Gimana nih, Kakak... Sudah puas belum???? Mau lanjut atau udahan??? :D Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku ya.... Judulnya "Sekretaris Kesayangan CEO" Komentar, kritik, dan sarannya aku tunggu. :)) Terima kasih ;D
Bertahun-tahun telah berlalu. Tanpa terasa Alsha dan Alma sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Mereka sama-sama berhasil lulus kuliah. “Akhirnya kita lulus dalam waktu yang sama Kak,” ungkap Alsha bergembira.Seperti biasanya, Alma hanya menanggapi dengan ekspresi biasa saja. Sepertinya gadis itu masih merasa kesal dengan kembarannya.Alsha memang lebih unggul dari Alma, namun hal itu tidak membuat Alsha merasa sombong. Sebenarnya banyak perusahaan yang menawarkan pekerjaan kepada mereka. Namun Alsha masih memiliki keinginan untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri dengan beasiswa yang ia dapatkan.Sementara Alma memilih untuk bekerja sebagai foto model. Tubuhnya yang tinggi dan ramping. Kulitnya yang putih mempesona, membuatnya mudah untuk mendapatkan pekerjaan tersebut.“Aku mau merayakan kelulusan bersama Marco. Jangan sampai kamu ngadu sama papa, ya? Pasti nanti mereka ngelarang Alma buat ikut balap liar. Padahal cuma iseng-iseng biar nggak gabut.”“Kak ... k
“Kak Alma yakin dengan semua rencana ini? Kakak nggak akan nyesel?” Alsha mencoba meracuni pikiran kakaknya agar membatalkan rencananya. “Nggak mungkin lah aku nyesel. Dan kamu Alsha, aku udah bilang. Nggak perlu panggil kakak. Kita itu hanya selisih beberapa menit saja lahirnya.” “Tapi kata Papa—” “Udah deh. Sekarang kamu harus siap-siap. Pakai gaun ini.” Alsha melihat gaun pemberian Alsha. Terlalu minim dan terbuka. Ia tidak terbiasa memakai pakaian seperti itu. “Alsha nggak mau pakai gaun ini. Biarkan aku pakai baju aku sendiri ya, Kak?” ungkap Alsha jujur. “Terserah deh! Yang penting kamu beneran datang ke tempat yang udah dijanjiin. Ingat, ya! Jangan gagalkan rencana ini!” peringat Alma kemudian. Alsha mengangguk saja. Ia segera masuk ke kamar mandi untuk membersihkan seluruh tubuhnya. “Nggak usah lama-lama!” teriak Alma mengingatkan. Alsha hanya diam dan melanjutkan aktivitasnya di dalam kamar mandi. Sejujurnya ia tidak sanggup jika harus bermain-main dengan perasaan. Me
Sejak malam itu, Alsha tak lagi bertemu dengan Dito. Alma yang menggantikan posisinya seperti sebagaimana yang seharusnya. Meski Dito merasakan perubahan pada diri Alma, ia sudah terlanjur berjanji untuk melamar gadis itu. Alsha hanya bisa menatap dari balik jendela kamarnya saat Dito dan Alma jalan bersama setiap malam. “Kak Dito, apakah kamu tidak merindukan aku? Apakah kamu tidak bisa melihat jika Kak Alma bukanlah aku?” Tanpa terasa air mata mulai mengalir kembali membasahi wajah Alsha. Gadis itu menumpahkan segala perasaannya ke dalam sebuah buku diary. “Mungkin cinta memang tak harus memiliki. Harusnya sejak awal aku tidak mengikuti kekhilafan hati ini.” Mungkin Alsha memang menyesali perbuatannya, tetapi tidak dengan cinta yang sudah terlanjur bersemayam di hatinya. Meski begitu, Alsha sudah yakin akan keputusannya untuk bisa melupakan cinta pertamanya itu. Alsha meraih ponselnya. Ia menghapus semua foto-foto kenangannya bersama Dito. “Aku harus bisa melupakan Kak Dito.
Satu setengah tahun kemudian. “Hai calon adik ipar. Tumben ngajakin ketemuan,” ucap Alma kepada Marco—kekasih Alsha sekaligus mantan pacarnya tersebut. Tiba-tiba saja Marco meminta Alma menemuinya di sebuah kafe. Kafe itu letaknya berada di dekat dengan apartemen milik Alma yang dibelikan oleh Dito. “Kamu apa kabar, mantan?” Bukannya menjawab pertanyaan Alma, Marco justru menggodanya dengan sebuah pertanyaan. Lelaki itu sepertinya masih memiliki rasa kepada Alma. Hanya saja memilih untuk mengalah karena tidak ingin mengecewakannya. “Seperti yang kamu lihat. Aku sedang bad mood. Aku merasa jika Dito sengaja menjauhiku. Dia lebih betah kerja di luar kota tanpa menghubungiku sama sekali. Dan di saat aku memintanya untuk segera menikahiku, dia selalu memiliki sebuah alasan.” Marco tergelak. Ia menertawakan mantan pacarnya yang terlihat sangat lemah. Padahal dulu Alma tidak pernah merasa segalau itu. Lelaki itu kemudian meraih tangan Alma dan ia letakkan di atas punggung tangannya agar
Sepasang lengan kekar memeluk Alsha dari belakang begitu erat. Gadis itu bisa merasakan deru napas seorang lelaki pada tengkuk lehernya. Dan sesaat kemudian mengecupnya beberapa kali. “Sayang ... aku kangen,” lirih dengan suara berat penuh hasrat. Alsha bisa mencium aroma alkohol yang sangat tajam. Alsha sangat mengenali suara itu. Suara yang begitu ia rindukan beberapa tahun terakhir ini. Gadis itu segera memutar tubuhnya. Tubuhnya menegang seketika. Tatapan mata penuh kabut gairah tengah memperhatikannya. “Kamu sangat cantik memakai pakaian ini, Alma.” Dengan cepat tangan lelaki itu mendorong tubuh Alsha. Lalu mulai mendekatkan bibirnya dan saling bertukar saliva. ‘Kak Dito, dia menyebut nama Kak Alma? Pasti dia mengira jika aku ini adalah Kak Alma,’ batin Alsha menjerit. ‘Bodoh! Tentu saja Kak Dito memanggil nama kekasihnya!’ Alsha merasa kesal sendiri. Bisa-bisanya ia berharap Dito akan mengenalinya. Alsha ingin memberontak. Tetapi tubuhnya berkata lain. Entah mengapa gadis
“Kenapa Mas Amar sampai sekarang belum pulang juga?” keluh Rania seorang diri.Wanita itu berjalan dengan resah di dalam kamarnya. Ia sudah tidak sabar menanti kedatangan suaminya.Selesai mempersiapkan segalanya, Rania sengaja memakai sebuah pakaian tipis nan seksi atas rekomendasi dari sahabatnya. Ia juga menggunakan parfum dengan aroma yang sangat menggoda.Wanita itu ingin memberikan kejutan kepada sang suami di hari ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga tahun. Ia juga sudah mengirimkan sebuah pesan untuk Amar agar pulang cepat malam ini.Rania berusaha menenangkan perasaannya. Ia mulai bercermin kembali dan menambah sedikit lipstik merah terang pada bibirnya. Kemudian mengurai rambut panjangnya.Untuk kesekian kali Rania mengecek ponselnya. Namun tetap saja tidak ada balasan pesan dari Amar meski pesan tersebut telah berwarna biru bertanda centang dua.“Apakah mungkin Mas Amar masih sibuk di kantornya? Sampai-sampai tidak sempat membalas pesanku.”Rania berusaha tetap setia me
Kedua mata mereka saling bertemu. Rafka memandangi kecantikan wajah kakak iparnya meski tidak memakai make up sama sekali. Wanita itu tampak cantik alami dengan rambut panjangnya yang masih terlihat sedikit basah."Ra—Rafka. Maafkan, aku." Tergagap Rania mengatakannya. Ia semakin merasa salah tingkah di hadapan Rafka."Baiklah. Kamu bisa bangun sekarang. Tubuhmu berat juga rupanya." Rafka tersenyum smirk. Ia justru senang bisa menggoda Rania.Rania terkejut. Ia segera berdiri tegak berusaha menjauhkan dirinya dari sang adik ipar."Kamu beristirahatlah. Aku ke luar dulu," pamit Rania kemudian."Rania, tunggu!" tahan Rafka.Rania pun berbalik badan. "Bisakah kamu memanggilku dengan sebutan kakak?"Sejak pertama kali Rania menikah dengan Amar, tidak pernah Rafka memanggilnya dengan sebutan kakak ipar. Lelaki itu selalu menyebut nama karena usia Rania memang jauh di bawahnya."Of, course. Tapi aku lebih suka memanggilmu Rania.""Em ... sudahlah. Itu tidak penting. Aku harus segera ke dapur
Rania memilih untuk meninggalkan Rafka yang masih berdiri di tempatnya. Wanita itu kembali ke dapur untuk membuatkan sarapan suaminya."Rania, tunggu aku!" teriak Rafka kemudian.Rafka menyusul kepergian Rania. Ia berdiri di samping wanita yang sedang sibuk dengan wajan dan spatula."Kenapa kamu diam saja dibentak-bentak seperti itu? Lawan Ran, jika kamu memang benar."Rafka berbicara panjang lebar. Ia ingin Rania menjadi wanita tangguh. Sehingga tidak diinjak-injak oleh suaminya sendiri."Kamu apa-apaan sih, Ka! Seharusnya kamu tidak menjadi kompor. Biar dia saja," ungkap Rania sambil melirik ke arah kompor di depannya. Ucapan yang seharusnya lucu, tetapi terdengar garing di telinga adik iparnya."Rania, Rania, kamu masih sama saja seperti dulu. Sangat lugu dan polos." Rafka berucap dengan tenang. Menyandarkan tubuhnya di dekat dinding dapur."Hm, aku hanya tidak ingin memperpanjang masalah yang ada.""Oh, ya. Apa kamu ingat dulu kamu sangat cupu dan cengeng. Kamu merengek meminta per