“Nduk, besok kamu pergi-pergi apa tidak?” tanya Bapak yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Rini yang tadinya sedang berbicara dengan Tanto lewat telepon dengan sigap segera membalikkan ponselnya dan meletakkan sembarang di atas bantal. Ia takut mendapat banyak pertanyaan dari Bapak saat memergoki dia berbicara dengan seorang lelaki.“E-enggak, Pak. Ada apa, ya?” jawab Rini.“Laki-laki yang nanyain kamu waktu itu, besok mau datang. Sekiranya mau menolak, kamu bisa bilang sendiri sama dia.”“Kenapa enggak Bapak aja yang menolak? Bilang aku belum siap, atau enggak diperbolehkan anak kan bisa.”Rini memberengut kesal. Ia geram, sebenarnya siapa lelaki yang telah lancang ikut menambah masalah hidupnya. “Bisa, tapi kalo nanti tiba-tiba kamu nggandeng lelaki lain, mau ditaruh mana muka Bapak? Kalo kamu bicara sendiri kan enak.”“Sebenarnya dia siapa sih, Pak?” tanya Rini penasaran.“Teman sekolah kamu dulu, sama dengan kamu, dia duda beranak dua. Istrinya meninggal lima tahu yang lalu saa
Rini sudah bangun sejak dua jam yang lalu, padahal ini masih jam empat kurang padahal biasa setiap ia bangun jam lima saja masih meminta waktu tambahan lima menit untuk kembali terpejam atau sekedar menggeliat kan badan. Untuk membuang waktu, memutuskan dan membersihkan rumah.“Temanmu jadi ke sini, Rin?” tanya lelaki yang sudah rapi memakai sarung dan peci dan bersiap berangkat ke masjid.“I-iya, Pak. Lagi di jalan.”Tanto sudah berada dalam perjalanan sejak semalam, ia mengirim pesan setiap dua jam untuk mengabarkan posisi terakhirnya.Matahari sudah semakin terik saat Rini tengah sibuk mondar-mandir di kamarnya. Sesekali ia mematut dirinya di depan cermin untuk memindai penampilannya. Sepuluh menit yang lalu Tanto baru saja mengirim pesan jika ia akan sampai setengah jam lagi.Dada Rini berdegup lebih kencang saat mendengar deru mobil masuk ke halaman rumah. Ia langsung menengok melalu jendela kamarnya dan melihat sebuah mobil yang sudah pernah ia lihat sebelumnya. Rini memindai p
“Rini!” Seorang wanita yang menenteng tas belanjaan menatap tajam pada Rini yang tengah asyik mencoba beberapa macam perhiasan. “Hay, Mbak Farida, mau belanja, ya? Sila enggak ikut, Mbak?”“Enggak, males bawa ke pasar. Jajannya banyak. Eh kamu lagi ngapain? Nemenin Ranti lagi?” Farida celingukan mencari kakak Rini.“Enggak, Mbak. Aku Cuma mau beli cincin, kok.” Rini menunjukkan sebuah cincin bermata putih yang bertengger di jari manisnya yang otomatis membuat Farida menelan ludah. Sebagai wanita yang biasa membeli perhiasan emas, Farida pasti tahu kelas dan harga cincin yang Rini pakai.Hari ini Tanto mengajak Rini membeli cincin sebagai simbol jika ia telah mengikat Rini sebagai calon istri. Nanti malam keluarga Tanto akan datang untuk melamar secara resmi kepada keluarga Rini sebelum mereka semua kembali ke kota. Sebenarnya bukan lamaran, hanya pertemuan dan perkenalan dua keluarga. Juga untuk membicarakan pernikahan yang akan digelar sekitar tiga bulan lagi. Tak berniat mengulur
“Argghh...!”Budi berteriak sembari melempar ponselnya kasar setelah melihat gambar undangan bertuliskan nama mantan istrinya dan nama seseorang yang sudah ia kenal dari pesan yang kakaknya kirimkan. Walaupun sudah tak ada ikatan dengan Rini, tapi hatinya seolah tak rela jika ada lelaki lain bersanding dengan Ibu dari anak-anaknya. Budi memperhatikan ponselnya sekali lagi, ia membaca dengan saksama kata demi kata di dalamnya dan terus berharap jika nama dalam foto itu adalah wanita yang pernah dinikahinya. Budi merebahkan diri di atas ranjang, ia menatap nanar langit-langit rumah yang tiba-tiba bergambar seorang wanita berwajah teduh dengan senyum menawan yang telah dikenalnya sejak remaja. Bayangan wanita berwajah sembab yang menggendong seorang bayi dan menuntun seorang anak kecil tiba-tiba muncul dibenaknya, saat itu hatinya benar-benar hancur. Namun tekadnya untuk membahagiakan keluarga membuatnya harus tetap tega meninggalkan mereka.Awalnya semua berjalan sebagaimana mestinya.
“Kalo ngamplopnya cuma sepuluh ribu enggak usah ambil sate, nanti yang punya hajat rugi,” bisik Wulan pada wanita bergamis merah yang tengah menambahkan dua tusuk sate pada piring yang telah terisi nasi, lauk pauk dan tujuh tusuk sate.Wanita itu berbalas melirik kemudian berlalu sambil memasukkan satu tusuk sate ke dalam mulutnya.Wulan mengentak-entakkan kakinya saat perkataannya tak diindahkan oleh Sari. Wanita itu terus bersafari memakan semua menu yang di sediakan. Wulan beralih menatap tajam pada wanita berbaju batik yang tengah mengambil makanan sembari menggandeng seorang anak perempuan yang juga memegang piring. Dia lebih parah lagi karena ia mengisi piring anaknya sama penuh dengan makanan di piringnya seolah porsi mereka sama. Padahal Wulan yakin perut anaknya yang kecil itu tak akan muat menampung makanan sebanyak itu. Benar-benar tak tahu malu!Sadar tak bisa berbuat apa-apa akhirnya Wulan pasrah, ia membiarkan tetangganya berpesta sesukanya. Ia yakin jika semua orang ya
[Hei, tukang cungkil kelapa. Jangan ganggu aku terus. Aku mau tidur]Ari tersenyum setelah membaca pesan yang Juwita kirimkan, ia tersenyum geli karena meskipun marah-marah, tapi teman sekelasnya itu tetap membalas pesannya sejak siang. Sebagai remaja belasan tahun yang baru saja merasakan cinta monyet membuat keduanya hampir setiap hari berbalas pesan. Ada saja topik pembicaraan yang mereka obrolkan setiap hari.Juwita yang mempunyai wajah cantik dan kulit putih sangat kontras dengan Ari yang berkulit sawo matang dan wajah sedikit garang. Menjadi pekerja keras sejak kecil membuat penampilan remaja yang baru menginjak kelas dua SMP itu terlihat lebih dewasa dari usianya. Apalagi sejak pindah ke rumah kakeknya ia ikut bekerja sebagai tukang cungkil kelapa di rumah tetangganya yang mempunyai usaha pembuatan kopra putih. Walaupun awalnya hanya bermain-main saja, namun setelah mendapatkan upah yang menurutnya lumayan, hal itu menjadi kegiatan rutin yang Ari lakukan selain membantu mama d
“Kamu gila ya, Mas! Ini tabungan buat lahiran anak kita, kenapa kamu pake enggak bilang-bilang, hah?” bentak Ningsih pada lelaki yang kini tengah lahap memakan makanannya.“Duit-duit aku, terserah aku dong mau ngabisin,” jawab Budi santai sembari terus memasukkan makanannya ke dalam mulut.“Aku enggak pernah ngelarang kamu ngirim uang ke anak-anak kamu, tapi enggak perlu sebanyak itu, kan? Ingat, sebentar lagi anak kita lahir.”“Aku kan kerja, besok juga dapat uang lagi. Enggak usah sok drama kayak aku enggak pernah kasih duit, deh! Lagian selama ini duitku kan sama kamu semua. Kamu enggak lupa, kan?”“Iya, tapi sekarang berbeda, sekarang kita butuh uang lebih banyak. Kamu tahu, kan, kalo biaya lahiran di sini mahal? Lagian di tempat terpencil kayak gini, apa-apa serba duit. Kamu mikir enggak, sih?”Ningsih menghentak-hetakkan kakinya, ia geram pada suaminya karena telah lancang memakai uang yang susah payah ia kumpulkan untuk mengirimi anaknya. Selama ini mereka jarang sekali berten
Dua anak lelaki duduk berdampingan sembari melihat televisi yang sedang menayangkan film kartun agen rahasia. Hal itu sudah menjadi kebiasaan mereka setelah pulang sekolah. Tak seperti saat di kampung yang mempunyai ruang gerak yang luas, di tempat baru, mereka baru mempunyai sedikit teman yang tak memungkinkan bisa diajak main di luar. Kalaupun mereka bosan berdiam diri di rumah, atau acara televisi tak lagi menarik, mereka akan turun untuk bermain bola di garasi atau halaman rumah. [Sebentar lagi Bapak pulang, Nak]Ari dengan serius membaca pesan yang baru saja dikirimkan Budi. Ia tersenyum kecut, merasa jika Bapak kandungnya seolah berniat merecoki keluarga barunya. Bagaimana tidak, setelah lama tak pernah memedulikan keluarganya, kini Budi seolah sedang gencar mendekati anak-anaknya.[Tak usah pulang, Pak. Lagian kita enggak akan bertemu. Jika perlu jangan pernah pulang] Dengan cepat Ari membalas pesan lelaki yang menurutnya semakin hari semakin tak tahu diri. Ia bukan anak keci