"Bumi tenang. Papa sedang ada di luar kota, sedang mengurus proyek baru," jawab Adam sambil memijat kepalanya.
"Papa, masih lama di sana?" tanya Bumi—anak yang ada di dalam panggilan tersebut.
"Masih, mungkin—"
Tut … tut … tut! Panggilan tersebut terputus begitu saja.
"Dasar anak nakal," ujar Adam sambil menatap layar ponselnya.
*
Di tempat lain.
Saat ini Jiya dan Nindi pun bergegas meninggalkan hotel tersebut. Dan ketika mereka sampai di luar hotel …
"Gendeng awakmu Ji, wani-wanine awakmu nompo duwike wong kae maeng (gila kamu Ji, berani-beraninya kamu menerima uang dari orang tadi)," gerutu Nindi sambil mencuit lengan Jiya karena gemas.
"Yo eman-eman lek ndak tak trimo (Ya sayang banget kalau nggak aku terima)," sahut Jiya sambil memasukkan amplop itu ke dalam tasnya.
"Tapi …"
"Nggak usah tapi-tapian," potong Jiya lalu menarik tangan Nindi lagi.
Setelah berlari-lari kecil, akhirnya mereka pun masuk ke dalam sebuah warung kopi.
"Mbak, kopi susu dua," ucap Jiya sambil melambaikan tangannya pada penjual kopi yang sedang duduk di bagian dalam.
"Yo," sahut penjual kopi tersebut.
Lalu Jiya pun mengambil pisang goreng hangat yang ada di hadapannya dengan santai.
"Ji aku serius, bagaimana kalau sampai laki-laki itu menuntut kita karena pemerasan," ucap Nindi yang terlihat gelisah.
"Tidak akan, dia itu orang kaya," sahut Jiya sambil mengunyah pisang goreng di mulutnya.
"Orang kaya itu susah ditebak," balas Nindi. "Duh kamu bikin masalah sih." imbuhnya.
Lalu Jiya pun mengelap tangannya dengan tisu dan dengan cepat mengambil ponsel yang ada di dalam tas kecilnya. "Itu masalah belakangan, yang paling penting sekarang kamu bantu aku ngomong sama ayah dan ibu," ujarnya sambil menyodorkan ponselnya pada sahabatnya itu.
Nindi pun menelan ludahnya saat mendengar permintaan temannya. "Aku harus ngomong apa?" tanyanya sambil menggaruk-garuk pelipisnya.
"Apa ya …" gumam Jiya yang juga ikut bingung.
Keduanya pun termenung memikirkan alasan terbaik yang akan diberikan kepada orang tua Jiya, hingga kopi mereka pun datang.
"Ini Mbak kopinya," ucap penjual kopi tersebut sambil menurunkan kopi pesanan Jiya dari nampan.
Lalu Jiya pun menatap ke arah penjual kopi tersebut. "Mbak, kalau andaikan Mbak ini nggak pulang semaleman terus kira-kira apa alasan yang bakal Mbak berikan sama orang rumah?" tanyanya serius.
"Saya kan emang sering nggak pulang Mbak," sahut penjual kopi tersebut sambil tersenyum geli mendengar pertanyaan Jiya.
"Ya, andaikan orang tua Mbak galaknya kaya macan gitu … kira-kira Mbak bakal ngasih alasan apa?" tanya Jiya sekali lagi.
"Kalau galak sih, ya mending nggak pulang," sahut penjual kopi dengan ringan.
'Memang salahku sih nanya beginian ke cewek model begini,' batin Jiya sambil melirik rok kelewat mini yang digunakan penjual kopi tersebut.
"Tapi," sambung penjual kopi, "kalau jadi sampean, aku pasti bilang habis ketabrak atau jatuh dari mana gitu," ucap penjual kopi sambil menunjuk lengan Jiya yang di perban.
Jiya pun tersenyum cerah. "Ah benar. Wuihh … Mbak e emang cerdas," puji Jiya dengan heboh.
"Aku memang cerdas Mbak," sahut penjual kopi dengan centil lalu berjalan lenggak-lenggok meninggalkan meja Jiya dan Nindi.
Setelah itu Nindi pun menghela napas dalam lalu mengambil ponsel yang sedari tadi temannya itu sodorkan. "Nih, aku ngomong sama emak-bapakmu," ujar Nindi lalu benar-benar menelepon orang tua Jiya seperti yang temannya itu inginkan.
Dan setelah menjelaskan panjang lebar pada orang tua Jiya, kemudian Nindi pun mematikan panggilan tersebut dengan alasan ingin pergi ke toilet.
"Udah tuh," ucap Nindi sambil mengembalikan ponsel tersebut.
"Alhamdulillah," ujar Jiya sambil mengusap-usap dadanya dengan ekspresi lega.
Lalu Nindi pun menatap ke arah tas kecil milik Jiya. "Ngomong-ngomong, isi amplopnya berapa?" tanyanya penasaran.
"Aku kira kamu nggak mau," sahut Jiya lalu mengeluarkan amplop tersebut.
"Mana ada," balas Nindi dan dengan cepat merebut amplop itu. Ia pun segera menghitung uang yang ada di dalam amplop tersebut, sedangkan Jiya melanjutkan makan pisang gorengnya dengan santai.
"Tiga juta!" pekik Nindi.
"Husttt," Jiya menyuruh Nindi menahan nada tingginya.
"Maaf-maaf, abis banyak banget ei ... padahal dia udah ngobatin kita, benerin motor aku dan masih ngasih tiga juta lagi padahal kita kan gak papa," ujar Nindi dengan mata berbinar.
Jiya langsung saja menunjuk wajah Nindi. "Langsung ijo kan mata kamu kalau lihat duit," ujarnya sambil mencolek hidung sahabatnya itu.
"Ya kan kalau kerja harus berapa lama dapet uang segini," sahut Nindi sambil membagi uang tersebut.
"Iya juga, pantes aja ya banyak orang yang milih nipu ginian dari pada kerja," ucap Jiya dengan ringan lalu menyesap kopi pesanannya.
Nindi pun terkejut mendengar ucapan Jiya. "Jangan bilang kamu mau kerja begini."
"Ngawur," sahut Jiya. "Bisa dicoret dari KK kalau aku nipu orang," lanjutnya.
Nindi pun terkekeh saat mendengar sahutan sahabatnya tersebut.
Setelah itu mereka terus mengobrol dan bercanda tawa, hingga akhirnya mereka pun menghubungi orang untuk mengantar mereka pulang.
**
Di rumah Jiya.
Setelah setengah jam dibonceng naik motor, akhirnya Jiya pun sampai di rumahnya.
"Mobil siapa nih," gumam Jiya saat melihat sebuah mobil hitam terparkir di halaman rumahnya.
"Assalamualaikum," salam Jiya ketika akan masuk ke dalam rumah seperti biasanya.
Lalu beberapa orang yang ada di dalam ruang tamu pun menyahut salam itu bersamaan.
Dan ketika melangkah masuk, Jiya pun terkejut melihat dua laki-laki yang tengah duduk berjejer di ruang tamu tersebut.
"Kamu ..." gumam Jiya sambil menunjuk ke arah salah satu laki-laki tersebut. 'Kenapa Si Ganteng ada di sini,' batinnya.
Tiba-tiba ...
"Apa itu Jiya?" teriak orang dari ruang belakang yang dengan cepat berlari ke ruang tamu.
"Haduh," gumam Jiya sambil menghela napas dalam.
"Mana yang luka?" tanya seorang wanita paruh baya yang baru saja berlari dari ruang belakang itu sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
Lalu salah satu laki-laki yang membuat Jiya terkejut tadi segera berdiri dan mendekatinya. "Kamu kenapa?" tanya laki-laki tersebut terlihat penuh perhatian.
"Nggak usah sok perhatian!" bentak Jiya.
Semua orang yang ada di ruang tamu itu pun terkejut.
"Kamu kenapa Ji?" tanya wanita paruh baya tersebut dengan heran.
Jiya pun langsung mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan foto-foto yang semalam diambil oleh Nindi.
"Tuh, Mas Hendra tentara yang soleh sedang asyik-asyikan sama keponakan Ibuk yang lemah lembut bak bidadari surga," ucap Jiya dengan suara yang sengaja dikeraskan.
"Itu hanya kesalah pahaman," sahut Hendra dengan cepat.
Jiya pun tersenyum sinis. "Tamparan semalem juga salah paham," sahutnya.
"Sudah! Ada tamu, kenapa malah ribut!" bentak laki-laki paruh baya yang duduk di sisi lain ruang tamu itu.
Ibu Jiya pun terdiam mendengar bentakan dari suaminya tersebut dan langsung mundur. Sedangkan Jiya juga diam, tapi dengan cepat ia menarik kerah leher calon suaminya tersebut dan dengan sekuat tenaga menarik laki-laki itu keluar dari rumahnya.
Akhirnya semua orang pun langsung beranjak dari tempatnya dan dengan cepat mengikuti Jiya.
"Maafkan aku Ji, aku khilaf. Pernikahan kita sebentar lagi, apa—"
"Kamu pilih mati sekarang, apa mati setelah menikah!" teriak Jiya sambil mengambil sebuah gergaji mesin yang entah sejak kapan ada di teras rumah tersebut.
"Ji, hentikan," ucap ayah Jiya yang dengan hati-hati mendekati anak gadisnya itu.
Jiya pun dengan cepat menyalakan gergaji mesin tersebut tanpa ragu.
"Kamu gila Ji! Kamu gila!" teriak Hendra yang dengan cepat berlari dan segera membawa motornya pergi dari halaman rumah itu.
Setelah melihat Hendra pergi, Jiya pun dengan cepat mematikan gergaji mesin yang ada ditangannya sambil tersenyum penuh kemenangan. "Huff," ia meniup gergaji tersebut dengan puas. "Besok aku mau beli yang seperti ini satu," gumamnya sambil meletakkan gergaji tersebut di tempatnya kembali.
Lalu ...
"Maafkan kejadian ini Nak Adam," ucap Ayah Jiya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tak apa-apa Pak Ghofur, saya mengerti," sahut Adam dengan sopan.
Lalu Pak Ghofur pun menatap Jiya dengan tajam. "Cepat minta maaf," perintahnya.
Jiya pun langsung menurut. "Maafkan saya Pak Adam."
'Gadis yang menarik,' batin Adam sambil menatap Jiya dari ujung kepala hingga ujung kaki.
"Iya saya maafkan, bagaimana dengan lukamu?"
"Nak Adam pernah bertemu dengan anak saya sebelumnya?" tanya Pak Ghofur menyelidik.
"Saya—"
"Kami bertemu di Puskesmas tadi saat aku di sana," ucap Jiya memotong kalimat Adam dengan cepat.
Adam pun mengernyitkan keningnya mendengar ucapan gadis berkulit kuning langsat itu, apa lagi saat menatap senyum manis dari bibir busur cupid milik Jiya.
'Apa maksudnya?' batinnya saat gadis di hadapannya itu mengedipkan mata besarnya beberapa kali seperti boneka.
"Ya," sahut Adam yang akhirnya melengkapi kebohongan Jiya tersebut.
Tiba-tiba ...
BRAKKKKK! Terdengar suara yg terjatuh dari dalam rumah.
Jiya pun langsung berlari masuk dan ...
"Ibukkk!" teriaknya melengking.
Mendengar teriakan terebut Pak Ghofur dan Adam pun langsung saja berlari ke dalam rumah. Di sana terlihat Bu Mutia—Ibu Jiya sedang tergeletak di lantai dengan Jiya yang sedang memangku kepalanya."Bu, kamu kenapa?" tanya Pak Ghofur yang juga langsung duduk di lantai kebingungan menatap istrinya tersebut."Mari Pak kita bawa ke rumah sakit, saya akan siapkan mobilnya dulu," ucap Adam.Pak Ghofur pun langsung menyahut, "Iya Nak, tolong ya."Lalu Adam pun bergegas menyiapkan mobil seperti yang ia katakan, dan tak lama kemudian kembali masuk ke dalam rumah tersebut."Sudah Pak, ayo kita bawa ke mobil," ujar Adam sambil bersiap menggendong Bu Mutia."Kuat apa tidak?" tanya Jiya sambi
"Sudah hentikan, aku mengerti," sahut Adam yang sudah bisa membayangkan apa yang Bumi lakukan."Terima kasih Tuan," sahut Barak dengan suara lega."Lalu kalian sekarang ada di mana?" tanya Adam sambil menatap jam tangannya yang menunjukkan pukul sembilan malam."Kami baru saja masuk kota Surabaya," jawab Barak dengan cepat."Apa kalian hanya berdua?""Iya Tuan," sahut Barak dengan cepat."Huff," Adam menghela napas panjang. "Kalian cari tempat menginap dulu, besok pagi baru melanjutkan perjalanan lagi," sambungnya."Baik Tuan," sahut Barak dengan tenang.Lalu Adam pun mematikan panggilan tersebut dan meletakkan ponselnya di atas meja
PLAKKK! Sebuah tamparan menebas pipi laki-laki yang baru saja memukul Adam. "Kamu itu yang mampus!" teriak Jiya setelah menampar pipi laki-laki itu sekuat tenaga."Ternyata selama ini kamu juga jalang," ujar laki-laki itu sambil menarik kemeja Jiya hingga membuat beberapa kancing kemejanya terlepas.Jiya pun tersenyum sinis. "Apa yang ingin kamu lakukan? Apa orang tua Sherin belum berbicara pada paman dan bibi?""Mereka tetap ingin aku menikah dengan kamu. Dan aku harus menikah dengan kamu," tegasnya.Jiya pun tersenyum menghina, "Aku … menikah dengan kamu yang sudah selingkuh di depan mataku? Otakmu itu ada di mana?""Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan dengan laki-laki sial ini?" ucap laki-laki itu seolah mengintrogasi.
"Maafkan saya Tuan Muda," sahut orang tersebut sambil membungkukkan badannya."Orang nggak berguna!" teriak anak itu dengan gaya tengil.'Duh anak siapa ini, kok bisa begini bentukannya,' batin Jiya yang merasa heran melihat tingkah super anak tersebut.Sesaat kemudian …."Turunkan dia," ucap Adam yang entah sejak kapan sudah ada di belakang Jiya.Jiya pun langsung menoleh dan segera menurunkan anak laki-laki tersebut."Siapa yang mengajarimu seperti itu?" tanya Adam sambil menatap tajam ke arah anak tersebut.Anak itu pun menunduk tapi wajahnya tidak menunjukkan rasa bersalah."Katakan!" bentak Adam.
"Tidakkkkk!" teriak Bumi sambil mengacak-ngacak rambutnya. "Tidak mungkin, aku ini juara catur kenapa bisa kalah," ucap anak laki-laki itu sambil menatap papan catur di hadapannya dengan rasa tak terima.Jiya pun tersenyum santai. "Bagaimana? Aku sudah mengalahkanmu tiga kali," ucapnya dengan tenang.Bumi pun langsung menunjuk wajah Jiya. "Kamu pasti curang," tukas Bumi, menolak kekalahannya.Jiya pun menyenderkan tubuhnya di kursi yang ia duduki. "Katanya laki-laki dewasa … laki-laki kok mewek," ejek Jiya seperti anak kecil."Aku nggak nangis!" serunya sambil turun dari kursi yang didudukinya.Jiya pun menatap Bumi dengan remeh. "Kalau begitu buktikan. Laki-laki itu kalau punya janji harus ditepati," sahutnya sambil bersikap sok malas menghadapi B
Akhirnya Bumi pun pergi mencari toko penjual es krim bersama anak-anak itu."Ke mana mereka?" tanya Adam sambil terus menatap ke arah anak-anak kecil tersebut."Mencari toko," jawab Jiya dengan santai."Mencari toko, apa maksud kamu?" tanya Adam."Ya mencari toko," sahut Jiyamasih dengan nada santai."Bukannya tadi ada toko.""Ada, tapi jam segini toko yang menjual es krim jarang yang sudah buka," terang Jiya.Adam pun bergumam menanggapi hal tersebut."Mana," ucap Jiya sambil menengadahkan tangannya di depan Adam.Adam pun mengernyitkan keningnya melihat tangan Jiya. "Apa?" tanyanya."Ganti uangku," jawab Jiya singkat.Adam menghela napasnya saat melihat hal itu, ia pun segera mengeluarkan dompetnya. "Ini," ucapny
"A-a-aku …" Jiya kebingungan harus menjawab apa. Adam pun memejamkan matanya. "Ehem," dehemnya, "sudah aku tidak ingin mendengar omong kosong lagi. Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menatap ke arah Jiya. Kemudian Lina pun langsung menyahut, "Ini Pak, saya Lina. Saya salah satu temannya Jiya, saya ingin melamar menjadi pengasuh untuk anak Bapak." Adam pun langsung menatap ke arah Lina. "Jadi kamu?" "Iya Pak, saya," sahut Lina sambil tersenyum manis pada Adam. 'Apa orang seperti ini bisa menangani Bumi,' pikir Adam sambil menatap ke arah Lina beberapa saat. "Ya baiklah kamu ikuti saja bagaimana perkataan Jiya," ucap Adam dengan tatapan dingin menyertai kalimatnya. "Baik Pak," sahut Lina dengan lembut. Lalu Adam kembali menatap ke arah Jiya yang masih sibuk menggoda Bumi kecil. "Kamu," panggilnya.
"Ini …" Ia kemudian dengan cepat menutupi hidungnya dengan kain lap yang dipegangnya saat bau dari benda tersebut menusuk hidungnya.'Siapa yang bikin gara-gara begini,' batinnya sambil mengambil sapu dan pengki lalu membawa kotak tersebut keluar dari toko."Kamu mau bawa kemana?" tanya Dila yang baru selesai memuntahkan sarapan paginya."Kedepan," sahut Jiya sambil berjalan dengan cepat."Jangan. Bawa kebelakang saja," ujar Dila sambil menunjuk ke arah tempat pembakaran sampah yang ada di samping rumahnya.Jiya pun langsung berbalik dan pergi ke tempat yang ditunjuk oleh Dila."Sialan," ujarnya sambil melemparkan benda tersebut ke dalam tempat membakar sampah.Tak lama kemudian Dila pun menyusul ke tempat itu. "Bagaimana?" tanyanya