Share

4. SILUMAN AIR

“Aku ingin menukar bayiku dengan bayimu!” permintaan Xian Lian bagaikan petir di siang bolong di telinga Yan Li.

“TIDAK!” teriak Yan Li histeris sambil mendekap bayinya erat-erat.

Wang Ji menghela napas sebelum akhirnya berkata, “Baiklah, Hamba akan menukar putra kami dengan Yang Mulia Pangeran!”

“Apa kau gila, Suamiku? Menyerahkan anak kita ke tangan buronan kerajaan sama dengan membunuhnya!” mata Yan Li melotot ke arah Wang Ji.

“Serahkan anak kita, Yan Li!”perintah Wang Ji tegas dan tak bisa dibantah.

Dengan berat hati dan tak henti-hentinya menangis, Yan Li menyerahkan bayinya ke tangan suami.

Xian Lian sendiri menciumi putra kandungnya berulang-ulang untuk terakhir kali.

“Ibu akan datang menjemputmu nanti, Putraku! Sementara Ibu pergi, bertahanlah, Nak!” bisik Xian Lian pada putranya.

Setelah menukar bayi mereka, Xian Lian membawa putra Wang Ji bersama bibi Shu menaiki kereta kuda.

Wang Ji sudah meletakkan bekal yang cukup untuk mereka bertiga.

“Hati-hati di jalan, Nyonya Xian!” kata Wang Ji.

“Tolong jaga putraku sampai aku kembali!” pesan Xian Lian sambil menitikkan air mata. Wang Ji mengangguk.

Xian Lian menghentakkan tali kekang kuda di depannya, kereta mulai melaju meninggalkan desa Kuning.

Wang Ji menimang putra mahkota dalam gendongannya, “Mulai detik ini Ayah yang akan menjagamu, dan namamu sekarang adalah Yu Ping!”

***

Kereta kuda yang dikendarai Xian Lian telah melaju tiga hari tiga malam hampir tanpa istirahat karena mereka berburu dengan waktu.

Di hari ke-empat ketika mereka melewati sebuah bukit, dari belakang terlihat tentara berkuda mengejar.

Ternyata ada penduduk yang bertemu mereka di jalan, mengenali wajah Xian Lian yang sama dengan gambar wajah buronan istana.

Penduduk tersebut segera melapor pada petinggi wilayah, petinggi wilayah pun mengirimkan surat lewat burung merpati pos ke istana.

Begitu Ma Yin membaca surat tersebut, ia segera memerintahkan salah satu dari Tujuh Malaikat Pencabut Nyawa, yaitu Dewi Seribu Wajah untuk memburu dan membunuh mereka.

Xian Lian berusaha memacu kuda lebih cepat namun kuda itu sudah terlalu lelah untuk berlari, sementara kuda Dewi Seribu Wajah sudah semakin dekat.

Pendekar yang terkenal dengan jarum beracunnya itu, menghentakkan tubuh meninggalkan kudanya, melenting tinggi melampaui kereta kuda yang dinaiki Xian Lian.

Jelas dia seorang pendekar dengan ilmu sinkang yang sangat tinggi.

Dewi Seribu Wajah mendarat beberapa meter dari kereta, Xian Lian berniat menabraknya.

Dewi Seribu Wajah melontarkan jarum-jarum beracun dari balik lipatan lengan baju ke arah kuda yang sedang berlari ke arahnya.

Kuda itu ambruk seketika ke tanah, membawa serta kereta di belakangnya.

Xian Lian dan bibi Shu terlempar dan jatuh ke tanah berbatu, beruntung bayi dalam gendongan bibi Shu tak terluka.

Xian Lian merangkak mendekati bibi Shu namun Dewi Seribu Wajah menendangnya hingga ia jatuh telentang. Pendekar kejam itu menginjak telapak tangannya hingga ia menjerit kesakitan.

“Akhirnya aku bisa membawa kepala kalian kepada Yang Mulia!” Dewi Seribu Wajah menyeringai melihat Xian Lian tak berdaya.

Tiba-tiba Bibi Shu menubruk tubuh Dewi Seribu Wajah dan memojokkannya ke arah kereta yang terguling.

“Yang Mulia, cepat lari!” teriak bibi Shu seraya memeluk tubuh musuh sekuat tenaga.

Berurai air mata, Xian Lian bangkit, meraih bayinya yang tergeletak di tanah lalu berlari ke atas tebing.

“Lepaskan aku, Wanita Tua sialan!” maki Dewi Seribu Wajah pada bibi Shu, namun wanita tua itu kukuh memeluknya erat-erat.

Dewi Seribu Wajah memberontak dengan mudah, begitu belitan tangan bibi Shu terlepas, ia memukul dada bibi Shu hingga wanita tua itu terpental dan muntah darah.

Dewi Seribu Wajah melompat menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, berkelebat lalu mendarat tak jauh dari Xian Lian. “Mau lari ke mana, nyawamu sudah ada di tanganku!”

Wajah Xian Lian pucat pasi, ia sudah sampai di tepi tebing yang curam.

Tak ada jalan untuk melarikan diri lagi bagi mantan ratu negeri Qi itu.

Sementara Dewi Seribu Wajah mendekat perlahan, menikmati ketakutan korbannya.

“Suamiku, maaf aku tak bisa membalaskan dendammu!” teriak Xian Lian memandang ke langit.

Tanpa disangka oleh antek-antek raja Qi Xiang, Xian Lian dan bayi dalam gendongannya, berbalik dan melompat ke dasar jurang.

Dewi Seribu Wajah melongok ke bawah, jurang itu sangat dalam dan gelap, tingginya ratusan meter.

Pastilah mereka sudah mati, pikir Dewi Seribu Wajah. Maka ia pulang dan melaporkan kematian ratu Xian Lian dan putra mahkota.

Dengan cepat berita kematian ratu dan putra mahkota menyebar ke seluruh negeri tak terkecuali Desa Kuning. Yan Li menangis, meratapi putranya yang telah tiada.

“Anakku …huhuhu!” jeritnya pilu.

Semua ini gara-gara ratu sialan itu, tega menukar bayi karena mementingkan putra kandungnya sendiri.

Yan Li melirik ke arah Yu Ping yang berada dalam gendongan Wang Ji.

Awas kau, Bocah Sialan! Akan kubuat hidupmu menderita selamanya!

Sejak saat itu Yu Ping hidup bersama Wang Ji dan Yan Li. Wang Ji memiliki dua anak lain berusia lebih tua dari Yu Ping.

Kakak laki-laki tertua berusia lima tahun bernama Wang Zhi dan anak perempuan berusia tiga tahun bernama Xin Ru.

Yan Li membenci Yu Ping sehingga selalu memperlakukannya tak adil, ia hanya bersikap baik bila ada suami di rumah.

Tetapi saat Wang Ji pergi bekerja, Yu Ping selalu menerima pukulan demi pukulan dari sang ibu.

Ia pun jarang diberi makan dan sering dibiarkan tidur di dekat kandang ayam, beralas jerami.

Selain Wang Ji, kakak ke dua, Xin Ru juga sangat peduli pada Yu Ping.

Kakak perempuannya itu selalu berbagi makanan bila ibu mereka tidak memberi anak yang malang itu makan.

Sejak kecil, Yu Ping sudah diharuskan untuk membantu pekerjaan rumah tangga, bila berbuat kesalahan maka ia harus menerima tubuhnya dihajar menggunakan gagang sapu.

Yan Li memiliki pekerjaan sampingan sebagai tukang cuci di beberapa rumah orang kaya di kota terdekat, termasuk rumah bordil.

Yu Ping lah yang biasa ia suruh untuk mengantarkan pakaian bersih ke rumah para pelanggannya.

Sungguh kasihan bocah itu, masih kecil tapi sudah dipaksa memikul beban berat.

Namun ia tak pernah mengeluh, semua dilakukannya dengan senang hati.

Bahkan ia berteman dengan Ching-Ching, primadona rumah bordil yang selalu baik padanya.

Ching-Ching memiliki pelanggan seorang pemain seruling, orang-orang menjulukinya Pendekar Pedang Pendek karena memang dulunya ia seorang jago silat namun sudah lama menghilang dari dunia persilatan.

Pendekar Pedang Pendek mengajarkan Yu Ping cara bermain seruling setiap mereka bertemu.

Yu Ping kecil sangat senang dan mereka menjadi akrab.

Waktu berlalu sangat cepat, hingga usia Yu Ping menginjak 12 tahun.

Suatu hari ia melihat anak-anak seusianya mandi di sungai kecil tak jauh dari desa.

Saat itu ia diminta mengambil air dari sungai oleh Yan Li, ibunya.

Melihat anak-anak berendam dan bermain bersama, tebersit keinginan untuk ikut bermain bersama mereka. Ia meminta izin pada mereka apakah diperbolehkan bermain bersama.

Setelah mendapat anggukan dari anak-anak itu, dengan penuh semangat ia membuka bajunya, bersiap untuk terjun ke air.

Namun saat ia berbalik membelakangi anak-anak itu, mereka ketakutan melihat sisik di punggung Yu Ping.

“Hiih … apa itu?” pekik yang seorang.

“Itu sisik?” sambung yang lain, tak kalah kencangnya.

“Dia siluman air!” terdengar teriakan beberapa anak. Mereka semua berhamburan keluar dari sungai dan berlari pulang ke rumah masing-masing, meninggalkan Yu Ping seorang diri.

Yu Ping sangat sedih, niat untuk bermain hilang sudah.

Ia kembali memakai pakaiannya, mengisi timba kayu dengan air lalu kembali pulang.

Berita tentang anak siluman air memiliki sisik di punggung menyebar dengan cepat hingga sampai ke telinga raja Qi Xiang.

Ia segera memanggil tujuh Malaikat Pencabut Nyawa dengan marah.

“Kalian bilang putra Qi You sudah mati, tapi aku mendengar berita ada anak laki-laki bersisik di punggungnya. Hanya satu orang yang memiliki sisik seperti itu, dia adalah putra Qi You!" Qi Xiang menggebrak pegangan kursi singgasana berbentuk kepala naga dengan gusar.

“Aku melihat sendiri anak itu terlempar ke jurang,” kilah Dewi Seribu Wajah membela diri.

Ia yakin betul ibu dan anak itu seharusnya sudah mati. Bagaimana mungkin terlihat di desa Kuning?

"Aku tidak mau tahu, temukan dan bunuh anak itu!" titah Qi Xiang dengan mata melotot.

Ketujuh pendekar kejam membungkuk hormat seraya mengepalkan kedua tangan di atas kepala, "Siap laksanakan, Yang Mulia!"

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Evita Maria
terima kasih kak
goodnovel comment avatar
Sabam Silalahi
mantap bah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status