Aroma alkohol begitu kuat melebur bersamaan dengan tembakau. Kepulan asap yang sempat memenuhi ruangan, tetapi kepulan asap itu hanya sebentar, dan lenyap bagaikan tak pernah ada. Hanya tinggal aroma yang melebur bersamaan dengan aroma alkohol yang kuat.Asher duduk di kursi kebesarannya yang ada di ruang kerjanya, dengan aura wajah penuh amarah dan sorot mata tajam layaknya seperti ingin membunuh. Pria tampan itu terlihat ingin meledakan amarah, tetapi sejak tadi dia mati-matian menahan diri.Tangan kokohnya mencengkeram kuat gelas sloki. Kukunya sudah memutih akibat dia menekan sloki kuat. Jika tekanan makin kuat, bisa dipastikan sloki itu akan hancur lebur. Sekali lagi, pria tampan itu benar-benar berusaha keras meredam amarah yang membakar dirinya. Beberapa menit lalu, Adeline baru saja pergi dari hadapannya, tetapi dia seakan merasa bahwa bayang-bayang wanita itu masih di depannya. Gejolak api amarah sudah tak tertahankan. Semua bermula dari ucapan Adeline—yang seakan sukses me
Mata Adeline terhunus tajam pada pria di hadapannya itu. Aura kemarahan begitu kental terlihat. Namun, dia tak mau gegabah. Dia sengaja berjuang keras mengendalikan diri, agar dia tak kalah. Jika dia sampai langsung memaki, sama saja dengan dirinya kalah.“Kau tahu? Yang membuatku paling terkejut adalah kau sangat lucu, Asher. Kau jelas tahu bahwa tindakan yang kau lakukan akan membuat orang berpikir macam-macam. Well, kau menggali kuburmu sendiri,” ucap Adeline dingin, dan tajam.Asher sedikit menjauh, tetapi tatapannya masih intens menatap Adeline yang sejak tadi melayangkan tatapan tajam padanya. “Apa yang aku lakukan adalah yang terbaik. Dan harusnya kau berterima kasih padaku. Aku bisa menyelamatkan nama baikmu.”Adeline tersenyum sinis, mendengar jawaban Asher. “Malam ini, aku bertemu dengan Cole bersama dengan Nora. Aku pikir Cole akan membahas tentang project fiim ke depannya, atau mungkin dia membahas promosi film, tapi ternyata Cole memintaku untuk bersabar, karena kemungkin
Mobil Nora meluncur perkotaan dengan kecepatan sedang. Waktu menunjukkan pukul sepuluh malam, dan tentu suasana masih terlihat ramai. Banyak orang berlalu lalang di trotoar, dan tak jarang muda-mudi melalui jalan di trotoar sambil tertawa bahagia.Keheningan membentang. Adeline duduk di samping Nora yang mengemudi, dengan sorot mata lurus ke depan, membendung sesuatu hal di sana. Ya, Adeline dan Nora kini dalam perjalanan menuju apartemen. Lebih tepatnya Nora ingin mengantar Adeline pulang.Seperti biasa, Nora yang selalu membawa mobil, sedangkan Adeline menjadi penumpang yang setia. Makan malam dengan Cole telah usai. Dua wanita cantik itu langsung bergegas pulang.“Adeline,” panggil Nora seraya melirik Adeline sebentar. Tampak jelas raut wajahnya menyimpan banyak hal yang ingin ditanyakan. Namun, dia tak mungkin bertanya di depan Cole.“Ya,” jawab Adeline singkat, dan datar.“Hmm, aku sedikit bingung. Sebenarnya apa yang akan kau lakukan sampai kau yakin keputusan Tuan Lennox akan b
Restoran yang dipilih untuk makan malam bersama antara Adeline, Nora dan Cole adalah L’Arpege. Lokasi restoran berada di dekat Musée Rodin—sebuah museum yang terkenal dengan patung indah. Restoran ini dipilih oleh Nora. Bisa dikatakan Nora mengatur semuanya mulai restoran hingga jam bertemu.Adeline kini sudah duduk di kursi yang sudah dipesan Nora. Malam itu dia memakai gaun sederhana, tetapi tetap menunjukkan keanggunan nyata. Rambut cokelat panjang dan tebal biasanya tergurai sekarang diikat dengan model pony tail. Pun riasan tipis berkesan anggun membuatnya memang benar-benar sangat cantik.Saat memasuki restoran mewah itu, sudah banyak pria yang tak berkedip menatap Adeline. Namun sekali lagi, Adeline begitu tak peduli. Dia tetap duduk dengan anggun di kursi yang disiapkan, dan mengabaikan banyak mata yang menatapnya.Sejak masuk ke dalam dunia entertainment, Adeline begitu menjaga penampilan. Jadi, kalau dia menjadi sorotan sudah bukan lagi hal biasa. Dia malah menganggap orang-
Aroma wine begitu tercium. Asher berdiri di ruang kerjanya yang ada di penthouse-nya, sambil melihat pemandangan kota Paris. Jemari kokoh pria tampan itu mencengkeram kuat gelas berkaki tinggi yang telah berisikan wine.Asher menyesap perlahan wine itu, menatap lurus ke depan, dengan pikiran yang tak tenang. Dua hari berlalu setelah kejadian di mana dia mencium Adeline, berhasil membuat pikirannya jelas tidak beraturan. Dia mencoba melupakan, tetapi sialnya tak bisa.Asher seakan terbelenggu di suatu hal yang dia ciptakan sendiri. Dia tak mengerti kenapa sampai dirinya lepas kendali. Padahal harusnya dia mampu mengendalikan diri. Namun, sial ucapan Cole kemarin yang membahas adegan di film, membuatnya benar-benar kacau.“Tuan ....” Paul melangkah masuk ke dalam ruang kerja Asher.Asher menoleh, mengalihkan pandangannya pada Paul. “Ada apa kau ke sini?” tanyanya dingin.Paul menundukkan kepala. “Maaf mengganggu Anda, Tuan. Saya hanya ingin memberi tahu Anda kalau di depan ada Tuan Cole
Dua hari meliburkan diri, cukup membuat hati Adeline jauh lebih baik. Dia bahkan banyak meluangkan waktu untuk kedua anaknya. Meski pikirannya terus kacau, tetapi paling tidak dia bisa cukup agak tenang, karena meliburkan diri menjauh dari banyak hal.Adeline tak sama sekali merespons panggilan telepon atau pesan yang membahas pekerjaan. Semua diserahkan ke Nora untuk memberi tahu banyak pihak, bahwa dia sedang off sebentar.Liburan singkat ini memang tidak serta merta membuat Adeline lupa kejadian di mana Asher menciumnya secara kurang ajar. Gejolak emosi di dalam diri, tentu tak bisa lepas begitu saja dari dalam dirinya. Namun, setidaknya dia memiliki ruang sedikit untuk bernapas. Adeline sadar betul bahwa sejak di mana dia bertemu dengan Asher, dia harus menghadapi badai yang datang. Hidupnya dulu tenang, tak ada gangguan. Akan tetapi, sejak semesta mempertemukannya lagi dengan Asher, jelas menimbulkan rasa yang tak lagi nyaman.Asher adalah investor besar di project film yang Ad