Beranda / Romansa / Sentuh Aku, Om Dokter! / 6. Lembur sampai pagi

Share

6. Lembur sampai pagi

Penulis: Rossy Dildara
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-21 15:53:20

"Hari ini aku lembur sampai pagi, jadi kamu nggak usah menungguku pulang."

Suara Mas Bilal dari telepon terasa dingin dan singkat, seolah tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Apakah dia masih marah padaku, karena aku menasehatinya untuk berhenti main judi?

"Lembur sampai pagi?!" ulangku dengan dahi yang berkerut rapat, mataku memandang layar ponsel yang sudah mati seolah tidak percaya. Merasa heran sekali. "Kok tumben lembur segala, sampai pagi lagi, Mas?"

Rasanya memang aneh, seperti ada yang tidak pas. Selama bekerja jadi CEO, Mas Bilal tidak pernah lembur—bahkan dia lebih sering bolos tak masuk kerja dan memilih nongkrong dengan teman-temannya di cafe untuk bermain judi.

"Iya, lagi banyak kerjaan dan nggak bisa ditunda sampai besok. Sudah dulu, ya, aku tutup teleponnya."

"Tapi, Mas, aku—"

Padahal aku belum selesai bicara, tapi bunyi "klik" dari telepon menandakan dia sudah mematikkannya.

Aku menghela napas panjang, dada terasa sesak. Ada bagusnya sebenarnya dia mengatakan lembur. Ini berarti aku tak perlu pusing mencari alasan karena pulang lama dari menemui Om Bagas. Tapi, rasanya masih aneh karena tiba-tiba dia jadi giat bekerja.

"Suamimu lembur, ya? Nggak pulang dia malam ini?" tanya Om Bagas. Tampaknya dia mendengar seluruh percakapanku dan Mas Bilal tadi.

"Iya, Om." Aku mengangguk lesu, bahuku terkulai. Lalu meletakkan kembali ponselku di nakas.

"Kok tumben dia lembur? Itu lembur karena pekerjaan ... apa jangan-jangan ada hal lain?" Om Bagas memicingkan mata, tatapannya tampak curiga.

"Maksudnya?" Aku tak mengerti maksudnya, sebelah alisku terangkat.

"Ya rasanya aneh nggak sih, Sayang, kalau orang yang males kerja tiba-tiba rajin apalagi sampai lembur? Bisa saja ada sesuatu yang disembunyikan suamimu."

Akupun berpikir begitu sebenarnya. Tapi tentu saja berburuk sangka apalagi pada suami sendiri tidaklah baik, seolah aku sedang menusuk hatiku sendiri.

"Om ini bicara apa. Apa juga yang disembunyikan dari Mas Bilal? Nggak mungkin ada." Aku mengelak, menggelengkan kepala dengan gerakan yang lemah, mataku menghindari tatapan dia.

"Bisa saja suamimu selingkuh. Dia lembur karena ingin tidur dengan selingkuhannya."

Mataku membulat sempurna, terkejut dengan ucapan Om Bagas yang menurutku tidak pantas sama sekali. Bisa-bisanya dia memfitnah tanpa bukti apapun. Aku sendiri yakin Mas Bilal pria yang setia.

"Justru akulah sekarang yang sedang selingkuh, bukan suamiku, Om."

Om Bagas tiba-tiba menyentuh daguku. Tangannya terasa hangat namun membuatku sedikit tersentak. "Oh, jadi kamu mau Om jadi selingkuhanmu? Boleh saja, Om nggak keberatan kok."

"Bukan begitu." Aku menggeleng cepat. sepertinya aku salah bicara. "Maksudku, sekarang aku secara nggak langsung sedang berselingkuh, karena 'kan kita habis bercinta."

Perlahan aku berusaha beranjak dari tempat tidur, berniat mengakhiri percakapan ini. Tapi tangan Om Bagas menahanku dengan kuat—lengannya yang berotot itu melilit pinggangku sehingga aku tidak bisa bergerak sama sekali.

"Mau ke mana? Suamimu 'kan lembur, jadi kamu nggak usah pulang. Menginap saja malam ini bersama Om."

"Enggak, Om. Aku mau pulang saja," tolakku dengan gelengan kepala yang tegas.

Tidak mungkin aku menginap dengannya, untuk apa juga. Urusanku dengannya sudah selesai.

"Ngapain pulang sih?" Suaranya melembut. Tampaknya dia ingin merayuku untuk tetap di sini bersamanya. "Kita menginap saja berdua di sini, sayang lho Om sudah pesan untuk semalam. Mau, ya?"

"Maaf, Om. Meskipun Mas Bilal nggak pulang... tapi bukan berarti aku juga ikut nggak pulang. Kalau sampai Mas Bilal tau 'kan bisa berabe."

"Ya jangan sampai suamimu tau lah, Sayang."

"Memangnya Om bisa jamin? Lagian, di rumah bukan cuma ada aku dan Mas Bilal saja. Ada pembantu dan satpam penjaga, mereka berdua orang yang dibayar Mas Bilal, Om." Aku menatapnya dengan tatapan tegas, berusaha membuatnya mengerti dan tidak memaksa.

Om Bagas menghela napas berat, seolah kecewa, tapi kemudian mengangguk.

"Ya sudah deh, kamu boleh pulang. Tapi Om yang antar, ya? Dan sebelum itu, kita mandi dulu biar seger."

Tiba-tiba dia mengangkat tubuhku dengan mudah, seolah aku hanyalah benda ringan. Aku tersentak, tanganku secara otomatis menggenggam bahunya. Kulitku merasa hangat menempel di tubuhnya.

"Kita mandi? Apa maksudnya?" tanyaku bingung, melihat dia yang membawaku masuk ke dalam kamar mandi yang berwarna putih dan terang.

"Mandi bareng, apalagi?" jawabnya dengan senyum menggoda, matanya berbinar penuh nafsu.

"Masing-masing saja, Om. Nggak usah bareng, aku malu." Aku berusaha menutupi bagian-bagian tubuhku yang polos tanpa sehelai benang, jari-jari ku menggenggam kulitku dengan kencang.

Rasanya aku takut, jika nantinya dia mengajakku kembali bercinta. Ini sudah cukup, tadi saja kami melakukannya tidak hanya sekali, dan tubuhku sudah lelah sampai tidak bisa berpikir jernih.

"Untuk menghemat waktu saja, Sayang."

Setelah menurunkan tubuhku di bawah shower, Om Bagas tiba-tiba memberikanku kecupan bibir yang cepat namun penuh hasrat. Aku tersentak, ingin mendorong tubuhnya dengan sekuat tenaga—namun dia sudah lebih dulu memelukku erat, tangannya menggerayangi tubuhku dengan lembut yang membuatku meremang.

Aku ingin berontak rasanya, ingin meneriakkan agar dia berhenti. Tapi tenagaku sudah banyak terkuras hari ini. Tak ada yang bisa kulakukan selain menerima apa yang dia berikan.

Alhasil, benar dugaanku sebelumnya. Dia kembali mengajakku bercinta, dan gilanya meskipun aku awalnya berusaha menolak, tapi tetap akulah yang keluar duluan.

Terbenam dalam gelombang kenikmatan yang tidak kusadari masih mampu kupahami, meskipun hatiku terasa penuh keraguan dan takut.

***

"Terima kasih sudah mengantarkanku pulang, dan terima kasih untuk hari ini, Om," ucapku dengan, saat mobil Om Bagas berhenti tepat di depan gerbang rumah.

Sebelum aku turun, tangannya tiba-tiba menahan pundakku, dan dia kembali menciumku. Mali ini bukan bibir melainkan hanya kening. Aentuhan yang singkat, tapi tetap membuatku terasa kesal.

Bagaimana kalau sampai dilihat oleh pembantu atau satpam? Tamat sudah riwayatku.

"Sama-sama, Sayang. Kalau kamu kesepian dan nggak bisa tidur, kamu telepon Om saja, ya? Biar nanti Om menjemputmu dan kita kembali ke hotel," jawabnya pelan sambil mengedipkan sebelah matanya, mata itu penuh isyarat yang membuatku menggigil sedikit.

Itu sih mau dia.

"Ya sudah, Om. Om hati-hati dijalan," kataku sambil mencoba tersenyum, meskipun bibirku terasa kaku.

Om Bagas baru saja membelok mobilnya, mesin mulai menyala—tapi tiba-tiba dia menginjak rem dengan cepat. Sebuah mobil hitam yang aku hafal betul muncul dari sudut jalan, berhenti tepat di depan gerbang.

Itu mobil milik Ayah.

Tumben Ayah datang kemari malam-malam begini? Tanpa mengabariku dulu lagi. Ada apa kira-kira?

Jantungku seolah berhenti sejenak, lalu berdebar lebih kencang lagi. Tapi semoga saja Ayah tidak berpikir yang tidak-tidak karena melihat Om Bagas ada di sini.

Bersambung...

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   6. Lembur sampai pagi

    "Hari ini aku lembur sampai pagi, jadi kamu nggak usah menungguku pulang."Suara Mas Bilal dari telepon terasa dingin dan singkat, seolah tidak ada waktu untuk berbicara lebih lama. Apakah dia masih marah padaku, karena aku menasehatinya untuk berhenti main judi?"Lembur sampai pagi?!" ulangku dengan dahi yang berkerut rapat, mataku memandang layar ponsel yang sudah mati seolah tidak percaya. Merasa heran sekali. "Kok tumben lembur segala, sampai pagi lagi, Mas?"Rasanya memang aneh, seperti ada yang tidak pas. Selama bekerja jadi CEO, Mas Bilal tidak pernah lembur—bahkan dia lebih sering bolos tak masuk kerja dan memilih nongkrong dengan teman-temannya di cafe untuk bermain judi."Iya, lagi banyak kerjaan dan nggak bisa ditunda sampai besok. Sudah dulu, ya, aku tutup teleponnya.""Tapi, Mas, aku—"Padahal aku belum selesai bicara, tapi bunyi "klik" dari telepon menandakan dia sudah mematikkannya.Aku menghela napas panjang, dada terasa sesak. Ada bagusnya sebenarnya dia mengatakan le

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   5. Jawab jujur!

    "Ja-jangan, Om!"Aku langsung memeluk tubuhnya erat, menahannya saat dia hendak menarik diri dari atas tubuhku. Aku tidak ingin dia marah padaku, aku tidak ingin dia mengakhiri permainan ini. Jika dia beneran marah dan tidak jadi meneruskan aktivitas ini, otomatis aku tidak bisa hamil. Impianku untuk mewujudkan keinginan suamiku akan sirna begitu saja."Kalau begitu jawab jujur, tapi berikan jawaban yang membuat Om senang." Tatapannya tajam menusuk, seolah bisa membaca setiap pikiran dan perasaanku. Aku tahu, aku tidak bisa berbohong padanya."Lebih enak bercinta dengan Om!" Jawabku sedikit lantang, berusaha meyakinkan."Serius?" Dia menatapku penuh selidik, tampak belum sepenuhnya yakin dengan jawabanku."Iya, serius, Om." Aku mengangguk cepat, dengan wajah memelas."Kalau begitu, cium bibir Om sekarang juga."Tanpa menjawab, aku menurut untuk mencium bibirnya.Wajah Om Bagas langsung berseri, dia tersenyum senang. "Baiklah... Ayok kita teruskan permainan ini! Om akan membuatmu terus

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   4. Bibirmu manis

    Ceklek~Pintu kamar mandi perlahan terbuka, menampilkan sosok Om Bagas yang keluar dengan balutan handuk kimono hotel. Aku refleks menelan ludah dan terkesima sesaat.Selama ini, aku hanya melihatnya sebagai pria tampan yang ramah. Namun, pemandangan di depanku ini membuka dimensi baru—seksualitas yang tak terduga.Dia begitu seksi!Sinar matahari siang yang masuk melalui jendela kamar hotel menerpa tubuhnya, menonjolkan setiap lekuk ototnya yang terlatih."Maaf menunggu lama, soalnya tadi Om mandi pakai banyak sabun biar wangi," ucapnya lembut, langkahnya mendekatiku. Aroma sabun yang kuat dan segar menyeruak, memenuhi indra penciumanku. Bukan pusing yang kurasa, melainkan desiran aneh yang membangkitkan gairah."Nggak lama kok, Om. Santai saja," jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. "Oh ya... tadi hape Om bunyi. Ada yang telepon, namanya Karin," kataku sambil menunjuk ponselnya di atas nakas. Nada bicaraku sedikit khawatir, takut ada urusan penting."Karin?" Om Bagas mengulang

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   3. Ganas di ranjang

    "Om 'kan bisa dapat kepuasan. Jadi Om nggak perlu jajan sama cewek lain, bisa hemat duit." Aku mencoba memberikan alasan yang masuk akal, meskipun aku tahu itu terdengar konyol."Enak saja jajan, kamu pikir Om cowok apaan? Om cowok baik-baik, Sayang!" Dia membela diri, dengan nada sedikit tersinggung."Masa sih, Om nggak pernah jajan?" Rasanya tidak mungkin. Seorang pria yang sudah lama menduda, tidak mungkin tidak pernah tergoda untuk mencari kesenangan di luar. Aku tidak percaya itu."Iyalah. Om 'kan sudah lama jadi dokter kandungan, nggak mungkin Om melakukan hal seperti itu. Jajan diluar 'kan bisa menyebabkan penularan penyakit seksual dan Om nggak akan melakukan hal itu." Dia menjelaskan dengan nada meyakinkan, tapi aku tetap merasa curiga."Kan bisa pakai ko*ndom." Aku menyarankan, mencoba menggodanya."Meski pakai pengaman, tapi tetap saja nggak menutup kemungkinan kalau penularan HIV itu bisa terjadi." Dia menjawab dengan nada serius."Terus, selama ini ... kalau Om pengen, gi

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   2. Hamili aku!

    "Sentuh aku, Om! Hamili aku!" pintaku dengan suara lantang, memecah kesunyian ruangan Om Bagas. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa persiapan, tanpa basa-basi.Setelah tadi sempat merenung di antara air mata dan keputusasaan, aku akhirnya berhasil mendapatkan ide. Sebuah ide yang gila, ekstrem, dan mungkin juga nekat. Tapi aku pikir, di situasi seperti ini, tidak ada pilihan lain. Dan hanya Om Bagas lah, satu-satunya orang yang bisa menolongku.Selain Om Bagas adalah dokter kandungan langgananku, yang sudah tahu seluk-beluk masalah reproduksiku, hanya dia satu-satunya pria lain yang kukenal secara akrab. Pria yang kupikir bisa kupercaya.Selain itu, dia juga berstatus duda. Jadi, secara logika, akan aman. Tidak akan ada istri yang marah, tidak akan ada keluarga yang terluka. Hanya aku dan dia, dalam sebuah kesepakatan rahasia."Kamu bicara apa, Sayang?" Om Bagas tampak terkejut. Matanya membulat sempurna, nyaris keluar dari tempatnya. Ekspresinya antara kaget dan tidak percaya.

  • Sentuh Aku, Om Dokter!   1. Lepaskan saja

    "Lepaskan saja, Sayang... Om mau mendengar suara desahanmu."Om Bagas menarik tanganku yang sejak tadi kaku menutupi bibir. Aku sudah berusaha sekuatnya menahan setiap bunyi yang ingin keluar, rasa malu itu terlalu besar, seolah semua mata di dunia memandang.Hanya sekejap, tanganku terlepas. Suara kecil langsung lolos dari bibirku."Aahh ....""Naahh... begitu dong! Om 'kan jadi lebih semangat, Sayang!" Dia tersenyum lebar, dan gerakannya sedikit memacu.Aku tidak bisa menyangkal. Rasanya benar-benar berbeda, lebih dalam, lebih menyentuh bagian yang pernah kubiarkan terpendam. Lebih nikmat dari apa yang pernah aku rasakan bersama suamiku. Tapi tepat pada saat itu, rasa bersalah kembali menyergap dengan kuat.Wajah Mas Bilal terus muncul di depan mata. Senyumnya yang jarang muncul akhir-akhir ini, juga suaranya yang selalu bicara dengan nada tinggi. Aku merasa gelisah, jantungku berdebar kencang.Apakah yang kulakukan sudah benar? Atau, aku hanya mencari alasan untuk mengkhianatinya?

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status