Brak! Sebuah map di terima oleh Alden. Pria itu mendongakkan kepalanya saat melihat tatapan dingin dari wanita yang selama ini berkerja sama dengannya. Alden mengerutkan dahinya. Wanita itu tiba-tiba saja bertingkah aneh saat ke kantornya. Sebelum bertanya, Alden membuka map yang berisi beberapa lembar foto seorang wanita dan beberapa orang lainnya yang berpakaia serba hitam. Wajahnya tak begitu terlihat, karena menggunakan masker. Tetapi wanita itu, jelas ditahu oleh Alden. Dia baru saja bertemu dengannya semalam, dan dia memang tak memberitahukan Alana tentang ini. Lalu, kenapa ini? “Apa kau mengenal wanita itu, Alden?” tanya Alana. Nada suara wanita itu benar-benar terdengar berbeda dari biasanya. Alden sedikit tidak mengerti. “Ada apa dengannya?” Alden bertanya balik. “Aku bertanya padamu, Alden! Apa hubunganmu dengannya?” Nada suara Alana hampir meninggi. “Kenap
Tanpa menunggu waktu yang berlalu, Alden pergi menemui Alana ke apartemennya. Dia langsung masuk begitu saja, karena mengetahui kunci kamar wanita itu. Namun, disaat ia tiba, tak ada seorang pun di dalam apartemen itu. Berulang-ulang ia memanggil nama Alana dan tak ada seorang pun yang menyahut. Alden merasa frustrasi. Ditambah teleponnya sejak tadi tak diangkat oleh Alana. Ia duduk di sofa, dengan perasaan berkecamuk. “Di mana kamu Alana?” gumamnya. Alden menyugar rambutnya ke belakang. Ia mencoba berpikir, kemana Alana akan pergi. Tapi, sebagiamanapun usahanya untuk memikirkan hal itu, ia sama sekali tidak tahu. Ia tidak tahu apa yang disukai wanita itu. Kemana tujuan favoritnya, ia benar-benar tidak tahu dan tidak peduli. Namun, disituasi sekarnag, ia malah kebingungan sendiri mencarinya. Rasanya berbeda karena wanita itu selalu bersamanya akhir-akhir ini. Cukup lama Alden berdiam diri d
Wajah Alana terasa panas. Dia terus menyentuh bibirnya, dan merasa malu. Ia benar-benar tak percaya jika Alden akan jadi orang pertama yang menyentuh bibirnya. Perasaannya yang tadi kacau menjadi tidak karuan. Di dalam kamarnya yang gelap, ia menutup wajahnya dengan bantal. Bayangan wajah Alden yang begitu dekat dengannya membuat jantungnya berdetak tidak karuan. Harusnya ia marah dengan pria itu. Tapi kenapa Alden malah membujuknya dengan cara yang tak disangka-sangka. Alden, kau benar-benar keterlaluan! Sementara itu, Alden pergi ke markasnya setelah mengantar Alana pulang. Dia tidak menginap, karena menanti informasi tentang Isabella dari Frey. “Setelah Alana yang berbicara kau baru percaya, Alden? Selama ini kau tidak mau menganggapku,” ucap Jessica yang merasa kesal dengan sikap Alden. Alden menggaruk kepalanya yang tak gatal. Selama ini, ia selalu mengabaikan yang dikatakan oleh Jess
Plak! “Alden, sialan! Siapa yang kau pikirkan?” Alden terkejut membuka matanya begitu tamparan mengenai pipinya. Dia langsung mendorong Frey yang sedang berhadapannya. “Apa yang kau lakukan di sini? Jangan berani menyentuhku!” ucap Alden sambil melindungi tubuhnya, seolah-olah Frey ingin berbuat jahat padanya. Frey memutar bola matanya dengan malas. Jika bukan Alden di depannya ini, dia pasti akan menoyor kepalanya. Tapi dia merasa bersyukur karena bisa menampar Alden meski dalam keadaan tidak sadar. “Seharusnya aku yang berkata seperti itu. Apa kau sedang bermimpi bermain dengan wanita seksi, hah? Kau sampai ingin menciumku,” sungut Frey dengan wajah kesalnya. Alden berdeham, merapikan posisi duduknya. Dia menggaruk kepalanya yang tak gatal. Mana ia sadar jika orang yang datang kepadanya, ternyata Frey. Tadi ia melihat Alana yang keluar dan datang menggodanya. “Apa kau sedang h
Alden baru saja tiba di rumahnya setelah mengantar Alana. Belum sempat dirinya melangkahkan kaki untuk masuk ke rumahnya, suara seseorang memanggilnya. Alden berbalik, mendapati seorang wanita yang kemari ia usir. Ya, Isabella berdiri di hadapannya sekarang dengan senyuman yang terukir di wajahnya. Benar yang dikatakan oleh Jessica, wanita kembali muncul dengan sendiri sebelum Alden melakukan rencana yang sudah diaturnya. Sepertiny Isabella tak bisa lebih lama menunggu, dan mengabaikan Alden. “Apa kau baru pulang?” tanya Isabella. Alden hanya berdeham saja sebagai jawabannya. Dia kembali melangkah masuk, dan diikuti oleh Isabbela. Kepala pelayan di sana ingin menahan Isabella yang ikut dengan Alden. Tapi tatapan Alden membuatnya mundur secara perlahan, dan kembali ke dalam. Alden ingin tahu sejauh mana wanita itu akan bertindak. Isabella tiba-tiba saja kembali ke negaranya, dan membawakan informasi yan
“Ternyata kau wanita murahan juga, cih!” Alana memandang datar wanita yang tiba-tiba saja memanggilnya itu. Dia tak merespon, dan kembali fokus pada makanannya. Melihat Alana yang mengabaikan kedatangan wanita yang tak diundang itu, membuat pria yang datang bersama Alana itu juga turut bergeming. Dia hanya menatap sekilas wanita itu, dan juga Alana. Wanita itu berdiri di depan Alana dengan senyum sinisnya. Dia melipat kedua tangannya di dada. “Hei, berhati-hatilah pada wanita seperti ini. Asal kau tahu, kau bukan pria satu-satunya bagi dia,” ucap wanita itu sebelum akhirnya pergi meninggalkan Alana dan teman prianya. Pria itu memandang tak suka. Dia berdecih, “Siapa wanita itu?” tanyanya. “Jessica, rekan kerja Alden,” jawab Alana dengan singkat. “Apa dia sudah gila? Bagaimana mungkin aku disuruh berhati-hati pada adikku sendiri,” kata pria itu merasa tak senang. Alana terkekeh m
Alana membuka matanya perlahan. Dia meringis, memegang kepalanya yang terasa pening. Melihat sekitarnya yang berbeda, dia terperanjat kaget dan langsung bangun dari tidurnya. Dia memandangi sekelilingnya, dan mencoba mengingat kemana dirinya pergi tadi. Saat tahu di rumah Alden, dia menghela napas lega. Dia mengambil ponselnya, dan seketika itu matanya membulat. “Apa ini? Kenapa sudah malam saja, apa yang kulakukan dari tadi?” tanyanya pada dirinya sendiri. Tak ingin ambil pusing, Alana turun dari tempat tidur. Dia kembali terdiam, melihat pahanya yang terekspos. Refleks tangannya menyentuh pakaian yang digunakan. Dia baru sadar jika bajunya telah berganti. Perasaannya sedikit kacau, mencoba mengingat apa yang sudah terjadi tadi. Tapi, sialnya kepalanya sakit dan tak bisa mengingat apa pun. “Oke, coba kau ingat pelan-pelan, Alana,” gumamnya. Dia mondar-mandiri di kamar Alden dengan mengguna
Alden memanggil Alana yang tak kunjung keluar dari kamarnya. Pria itu dengan setia menunggu seorang gadis yang sejak tadi bersemayam di dalam kamar mandinya. “Kamu masih lama, Alana? Apa kau baik-baik saja di dalam sana?” panggil Alden sekali lagi disaat merasa tak ada jawaban. Alden hendak menerobos masuk, tapi Alana lebih dulu membuka pintu kamar mandi. Netra kedua orang itu bertemu. “Aku mandi sebentar,” jawab Alana dengan nada suara yang pelan dan terdengar malu-malu. Alden cepat menyadarkan dirinya. Dia mengangguk, dan mengajak Alana untuk turun makan malam. Meski masih terasa canggung, Alana tetap mengikuti Alden. Sangat berbeda sekali dengan pria itu, Alden tampak tenang seolah tak terjadi apa-apa pada mereka. “Kenapa sepi sekali?” tanya Alana yang menyadari tak ada pelayan di sana. Biasanya rumah megah bak istana itu diramaikan oleh para pelayan yang sibuk memberishkan tiap sudut ru