LOGIN“Selamat siang, Bu Dara, dan ... Pak Arkha. Silakan duduk!” ucap Rendra, suaranya halus namun penuh wibawa, tangannya menunjuk ke dua kursi empuk di seberang meja kerjanya yang rapi.
Arkha, yang sebelumnya bersikap acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya. Wajah masamnya pecah oleh ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. “Oh ternyata kamu, Rendra?” Rendra hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terukur sempurna antara keramahan profesional dan pengakuan terhadap seorang teman lama. “Iya, Arkha. Lama nggak ketemu.” Arkha pun menarik kursi untuk Dara sebelum duduk di sampingnya, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih santai, bahkan sedikit akrab. “Iya. Lama banget kita nggak ketemu, ya? Waktu aku nikah juga kamu nggak dateng. Ternyata kamu jadi terapis seks sekarang?” ujarnya, nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti mengejek. “Iya. Dan karena kita udah kenal,” jawab Rendra, matanya berpindah sebentar ke Dara yang masih kaku, sebelum kembali ke Arkha, “bakalan lebih gampang bikin janji. Kamu bisa bilang sama perawat di depan kalau kamu temenku, jadi mereka bakal duluin kalian di kunjungan berikutnya.” Tawaran Rendra terdengar membantu, tetapi Dara merasa ada sesuatu dalam nada datarnya yang terasa seperti sebuah pintu yang dibuka untuk penyalahgunaan. “Sebenernya aku nggak mau dateng, Ren,” sahut Arkha sambil melirik ke arah Dara sebentar, seolah melemparkan kesalahan. “Cuma istri aku nih, maksa.” Tatapan Rendra yang tenang dan analitis perlahan beralih ke Dara. Dia menyatukan tangannya di atas meja. “Ya,” ucapnya pelan, namun setiap katanya terasa berat. “Masalah hubungan suami istri memang perlu waktu lama. Harus sering-sering konsul.” Kalimat itu diucapkan secara umum, tetapi Dara merasa seolah kalimat itu hanya ditujukan khusus untuk dirinya. “Sebenernya aku perlu dateng nggak sih, Ren? Aku tuh sibuk sebenernya!”protes Arkha, kembali ke sikap arogannya. Rendra tidak langsung menjawab. Dia membiarkan keheningan menggantung sesaat, matanya menatap bergantian ke arah Arkha dan Dara. Seolah-olah sedang mempelajari setiap kedip mata dan gerak tubuh mereka berdua. Lalu, dengan sengaja, dia menjawab dengan pilihan kata yang bisa ditafsirkan ganda, “Oh, sebenernya kalau ada masalah sama pihak wanita, pria-nya nggak perlu dateng juga nggak apa-apa kok.” “Oh, berarti besok-besok nggak apa-apa kalau aku nggak dateng ‘kan? Masalahnya ‘kan ada di istri aku,” Arkha meminta kepastian dari Rendra, sambil melirik Dara. Kalimat itu terasa seperti pisau bermata dua. Di satu sisi, kalimat itu seperti membebaskan Arkha dari tanggung jawab. Namun di sisi lain, itu adalah pernyataan yang secara halus mengatakan bahwa “masalah” mereka hanya ada pada Dara. Dara merasakan dadanya sesak. Ia datang ke sana untuk mencari solusi bersama, bukan untuk diberi label sebagai pihak yang bermasalah sendirian. Dan dari cara Rendra memandangnya, ia bertanya-tanya apakah itu adalah tatapan empati seorang terapis, atau sesuatu yang lain. Rendra tersenyum tipis, tangannya yang terampil mencatat sesuatu di atas clipboard. “Oh, nggak apa-apa, kok kalau emang istrimu mau dateng sendirian. Tapi inget,” ujarnya, suaranya lembut, “proses terapi akan berjalan lebih efektif kalau ada komitmen dari kedua belah pihak.” Rendra kemudian memindahkan tatapannya yang tenang namun dalam kepada Dara. “Nah, Ibu Dara, mari kita mulai dengan Anda. Bisakah Anda ceritakan, apa yang selama ini dirasa ... kurang?” tanyanya, dengan fokus profesional yang sempurna. Namun, di balik tatapan mata yang tenang itu, Dara bisa merasakan sesuatu yang lebih. Sebuah pengakuan diam-diam akan masa lalu mereka, sebuah pertanyaan yang tak terucap. Ruangan yang nyaman itu tiba-tiba terasa begitu pengap. Udara di sekitar Dara seolah menipis. Dara menarik napas dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. Dia merasa terjebak antara suaminya yang tak acuh di sampingnya dan pria yang pernah sangat dikenalnya di seberang ruangan. Saat dia membuka mulut untuk berbicara, suaranya hampir tercekik. “Saya ….” “Saya merasa hubungan kami di ranjang kurang harmonis,” ucap Dara ragu-ragu. Arkha dengan cepat membantah. “Selama ini dia jarang banget bikin aku puas, Ren. Aku juga bingung, dia mendadak minta dianterin terapi.” “Oh, nggak masalah kok. Tapi terapi masalah ini memang biasanya lama, perlu waktu. Hasilnya nggak akan instan,” kata Rendra. Dara merasakan tatapan Rendra padanya. Dadanya berdebar kencang. Sedangkan Arkha di sampingnya hanya acuh. “Rendra ini sebenernya saudara sepupuku, Yang. Dia juga temen deketku dari dulu karena umur kita nggak beda jauh. Kamu bisa terapi sama dia sampai sembuh,” kata Arkha. Dara merasakan napasnya tersangkut di tenggorokan. Kata-kata ‘sampai sembuh’ dari Arkha terasa seperti vonis, seolah dialah satu-satunya masalah yang perlu diperbaiki. Dan senyum Rendra yang profesional itu tiba-tiba terasa seperti pisau yang menusuk-nusuk hati Dara. “Betul. Kalau Bu Dara mau datang sendiri, nggak masalah,” kata Rendra, matanya tetap tertuju pada Dara, seolah hanya ada mereka berdua saja di ruangan itu. Arkha langsung menyambut tawaran itu dengan senyum sumringah. “Bagus itu! Jadi aku nggak perlu nemenin lagi. Kamu bisa tetep dateng sendiri, ‘kan, Yang?” katanya sambil menyentuh bahu Dara, seolah sudah bersiap untuk melepas tanggung jawabnya. Dara hanya bisa mengangguk lemah, mulutnya terasa kering. Di depannya, Rendra tersenyum samar. Dan untuk sesaat, tatapan Rendra dengan matanya yang gelap itu, membuat Dara tak nyaman. ‘Rasanya aku ingin segera keluar dari ruangan ini sekarang juga,’ batin Dara. ***Perdebatan dengan Arkha membuat Dara memutuskan pergi seorang diri ke klinik tempat terapi itu. Namun, sesi terapi itu terasa berbeda. Dara duduk di ruang tunggu seorang diri. “Kok sepi, ya? Kemarin pas dateng rame banget antriannya. Aneh. Apa cuma aku yang ada jadwal terapi hari ini?” Seorang perawat memanggil nama Dara. Dia lalu berdiri, melangkah pelan masuk ke ruangan. Jantung Dara berdebar-debar. Terlebih saat melihat Rendra berdiri dari kursinya untuk menyambutnya. Matanya yang terbingkai kacamata, kemejanya yang menampilkan sedikit otot di lengannya itu, membuat Dara menundukkan pandangan agar tak terlihat gugup. “Duduk dulu ya, Dara.” Rendra memanggilnya Dara tanpa sapaan ‘Bu’ seperti pertemuan sebelumnya. “Sa-saya …” “Rileks, tenang aja. Kita lama nggak ketemu. Anggap aja ngobrol biasa sekalian nostalgia.” Dara merasa ruangan itu mendadak panas. Rendra melepas kacamatanya. “Gimana kabar kamu, Ra?” tanyanya. Dara merasa napasnya tertahan. Panggilan “Ra” yang keluar dar
Demi mengusir rasa bosan, Dara meraih ponselnya. Menghubungi satu-satunya orang yang bisa diajaknya bicara tentang kehidupan pribadinya. Fanny, sahabatnya.“Halo, Fan,” sapa Dara.Suara Fanny terdengar di seberang telepon. “Halo, Ra. What's up, Babe?”Suara Fanny di telepon terdengar nyaring penuh antusias, berhasil memberi kehangatan di ruang keluarga yang sepi. Tempat Dara meringkuk di sofanya.“Kemarin jadi ‘kan terapinya?” tanya Fanny.“Iya,” jawab Dara.“Terus gimana sesi terapinya? Cocok nggak? Enak ‘kan konsulnya? Cepet cerita sama aku!” desak Fanny.Dara menarik napas. “Ternyata ... terapisnya itu Rendra, Fan.”Dara memejamkan mata, membiarkan kenangan itu menyapu pikirannya. Bayangan pria dengan senyum percaya diri dan sorotan mata yang tajam tapi hangat itu kembali jelas.Di seberang telepon, terdengar suara Fanny semakin antusias. “Maksudnya, dia Rendra yang pernah kamu ceritain ke aku dulu? Yang waktu kuliah jadi idola kampus, cowok psikologi yang bikin antrean cewek dari
Usai sesi terapi itu, Arkha segera membawa keduanya kembali ke rumah. Di perjalanan pulang, Mobil SUV mewah itu meluncur mulus meninggalkan gedung klinik. Namun suasana tegang karena perdebatan di ruang terapi masih terasa di dalam kabin mobil yang dingin karena AC.Senja mulai turun, membuat langit menjadi warna jingga dan keunguan. Namun, keindahan itu seolah tak mampu menembus kaca mobil yang gelap.Dara duduk di kursi penumpang, tubuhnya masih terasa lelah seolah energinya terkuras habis karena sesi terapi tadi. Bekas sentuhan Rendra saat mereka berjabat tangan, seolah masih melekat di kulitnya. Pria yang dulu pernah membuat jantungnya berdegup kencang itu menjadi seks terapis.Dara menyandarkan kepala di sandaran kurai mobil, menatap ke luar jendela. Berusaha menenangkan degup jantungnya yang masih tak tenang.Tiba-tiba, Arkha memecah kesunyian. Suaranya datar, namun sarat dengan nada menyalahkan. “Kamu dengar 'kan tadi apa kata Rendra?” ujarnya, tanpa menoleh dari jalanan di had
“Selamat siang, Bu Dara, dan ... Pak Arkha. Silakan duduk!” ucap Rendra, suaranya halus namun penuh wibawa, tangannya menunjuk ke dua kursi empuk di seberang meja kerjanya yang rapi.Arkha, yang sebelumnya bersikap acuh, tiba-tiba menyipitkan matanya. Wajah masamnya pecah oleh ekspresi kaget yang tidak bisa disembunyikan. “Oh ternyata kamu, Rendra?”Rendra hanya tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang terukur sempurna antara keramahan profesional dan pengakuan terhadap seorang teman lama. “Iya, Arkha. Lama nggak ketemu.”Arkha pun menarik kursi untuk Dara sebelum duduk di sampingnya, sikapnya tiba-tiba berubah menjadi lebih santai, bahkan sedikit akrab. “Iya. Lama banget kita nggak ketemu, ya? Waktu aku nikah juga kamu nggak dateng. Ternyata kamu jadi terapis seks sekarang?” ujarnya, nada suaranya terdengar ringan, hampir seperti mengejek.“Iya. Dan karena kita udah kenal,” jawab Rendra, matanya berpindah sebentar ke Dara yang masih kaku, sebelum kembali ke Arkha, “bakalan lebih gampang
Esoknya, Dara pergi bersama suaminya ke klinik yang direkomendasikan Fanny. Klinik itu jauh dari bayangan Dara. Ruang tunggunya terang, minimalist, dan berhiaskan lukisan abstrak berwarna earth tone yang menenangkan.Namun, ketenangan itu kontras dengan antrean panjang di depan mereka. Hampir semua kursi terisi oleh pasangan dengan ekspresi yang beragam. Ada yang cemas, penuh harap, atau justru kosong seperti Arkha.Dara tak bisa menahan decak kagum. “Banyak banget yang dateng,” gumannya lirih, matanya memandang setiap wajah di ruangan itu.Rasanya lega sekaligus terasing. Dia tidak sendirian menghadapi masalah ini, tetapi di sisi lain, apa yang dilihatnya membuktikan betapa rapuhnya pondasi keintiman hubungan banyak pasangan selain dirinya.“Katanya terapisnya ganteng banget lho,” ucap seorang wanita dengan suara berbisik yang terdengar jelas di keheningan ruang tunggu yang tenang itu. Teman wanitanya menyenggol bahunya sambil cekikikan. Dara tidak sengaja mendengar, dan secercah ras
Dara kembali ke rumah saat jam menunjuk pukul lima sore. Dua jam sebelum Arkha tiba di rumah. Dia memutuskan untuk merendam diri dengan air hangat, menaburkan bath salt aromaterapi lavender ke dalam airnya. Uap air hangat mengepul, membuat kaca kamar mandi mengembun. Dara berendam di bathtub, air hangat membuat otot-ototnya yang kaku melentur. Wangi lavender yang menenangkan membuat otaknya rileks, namun tidak mampu meredam debaran jantungnya yang tak karuan. Dara memejamkan mata, membiarkan tubuhnya masuk ke dalam bathtub. Ia membiarkan dirinya terbenam lebih dalam, hingga air hampir menyentuh dagunya. Bayangan percakapan dengan Fanny dan wajah Arkha yang acuh tak acuh bergantian menghantui pikirannya. “Gimana kalau aku lakukan saran Fanny ya? Dateng ke seks terapis?” bisiknya pada dinding.Dara tak pernah membayangkan seperti apa proses seks terapis itu. Menceritakan masalah hubungan intim ke orang asing? Bahkan membayangkannya saja dia sudah malu sendiri.Terlebih lagi, apa yan







