“Kenapa harus berpapasan lagi,” desah Misha dalam hati saat berdiri berdua bersisian dengan Zayden saat menunggu lift datang.
Misha berusaha tetap tenang, dengan wajah dingin seperti biasanya dan tanpa senyuman. Seakan-akan tidak ada Zayden di sana. Kedok yang berusaha dia pertahankan meski hatinya berdebar tidak karuan. “Tenang, Misha. Rileks,” Misha berusaha menyabarkan diri. Tidak ada yang berbicara, hanya ada keheningan dan riuhnya beberapa percakapan dari dalam ruangan yang terdengar sampai lorong sebagai latarnya. Misha juga enggan untuk berbicara duluan. Lift akhirnya tiba, yang terasa begitu lama bagi Misha. Keduanya masuk bersamaan ke dalam lift yang kosong dengan tujuan yang sama yaitu lobbi. Pintu lift tertutup, menampilkan pantulan sosok mereka berdua di sana dengan jelas. “Zayden.” Misha akhirnya buka suara. Zayden meliriknya sekilas sebelum menjawab. “Iya, Bu Misha.” “Senin besok akan ada anak intern di team kita. Kamu yang akan menjadi pengawasnya ya.” Zayden sontak menoleh. “Aku?” Dia menunjuk dirinya sendiri. “Kenapa harus aku yang mengawasi mereka?” Misha memutar bola mata dengan sikap penolakan Zayden. “Kenapa tidak? Aku pikir, kamu cocok mendapatkan tugas ini.” Misha mengangkat bahunya asal. “Kamu pintar kan? Buktinya tugas hari ini kamu selesaikan dengan cepat.” Ekspresi Zayden seakan ingin protes, namun tidak ada kata-kata penolakan yang keluar dari mulutnya. Pria itu hanya diam, seakan sedang mempertimbangkan sesuatu dengan tatapan ragu. Tidak lama lift terbuka di lantai gedung yang lain, beberapa karyawan yang sudah menunggu mulai masuk ke dalam dan menyudutkan keduanya di belakang. “Tapi, aku masih baru di team ini. Bagaimana bisa Anda mempercayakannya kepada saya?” “Lalu kenapa?” Jawab Misha, kesal. “Siapa lagi yang akan mengawasi intern? Aku?!” Zayden diam, bentakan Misha membuat beberapa karyawan lainnya menoleh ingin tahu. Zayden berdecak pelan, memalingkan wajah lalu bergumam sendiri. “Padahal di team 2, team leadernya sendiri yang jadi pengawas.” Misha menatap nyalang Zayden. “Kamu bilang apa?” Zayden menggelengkan kepala, mengalihkan tatapan ke depan menghindar dari mata penuh telisik bosnya yang nampak kesal. Tidak ingin membuatnya tambah marah. Lift terbuka lagi, di lantai yang lain. Segerombol karyawan masuk membuat dalam lift penuh. Sementara Misha semakin tersudut di pojok bersama dengan Zayden yang menghimpitnya dan menempel padanya. Misha terbelalak, tidak siap dengan situasi yang terjadi saat ini. Tangannya terhimpit di antara badannya dan badan Zayden. Posisinya sangat tidak nyaman karena tepat berada di sekitar bagian private Zayden. “Hei, kamu nggak bisa munduran sedikit?” Bisik Misha pada Zayden yang berusaha keras menahan tubuhnya dan tidak semakin terdorong. Kedua tangannya menempel pada dinding lift, seperti mengurung tubuh Misha dan melindunginya sekaligus. “Tidak bisa. Aku sudah menahan tubuhku sebisa mungkin.” Zayden menggelengkan kepala. Misha mencoba untuk berhati-hati agar tangannya tidak sembarangan bergerak yang bisa berakibat fatal. Setengah menahan nafas dengan wajah memerah karena malu tangannya berada di sana. Terus saja melihat ke arah di mana tangannya berada. Hingga Misha tidak menyadari tatapan Zayden yang melihat muka merahnya. Hingga tiba-tiba Misha mendongak dan menemukan tatapan intens Zayden, menambah malu dirinya sendiri. “Hei, aku serius. Munduran sedikit, Zay. Tanganku…” Misha tidak sanggup menyelesaikan ucapannya. Zayden nampak tidak fokus, menelan salivanya susah payah, jakunnya bahkan bergetar. Tangan Misha tepat berada di dekat alat vitalnya. “Bertahanlah,” bisik Zayden akhirnya. “Lift sialan!” gumam Misha. “Kenapa lobbi terasa jauh sekali?!” Decaknya. Zayden mencoba sebisa mungkin untuk tenang, meski bagian tubuhnya yang di bawah bereaksi lain. “Zay...” Misha menatap tidak percaya Zayden. “Milikmu…membesar,” bisiknya. Ting… Akhirnya lift sampai di lobbi. Lift terbuka, semua karyawan bergerak perlahan keluar begitu juga dengan Zayden. Sempat menoleh sesaat ke Misha untuk membungkuk hormat sebelum pergi meninggalkan Misha yang tercengang. Misha berjalan keluar sembari menatap ke arah tangannya sendiri dengan linglung. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. *** “Sialan!” Umpat Zayden. Masuk begitu saja ke dalam mobil mewah yang terparkir tidak jauh di sekitar lobbi dengan kaca hitam yang tertutup sempurna. Tidak ada yang akan bisa melihat siapa orang yang duduk di dalam. Setengah membanting pintu hingga menimbulkan suara yang keras membuat seseorang yang sejak awal berada di dalam sana kaget melihatnya. Sang ayah, kaget melihat sikap puteranya yang nampak sedang kesal. Zayden melepas jasnya dan menggunakannya untuk menutupi area kedua pahanya. Duduk bersandar dengan gusar lalu memijit pelipisnya merasa pusing sekaligus menutupi wajahnya yang memerah akibat ulah Misha. Sebastian Aditama mengeryit menatap anaknya. Tangannya bergerak memencet tombol yang sedetik kemudian membuat jendela pemisah di kabin belakang dan kabin depan mobil tertutup rapat. “Ada apa, Nak?” Tanyanya lembut tapi tegas. “Apakah ada masalah dengan pekerjaanmu?” Zayden menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Apa pekerjaanmu banyak?” “Tidak. Ayah, tolong turunkan aku di mini market dekat perempatan sana.” “Kamu membawa mobil hari ini?” Zayden mengangguk. “Iya. Dan saya mohon hentikan pertanyaan Anda, Pak Presdir. Kepala saya sedang pusing.” Zayden menghela napas kasar. Salah satu tangannya yang berada di atas pangkuannya meremas pelan jasnya. “Sialan, Misha,” umpatnya dalam hati. ***Misha gelisah seharian ini. Dia tidak tahu apakah Zayden akan mendengarkan sarannya untuk tidak datang ke klub bersama Satria dan teman-temannya. Pria itu hanya mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.Bagaimana bisa Misha tidak khawatir dengan perangai Satria yang seperti itu yang terlihat suka sekali membully Zayden?Misha berusaha mencari tahu klub mana yang akan mereka datangi namun nihil. Dia tidak tahu pasti siapa saja orang kantor yang akan datang. Jika terpaksa, Misha akan bertanya pada Joshua. Meskipun dia tahu pria itu mungkin akan bertanya banyak hal.Misha hanya ingin memastikan Zayden tidak datang ke sana agar dia tidak terus merasa gelisah. “Kenapa kamu terus melihat ponselmu?” Tanya Dena, saat mereka berada di minimarket mencari bahan untuk membuat sushi di apartemen. “Apa ada seseorang yang sedang kamu tunggu? Bawahanmu itu?”Misha berdecak. “Aku seperti ini mungkin dia juga tidak akan peduli. Bodoh sekali aku yang terlalu mengkhawatirkan dia.”Dena berdecak mel
Misha semalam agak kurang tidur setelah berendam agak lama di dalam bath up untuk menenangkan diri. Kembali mengulang-ulang adegan di dalam mobil kalau saja tidak ada yang menelepon saat itu. Mungkin mereka akan melakukannya di sana di area apartemennya.Misha hanya bisa menyebut dirinya sendiri gila kalau sampai hal itu terjadi.Semalaman Misha berpikir, kalau dia merasa jika selama ini Zayden juga menginginkannya sama seperti dirinya yang menginginkan pria itu. Misha berniat untuk menanyakannya nanti jika ada kesempatan.Misha masuk ke dalam ruangan sambil menyesap kopi panas yang dia beli di cafe dalam perjalanan pergi ke kantor. Kaget mendapati Zayden ternyata sudah berada di mejanya dan balik menatapnya. Misha malu, buru-buru berjalan ke tempat duduknya dengan langkah agak dipercepat. Misha merasa seperti sedang kepergok melakukan perbuatan dosa dan sedang menghindar.Misha menyalakan monitornya dan meletakkan barang-barangnya seperti biasa saat Zayden ternyata sudah berdiri di
Zayden melihat layar ponselnya menyala. Dia menoleh ke Misha yang ternyata tertidur di kursinya dengan kepala menunduk. Setelah memastikan Misha memang tidur,Zayden mengangkat panggilan dari seseorang.“Bagaimana?” Ucapnya tanpa salam pembuka. “Filenya aman?”“Aman,Pak. Saya sudah mengembalikannya.”“Kerja bagus. Kirim email.”“Baik,Pak.”Panggilan ditutup. Zayden melihat waktu sudah menunjukkan hampir jam sembilan malam. Digerakkannya kepalanya ke kanan dan ke kiri yang terasa pegal, mematikan layar monitornya dan selama menunggu,dia melakukan satu lagi panggilan yang lain.“Pastikan tidak ada orang di lantai bawah. Dan bawa mobil ke area parkir samping.”Setelah menutupnya, Zayden berdiri dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celana. Layar monitornya sudah mati, dia mendekati meja Misha dan membereskan barang-barang wanita itu.Zayden memegang tas Misha lalu menghampiri wanita yang terlihat tidur nyenyak itu setelah salah tingkah menghadapi ciumannya. Zayden mengangkatnya ala brid
“Jadi, katakan apa yang sebenarnya terjadi, Hana?” Tanya Misha.Hana nampak gelisah,berdiri saling meremas kedua tangannya di depan meja Misha sementara Zayden mencoba untuk mencari file tersebut bersama Doni dan Juno.“Saya tidak sengaja,Bu Misha,” suaranya pelan.Misha mencoba untuk menahan emosinya. Sebelum menjawab, dia menghela nafas panjang membuat Hana makin merunduk.“Ini adalah sebuah kecerobohan. Apa kamu mengakui kesalahanmu?”“Iya,Bu.”Doni dan Juno di belakang memandangi Hana sembari berdecak dan menggelengkan kepala. Zayden yang sejak datang tadi langsung memeriksa server kantor untuk mencari filenya hanya diam dengan tatapan serius. Dia lantas berdiri dan mendekati meja Misha, berdiri di samping Hana.“Tidak ada. Terpaksa kita harus lembur untuk membuat ulang.” Zayden menoleh ke Hana. “Waktunya masih cukup.” “Rasanya seperti membuang-buang waktu. File kampanye itu sudah hampir selesai dan sekarang kita harus kembali membuatnya,” decak Juno, nampak kesal melihat Hana da
Misha kembali ke ruangan setengah jam kemudian setelah berdiam beberapa saat di kamar mandi untuk menenangkan diri sekaligus memeriksa penampilannya. Joshua sudah ada di sana, menunggu di dekat mejanya seraya memeriksa berkas di tangannya.Misha berjalan ke arah mejanya, melewati Zayden yang sedang berdiri di samping Hana yang fokus pada layar komputernya seperti sedang memberikan arahan. Namun, saat Misha lewat, dia bisa merasakan tatapan Zayden pada dirinya.Misha berusaha keras untuk tidak menatap balik.“Kamu dari mana saja?” Tanya Joshua saat dia duduk di kursinya. “Aku mencarimu sejak tadi.”“Apa ada yang penting sampai kamu mencariku?” Tanya Misha.Joshua tersenyum. “Kita dapat jawaban klien yang kita datangi kemarin.”Misha fokus mendengarkan Joshua. “Mereka meminta kita datang untuk beberapa pembenahan.”“Datang langsung?” “Iya.”Misha mengangguk, pasti ada yang harus ditinjau ulang hingga mereka menyuruh untuk kembali datang.“Kapan?”“Besok. Aku akan menjemputmu karena me
Seperti dugaan Misha, keduanya makan siang di meja yang sama. Misha hanya melihat dari luar, tidak lagi berselera untuk makan dan masuk ke sana apalagi harus satu ruangan. Misha berdecak, merasa menyesal telah mengikuti kata hatinya seperti ini karena pada akhirnya, dialah yang merasa sakit sendiri.Misha berbalik, namun seseorang menyenggolnya dari belakang dengan cukup keras.“Aduh,” erangnya, dilihatnya pria itu tidak berhenti untuk meminta maaf malah berjalan terus saja tanpa memperdulikan sekitarnya.“Hei!” Misha menegur, namun pria itu tidak mendengar. Dia menyipitkan mata mencoba untuk mengenali gesturenya dari belakang, sebelum pria itu berbelok, Misha menyadari jika pria itu adalah bawahannya Joshua yaitu Satria. Pria itu terlihat nampak kesal dari kepalan tangannya yang kemudian sosoknya menghilang di lorong.“Kenapa dia?” Misha bertanya-tanya sembari mengelus lengannya. “Sikapnya menyebalkan.”Misha berjalan menuju ke arah lift dan memutuskan untuk membeli roti isi kesuka