Terserah mas Abi sajalah, dasar labil!
“Sorry, aku telat.” Vira menghela panjang saat duduk berseberangan dengan Aga. Melepas tas tangannya lalu meletakkan di meja. Meskipun setahun telah berlalu, tetapi, Vira masih saja mengingat semua rasa sakit akibat perceraian mereka. Karena itulah, selama ini Vira sebisa mungkin menghindari Aga dan tidak bertatap muka langsung dengan mantan suaminya. “Dan nggak bisa lama, karena sudah ada janji.”“Kenapa kamu nggak pernah angkat telponku sama sekali, Vir?” Abi yang tadinya duduk di samping Aga, segera berdiri dan berpindah di samping Vira. “Paling nggak, balas chatku.”Vira memutar malas bola matanya. Hal seperti inilah yang membuat Vira malas berdekatan dengan Abi. Pria itu terlalu posesif, dan suka mengatur. Tidak seperti Aga, yang bisa memberinya kebebasan sampai-sampai Vira akhirnya lupa diri. Terlalu nyaman dengan semua hal di luar sana, dan melupakan kewajiban dasarnya sebagai seorang istri.“Be-ri-sik,” desis Vira lalu membuang mukanya dari Abi.“Aku begini karena khawatir sam
“Nggak usah bikin kopi!” Fika memelankan kunyahannya, dan segera menutup kotak bekal camilan di atas meja. Ia memasukkan kotak itu di tas, lalu kembali menatap laptop. Karena Abi tidak meminta dibuatkan kopi pagi itu, Fika pun tidak akan beranjak ke mana-mana. Fika juga tidak peduli, bila Abi kembali mendiamkannya. Pria itu berjalan tanpa menoleh, lalu menduduki kursinya dengan kasar. Dasar, pengacara labil. “Datangi bu Ina, tanyakan tentang arsip perceraian Riva Zaneta dan Ilham Arham, satu tahun yang lalu.”’ “Baik, Mas.” Fika segera berdiri, dan berjalan tergesa keluar ruangan. Ia kira, Abi kembali mendiamkannya, dan tidak memberi Fika pekerjaan. Sementara Fika sedang keluar, Abi menyalakan perangkat komputernya lalu menghubungi seseorang. Namun, nomor yang ditujunya ternyata sudah tidak lagi digunakan oleh pengguna. Riva, mantan istri Ilham itu sudah tidak bisa dihubungi lagi. Jika demikian, Abi harus meminta timnya untuk mencari keberadaan wanita itu sekarang juga. Abi bera
“Abi!”Abi dan Fika kompak saling pandang, dengan mata terbelalak sempurna. Bibir mereka masih menempel, dan mematung seolah mencerna semua yang sedang terjadi.“Fikaaa.”Saat namanya disebut, di situlah Fika mendorong kuat tubuh Abi. Namun, ia kembali mematung saat melihat sepasang suami istri yang melongo di samping pintu. Menelan ludah, lalu membawa kedua tangan tremor dan dinginnya ke belakang tubuh.Sementara Abi, jelas saja ia lebih terkejut lagi. Selain perbuatannya pada Fika barusan telah ketahuan, gadis itu juga mendorong tubuhnya hingga hampir saja terjatuh dan jadi bahan tertawaan. Untung saja ia memiliki reflek yang bagus, sehingga bisa dengan cepat meraih sisi meja rapat agar tidak terjatuh.“Saya laporin babe kalian berdua, ya!”Abi kembali terbelalak. Padahal ia baru saja menegakkan tubuh, tetapi kalimat tersebut langsung membuatnya syok. “Ning, ini cuma—”“Cuma apa!”Abi mendesah panjang, saat ucapannya dipotong kasar oleh istri Aga. Terlebih lagi, wanita hamil itu men
Abi berdecak dan memandang rumah sang papa dari pekarangan rumah. Tatapannya memang tertuju pada teras, tetapi pikiran Abi masih terngiang-ngiang akan kejadian pagi tadi. Kenapa Bening dan Aga harus datang di saat yang tidak tepat? Bukan … bukan itu yang seharusnya menjadi pertanyaan utama. Namun, mengapa Abi melakukan hal tersebut pada Fika. Setan mana yang merasukinya, sampai-sampai Abi bisa khilaf seperti itu. Abi pasti sudah gila! Terlalu banyak menangani kasus, membuat pikirannya menjadi kacau. Sepertinya, Abi akan mengambil cuti setelah menyelesaikan kasus terakhirnya. Menenangkan pikiran, sambil bersantai di sebuah pantai. Untuk malam ini, Abi akan melupakan sejenak tentang masalah Fika. Besok pagi, ia akan menyempatkan diri bertamu ke kediaman Aga dan menyelesaikan semua masalah yang belum sempat mereka bahas lagi. Setelah menarik napas dalam-dalam, Abi memantapkan langkahnya masuk ke dalam rumah. Melihat ada mobil asing yang juga terparkir di pekarangan rumah, sepertinya R
“Ayo keluar!” Pintu yang berada di sebelah Rasyid, sudah lebih dulu dibuka oleh Martin. Namun, Rasyid belum kunjung keluar, karena mendengar Abi masih saja mengeluarkan desahan frustrasi dan hal tersebut sudah berlangsung sejak mereka masuk mobil. “Harus berapa kali Papa bilang, pertanggungjawabkan semua kelakuanmu sama Fika. Jangan jadi pengecut seperti ini. Berani berbuat, berani juga bertanggung jawab.” Abi mengucap kasar wajahnya dengan perlahan. Harusnya Abi bisa menahan diri, dan tidak tergoda dengan wajah Fika yang begitu …. “Papa, sudah berapa kali juga aku bilang, Fika itu sudah punya pacar.” “Cuma pacar,” decih Rasyid. “Janur kuningnya belum juga melengkung, Bi. Lagian, kalau kamu tahu Fika sudah punya pacar, kenapa masih nekat main sosor anak orang?” “Khilaf, Pa, khilaf!” Harus berapa kali Abi bilang, semua itu hanya kecelakaan yang tidak disengaja. “Itu cuma sekali.” “Kalau Aga sama Bening waktu itu nggak datang, kita nggak akan tahu apa yang terjadi selanjutnya,” bal
“Afika Sutomo Nugraha binti Romi Nugraha.”Abi reflek mengumpat, saat melihat Aga terkekeh menghampirinya. Kenapa semua orang seolah bersuka cita, dan sangat bersemangat untuk menikahkan Abi dengan Fika? Mereka benar-benar kompak, dan Abi tidak menemukan satu celah pun untuk membatalkan semuanya. Andaipun ada, itu semua akan mengorbankan reputasinya sebagai seorang pria. Terlebih, dengan profesinya sebagai pengacara yang penuh integritas.“Jangan sampai lupa,” tambah Aga lalu menepuk bahu Abi, saat sudah berhenti di samping kawan lamanya itu. “Salah sedikit—““Berengsek.”Bukannya membalas, tetapi Aga justru tertawa puas.“Kalian semua, pasti sudah buat rencana ini sama Fika, kan?” tuduh Abi berspekulasi sendiri. Sejak tadi, Abi ingin sekali bertemu Fika agar bisa bicara empat mata. Namun, gadis itu tidak kunjung muncul dan entah berada di mana.“Jangan asal nuduh,” ucap Aga sudah menurunkan tangannya dari bahu Abi. “Semua ini nggak akan terjadi, kalau kamu bisa mengontrol dirimu send
“Jadi, bagaimana?” Rasyid berceletuk ketika malam semakin larut. Di ruang yang masih terhampar karpet tersebut, tinggal menyisakan keluarga saja. “Abi yang tinggal di sini dulu, atau Fika langsung ikut pulang ke rumah.” “Ke rumah?” Fika yang sedari tadi menempel pada Clara, sontak terbelalak. “Ke rumah Babe maks—“ “Papa, Fik.” Clara buru-buru meralat panggilan Fika pada Rasyid, sembari menyikut pelan lengan putrinya. “Iya, maksudnya, saya tinggal di rumah Papa Babe?” lanjut Fika langsung meralat ucapannya. Satu hal yang terlewat di benak Fika, ia harus tinggal bersama sang suami bila sudah menikah. Itu berarti, Fika akan tinggal satu atap bersama Abi. “Langsung? Malam ini juga?” Oh, tidak! Harusnya, Fika membicarakan hal tersebut dengan sang mama terlebih dahulu. Fika belum siap, jika harus meninggalkan rumah dalam keadaan mendadak seperti sekarang. “Kenapa? Belum siap?” sambar Romi melihat kebingungan di wajah putrinya. Jika berbicara siap, Fika pasti tidak siap. Sebenarnya, Romi
“Aku …” Fika menelan ludah. Buru-buru mengalihkan tatapannya dari Abi. Semakin lama menatap, debaran jantung Fika semakin jumpalitan tidak karuan. “Aku nggak mau hamil, jadi … jadi, nggak usah ngasih nafkah batin. Nggak papa, aku ikhlas. Aku, aku mau lulus kuliah dulu, jadi, Mas Abi nggak usah repot-repot mikirin nafkah batin buat aku.”Saking gugupnya, Fika sudah melupakan bahasa formalnya pada Abi. Andai ia bisa kabur, maka Fika akan keluar dan tidur di kamar tamu.“Lihat saya kalau bicara, Fika.” Tarikan napas Abi semakin dalam. Gadis di hadapannya saat ini, pasti tidak berpikir dahulu sebelum berucap. Bisa-bisanya Abi diminta tidak usah memikirkan nafkah batin? Fika memang bisa ikhlas, tetapi bagaimana dengan Abi.Lagi, Fika menelan ludah. Menoleh perlahan, dan kembali mempertemukan tatapannya dengan Abi. Dengan Hilmi, jantung Fika tidak pernah berdebar kencang seperti sekarang. Untuk itulah Fika selalu merasa lebih nyaman dan tidak harus merasakan kegugupan, juga ketegangan seper