Home / Fantasi / Sang Dewi / Bab 6 : Teringat Masa Lalu

Share

Bab 6 : Teringat Masa Lalu

last update Last Updated: 2024-05-29 00:02:35

"Kau ... apa yang kau lakukan!" Li jing menepuk dahi dengan sebelah tangan.

Sementara itu, Larasati mengedipkan mata seakan-akan tak mengerti. "Aku hanya membantumu."

"Kau menghancurkan acaranya dan membuat awak media memburu kita sekarang!" gerutu Li Jing.

"Ah, aku minta maaf," ucap Larasati. "Aku benar-benar tidak bermaksud merepotkan." 

Meski Li Jing sangat marah, tetapi semua telah terlanjur, bahkan Larasati yang merasa bersalah sebelumnya juga tidak tahu bahwa Li Jing tak menyukai tindakannya. 

"Kita tidak bisa pulang ke rumah. Aku akan mencari tempat untuk beristirahat," kata Li Jing yang berusaha menenangkan diri, walau begitu masih tidak mau menatap Larasati. 

***

Matahari telah terbit menyinari jagat raya, pagi pun menjelang. Sementara Larasati tertidur, Li Jing masih mengemudikan mobil menuju pegunungan. Keduanya telah meninggalkan kota, juga menyeberang pulau. 

Sesaat Li Jing memperhatikan Larasati, sebelum terfokus kembali pada jalanan di depan. Kereta tanpa kuda, berhenti di halaman sebuah penginapan. Larasati segera terbangun dari tidur, menggeliat, lalu menoleh Li Jing di sampingnya. 

"Di mana kita?" tanya Larasati sembari mengedarkan pandangan ke sekitar. 

"Penginapan," jawab Li Jing. 

Mata Larasati seketika membelalak. "Apa?" 

"Aku sudah mengatakan semalam. Apa kau tidak dengar?" Li Jing menatap benci Larasati. 

Perlahan bidadari itu tersenyum bodoh. "Aku lupa." 

"Kita akan tinggal sementara waktu di sini." Li Jing melangkah turun dari mobil, Larasati menyusul kemudian. Pria itu berjalan menuju resepsionis, sedangkan Larasati tetap menunggu di belakang. 

"Aku memesan dua kamar. Untuk aku dan wanita ini." 

"Baik, tunggu sebentar," pinta pegawai hotel yang segera mengambilkan dua kunci kamar, lalu menyodorkannya di meja. 

"Silakan." 

"Terima kasih," ucap Li Jing. Pria itu menoleh Larasati, sebelum akhirnya kembali mengalihkan pandangan ke depan. 

Resepsionis tersenyum ramah dan menaruh rasa hormat. "Sama-sama." 

Li Jing dan Larasati berjalan mencari kamar masing-masing. Setelah menemukan nomor yang sama dengan yang tertera di kunci pintu pun dibuka. Larasati segera memasuki kamar untuk melihat-lihat. 

"Kau jangan berbuat kekacauan di sini!" Li Jing memberi peringatan. 

Senyum mengulas di wajah Larasati, sebelum berbalik dan menatap lawan pria tersebut. "Aku janji." 

Tanpa menunggu lama, Li Jing sendiri segera memutar diri sebab merasa lelah dan ingin beristirahat.

"Kau mau ke mana?" tanya Larasati. 

Lagi-lagi Li Jing dingin menyikapi. "Kamarku di sebelah."  

"Li Jing, aku benar-benar meminta maaf. Karena diriku, kau tidak bisa kembali ke rumah!" sesal Larasati. "Aku pikir, aku bisa membuatmu lega dengan menghentikan wawancara dan pestanya. Aku tau kau menyukai wanita muda itu!" 

"Konyol sekali.” Walau mengelak, mata Li Jing menyiratkan kecemburuan pada Ying Fei. Kemudian, dia melanjutkan langkah pergi meninggalkan Larasati. 

***Sang Dewi***

Indah suasana di sore hari, semburat sinar matahari yang mulai menguning merasuk lewat jendela. Silir angin bertiup menambah hawa sejuk pegunungan. 

Larasati berdiri sembari sesekali menyesap teh panas di sebelah tangannya. Bibir tipis semerah jambunya membentuk senyuman kala menikmati pemandangan, sebelum memudar saat matanya tak sengaja melihat sesuatu. 

Bidadari tersebut segera menaruh cangkir teh di meja, rasa berkecamuk di dalam hati menuntun langkahnya yang perlahan ke luar dari jendela, lalu menuju ke lereng gunung. 

Tak berselang lama, Li Jing memasuki kamar, dia terkejut mendapati Larasati tak ada. Hanya secangkir teh panas di meja yang menjadi petunjuk. Sewaktu menoleh ke arah luar, terlihat Larasati telah berada di kejauhan. Li Jing segera menyusul Larasati karena ingin tahu apa yang dilakukan bidadari tersebut. 

Sementara itu, Larasati sendiri tengah memperhatikan lereng gunung yang tersaji. Matanya memindai ke sekitar, lalu menghampiri sebuah batu andesit kuno.

'Panjalu Jayati 1035 Saka.' 

Dada Larasati serasa sesak ketika jemari tangannya menyentuh aksara yang tertulis, tentu saja dia tak akan lupa pada masa lalu. Rasa rindu makin menyiksa batin, seiring ingatan Larasati yang mulai menerawang. 

***900 tahun lalu...

Mamenang menjadi tempat yang indah bagi dewi-dewi cantik, putri dari Istana Panjalu. Bagian besar kerajaan Kahuripan yang telah terbagi menjadi dua atas Jenggala di bagian timur dan Panjalu di bagian barat. 

Suara pedang terdengar beradu di taman berlatih, dua orang kakak beradik sedang sengit bertarung menggunakan jurus masing-masing. Larasati lihai dalam setiap gerakan, sabetan demi sabetan menguasai jurus sang kakak Jaya Amijaya, Pangeran kedua Panjalu. 

Sesaat kemudian, gadis berusia dua puluh lima tahun tersebut berlari kelelahan keluar dari taman, disusul sang kakak yang belum puas atas permainan. 

"Hei, aku belum kalah!" teriak Jaya Amijaya dengan napas ngos-ngosan. 

"Aku lelah, Kakak," sahut Larasati yang berdiri lemas di tirai pembatas. 

"Jaya, Sati, kalian sudah selesai berlatih?" tanya sesosok putri bertubuh ramping dengan balutan busana berwarna krem, dia adalah Pramesti.

Bukanya menjawab, Larasati justru menatap girang wanita bersanggul di hadapannya itu. "Kakak, aku baru saja akan ke kaputren mencarimu." 

Sang kakak membalas senyum. "Oh, ya ...." 

Cepat-cepat Larasati merangkul bahu sang kakak, tetapi matanya melirik Jaya Amijaya. "Untuk meminta pijit tentunya!" keluhnya. "Punggungku terasa sakit!"  

Setelah menyingkirkan tangan Larasati, Pramesti menoleh pangeran tersebut di belakang. "Apa kau menendangnya, Jaya?" 

"Tidak. Aku sama sekali tidak mengapa-ngapakan dia," sanggah Jaya Amijaya. 

"Kau tidak menendangku, tapi memukulku dengan pedangmu!" Larasati merasa kesal. 

"Ya, sudah, sudah," pinta Pramesti. 

"Sati, ayo ke keputren. Aku akan meminta dayang membuatkan ramuan obat agar rasa sakit di punggungmu membaik." Pramesti menuntun langkah Larasati menuju ke taman putri, mengabaikan Jaya Amijaya yang seketika tercengang melihat kelakuan si adik.

"Aku sangat menyukaimu, Kakak. Kau benar-benar tau apa yang adikmu ini butuhkan!" puji Larasati. 

Tentu saja Pramesti memahami sikap manis Larasati sehingga membalas senyum. "Kau akan selalu manja seperti ini jika ada maumu."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Dewi   Bab 102 : Tamat

    Kembalinya sang Atmajaya Wimala ke Agnicaya dengan membawa Shima Dahyang cukup mengejutkan para dewa, tak terkecuali Randita. Bagaimana tidak, Mandala mengumumkan jika dia akan menikahi Dewi Agung dari Candracaya tersebut sesuai tanggal yang telah ditentukan, padahal mereka berdua tak pernah terlihat menjalin hubungan. Kekecewaan seketika tersirat dari mata Randita yang berdiri di antara para bidadari. Selain luka karena patah hati, dia juga tak menyangka bahwa Hastapati, ayahnya, berada di belakang Mandala dan Shima Dahyang untuk memberi dukungan penuh. Randita benar-benar tak bisa menahan air matanya agar tak terjatuh sehingga lekas berbalik. Masalah kehadiran Rara Kinasih masih tak bisa dia terima, kini sudah bertambah kenyataan pahit lagi. Kini, langkah wanita itu makin berat oleh beban kebencian dalam hati. Hanya Shima Dahyanglah satu-satunya yang menyadari ekspresi wajah Randita. Meski demikian, sang Dewi Agung tetap menebar senyum pada semua para makhluk abadi langit di aul

  • Sang Dewi   Bab 101: Keputusan Sepihak

    Pagi itu, Shima Dahyang keluar dari kediaman dan langsung disuguhkan dengan pemandangan sang Atmajaya Wimala yang sedang mengelus-elus tubuh harimau putih di bawah pohon cempaka. Meski semula masih merasa canggung, wanita yang mengenakan kemban berwarna gading serta bawahan sutra bermotif batik tersebut mengayunkan tungkai menghampiri mereka berdua."Lukamu sudah baik-baik saja?" tanyanya.Mandala yang tak bergeming tersenyum menyikapi. "Menyerap sebagian intisari dari dewi berusia ribuan tahun, membuatku merasa lebih bugar," jawabnya.Embusan napas lelah keluar dari hidung Shima Dahyang. "Kau tak pernah berubah, entah sebagai Atmajaya Wimala atau Jaka Lelana selalu mempermainkanku.""Aku tidak bermaksud mempermainkamu," sahut sang Dewa. "Situasilah yang membuatku terpaksa melakukan semua.""Apa ini sebuah penjelasan?" Sebelah alis Shima Dahyang meninggi.Mandala sendiri segera berdiri, kemudian berbalik untuk menatap lawan bicaranya itu. Tentu saja, dia tahu bahwa Shima Dahyang menye

  • Sang Dewi   Bab 100: Penyembuhan

    Pada waktu Shima Dahyang masih sibuk membicarakan sesuatu dengan Randita, Rara Kinasih palsu memijakkan kaki di kediaman Dewi Agung yang masih berada di sekitar Taman Arutala. Pemandangan tirai-tirai berwarna merah jambu yang berkibaran tertiup angin menyambut sang Atmajaya Wimala. Beberapa aksesori bebatuan kristal berbentuk padma serta perabotan dari emas putih juga menghiasi ruangan tersebut. Walau begitu perhatian Mandala hanya terfokus pada cermin ukir di atas meja. Tanpa menunggu lagi, dia pun memegang gagang benda pusaka itu untuk melihat bayangan diri sendiri. Seketika cermin mengeluarkan cahaya silau, lantas menampilkan wujud sepasang kekasih dari alam berbeda yang memiliki paras serupa dengan Mandala dan Shima Dahyang. Pria di cermin memeluk wanita yang tengah terluka parah penuh sayatan, seakan-akan menegaskan bahwa cinta mereka tak terpisahkan hingga akhir. Namun, sayang sebelum semua menjadi lebih jelas, terdengar langkah kaki Shima Dahyang memasuki ruangan sehingga Ra

  • Sang Dewi   Bab 99: Penyamaran

    Atas undangan Shima Dahyang, Rara Kinasih datang ke Candracaya. Dia langsung diarahkan memasuki Taman Arutala oleh Sekar Langit, meski selanjutnya harus berjalan sendiri untuk menemui sang Dewi Agung. Sebelumnya, putri dari istri pertama Hastapati tersebut telah mengantongi informasi seputar si adik yang tinggal di sana sebagai pelayan, bahkan pada kesempatan kali ini, dia berharap bertemu Rara Kinasih guna memberi pelajaran karena telah berani naik ke kayangan. Benar saja, Randita berpapasan dengan sesosok peri yang membawa nampan berisi daging mentah sewaktu melewati pohon bunga cempaka putih. Tanpa basa-basi, lantas bidadari bergaun biru tersebut menarik lengan kanan wanita dari arah berlawanan sampai-sampai berbalik menatap dirinya, sementara nampan pelayan tersebut langsung jatuh ke tanah. "Rara Kinasih!" gerutunya, tetapi setelah diamati ternyata sosok di hadapan memiliki wajah berbeda dari si adik. "Kau bukan Rara Kinasih?" "Randita!" Demikian, sang Atmajaya Wimala ya

  • Sang Dewi   Bab 98: Memperhatikan

    Dua hari sudah sang Atmajaya Wimala tinggal di Candracaya dalam wujud Rara Kinasih, walau masih sulit mendapatkan kepercayaan Shima Dahyang, setidaknya kini dia selalu berada dekat dengan wanita yang telah membuat hatinya galau itu. Bagi Mandala, hal ini sudah cukup membuatnya merasa tenang daripada hanya berdiam diri di Taman Asmaradahana untuk menikmati kegelisahan. Karena semenjak kebangkitan Larasati, perasaan cinta kian hari justru kian menyiksa batin sehingga mau tak mau sang Dewa harus menghalalkan segala cara agar bisa bertemu. Layaknya pelayan, sore ini Rara Kinasih berjalan menghampiri Shima Dahyang yang sedang duduk sembari mengelus manja harimau putih di Taman Arutala. Tak lupa pria tersebut juga membawa cawan berisi ramuan, yang setelah bersimpuh, dia letakkan ke meja batu ukir. "Ternyata Sang Dewi sangat menyukai kucing besar," celetuknya. Keangkuhan terlihat jelas saat Shima Dahyang tersenyum menyikapi. "Kalau kau setia, aku juga akan menyukaimu." Sebab tak tahu har

  • Sang Dewi   Bab 97: Rara Kinasih

    Sesuai titah Shima Dahyang, Sekar Langit menemui sesosok peri, lalu bersama-sama mengantar Rara Kinasih menuju Taman Arutala. Di sana terdapat sebuah bangunan berornamen emas. Pun sesaat setelah mereka bertiga memasuki salah satu ruangan kamar di dalamnya, Sekar Langit berbalik untuk berhadapan dengan Rara Kinasih di belakang, sementara si peri segera undur diri. "Di sinilah Dewi akan tinggal," jelas wanita berambut panjang bergelombang itu. "Di sebelah, merupakan kamar milik Dewi Agung. Sang Dewi sangat membenci kebisingan, jadi mohon agar Anda selalu menjaga sikap." Senyum menghiasi wajah Rara Kinasih yang lantas mengangguk. "Saya mengerti." Akan tetapi, kemudian mata tajam Sekar Langit beralih fokus ke arah luar dari tirai. "Kumbang Lanang biasanya berkeliaran di sekitar sini," katanya. "Rara Dewi harus lebih berhati-hati karena mungkin dia akan agresif pada penghuni baru." "Tak perlu khawatir, saya bisa bisa melindungi diri sendiri," balas Rara Kinasih. Sekar Langit percaya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status