari sejauh mungkin saat ini aku benar-benar malu mengingat ucapanku yang mengatakan bahwa Kaningrat sangat tampan di depan orangnya langsung. Semua ini karena Wardi yang menanyaiku macam-macam, entah perasaan apa saat ini jantungku rasanya aneh. Langkahku berhenti tidak jauh dari rumah, sem

  • Romansa Rapshodi   BAB 7

    Ku rebahkan diriku di atas ranjang setelah pulang dari sungai, pikiranku melayang cukup jauh untuk mencerna semua peristiwa hari ini. Seorang penari tiba-tiba makan bersama seorang ningrat dan cukup akrab untuk berbicara. Selama memikirkan itu semua tidak terasa mataku cukup berat sampai akhirnya terlelap untuk tidur. Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa meskipun sekarang saat pergi mencuci ke sungai mereka sudah tidak lagi mengejekku, kehidupanku cukup tenang selama seminggu ini tidak ada masalah sama sekali. Aku juga masih rutin datang ke keraton untuk latihan dan selama ini aku tidak pernah bertemu dengan Kaningrat, entah dia di mana mungkin saja sedang menikmati kehidupannya di luar keraton.“Kita istirahat sebentar!” perintah Manik setelah kami berlatih, aku merapikan kain selendangku.“Hah...aku cukup lelah, Danastri,” ucap Mirah yang duduk sambil mengipasi dirinya menggunakan selendang.“Aku pun,” ucapku yang kemudian beralih melihat sekitar sampai mataku mel

  • Romansa Rapshodi   BAB 6

    Sepanjang jalan aku masih mengomel sendiri karena tidak percaya apa yang terjadi sampai akhirnya seseorang muncul begitu saja di depanku, menatapku seperti aku melakukan kesalahan fatal. Aku mencoba mengingatnya sebentar dan astaga sejak tadi aku berjalan di depan seorang Raden.“Maaf...maafkan aku, Raden. Aku terlalu emosional dan lupa bahwa seharusnya aku tidak boleh lancang berjalan di depan, Raden. Sekali lagi tolong maafkan aku,” ucapku berkali-kali setelah menemukan Kaningrat berada di sana menatapku datar.“Raden seharusnya kita menghukum anak tidak tahu tata krama ini,” ujar abdi dalem yang sepertinya selalu bersamanya. Aku menunduk tidak berani menatap siapapun, sial. Hari ini benar sial, aku bisa dibawa ke keraton untuk diadili.“Raden,” Kaningrat mendekatiku dan dia mengeluarkan suara khas menahan tawa. Aku dan abdi dalem itu menatap satu sama lain karena mendengar Kaningrat sudah tidak bisa menahan suaranya lagi.“Raden Kaningrat anda tidak apa-apa? Maaf Raden saya tinggal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status