Share

BERUSAHA KUAT

Pagi ini Anes sudah rapih. Bersiap ingin pergi ke kantor. Terhitung sudah lima hari dia tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas. Kalau perusahaan itu bukan milik kakak iparnya, Arsen Sagara. Sudah pasti dia akan dipecat dari perusahaan.

Anes memang sudah lima hari tidak masuk kerja. Tiga hari pertama karena ia disekap oleh Kiandra. Sedangkan dua hari selanjutnya, dia masih trauma dengan penculikan itu. Anes mengurung diri di apartemennya selama dua hari. ingin menenangkan diri.

Sekarang setelah hatinya cukup tenang, dia baru berani pergi ke kantor lagi. Tidak mungkin dia terus libur dari kerjanya. Mentang-mentang dia adik ipar pemilik perusahaan.

***

“Selamat pagi, Anes. Yang baru pulang healing. Asyiknya.” Erika, sahabat Vanya satu kantor langsung menyambut kedatangan Anes. Memeluk erat sahabat satu-satunya di kantor itu. Tempat dirinya berkeluh kesah selama ini. Terutama tentang kesedihannya karena penyakit yang diderita kakaknya saat ini.

“Healing?” Anes mengerutkan keningnya mendengar Erika yang mengatakan kalau dia baru pulang healing.

“Iya healing. Pak Azka bilang kamu pergi healing. Ikut kakakmu dan Pak Arsen ke Singapura.” Erika menjelaskan sama persis seperti yang dikatakan Azka, kepala HRD mereka. “Tidak tahu saja Pak Azka. Kakak kamu ke Singapura itu untuk berobat. Bukan untuk jalan-jalan kan ya,” lanjut Erika yang mengetahui kepergian Queena untuk berobat.

Anes diam. Masih mencerna ucapan Erika. Masih bingung kenapa Azka bisa mengatakan pada Erika kalau dirinya pergi liburan. Padahal yang sebenarnya dirinya kan baru saja diculik.

“Kenapa kamu pergi tanpa bilang-bilang ke aku? Padahal aku sangat khawatir dengan keadaan kamu. Dua hari kamu menghilang tanpa kabar. Padahal mobil kamu ada di basement. Hampir saja aku lapor polisi. Untung saja Pak Azka keburu datang dan memberitahu semuanya,” susul Erika. Kembali berkata setelah melihat Anes hanya diam.

“Aku buru-buru, Er. Jadi tidak sempat pamit. Kakakku keadaanya kritis di Singapura. Makanya aku cepat-cepat pergi tanpa memberitahu kamu. Aku juga langsung pergi ke bandara tanpa pulang dulu ke apartemenku. Naik jetpri Pak Arsen,” ujar Anes, berbohong. Biarlah kabar yang beredar seperti itu.

“Hah! Kamu ke Singapura naik jet pribadi Pak Arsen? Seriusan kamu?” Tanya Erika, tidak percaya.

“Hm.” Anes hanya berdehem.

“Wah. Bagaimana tuh rasanya?” Erika menjadi heboh mendengar pengakuan Anes yang sebenarnya berbohong.

Anes tidak menjawab. Hanya mengangkat bahunya sambil tersenyum miris. Tidak menyangka kalau dirinya bisa berbohong sesempurna itu.

“Ah lupakan dulu tentang acara kamu ke Singapura. Sekarang katakan padaku bagaimana keadaan Kak Queena sekarang?” Erika mengalihkan pembicaraan pada kabar kakak sahabatnya. Dia ikut khawatir.

“Sekarang Kak Queena masih belum sadarkan diri. Tapi keadaannya sudah ada peningkatan. Dokter di Singapura sedang terus berusaha menyembuhkannya,” jawab Anes. Lagi-lagi berbohong.

“Syukurlah kalau keadaan Kak Queena sudah agak baikkan. Sekarang kamu duduk dan kita mulai kerja lagi.”

Anes mengangguk. Duduk di kursinya dengan kebingungan yang melanda pikirannya. Untung dengan berita dari Azka tentang dirinya selama menghilang.

Sebelum menyalakan komputer, Anes memandang Erika terlebih dahulu. Menatap sahabatnya dengan perasaan bersalah. Karena telah membohongi sahabatnya.

‘Maafkan aku, Erika. Aku terpaksa berbohong. Aku tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Aku takut laki-laki

Anes menyalakan komputer. Dia ingin fokus bekerja lagi. Agar otaknya tidak lagi memikirkan kata-kata Erika dan juga agar pikirannya tidak lagi mengingat kejadian di malam terkutuk itu.

***

Siangnya.

“Nes. Sudah dulu kerjanya. Kita makan siang dulu yuk!” Ajak Erika. Mengajak Anes makan siang. Sebab sudah waktunya istirahat makan siang.

“Duluan saja, Er. Kerjaanku masih menumpuk. Aku ingin menyelesaikan semuanya hari ini,” tolak Anes. Matanya masih fokus ke layar komputer di depannya.

“Aku tahu kamu sibuk. Tapi kamu harus makan, Nes. Supaya kesehatanmu tetap stabil.”

“Aku belum ada selera makan. Kamu pergi saja sendiri. Aku ingin tetap di sini. Menyelesaikan pekerjaan yang sempat terbengkalai.” Anes bersikukuh. Tetap mengerjakan pekerjaannya tanpa menatap layar komputer. Tanpa menoleh sedikitpun kepada Erika.

“Terserah kamu saja. Aku tidak bisa memaksa kamu pergi makan siang.” Erika mengangkat bahunya. Pasrah dengan keinginan Anes.

“Tapi ingat! Kamu harus makan siang. Wajah kamu terlihat pucat. Aku mau ke kantin. Pulangnya bawa makan siang untuk kamu. Nanti kamu harus memakannya. Tidak boleh ada penolakan,” ujar Erika, akhirnya. Berinisiatif ingin membelikan makanan untuk Anes.

“Tapi Er….” Anes hendak protes. Tapi tidak jadi. Sebab saat menoleh, Erika sudah sampai di pintu keluar. Yang selanjutnya menghilang di balik pintu.

“Cepat sekali anak itu pergi. Aku tidak bisa mencegahnya membeli makanan untukku,” gumam Anes. Menggelengkan kepala. Tidak mengerti dengan kebiasaan Erika yang selalu memaksakan kehendaknya saat dirinya tidak selera makan.

Anes kembali ke pekerjaannya mengisi data ke komputer. Tiba-tiba di tengah pekerjaannya memasukkan data, dia terdiam. Matanya menatap kosong ke arah layar. Pikirannya melayang-layang lagi mengingat kejadian malam itu. Jika sudah begitu, tubuh Anes akan segera bergetar setiap mengingatnya. Matanya akan mulai berkaca-kaca.

“Tidak. Aku harus kuat. Aku tidak boleh terus mengingatnya. Aku harus berusaha melupakan kejadian itu. Aku tidak mau terpuruk selamanya. Masih ada kakakku yang sangat menyayangiku. Aku tidak boleh lemah,” gumam Anes. Mulai tersadar dari lamunannya.

Segera menyusut air mata dengan tangannya. Menggigit bibir bawahnya untuk menahan agar air mata itu tidak lagi jatuh seperti tadi.

Saat Anes sibuk menata hatinya agar tidak terpengaruh lagi bayangan kelam itu. Tiba-tiba dia mendengar dua orang laki-laki sedang berjalan melewati mejanya. Salah satu dari laki-laki itu adalah Azka. Bagian HRD yang telah membuat berita kalau alasan dirinya tidak masuk kantor adalah karena sedang jalan-jalan ke Singapura.

Anes mendengar Azka sedang menjelaskan seputar keadaan kantor yang saat ini dipegang asisten kakak iparnya untuk sementara sampai Arsen pulang dari Singapura.

“Jadi mulai hari ini Anda yang akan memimpin perusahaan ini, Tuan?” Anes mendengar Azka bertanya.

“Hm.” Anes hanya mendengar suara deheman singkat sebagai jawaban atas pertanyaan Azka.

Namun jawaban singkat itu cukup membuat jantung Anes langsung berdebar cepat. Walau hanya sebuah deheman, tapi Anes hafal betul suara itu. Suara yang membuat dirinya merasa kotor sebagai seorang wanita.

Tapi Anes berusaha menenangkan diri. Berusaha menepis dugaan tentang siapa orang berdehem tadi. Mungkin saja pria di belakangnya itu bukan orang yang dia duga. Bisa saja kan suara deheman sebenarnya orang lain. Hanya mirip saja.

Anes diam. Menghentikan pekerjaannya sebentar. Ingin mengetahui apakah dugaannya benar. Segera ditajamkannya pendengarannya. Dengan nafas yang setengah ditahan. Agar dia bisa mendengar jelas suara orang yang bersama Azka, dengan jelas.

“Tapi apakah Anda sudah memberitahu Tuan Arsen tentang rencana Anda ini? Apakah beliau sudah mengizinkan Anda berada di perusahaan ini?” Tanya Azka, seperti sedang menyelidik. Anes yakin ada niat tersembunyi dari pertanyaan Azka itu. Anes yakin laki-laki yang suka menjilat orang itu sedang mencari celah agar bisa semakin dekat dengan bis tertinggi perusahaan.

“Aku tidak perlu memberitahu ayahku tentang rencanaku ini. Aku juga tidak perlu izinnya untuk memimpin di sini. Perusahaan ini milik keluarga ibuku. Dan aku sebagai anaknya, berhak atas perusahaan ini. Bahkan lebih berhak dari si bandot tua itu,” balas laki-laki itu. Suaranya dingin dan datar. Seperti marah dan tersinggung mendengar ucapan Azka yang meragukannya.

Sementara Anes yang mendengar suara dingin dan datar itu dengan jelas. Seketika tubuhnya kembali bergetar. Dadanya terasa sesak. Dengan jantung yang semakin berdebar tak karuan. Keringat dingin langsung keluar dari pelipisnya. Panik dan takut. Hingga membuat tubuhnya terasa beku di tempat. Kini dia yakin sekali kalau yang bersama Azka di belakangnya itu adalah dia. Dia… laki-laki b4ngsat yang sangat dibencinya.. Dia adalah Keandra Sagara. Laki-laki b4jingan yang telah merenggut kesuciannya.

Tubuh Anes membeku. Tidak mau bergerak walau sedikitpun. Seperti takut kedua orang di belakangnya akan mengetahui keberadaannya. Bahkan hembusan nafasnya pun dia tahan agar tidak menghasilkan bunyi yang bisa saja didengar keduanya.

Namun sayang. Usaha Anes tidak membuahkan hasil. Karena tiba-tiba suara Azka memanggilnya, “Anes! Ternyata kamu sudah kembali ke kantor?”

Anes tidak menjawab. Dia juga tidak ingin berpaling ke belakang. Dia takut laki-laki yang sangat dibencinya akan mengenalinya.

“Anes! Kamu dengar perkataan saya?” Anes mendengar suara Azka memanggilnya lagi. Disertai suara langkah sepasang sepatu yang melangkah mendekatinya dan berhenti tepat di seberang meja Anes.

“Anes! Dua kali saya panggil kenapa kamu tidak menyahut atau sekedar menoleh saya?” Tanya Azka, setengah marah.

Anes bingung saat ini. Ingin menoleh tapi takut beradu tatap dengan laki-laki yang bersama Azka. Tapi kalau tidak menoleh, dia takut Azka marah dan memecatnya. Karena walaupun dia adik ipar Arsen, tetapi dia tidak memiliki hak istimewa di kantor. Statusnya sama dengan pekerja magang lainnya.

Tap! Tap!

Anes kembali mendengar langkah sepasang kaki lain sedang mendekat. Membuat Anes semakin enggan untuk menoleh. Karena Anes yakin kalau pemilik sepasang sepatu yang sedang mendekat ke arahnya itu adalah Keandra Sagara. Laki-laki yang paling tidak ingin doa temui lagi di dunia ini.

“Siapa dia, Azka? Kenapa dia tidak sopan padamu?”

Anes mendengar dia bertanya pada Azka. Seketika jantungnya terasa berhenti berdetak. Karena yakin itu adalah suara Keandra yang pasti saat ini sudah berdiri tepat di belakangnya sambil menatapnya dengan pandangan menyelidik.

“Dia Anes. Karyawan magang di sini. Anes! Menghadap kemari! Hormatlah kepada Tuan Keandra. Karena sebentar lagi dialah yang akan memimpin perusahaan ini!” Bentak Azka sudah mulai kehilangan kesadarannya saat melihat Anes tetap saja duduk membelakanginya.

Setelah beberapa saat Anes tidak mengindahkan panggilan Azka. Akhirnya kali ini dengan terpaksa dia harus menurut untuk menghadap Azka dan Keandra.

Perlahan kursi putar yang Anes duduki mulai bergerak. Berputar menghadap ke depan. Menuju tempat Azka dan Keandra berdiri sambil menatapnya.

Hingga akhirnya Anes benar-benar menghadap keduanya sambil menunduk. Tidak berani mengangkat wajahnya.

“Kenapa kamu menunduk? Tidak biasanya kamu seperti itu. Angkat wajahmu! Tuan Keandra ingin melihat wajahmu!” Bentak Azka, kesal. Menyuruh Anes memperlihatkan wajahnya kepada Keandra.

Anes lagi-lagi terpaksa menurut. Mengangkat wajahnya dengan perlahan. Enggan melihat Keandra.

Hingga wajah itu benar-benar mendongak dan mata mereka sudah beradu pandang.

“Kau!??”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status