Share

SUGAR BABY SANG BILLIONAIRE
SUGAR BABY SANG BILLIONAIRE
Author: KINOSANN

1. Dunia Sugar

Plak!

Satu tamparan mendarat keras di pipi gadis cantik berambut panjang yang berpakaian minim di sebuah kamar hotel berbintang.

Gadis itu mengusap pipinya yang hampir memerah karena tamparan keras dari wanita paruh baya yang tengah dilanda kemelut amarah.

"Siapa gadis ini, Pa?!" sentak wanita paruh baya itu pada pria tua yang bertelanjang dada di samping sang gadis.

Pria tua itu hanya menundukkan kepala, tak berani menjawab teriakan dari wanita paruh baya yang tak lain adalah istrinya.

"Pergi dari sini! Jika aku sampai melihatmu lagi di tempat yang sama dengan suamiku, aku tidak akan segan-segan menggilasmu dengan ban mobilku!" ancam wanita paruh baya itu.

Gadis malang bersama Berliana itu hanya menurut tanpa menanggapi omelan dari wanita tua itu. Gadis yang kerap disapa dengan nama Berlin itu segera mengemasi barangnya dan keluar dari kamar hotel dengan tangan kosong.

"Sial! Pelangganku hilang lagi!" gerutu Berlin kesal melihat satu persatu sugar daddy-nya menghilang.

Sebagai sugar baby yang hidup dari uang jajan Daddy, tentu saja kehilangan sugar daddy sama artinya dengan kehilangan sumber dana penghidupan.

Kini Berlin harus memutar otak kembali, memikirkan bagaimana caranya ia harus bertahan hingga dirinya berhasil menemukan tangkapan baru.

Ceklek!

Gadis itu membuka pintu apartemen kecil yang disewanya sebagai tempat tinggal. Berlin segera mencari cermin dan menatap luka memar di pipinya dengan seksama.

"Kapan bekas tamparan ini akan hilang?" rengek Berlin dengan air mata berlinang.

Mendapatkan tamparan dari istri sah bukanlah hal baru yang dirasakan oleh Berlin. Sebagai simpanan pria beristri, tentu saja sudah menjadi resiko bagi Berlin jika dirinya sampai ketahuan oleh istri si sugar daddy yang berkencan dengannya.

Walaupun telah dihajar puluhan kali, Berlin masih tetap setia menjalani pekerjaannya demi memenuhi kebutuhan finansial yang begitu membebaninya.

Tring, tring!

Berlin beralih dari cermin dan segera meraih ponselnya yang berdering kencang.

"Cih, Pak Tua ini lagi?" sinis Berlin seraya menatap layar ponsel.

"Halo?"

"Aku sudah mengirimkan uang kencan terakhir," ujar sugar daddy Berlin.

"Terima kasih, Tuan."

"Anggap saja sebagai pesangon. Aku akan menghubungimu lagi jika ada kesempatan," pungkas pria paruh baya itu dalam panggilan singkatnya bersama Berlin.

"Untung saja masih ada uang pesangon," gumam Berlin dengan kelegaan luar biasa.

Gadis itu kembali mengotak-atik ponsel dan bergegas menghubungi seseorang. "Halo, Nana?"

"Kakak!" sapa seorang gadis kecil melalui telepon.

"Kakak ada uang lebih, Na. Katakan pada Ibu untuk berobat ke dokter minggu ini," ujar Berlin pada gadis kecil bernama Nana, yang tak lain adalah gadis yang dirawat di panti asuhan bersama dirinya dulu.

Ya, Berlin adalah gadis yatim piatu yang dibesarkan di pantu asuhan sejak dirinya masih kecil. Setelah menginjak usia tujuh belas tahun, gadis itu terpaksa harus meninggalkan panti asuhan dan belajar hidup mandiri.

Meskipun tak lagi dirawat di panti asuhan, Berlin masih tetap berusaha untuk berbakti pada ibu panti yang sudah berbaik hati mengasuhnya sejak kecil. 

Sang ibu panti yang sudah semakin berumur dan sakit-sakitan membuat panti mulai terbengkalai hingga anak-anak hampir terlantar. Ditambah lagi dana bantuan yang makin merosot, membuat Berlin terpaksa harus mengurus panti untuk sementara waktu sembari menunggu donatur baru.

"Obat Ibu masih cukup sampai besok, kan?" tanya Berlin.

"Masih, Kak. Tapi sebentar lagi semester baru, Kak. Anak-anak butuh buku baru juga seragam baru," ungkap Nana merasa tak enak hati terus menuntut dana dari Berlin.

Berlin termenung sejenak begitu mendengar permintaan dari adik yang diasuhnya. Uang bulanan yang diterima oleh Berlin tidak terlalu besar. Statusnya yang masih mahasiswi membuat dirinya hanya dibayar murah oleh para sugar daddy yang memakainya. 

Berlin sendiri belum pernah mendapatkan sugar daddy seorang bos besar. Mungkin jika dirinya berhasil menemukan tangkapan besar, dompet Berlin bisa terisi lebih tebal.

"Kakak tahu. Sabar ya, Na. Kakak akan segera belikan buku dan seragam baru," ujar Berlin dengan seulas senyum keibuan pada adik kecil yang tengah berbincang di telepon dengannya.

Gadis kecil itu pun bersorak riang mendengar jawaban Berlin. Hanya dengan seragam dan buku, dirinya sudah mampu membuat adik-adik kecil yang dirawatnya itu kegirangan.

"Kakak, Ibu ingin bicara," ujar Nana menyerahkan ponsel pada Bu Wanda.

"Halo, Berlin?" sapa Bu Wanda, ibu panti yang pernah merawat Berlin.

"Bagaimana kabar Ibu? Berlin sudah mengirim uang. Ibu bisa menebus obat lagi minggu ini,"

"Terima kasih banyak. Tapi untuk ke depannya, kau tidak perlu lagi mengirim uang untuk Ibu dan anak-anak," tukas Bu Wanda.

"Kenapa aku tidak boleh mengirim uang untuk Ibu?"

"Kebutuhanmu pasti banyak, kan? Pakailah sendiri untuk keperluanmu, Nak. Kau masih kuliah dan butuh banyak biaya. Ibu tidak bisa membantumu, jadi Ibu tidak ingin semakin menyulitkanmu."

"Menyulitkan apa? Aku tidak kesulitan sama sekali. Lagipula aku mendapatkan beasiswa, Bu! Aku juga memiliki pekerjaan paruh waktu. Aku mempunyai cukup uang untuk merawat Ibu," sergah Berlin.

"Jangan hamburkan uangmu untuk hal yang tidak perlu! Biarlah anak-anak panti menjadi urusan Ibu. Kau fokus saja pada pendidikanmu," ujar Bu Wanda.

"Apa Ibu sudah mendapatkan donatur baru?" 

"Berlin, Ibu—"

"Aku tanya, apa Ibu sudah mendapatkan donatur baru?" tanya Berlin dengan nada tinggi.

Bu Wanda hanya diam tak menjawab pertanyaan Berlin. Rasa bersalah dan malu mulai tercampur aduk dalam hati sanubari wanita paruh baya itu.

Bu Wanda tak ingin terus-terusan menyusahkan Berlin dengan biaya keperluan panti, namun beliau juga belum memiliki solusi untuk menyelesaikan masalah kekurangan dana operasional panti.

"Terima saja bantuanku! Ibu tidak pernah memaksaku! Aku melakukan hal ini atas kesadaranku sendiri!" 

Tut!

Berlin memutuskan sambungan telepon, kemudian melempar ponselnya ke ranjang dengan kesal.

Gadis itu membuka pintu kamar mandi kecilnya dengan kasar hingga ia tak menyadari kayu rapuh itu mulai terlepas dan pintu kamar mandi pun ambrol, jatuh ke lantai.

Brak!

Gadis itu hanya bisa menghela nafas pasrah saat melihat pintu usangnya terjun bebas dari dinding.

"Sial! Aku lupa membenarkan pintu," umpat Berlin kesal.

Tak hanya pintu yang copot, Gadis itu kembali dipusingkan dengan kamar mandi kecil yang banjir tergenang air karena keran yang bocor.

"Astaga, cobaan apa lagi ini?!" rengek Berlin dengan mata berkaca-kaca.

Gadis itu menyumpal keran bocor dengan alat seadanya sembari menangis sesenggukan. 

Berlin keluar dari kamar mandi, kemudian mengambil satu bungkus mie instan dan memotongnya menjadi tiga bagian.

Masih dengan air mata berlinang, gadis itu duduk di depan TV kecil buram yang ada di apartemennya seraya menyantap satu mangkok mini berisi satu potong mie instan yang telah ia masak.

"Anggap saja diet," gumam Berlin memandangi mie instan porsi kecil yang menjadi santapan makan malamnya.

"Tidak apa-apa, Berlin. Hari ini kau hanya bisa memakan dua suap mie instan. Tapi setelah mendapatkan tangkapan besar nanti, kau pasti bisa memakan daging!" oceh Berlin berusaha menyemangati dirinya sendiri.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
CovieVy
dpt pesangon...mayan..drpd kena pecat namun cm proyek tkyu aja
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status