Kesehatan papa terus menurun, sore ini sambil bercanda dengan mama ada sedikit keluhan dan pesan yang tersirat yang ia ucapkan kepada kami.
"Capek ya, tiap hari telan obat dokter terus, sudah ukurannya besar-besar dan makin banyak saja jenisnya!"
"Papa kenapa ngomong begitu? sabar ya Pa."
"Iya Ma, sakit sudah puluhan tahun sampai semua-semua yang kita miliki habis."
"Iya, sabar ya Pa, Mama juga tahu tabungan, emas, tanah, motor, mobil sudah ke jual sebagian, tapi semua demi Papa, demi kesehatan papa, Mama minta Papa terus semangat dan lawan penyakitnya."
"Iya, kasihan Sintia kalau Papa meninggal sekarang Ma."
"Papa ngomong apa sih!"
"Kalau nanti, Papa sakit lagi, sudah jangan di bawa ke Rumah Sakit Imanuel atau Rajawali Bandung lagi Ma, Papa pasrah, hanya tinggal kalung saja, kalung kenangan mas kawin Kita."
"Jangan bilang gitu Pa, semoga selalu ada rezekinya nanti, Papa jangan pikir aneh-aneh."
Malam ini, mama memanggilku untuk mendekat kepadanya. Mama membuka dompet yang di selipkan di lemari kamarnya."Sin, ini uang 500.000 untuk kamu study tour.""Iya Ma."Aku ambil uang yang mama berikan, entah mau ikut atau tidak jujur aku sudah tidak terlalu bersemangat untuk pergi walau hanya sebentar dari mama. Semenjak papa tidak ada, aku merasa kasihan sama mama. Malam ini aku pun tertidur, entah sudah berapa bulan dan malam aku sedih menangisi kepergian papaku. Catur dan Maria lebih sering bermalam di rumahku kini, terkadang mereka menghindari pertengkaran keluarga tapi lebih seringnya karena ingin sama-sama dan menghibur kesedihanku.Aku putuskan untuk potong rambutku yang panjang dengan gaya khasku sebagai kleopatra, kini aku memilih segi pendek sebagai gaya rambutku, dress kesukaan beranjak berganti, Jeans dan kaos oblong atau kemeja aku pilih, aku merasa lebih menjadi seorang
Akhirnya Aku lulus Sekolah Menengah Pertama, lemas badanku melihat nilainya tidak sesuai yang aku harapkan, sedih saja rasanya sedikit kecewa. Nilai keseluruhan ujian rata-rataku hanya 36,5.Gagal harapanku untuk masuk ke Sekolah Menegah Atas Negeri 1 favoritku. Di sekolah yang aku idamkan minimal nilai harus sekitar 39-40, betul-betul nilai yang terbaik. Semoga saja masih dapat masuk ke Sekolah Menengah Atas Negeri lainnya di kota kecilku ini.“Jangan sedih Sin, kita coba daftar ke Sekolah Menengah Atas Negeri yang lainnya ya?”“Iya Ma, sayang sekali nilaiku tidak maksimal.”“Ya sudah, yang terpenting sudah usaha maksimal.”“Iya Ma.”“Kamu mau masuk ke mana nih sekarang?”“Coba dulu ke Sekolah Menengah Atas Negeri 2 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Ma.”Aku beranikan diri untuk daftar ke dua sekolah tersebut. Mama menemaniku mendaftar di sana. Minggu depan akan di berikan pengumuman penerimaan murid barun
Seminggu berselangSetiap sore masih sama, Impin masih sering meneleponku, masih sering berbagi cerita dan kisah di sekolah masing-masing. Masih akrab dan menyenangkan jika meneleponku. Sepertinya aku bisa mengandalkan tentang perasaan dan hati kepadanya. Mungkin dia sudah berubah, dan mungkin hanya aku teman dekatnya sekarang. Karena aku dengar temanku Menik ya kekasih lamanya sudah pindah ke luar kota untuk bersekolah di sana. Semoga saja hubungan kami membaik dan semakin baik ke depannya.Besok aku, Catur dan Maria akan kumpul di rumahku. Walau sudah tidak satu sekolah, tapi tetap saja kami akan terus bertemu dan menjaga persahabatan kami. Sekarang di sekolah juga sudah cukup nyaman, aku sudah punya puluhan teman baru, walau mereka lebih tampak sederhana, tidak sekocak dan gaul seperti teman-teman Sekolah Menengah Pertamaku, tapi aku sadari mereka sangat baik-baik dan ramah. Kami selalu main, belajar dan makan bersama-sama. Terkadang di k
Astaga Tuhan, apa sih ini, semua teman-temanku kompak satu kata dengan Febri, demi semangkuk soto dan silver Queen tanpa bertanya apa perasaan aku sebenarnya kepada Febri. Febrianak yang cukup baik, tapi sebetulnya dia bukan tipe pacar idolaku. Aku diam-diam sudah jatuh hati sama kakak kelas yang mbak Tri kenalkan kepadaku tempo hari. Si Arjunaku itu tampan, manis, tinggi, dan baik hati. Dia putra pemilik Bank Perkreditan Rakyat di kotaku, tapi di samping hal itu aku benar-benar terpesona kepadanya, karena dia baik dan ramah walau dia anak orang kaya.Benar-benar onar kali ini di rumah, seperti biasanya kami berkumpul di teras rumahku, buat petisan buah, jajan aneka keripik, buat teh manis dan camilan lainnya. Serius mereka sahabat-sahabatku dengan Percaya Diri dan tanpa izin mengundang Febri dan kawan lain untuk main ke rumahku. Ada Dwi, Rangga, Indra yang turut menemani. Betul saja, saat turun dari motornya Febri membawakan satu keresek be
Dia sangat memperhatikanku, sudah beberapa bulan ini aku jalani hubungan kisah pacaranku dengan Febri. Tanggal 21 di setiap bulan, dia selalu memberiku ucapan dan hadiah hari jadian kami. Terkadang memberiku kue tar, boneka atau coklat kegemaranku. Aku sadari dia sangat-sangat menyayangiku. Banyak hal yang hilang dari diriku kini, yang pasti kebebasan, semakin hari aku merasa sangat-sangat terkekang sekali.Walau hanya untuk bersapa dengan sahabat dan teman laki-laki, hanya berucap hai saja Febri selalu marah dan cemburu. Itu hal yang selalu aku kesal, apa pun harus terpantau olehnya, harus izin darinya. Kadang aku berpikir, aku ini baru jadi pacarnya kenapa sih harus terkekang seperti ini. Bagaimana kalau sampai menikah nanti, dan sifat cemburu berlebihnya itu semakin menjadi-jadi setiap harinya. Benar-benar membuat aku lelah. Ingin putus susah, ingin mendua kapan waktuku untuk mendua, berangkat, pulang sekolah atau sore hari pun dia selalu main ke rumahku. Dari ya
Cita-cita Febri sangat tinggi, dia ingin menjadi dokter atau teknik sipil sama seperti aku, dia pintar dan berasal dari keluarga yang berduit. Sangat sayangjika tidak kuliah di Universitas yang terbaik di pulau Jawa. Beda halnya dengan aku yang anak seorang janda dan hanya bekerja sebagai guru biasa, tidak bisa berharap bercita-cita tinggi untuk keluar kota dan kuliah di universitas yang mahal biayanya. Harus banyak berpikir keadaan ekonomi dan kemampuan orang tua.“Feb, Kamu mau kuliah di Jogjakarta ya?”“Iya Sin, doakan Aku ya, semoga lolos seleksi ke universitas yang Aku inginkan.”“Iya, pasti akan Aku doakan Febri dapat kuliah di tempat yang terbaik”“Sintia juga semangat ya, Kamu akan lanjut di Bandung atau di Lampung kuliahnya Sin?”“Akan aku coba semuanya Feb, Sintia berusaha yang terbaik dulu sesuai cita-cita Sintia.”“Ingat satu hal Sintia, setialah di sini untukku.”“Iya, semoga saja bisa setia ya Febri.
Aku mengunci diriku dalam kamarku, berhari-hari atau berminggu-minggu lamanya dan aku akan membukanya jika Kiki dan teman-temanku mengetuk kamar ini dan mencariku saja, aku trauma, benar-benar trauma akan kejadian pahit itu. Aku yang ceria kini mendadak termenung sedih, teman-teman mungkin heran dengan perubahan sikapku. Dan rasa percaya dan sayang kepada Hery pun seketika luntur dan hancur. Pasrah, bagaimana saja Tuhan memberikan jalan yang terbaik. Sintia benar-benar hancur, kosong dan terluka.Di lain sisi, Hery berkali-kali meminta maaf kepadaku, tapi entah mengapa bukan rasa sayang atau cinta yang tersisa, tapi satu hanya rasa kecewa, benci dan menyesal telah mengenalnya selama ini. Aku pun berpikir lebih baik aku harus menjauh dari Hery demi masa depan dan mimpi-mimpiku, persetan dengan janjinya yang akan menikahiku dan melamarku dengan segera. Aku tidak mau hidupku hancur lebih dalam lagi, hidupku hancur, hati orang tuaku pun pasti akan menangis karena
”Sintia tidak setuju kalau Mama menikah kembali, apa pun alasannya Ma, Sintia keberatan.”“Tapi ini hidupnya Mama, ini keputusan Mama untuk menikah kembali.”“Tapi dia tidak seperti almarhum Papa, karakter dan kepribadiannya sangat bertentangan dengan Papa.”“Karena Kamu belum mengenalnya Sintia.”“Apa pun itu Sintia tidak setuju Ma!”Mama tetap menikah dengan pilihannya itu, susah sekali melarangnya walau hampir semua keluarga tidak memberikan restu, tapi lambat laun restu itu mereka berikan senilai nominal materi yang bapak tiriku berikan kepada om dan tanteku. Mama tetap nekat dengan pilihannya. Calon papa tiriku itu seperti yang aku bilang, beliau baik, hanya saja keras kepala, egois dan tidak mengenal aturan atau tata krama. Rumah bagaikan terminal, acak-acakan dan tak terurus lagi. Mereka semau-maunyamulaitidak betah di rumah dan lebih suka bepergianke dalamkota atau luar kota bahkan deng