“Kalian ini tidak ada kerjaan lain ya selain mendatangi penduduk asli dan menodong kami dengan berbagai pertanyaan? Pasti kakakmu itu sekarang sedang melakukan hal yang sama kan di tempat lain?” sambar Steffan, salah satu penduduk asli Scylaac.
“Jawab saja pertanyaanku. Di mana aku bisa menemukan orang asing lainnya?” tanggap Ayu dengan gelagat malas seperti biasa.
“Memangnya kau mau apa dengan orang-orang seperti itu?” tanya Steffan lagi.
“Kalian semua sudah tahu apa yang kuinginkan. Aku hanya ingin menghancurkan Scylaac,” jawab Ayu lagi.
“Lalu untuk apa kau mencari mereka? Mereka itu orang asing. Mereka bukan representasi dari Scylaac. Melakukan apa pun terhadap orang-orang itu tidak akan berpengaruh apa-apa pada Scylaac.”
“Aku sudah tahu garis besarnya mengenai kalian para penduduk asli. Dan seharusnya para kaum
“Namanya Surendra. Dia sudah lama berada di Scylaac. Biasanya dia ada di kaki gunung Tanah Langit. Kau cari saja sendiri di sana.” “Seperti apa ciri-ciri orang itu?” “Dia lelaki perokok berat berusia sekitar 50 tahunan; menurut perhitungan waktu yang berlaku di luar sana. Rambutnya selalu ditata rapi dengan model belah samping sederhana. Dia senang memancing ikan di salah satu cabang sungai Tanah Langit. Kalau kau ingin bertemu dengannya, tanya saja kepada orang-orang yang ada di sekitar situ. Mereka semua pasti tahu tentang dia.” “Bagaimana dengan kepribadiannya? Apa yang membuat kalian menganggapnya sebagai orang asing?” “Awalnya dia bukan orang asing. Dia datang ke Scylaac untuk mempelajari Scylaac, sama seperti kebanyakan orang lainnya. Dia ingin tahu, apakah Scylaac dapat dia terima sebagai kenyataan atau tidak. Awalnya dia cukup puas dengan keberadaan Scylaac. Para pendahuluku pun mener
“Wah, tumben. Kita kembali di saat yang bersamaan,” kata Baskara.“Iya ya. Kita memang sepakat akan kembali setelah matahari tenggelam. Tapi ini benar-benar bersamaan,” tanggap Ayu.“Jadi, apa yang kamu dapatkan?” tanya Baskara.“Sesuatu yang sudah kuduga tapi tidak kuharapkan,” ucap Ayu lugas. Ia menghapus senyumannya dari wajahnya. Baskara pun melakukan hal yang sama.“Berarti sekarang kamu sudah bisa menjelaskannya kepadaku?” tanya Baskara dengan sedikit berhati-hati.“Sebenarnya aku belum cukup yakin untuk mengambil kesimpulan pasti,” jawab Ayu yang kemudian sedikit mengambil waktu untuk berpikir. “Tapi tak apa-apa. Aku akan menjelaskannya sekarang.”“Bagus. Akhirnya aku tak perlu penasaran lagi,” kata Baskara. Ayu tersenyum simpul menanggapi.
Ayu terus melanjutkan uraian pendapatnya.“Mereka itu aneh,” katanya. “Ekspresi-ekspresi sederhana yang selalu ada pada diri manusia, hal-hal yang secara standar kita lakukan, itu tidak ada dalam diri mereka. Para penduduk asli itu tidak pernah menutup mulut ketika mereka tertawa, batuk, bersin, ataupun menguap. Mereka tidak pernah menggeleng untuk menyampaikan maksud benar, mengangguk untuk menyampaikan maksud salah, atau mengangkat bahu untuk menyatakan tidak tahu. Mereka bahkan tidak mengangkat alis, menghela napas, memutar bola mata, atau tersenyum singkat ketika biasanya orang lain akan melakukannya untuk menanggapi hal-hal yang terkait dengan emosi-emosi tersebut. Semua itu tidak ada dalam diri mereka.”Baskara terus berusaha mencerna perkataan Ayu.“Yang ada pada mereka hanyalah ekspresi-ekspresi dasar yang memang pasti akan muncul dengan sendirinya tanpa bisa dikendalikan. Ekspresi-e
“Dan, yang ke-3, area yang ditutupi pepohonan rindang yang ada di sana itu,” kata Baskara sambil menunjuk ke arah tempat yang ia maksud.“Di situ? Di tempat yang tak pernah bisa ditembus sinar matahari itu?” tanya Ayu tak percaya.“Ya. Aku pun juga awalnya kaget. Sebab dari tempat itu ke kaki gunung Tanah Langit terdapat salah satu cabang sungai yang cukup lebar. Ternyata, begitu aku selidiki, di cabang sungai itu sama sekali tidak ada ikan seekor pun. Tanaman yang tumbuh di jalur itu pun juga sedikit banyak adalah tanaman yang beracun. Para penghuni sudah mengetahui hal itu sejak awal. Itulah mengapa tak ada seorang pun dari mereka yang mau tinggal menetap di jalur tersebut,” jawab Baskara.“Begitu, ya. Jadi tak hanya area pepohonan rindangnya saja, jalur dari tempat itu menuju kaki gunung Tanah Langit pun juga dihindari oleh para penghuni,” kata Ayu seraya kembali menyant
Selama di Scylaac, Ayu dan Baskara menjalani pola hidup normal berdasarkan perputaran waktu 24 jam. Mereka memulai hari dengan bangun tidur di pagi hari, mengisi hari dengan beraktivitas di sepanjang hari, dan menutup hari dengan tidur di malam hari. Itu mereka lakukan secara konstan sebagai rutinitas kehidupan mereka. Normal. Layaknya manusia biasa di dunia luar pada umumnya. Tidak begitu dengan para penduduk asli di alam Scylaac.Para penduduk asli Scylaac hidup menurut cara mereka sendiri. Mereka tidak terikat kepada pola hidup normal dalam perputaran waktu 24 jam. Mereka hidup di dalam kebebasan yang sempurna. Bisa dibilang, mereka tidak tunduk kepada hukum alam dalam menjalani kehidupan mereka.Para penduduk asli bisa menjadikan waktu hidup mereka menjadi – seakan-akan – lebih dari 24 jam dalam sehari. Mereka juga bisa melakukan hal yang berkebalikan dengan itu di kesempatan yang berbeda. Itu tergantung pada waktu tidur dan
Ayu tidak salah. Menemukan tempat tinggal yang cocok untuk misinya itu tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Begitu juga dengan menyelidiki para penduduk asli. Masalahnya dalam beberapa hari kabar bahwa Ayu mendatangi dan menanyai para penduduk asli sudah tersebar di antara mereka yang belum ditemuinya. Fakta bahwa Ayu melakukan itu untuk menyelidiki diri mereka sendiri memang belum terkuak. Namun tetap saja mereka sudah mengetahui bahwa cepat atau lambat Ayu akan datang kepada mereka. Jika ternyata benar bahwa mereka memang bersandiwara dalam ekspresi mereka, maka kini mereka sudah semakin siap untuk kedatangan Ayu kepada mereka.Hal itu tentu saja disadari oleh Ayu. Namun itu tak mengubah rencana Ayu. Sejak awal ia sudah memperkirakan segala kemungkinan. Karena itulah ia berusaha menemui sebanyak mungkin penduduk asli sebelum kabar tersebut tersebar. Dan setelah kabar tersebut tersebar pun, tetap tak ada pilihan lain bagi Ayu selain tetap melanjutkan apa
“Hei, kalian sudah dengar?”“Apa lagi kali ini?”“Ayu, perempuan itu.”“Dia lagi? Mengapa belakangan ini hal-hal yang menghebohkan selalu datang dari dirinya?”“Memangnya apa yang dilakukannya kali ini?”“Kudengar dia berkeliling menelusuri hampir seluruh wilayah Scylaac yang berpenghuni untuk menemui para penduduk asli.”“Loh? Itu kan sudah biasa. Bukankah dia selalu menemui para penduduk asli kalau butuh sesuatu?”“Kali ini beda. Selama ini dia hanya mau mendatangi kelompoknya Schoistuedie. Kali ini dia justru hanya pergi menemui penduduk asli yang belum pernah ditemuinya sebelumnya. Itu dia lakukan terus-menerus selama beberapa hari belakangan ini.”“Maksudmu dia seperti dengan sengaja melakukan itu?”
“Sudah kuduga. Ternyata memang akan seperti ini jadinya.”Baskara menoleh ke arah Ayu. “Apa maksudmu?” tanyanya.“Para penduduk asli itu. Aku memang sudah menduganya dari awal. Ternyata aku memang mendapatkannya. Kepura-puraan pada mereka.”Baskara terkejut mendengarnya.“Jadi mereka memang bersandiwara?”“Tidak semuanya. Hanya beberapa yang sudah bisa kupastikan begitu. Sisanya, mereka tetap belum bisa kupastikan.”Baskara mengerutkan dahi.“Aku memang sempat ragu awalnya. Sebab ternyata di antara mereka yang sudah kueliminasi pun, banyak juga yang tampil dengan tidak terlihat bersandiwara. Itu benar-benar nyata dan meyakinkan. Aku jadi bingung karenanya. Untungnya, setelah mencari lebih jauh lagi, pada akhirnya aku dapat menemukan juga orang-orang bodoh yang memang jelas-