Masuk"Bli, Arak Attacknya satu lagi, ya."
Itu adalah gelas ketiga Raya malam ini. Ditemani suasana malam Bali yang menyejukkan, ia duduk di atas beanbag besar yang mengarah langsung ke arah pantai.
Suara musik house yang diputar dengan volume rendah dari speaker tersembunyi, bersyukur karena di lantai dasar hotel yang ia tempati, terdapat sebuah beach club eksklusif yang bisa dikunjungi khusus untuk tamu hotel yang menginap.
Jadi, setelah setengah hari sia-sia mencoba berselancar dan berniat pergi berbelanja baju baru, Raya memutuskan untuk memulai malam dengan cara yang lebih efektif: meminum minuman beralkohol keras dan melupakan semuanya terlebih dahulu.
Salah satu alasan mengapa ia menyukai Bali adalah karena di sini, tak akan ada yang menatapnya aneh.
Semuanya tampak asing dalam kesendirian masing-masing. Seorang wanita yang mabuk seorang diri dengan tatapan kosong yang mengarah ke lautan lepas hanyalah pemandangan biasa. Begitu sempurna untuk pelariannya.
Dengan pandangan yang sudah mulai kabur dan berputar, Raya menopang dagunya dengan tangan yang lemas, melamun dengan mata yang terpejam.
Ia mencoba menikmati musik pelan yang terdengar mengalun bersama desiran angin malam, mencoba menenggelamkan semua kebisingan di kepalanya.
Dan saat ia merasakan kehadiran seseorang yang mendekat, Raya kembali membuka matanya, berharap bahwa itu adalah pesanan gelas ketiganya. Harapan itu seketika pupus. Bukan waiter yang datang, melainkan sosok tampan lainnya.
"Hm?" Raya bergeming, menyipitkan matanya yang sulit fokus, menatap sosok itu.
Sosok yang semakin malam terlihat semakin tampan di balik celana pendek linen dan kemeja lengan pendek berwarna hitam yang sedikit terbuka di bagian dada. "Kamu lagi?"
Hembusan napas panjang yang terdengar seperti campuran antara kesal dan khawatir terdengar dari Jagara. Sebelum sosok itu mendaratkan dirinya di beanbag di sebelahnya, lebih tepatnya.
Matanya menatap ke arah depan, ke lautan gelap yang hanya diterangi cahaya bulan, sebelum kembali beralih ke arah Raya yang masih memandangnya dengan tatapan kosong.
"Wah, sekarang tuh orang bisa dateng cuman karna kita pikirin, ya?" Raya meracau, kadar alkohol dalam darahnya sudah mulai melebihi kapasitasnya.
Ia tertawa. Tertawa geli yang terdengar aneh dan tidak wajar, diakhiri dengan tetesan air mata yang tak terelakkan jatuh membasahi pipinya.
Ia menyandarkan punggungnya ke beanbag dan memejamkan mata, membiarkan angin malam kembali membelai lembut kulitnya.
Sementara Jagara, yang masih belum mengatakan apapun, hanya terdiam di sisinya.
Kedua tangannya bertumpu di atas pahanya, seakan sedang menimbang beratnya situasi aneh ini. Ia tahu, ada yang tidak beres. Sikap Raya yang terlalu berlebihan, mata yang sembab, dan cara bicaranya yang tidak karuan—semua itu adalah tanda-tanda bahaya.
Sampai ketika seorang waiter mendekat dengan nampan di tangannya, berniat meletakkan pesanan Raya, Jagara baru secepat kilat meraih gelas dengan berisi cairan bening yang terlihat memabukkan itu.
Membuat Raya yang sudah antusias meraihnya hanya bisa mematung dengan wajah memelas saat Jagara tanpa ampun menenggak habis isi di dalamnya dalam sekali teguk.
"Gara... minuman aku!" gerutu Raya, suaranya seperti anak kecil yang mainannya diambil.
Jagara mengusap mulutnya dengan punggung tangan kasar, sedikit meringis karena rasa alkohol yang kuat.
Ia meletakkan gelas kosong itu ke atas meja kecil di sebelahnya dengan sedikit hentakan. Kemudian, pandangannya menatap sepenuhnya ke arah Raya, sorot matanya kini berubah menjadi lebih tajam, lebih serius.
"Saya tahu ada yang gak beres dari awal kita ketemu di lobi hotel," katanya, suaranya rendah namun penuh dengan ancaman.
Jagara menelan ludah, urat-urat di lehernya yang terlihat tegang menandakan pertarungan batin yang hebat. Ia seakan menahan amarah yang ingin meluap.
"Kasih tau saya, kamu kesini sama siapa?"
Sebelum menjawab, Raya kembali cengengesan di tempatnya. Tangannya kembali ia pakai untuk menopang dagunya, menatap Jagara dengan senyuman masam. "Kenapa?”
"Menurut kamu?" Jagara bertanya balik, nada suaranya naik setengah oktaf, penuh dengan sarkasme.
Dan saat pertanyaan itu terdengar, Raya justru berdecih, "Kenapa harus sok khawatirin aku disaat kamu sebentar lagi nikah?"
Jedutan kecil terlihat di rahang Jagara. Ia menunduk, menahan amarahnya yang entah mengapa ingin kembali meluap karena kalimat Raya yang menyakitkan itu. Sebelum kembali menatap Raya lekat, matanya menyala-nyala.
"Mana ponsel kamu? Saya akan hubungi suami kamu dan minta dia untuk kesini jemput kamu."
Sontak, Raya menggeleng. Gelengan yang begitu kuat dengan bibir manyunnya.
"Aku lagi proses cerai, Gara."
Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut Raya yang mabuk. Terasa begitu jujur, dan hancur. "Jadi kayaknya aku gak bisa dateng ke nikahan kamu, karna aku gak punya siapa-siapa untuk diajak."
Jagara mematung. Seluruh tubuhnya terasa kaku. Matanya tak lepas dari wajah Raya yang pucat dan basah. Di dalam dadanya, ada ledakan yang tidak bersuara. Perasaan yang campur aduk antara sakit, marah, dan sebuah perasaan asing yang mirip dengan… lega?
Tidak, bukan lega.
Ini lebih mirip dengan sebuah kebenaran yang pahit yang akhirnya terkuak.
Keputusannya yang ia anggap sebagai pengkhianatan tujuh tahun lalu, ternyata tidak membawanya pada bahagia. Ia meninggalkannya demi seorang pria yang 'sempurna', tapi pria itu justru yang menghancurkannya.
Rasa sakit itu kembali, menusuk-nusuk dengan lebih kejam.
"Jadi kamu ninggalin saya," Jagara mulai berbicara lagi, suaranya terdengar sangat tertekan, "hanya untuk berakhir seperti ini?"
Raya tak menjawab. Mata wanita itu kini terpejam sepenuhnya di atas topangan dagunya, seolah kekuatannya benar-benar habis.
Ia membiarkan Jagara kepanasan sendirian dengan pertanyaannya yang menggantung di udara.
"Raya, jawab saya." Kali ini, Jagara mencengkram kedua lengan Raya dengan kuat, berusaha menyadarkan wanita di hadapannya dan membuat mata Raya menatapnya dengan lesu. "Kamu meninggalkan saya, memilih dia, hanya untuk mabuk seperti ini di pantai sendirian?"
Dan ya, Raya hanya menatapnya kosong. Sebelum dengan senyuman manisnya yang tiba-tiba muncul di wajah pucatnya, tangan Raya diulurkan dengan pelan.
Mengusap wajah Jagara yang begitu dekat dengannya, jari-jarinya yang dingin menyentuh kulitnya yang hangat. Hingga tanpa sadar, tetesan air mata Raya kembali tumpah.
"Kapan kamu berubah jadi setampan ini, hm?" bisiknya lirih.
Dan kemudian, sepenuhnya, seolah semua kekuatan yang tersisa telah sirna, tubuh Raya lunglai. Ia jatuh ke dalam dekapan Jagara, pingsan.
Jagara terdiam di posisinya, menahan tubuh Raya yang lemas di dalam pelukannya. Napasnya terengah-engah. Ia bisa mencium bau rambut Raya yang tercampur dengan aroma alkohol dari napasnya.
Ia bisa merasakan berat tubuhnya, tubuh yang pernah sangat ia kenal. Dan di tengah suara ombak dan musik yang mengalun, Jagara hanya bisa terdiam dengan rahang yang mengeras, dilanda badai emosi yang tak bisa ia kendalikan.
Dua hari berlalu sejak pertengkaran hebat itu. Dua hari tanpa Jagara. Raya menggunakannya sebagai sebuah pelepasan, sebuah upaya sia-sia untuk mencari kembali potongan dirinya yang berserakan di mana-mana. Ia berkeliling Bali. Ia menyaksikan matahari terbenam yang dramatis di Uluwatu, duduk di atas tebing karang sambil menikmati pertunjukan Tari Kecak yang magis, di mana puluhan pria bertelanjang dada mengiringi cerita Ramayana dengan suara "cak, cak, cak" yang hipnotis. Tanpa ponsel, tanpa gangguan. Hanya dirinya seorang diri dan keajaiban Bali.Ia bahkan berkunjung ke beberapa museum di Ubud, membiarkan dirinya terserap dalam seni dan sejarah, mencoba melupakan penderitaan modernnya. Tidak sampai disana, Raya juga menikmati pijatan Bali yang kuat dan menenangkan, mencoba meremas remas-remas ketegangan di otot-ototnya yang sudah terbentuk selama berminggu-minggu. Kemudian, ia membeli beberapa baju baru, gaun-gaun sederhana yang terasa lebih 'layak' untuk dikenakan, dan berakhir
Raya menggeliat dengan gerakan tak tentu arah. Sakit. Kepalanya terasa seperti dihantam palu godam dari dalam, sementara perutnya berputar-putar seperti ada penggilingan daging di sana. Ia meringis kesakitan sambil memegangi kening dan perutnya secara bersamaan. Setiap otot di tubuhnya terasa menolak untuk diajak bergerak. Tenggorokannya terasa kering gersang, seperti padang pasir yang kehausan selama berabad-abad.Dengan sisa tenaga yang tersisa, gadis itu bangkit dan duduk di tepi tempat tidur yang terasa terlalu besar. Matanya menatap sekeliling ruangan yang samar-samar, sebelum ia menemukan sebuah gelas berisi air mineral yang sudah siap di atas nakas. Secepat kilat, Raya menyambar gelas itu dan meneguknya dengan ganas, tanpa memedulikan air yang tumpah membasahi bajunya, sampai gelas itu kosong. Masih dengan tangan yang mengacak-acak rambutnya yang kusut, Raya perlahan membuka matanya sepenuhnya. Dan sebentar, ini bukan kamar premium deluxe yang ia pesan. Ruangan ini… terasa
"Bli, Arak Attacknya satu lagi, ya."Itu adalah gelas ketiga Raya malam ini. Ditemani suasana malam Bali yang menyejukkan, ia duduk di atas beanbag besar yang mengarah langsung ke arah pantai. Suara musik house yang diputar dengan volume rendah dari speaker tersembunyi, bersyukur karena di lantai dasar hotel yang ia tempati, terdapat sebuah beach club eksklusif yang bisa dikunjungi khusus untuk tamu hotel yang menginap.Jadi, setelah setengah hari sia-sia mencoba berselancar dan berniat pergi berbelanja baju baru, Raya memutuskan untuk memulai malam dengan cara yang lebih efektif: meminum minuman beralkohol keras dan melupakan semuanya terlebih dahulu.Salah satu alasan mengapa ia menyukai Bali adalah karena di sini, tak akan ada yang menatapnya aneh. Semuanya tampak asing dalam kesendirian masing-masing. Seorang wanita yang mabuk seorang diri dengan tatapan kosong yang mengarah ke lautan lepas hanyalah pemandangan biasa. Begitu sempurna untuk pelariannya.Dengan pandangan yang suda
"Raya?"Satu kata itu, yang diucapkan dengan suara serak yang masih terasa familiar namun lebih dalam dari yang Raya ingat, berhasil membekukan waktu. Tubuh Raya menegang seketika. Ia seperti melihat hantu dari masa lalunya yang bereinkarnasi menjadi sosok yang begitu sempurna. Dan dalam beberapa detik selanjutnya, dunia Raya yang baru saja hancur berantakan seakan berhenti berputar. Seakan roda kehidupan hanya berfokus pada satu titik: sosok yang begitu menawan di hadapannya."Kamu... kamu ngapain disini?" Dan saat suara Jagara kembali terdengar, indra pendengaran Raya seakan perlahan pulih. Digantikan dengan wajah gelagapannya, seolah bertemu dengan malaikat pencabut nyawa yang berwujud tampan.Namun belum juga Raya menjawab, kepala Jagara menoleh ke arah belakang Raya, matanya menyisir ruangan kosong di belakangnya, seolah mencari sosok lain di sana."Sama suami kamu?"Jelas, gelengan kecil itu Raya keluarkan. Ia seperti kehabisan kata-kata untuk menjawab, seolah pita suaranya t
Dua tahun. Sudah hampir dua tahun Raya menikahi pria yang dianggapnya sebagai jaminan masa depan. Sebuah kesepakatan bisnis yang dibungkus dengan embun-embun cinta. Ardava adalah pria yang tampan, mapan, dan yang terpenting disetujui oleh ibunya. Di atas kertas, mereka sempurna. Sebuah pasangan yang layak menghiasi majalah gaya hidup.Tapi di malam hujan yang dingin ini, di dalam penthouse mewah yang menjadi sanggah hidupnya, kesempurnaan itu retak menjadi seribu kepingan.Penthouse mewah yang dulu terasa aman kini dingin seperti kuburan. Belakangan Ardava makin sering “lembur”, makin jarang pulang, makin jarang menyentuhnya. Ada sesuatu yang hilang… atau seseorang.Pintu terbuka. Ardava masuk, masih tampak rapi meski mengaku kelelahan. “Konferensi melelahkan. Aku mandi dulu.”Konferensi. Padahal siang tadi, Raya mendengar acara itu dibatalkan.Ia tak menjawab. Tatapannya terkunci pada ponsel Ardava di meja kopi. Begitu shower menyala, layar ponsel ikut menyala. Ikon aplikasi denga







