“Aduh! Sakit! Lepaskan, John!” pekik Lisa. Lengan cewek muda itu ada yang menahan kasar. Lisa mencoba melepaskan diri. Ia menoleh dengan membeliakkan kedua matanya yang bulat indah. Ingin rasanya mendamprat seseorang yang menahan langkahnya. Paling-paling si gembel anak magang dengan seragam buluk. “Awas kamu! Aku laporin ke manaje – Alfin!?”
Muka Alfin dingin. Rahangnya mengeras. Tatapannya datar. Kentara sekali ia tidak menyukai kehadiran Lisa malam itu. Belum lagi tingkahnya yang keterlaluan. Jessie masih membawa tumpukan mantel dan sweater milik Lisa.
John Burgundy masih diam saja. Ia belum tahu bagaimana harus bereaksi.
“Alfin!?” Lisa sangat terkejut. “Kapan kamu datang? Eh kamu di sini juga?” tanyanya gugup. “Mau makan malam sama aku?”
“Lisa!?” tegur John gusar. Suaranya teredam mulut yang memanggil dengan tertutup. “Kamu ke sini datang sama aku.”
“Tingkah lakumu masih juga belum berubah.” Alfin tak banyak bicara lagi. “Jessie ini tamuku. Kam
Jessie mencoba menerima kenyataan. Ia bertemu Mommy – yang sebelumnya selalu dipanggil tante. Mereka berpelukan. Belum seerat hubungan ibu dan anak, tapi lumayan, lah. Mommy legawa Jessie tetap tinggal bersama Om dan Tante Clarrisa.“Kalau kangen datang ke sini, Sayang,” kata Mommy. “Kalau senggang, menginap ke sini sangat ditunggu.”“Ya, Mommy,” jawab Jessie.Tante Clarrisa menjelaskan semuanya. Bagaimana bisa Jessie dirawat dan dibesarkan Om dan Tante.Beberapa bulan sebelum Jessie lahir, Papi ketahuan selingkuh. Papi semena-mena. Lebih memilih perempuan simpanannya yang masih muda. Masih kinyis-kinyis. Semua aset perusahaan dibawa pergi. Hanya menyisakan rumah untuk Mommy.Mommy kaget. Ia memulai usaha dari nol. Mulanya dari usaha pre-loved. Gaun-gaun mahal yang baru dipakai sekali dijual. Demi mendapat uang mencukupi kebutuhan hidup. Saudara berusaha membantu. Uang-uang pemberian itu habis dalam sekejap untuk membayar hutang.Jessie lahir. Mom
Jessie belum juga bisa tidur. Om Wisman malah semakin terbayang-bayang di benaknya. Bagaimana mereka bertemu beberapa tahun lalu kembali melintas hadir. Pertama kali bertemu, Jessie sudah dewasa. Secara usia. Om Wisman, lah, yang kemudian memberinya kedewasaan lebih. Secara fisik.Apakah kamu tahu apa artinya?Ingatan Jessie kembali melompat ke beberapa tahun yang lalu. Waktu itu gadis itu sedang sibuk-sibuknya menyusun tugas akhir. Ia banyak menghabiskan waktu di perpustakaan kampus. Di rumah pun sering di dalam kamar. Keinginannya adalah segera lulus. Rumah Tante Clarrisa semakin tidak nyaman untuk dihuni. Menetap di rumah Mommy hanya akan membuatnya canggung.Jessie memutuskan untuk tetap di rumah Tante Clarrisa. Bagaimana pun kamarnya adalah tempat paling nyaman untuk dihuni. Bisa konsentrasi mengerjakan skripsi.“Tokk, tokk, tokkk.”Jessie menoleh. Tidak ada orang lain di rumah kecuali Tante Clarrisa. “Ya, Tante. Silakan masu
Om Wisman menyukai Jessie sejak pertama kali melihat anak perempuan Om dan Tante Clarrisa itu datang memenuhi undangan makan malam. Sebuah private dinner di resto Jepang. Hanya kolega yang diundang beserta keluarganya yang bisa datang.Ia menyukai gadis muda tersebut. Jessie tinggi dan langsing. Kulitnya kuning langsat dan kencang. Sepertinya gadis itu agak pendiam. Tapi ia bisa membawa diri dengan baik. Tahu kapan waktu yang tepat untuk tertawa. Tahu kapan ia bisa asyik sendiri dengan ponselnya.Om Wisman sudah tahu kalau sebenarnya Jessie adalah anak perempuan Mommy. Clarrisa membesarkan Jessie karena memang tak punya anak. Juga untuk membantu adik iparnya yang sedang kesulitan.Laki-laki paruh baya itu menunggu waktu yang tepat. Ia sangat ingin mengencani Jessie. Akhirnya saat yang ditunggu-tunggu tiba. Keluarga Clarrisa morat-marit. Suaminya tertangkap atas kasus korupsi. Belum lagi juga terjerat hutang. Wisman sudah menghitung semuanya. Suami Clarrisa meman
Jessie bangun pagi dengan kondisi bersimbah air mata. Ia lupa mimpi apa tapi yang pasti mimpinya tidak menyenangkan. Samar ia teringat ada Om Wisman dalam mimpinya. Om Wisman yang terkekeh-kekeh sembari menanggalkan satu demi satu pakaiannya. Om Wisman yang mengecup-ngecup kecil bahunya yang ramping.Bayangan buruk itu belum juga pergi. Setahun sudah berlalu, setahun sudah Jessie mencoba menerima kehadiran Om Wisman, perasaannya masih saja ingin berontak. Marahnya ingin dikeluarkan. Tapi keadaan belum memungkinkan.Jessia segera mencuci muka. Pagi ini ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.Ponselnya berdering. Mommy menelepon.“Ya, Mommy?” tanya Jessie begitu menerima telepon.Seperti biasa Mommy menanyakan kabar.“Baik, Mom,” jawab Jessie. “Hari ini aku sudah nggak kerja jadi kasir lagi.”Mommy mendesah. “Sampai kapan kamu hidup menderita begini, sih, Sayang?”“Mommy yang membuat aku menderita, kan?” serang Jessie tanpa tedeng a
Jessie menunggu air mendidih di ceret. Busyet, batinnya memaki kesal. Ia dikerjain mbak-mbak muka bopeng. Padahal Pak Burhan – pemilik Radio Siul – tidak bilang apa-apa tentang ini. Beliau senang kalau Jessie mau belajar untu menjadi penyiar yang baik. Membersihkan kantor dan membikinkan kopi untuk senior bukan – sama sekali bukan tujuan Jessie.Ceret mengeluarkan debip panjang seperti peluit kereta api.Secangkir kopi instan sudah siap. Jessie meletakkan secangkir kopi panas itu di meja resepsionis. Reni memandangnya masih dengan tatapan sengak – super sengak.“Silakan, Mbak. Kopinya sudah siap,” kata Jessie.“Kopimiks?” tanya Reni.Jessie mengangguk. Sedetik kemudian ia menjawab, “Ya, Mbak. Sesuai permintaan Mbak tadi.” Ia pamit undur diri. Hendak mengerjakan tugas menyapu dan mengepel seluruh ruangan kantor.Seluruh tugas dikerjakan dengan hati mengedumel.Jessie membersih
Reni memperhatikan kepergian Jessie dengan hati puas. Hari ini ia berhasil mengospek anak baru. Sebenarnya maksudnya meminta Jessie datang tidak hanya membentak-bentak dan menyuruh-nyuruh tanpa tujuan. Tentu saja apa yang dilakukannya hari ini penuh tujuan.Reni ingin anak baru itu menghormatinya. Jelek-jelek begini Reni termasuk senior di Radio Siul. Bisa dibilang dedengkot. Saat radio menjelang bangkrut cuma dia yang tetap bertahan mau siaran. Alasan utamanya tentu bukan karena tetap ingin siaran, tapi masih ingin bersama Mas Bambang. Apalagi radio sudah sepi begitu, makin asyik-lah mereka pacaran diam-diam.Alasan keduaa Reni memanggil Jessie hari ini tentu saja untuk memberi peringatan. Jangan sekali-sekali anak baru berani menganggu Mas Bambang. Tidak boleh bergenit-genit! Tidak boleh kemayu! Tidak boleh naksir Mas Bambang! Dengan lagak senior yang berwibawa yang ditunjukkannya tadi, Reni yakin pasti Jessie akan menaruh segan padanya. Juga pasti takut untuk me
Jessie kembali menyendok es krimnya. “Enak banget ini, Fin! Kamu pinter memilih tempat.”“Enak yang kayak gimana memangnya?” tanya Alfin meminta penjelasan lebih.Dengan mata berbinar-binar Jessie menjelaskan apa yang dimaksudnya dengan enak. Susunya pas. Es krimnya lembut. Rasanya juga nendang. Rasa manisnya tidak berlebihan. Satu porsinya pas. Setelah es krimnya habis tidak meninggalkan rasa eneg di lidah dan leher. Itu artinya perpaduan bahan-bahannya sempurna.“Kamu suka?” tanya AlfinJessie mencicip es krim rasa rosella merah. Kecut-kecut segar. “Ih, ini… ini….!” serunya dengan menunjuk-nunjuk es krim rosella yang berwarna merah muda dengan bintik-bintik daging bunga rosella merah di setiap inci sekup es krimnya. “Ini lebih enak ketimbang es krim stroberi, lho. Kecutnya lebih berasa tapi juga seger banget. Kontradiktif, ya, tapi ini enakkk bangett!”Alfin mengangguk-angg
Jessie mencoba bersikap biasa saja. Padahal, jujur saja pesan singkat Om Wisman terasa sangat mengganggu. Kenapa, sih, ia diberi cobaan hidup berat banget? Kenapa ia nggak kayak anak-anak konglomerat yang lain? Hidupnya gampang sejak kecil, pacaran sesama anak-anak konglo, tunangan megah, pesta kawinan mewah, punya anak, liburan ke luar negeri, bisnis berjalan lancar, perusahan beranak-pinak dengan cuan berlimpah-limpah.Sementara ia sendiri, kenapa harus diasuh Tante Clarrisa, kenapa Papa harus pergi meninggalkan Mommy sehingga harus memilih jalan menitipkan Jessie pada Tante Clarrisa. Kenapa pula Om harus terjerat utang dan korupsi. Kenapa tidak menunggu Jessie lulus kuliah, dapat kerja, sehingga hidupnya tak lagi tergantung pada keluarga Tante Clarrisa. Sehingga ketika ia dijadikan jaminan pada Om Wisman, dengan tegas Jessie bisa menolak keras.Hufftt…!Jessie menghela napas. Ya sudahlah, yang sudah telanjur terjadi biarlah terjadi.Pukul sembil