Home / Rumah Tangga / Sebelum Cinta Itu Hilang / Bab 24 - Lio Yang Bertanya

Share

Bab 24 - Lio Yang Bertanya

Author: Oldbee
last update Huling Na-update: 2025-07-21 14:29:51

Hujan tipis mengguyur atap seng kontrakan, menimbulkan irama yang menenangkan dan sekaligus mengingatkan pada sesuatu yang hilang. Nadine duduk bersila di ruang tengah, tangan-tangannya cekatan melipat cucian yang masih hangat dari jemuran dalam ruangan. Aroma sabun dan kelembapan tanah bercampur di udara, khas rumah kecil yang masih baru ditinggali namun sudah penuh cerita.

Di lantai tak jauh dari sana, Lio duduk tengkurap dengan mainan robot kesayangannya. Ia belum banyak bicara sejak pulang sekolah, hanya mengangguk saat ditanya apakah sudah makan dan mandi. Tapi Nadine tahu, keheningan itu bukan sekadar lelah. Ada sesuatu yang sedang diproses di dalam kepala kecil itu.

“Bu…” suara Lio terdengar pelan namun jelas. Nadine sempat berhenti melipat kausnya. “Kenapa Ayah nggak tinggal sama kita lagi?”

Kalimat itu jatuh begitu saja, ringan dari mulut anak lima tahun, namun terasa seperti batu yang menghantam dada. Nadine mematung sejenak. Tangannya masih menggenggam ujung lengan kaus, ta
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Locked Chapter

Pinakabagong kabanata

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 52 - Rasa Bersalah Yang Mencekik

    Gemuruh hujan yang sejak sore belum berhenti masih terdengar samar dari luar jendela apartemen. Di dalam, suasana justru lebih sunyi daripada yang bisa ditanggung oleh seorang pria yang sedang dihantui oleh bayangan keputusannya sendiri. Televisi menyala dengan volume pelan menampilkan tayangan lama, tapi mata Raka tak benar-benar menatap layar. Ia duduk di sofa, membungkuk sedikit, menatap dua gelas kopi di meja yang salah satunya sudah dingin tak tersentuh. Gelas itu ia buat dengan kebiasaan lama—dua sendok gula untuk Nadine, tak lebih.Ia mengambil ponsel, menyalakan layar, dan membuka galeri. Jempolnya mengusap layar hingga berhenti pada satu foto: Nadine dan Lio sedang tertawa di taman. Lio berlari ke arah kamera, wajahnya cerah diterangi cahaya matahari, sementara Nadine berdiri sedikit di belakang dengan tangan terulur, seperti ingin menangkap tawa anak mereka. Raka menatap gambar itu lama. Hening."Apa yang sudah kulakukan…?" gumamnya nyaris tak terdengar. Suaranya tercekik ol

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 50 - Permainan Licik

    Hujan belum juga reda sejak siang tadi, membasahi trotoar kota dengan irama monoton yang membius, seperti sebuah lagu kesedihan yang diputar berulang. Genangan air tipis di sepanjang jalan memantulkan cahaya lampu kota yang berpendar kelabu, menciptakan bayangan-bayangan ganjil yang bergerak tiap kali mobil melintas. Malam menggulung langit dengan warna abu, dan udara lembap membuat napas terasa berat.Di sudut sebuah kafe mewah yang temaram, Tania duduk tenang. Cangkir cappuccino di hadapannya sudah kehilangan jejak uap, namun tangannya masih menggenggamnya seolah kehangatan itu belum sepenuhnya hilang. Ia mengenakan mantel krem dengan kerah tinggi dan sepatu hak pendek, riasannya ringan tapi presisi, senyumnya mengundang tapi matanya tajam—tajam seperti pisau yang diselipkan di balik bunga.Di seberangnya, seorang pria paruh baya berjas rapi menyelonjorkan duduknya. Tangan kirinya memutar sendok perlahan dalam cangkir kopi, sementara tangan kanannya mengetukkan jari di permukaan mej

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 50 - Tekanan Yang Menghimpit

    Hujan masih turun rintik-rintik ketika Nadine turun dari bus di halte dekat rumah. Matanya lelah, napasnya panjang, dan langkahnya terasa berat. Bayangan malam sebelumnya—saat ia duduk di mobil Adrian, memeluk keheningan yang tak sanggup ia pecahkan—masih mengendap di benaknya. Kata-katanya sendiri sebelum turun dari mobil mengulang seperti gema: "Terima kasih karena nggak pergi." Kata yang sederhana, tapi bermakna dalam. Karena dunia seperti sedang berbalik melawannya, dan hanya sedikit yang memilih tetap tinggal.Pagi itu, udara kantor terasa lebih dingin dari biasanya. Bukan karena pendingin ruangan, tapi karena tatapan yang mengikutinya sejak ia melewati pintu depan. Nadine berjalan seperti biasa, menyapa pelan pada siapa pun yang berpapasan. Tapi tak ada yang benar-benar membalas. Hanya anggukan cepat, senyum kaku, atau bahkan diam yang terlalu kentara.Bisik-bisik berhenti seketika saat ia lewat di lorong. Nadine bisa merasakan kulit tengkuknya mengencang, punggungnya seolah men

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 49 - Janji Adrian

    Langkah kaki Raka yang menjauh dari kontrakan Nadine masih terngiang samar saat Adrian menurunkan kecepatan mobilnya, menepi di sisi jalan yang sepi. Udara malam terasa dingin menelusup celah-celah jendela yang sedikit terbuka. Di sebelahnya, Nadine duduk diam dengan pandangan kosong menatap ke luar, ke jalanan gelap yang hanya diterangi cahaya redup dari lampu-lampu trotoar. Tak ada kata-kata yang diucapkan selama perjalanan dari kantor Nadine, tapi diam itu tak terasa canggung. Justru mengendap sebagai semacam pengakuan bahwa mereka berdua telah melewati batas yang dulu dijaga rapat. Sesaat sebelum turun dari mobil, Nadine sempat menoleh ke arahnya. Mata yang masih sedikit sembap menatap dalam, menyisakan lelah dan sesuatu yang lain—sejenis keikhlasan, atau mungkin rasa syukur. "Terima kasih karena nggak pergi," katanya lirih, sebelum membanting pintu pelan dan melangkah masuk ke kontrakannya. Kata-kata itu sederhana, namun menghantam dada Adrian lebih keras dari yang ia perkiraka

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 48 - Pertengkaran Yang Tak terelakkan

    Langit sore itu murung, bergelayut mendung tanpa hujan. Di kontrakan kecilnya, Nadine baru saja selesai menyapu serpihan hatinya sendiri, yang semalaman berserakan di kamar tidur. Setelah menerima email anonim berisi bukti perselingkuhan Raka dan Tania, malam itu menjadi sunyi yang paling menggigit. Tangisnya telah kering, tapi sisa-sisanya masih melekat di wajah dan napasnya. Hari ini ia hanya ingin tenang. Namun ketenangan rupanya terlalu mahal untuk dimiliki.Suara ketukan keras membuyarkan pikirannya. Pintu digedor bertubi-tubi, nyaris seperti akan jebol.Degup jantung Nadine langsung melonjak. Ia tahu siapa itu bahkan sebelum membuka pintu.Raka.Wajah laki-laki itu tampak seperti badai yang sedang menahan diri untuk tidak meledak. Tapi begitu pintu terbuka, amarahnya pun tumpah tanpa aba-aba."Kau pikir aku nggak dengar orang-orang ngomong soal kau dan Adrian?!"Nadine tak bergeming. Ia berdiri tegak, memandangi Raka yang kini tampak jauh berbeda dari sosok yang dulu dicintainya

  • Sebelum Cinta Itu Hilang    Bab 47 - Malam Di Mobil

    Langit malam menurunkan udara dingin yang perlahan menempel di kulit. Parkiran gedung kantor tempat Nadine bekerja sudah hampir kosong, hanya menyisakan beberapa kendaraan yang berjajar diam dalam gelap. Lampu-lampu jalan menerangi sebagian area dengan cahaya kekuningan yang temaram.Adrian memarkir mobilnya tak jauh dari pintu masuk. Ia turun, menyandarkan tubuh sejenak pada pintu mobil, menarik napas panjang sebelum melangkah. Seperti biasa, ia datang menjemput Nadine, walaupun tahu benar bahwa kehadirannya hanya akan memicu lebih banyak gosip di antara rekan-rekan kantor Nadine. Tapi malam ini berbeda—ada sesuatu dalam dirinya yang tak sanggup membiarkan Nadine pulang sendirian.Ia melihatnya dari kejauhan, duduk di pinggir trotoar tepat di depan lobi. Bahunya berguncang pelan, wajah tertunduk, tangan memeluk lutut. Tanpa perlu mendengar suara, Adrian tahu: Nadine sedang menangis.Ia berjalan mendekat perlahan. Suara langkah sepatunya menggema di parkiran yang sepi. Saat sudah cuku

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status