"Lily ... kau sudah bangun?"
Abia mengernyit heran melihat gadis dengan rambut terkepang satu itu tengah memasak di dapur. Begitu aroma gurih daging sapi menyeruak hingga ambang pintu, perempuan itu masuk menuju dapur. "Selamat pagi, Bibi Abia!" Lily menyapa semangat masih sambil memotong wortel dan kentang untuk pelengkap sup dagingnya. Cuaca sedang dingin sejak semalam. Sejak subuh tadi bahkan sudah turun hujan. Abia pasti akan merasa hangat jika memakan ini untuk sarapan. Jadi, Lily berinisiatif memasaknya dengan bahan yang ada di kulkas. "Masakanmu wangi sekali. Aku jadi lapar ...," puji Abia sambil mengaduk sup sepanci besar yang sudah mendidih. Di rumah ini memang banyak pelayan dengan tugasnya masing-masing. Namun, untuk urusan memasak, Abia lah yang selalu melakukannya. Apalagi sejak perempuan itu tidak lagi bekerja dan fokus mengurus rumah. Para pegawai dan pelayan juga sudah kembali ke rumah khusus yang ada di belakang sejak pukul lima sore. Mereka hanya akan bertahan sampai malam saat ada tamu yang datang untuk dilayani. Benji memang tidak suka diganggu di rumah saat berduaan dengan sang istri. Oleh karena itu sejak Lily datang dan tinggal bersama mereka, pria itu jadi sensi dan kurang nyaman. Apalagi, Benjamin Kaisar adalah tipe suami yang tidak tahu tempat saat ingin bermesraan dengan istrinya di rumah mereka. Pria itu senang berbuat nakal di mana saja. Abia tidak jarang dihabisi di ruang tengah bahkan dapur. Seliar itu lah Benjamin Kaisar saat hanya berdua dengan istrinya. "Kai belum mau menyentuhmu, ya?" Pertanyaan tiba-tiba Abia sontak membuat Lily menegang. Apakah dia harus berbohong sesuai yang diminta sang tuan? Tapi, apakah Abia akan percaya jika Lily berbohong? "S-sudah, Bi." Lily menjawab gugup. Kentara sekali jika gadis belia itu tengah membohonginya. Apalagi melihat tubuh Lily yang masih tampak mulus tanpa noda, mana mungkin Abia bisa percaya? Cara berjalannya bahkan tampak normal tanpa ada tanda-tanda seperti gadis yang baru semalam diperawani. Abia mendengkus geli. "Jangan membohongiku, Lily. Aku tahu ...," tegur perempuan yang pagi ini masih mengenakan piyama merah muda dengan rambut tercepol asal. "Maaf, Bibi. Aku takut Paman Benji marah kalau mengadu ...," sesal Lily sambil menunduk merasa bersalah. "Tenang saja. Dia biar jadi urusanku." Abia menenangkan sambil menepuk bahu gadis yang kini sudah terasa seperti keponakannya. "Aku melihat mobilnya yang keluar rumah semalam dari balkon kamar," jelas Abia sambil mematikan kompor begitu merasa masakan Lily sudah matang. "Apa semalam dia menyakitimu? Atau berkata kasar padamu?" tanya perempuan cantik itu lagi. Lily menggeleng pelan. "Paman Benji hanya bilang mau menundanya dulu, Bibi. Dia bilang, dia akan melakukannya di masa suburku saja supaya nanti lebih cepat hamil." Gadis itu menjelaskan setengah jujur. Abia mengangguk-angguk pelan. "Baiklah. Tidak apa-apa, setidaknya dia tidak menolak," sahut Abia lega. "Jangan ragu bilang padaku kalau dia berani menyakitimu. Okey?" pesan perempuan itu lagi yang diangguki Lily cepat. Tentu saja dia tidak akan menceritakan perlakuan kasar pria itu semalam. Abia sudah baik sekali padanya. Lily sudah cukup dengan itu. Terserah jika suaminya tidak menyukai Lily. Lagipula, Lily hanya harus segera hamil supaya ia berguna untuk Abia. Ia tidak perlu berhubungan baik dengan suami Abia yang galak dan kasar itu. "Oh iyaa, mungkin malam nanti keluarga Kai akan datang ke sini. Supaya mereka tidak curiga, bolehkah aku mengakuimu sebagai keponakanku?" tanya Abia ragu. Mendengar itu, Lily pun mengangguk antusias. "Tentu saja boleh, Bibi!" sahut gadis pendek itu senang. "Baiklah, kalau begitu ayo kita sarapan!" ajak Abia tak kalah antusias. "Tidak menunggu Paman Benji dulu? Apa dia belum pulang?" tanya Lily tidak enak. "Tidak perlu. Sepertinya dia akan pulang siang." Abia menyahut sambil mengambil dua piring di laci. Lily pun dengan sigap menuangkan lauk ke mangkuk besar bening untuk dihidangkan. Pagi itu, keduanya sarapan bersama diselingi obrolan ringan juga candaan. Pagi itu, Abia merasa senang karena rumahnya jadi lebih ramai. Suasana hatinya jadi membaik, perempuan itu tidak lagi merasa kesepian meski sang suami belum pulang. ***** "Selamat datang, Pa ... Ma ...." Abia menyambut sambil menyalami punggung tangan kedua orangtua suaminya. "Selamat datang juga, Kiello ...." Perempuan itu juga menepuk pelan bahu adik iparnya yang berdiri di samping sang suami. "Apa kabar, Kakak Ipar? Kau makin cantik saja!" puji adik tiri Benji itu sambil mengerling jahil pada istri kakaknya. Benji sontak menjambak rambutnya dari belakang, membuat kepala pria 23 tahun itu sontak terdongak. Abia terkikik geli melihat sepasang adik kakak yang tidak pernah akur itu. "Dia siapa, Abia? Cantik sekali ...." Pertanyaan berikut pujian dari Ibu mertuanya sontak membuat Abia menoleh pada Lily yang sedari tadi berdiri kikuk di belakang tubuhnya. "Oh, iya! Kenalkan, dia keponakanku dari kampung. Aku mengajaknya tinggal di sini karena dia akan kuliah dan tidak ada keluarga di kota," jelas Abia yang sejenak membuat Lily mendelik terkejut. Kenapa Abia harus berbohong sejauh itu? Jika nanti mereka tahu Lily tidak kuliah, apa yang akan terjadi? Meski begitu, Lily tetap berusaha sesantai mungkin dan menyalami mertua Abia. Saking gugupnya, gadis itu bahkan ikut menyalami punggung tangan Kiello. "Hai, cantik! Apa kau punya pacar?" goda pria sipit itu sambil mengelus tangan halus Lily. Lily menggeleng dan segera bersembunyi di belakang Abia lagi. Berikutnya, mereka masuk dan mulai makan malam keluarga. Beberapa pelayan mulai menyajikan hidangan di atas meja panjang ruang keluarga. "Maaf membahas ini sekarang. Tapi, Kai ... Papa sudah menyiapkan beberapa kandidat calon istri untukmu." Ucapan santai Geovano Galendra---Ayah dari Benji, sontak membuat suasana meja makan yang tadi ramai mendadak hening. "Pa! Serius kau ingin membahas ini sekarang?" tanya Benji tidak habis pikir sambil membanting sendok dan garpu di genggamannya. Abia pun mengelus paha suaminya dari balik meja guna menenangkan. "Wajar Papamu bertindak, Benji. Pernikahan kalian sudah hampir enam tahun. Tapi Abia tidak ada tanda-tanda hamil sama sekali. Papamu hanya takut istrimu mandul," timpal Aluna Prasaja---mama tirinya sekaligus ibu dari Kiello. BRAK! "Istriku tidak mandul!" bentak Benji tidak terima sambil menyorot Aluna tajam. "BENJAMIN KAISAR! Berani kau meninggikan suara pada Mamamu?!" Bentakan Geovano seketika menambah panas suasana. Sedangkan Kiello hanya tersenyum geli ke arah Lily yang memandang perdebatan itu dengan raut terkejut. Ekspresi gadis itu terlihat menggemaskan dan lucu. Sepertinya ini baru pertama kali ia melihat pertemuan keluarga yang diwarnai dengan pertengkaran sengit. "Hei, makanlah! Jangan hiraukan urusan orang dewasa," bisik Kiello pada Lily yang duduk di sampingnya. "Tapi Paman Benji terlihat marah sekali ...," sahut Lily ikut berbisik pada mahasiswa semester akhir yang tidak kunjung wisuda itu. "Dia memang pemarah. Keluarga ini semuanya memang pemarah. Hanya aku yang normal di sini," jelas Kiello sambil tersenyum meyakinkan. "Benarkah?!" Melihat netra cokelat madu gadis dengan dress hitam itu yang membulat lucu, Kiello justru terkekeh geli. Sepertinya, setelah ini dia akan sering berkunjung ke rumah kakaknya. "Aku tidak butuh istri lain! Aku akan memberimu cucu yang kau inginkan, segera! Jadi tolong ... jangan usik kehidupanku dan istriku." Ucapan tegas Benji lagi-lagi membuat percakapan lirih Kiello dan Lily terhenti. "Apa ucapanmu bisa dibuktikan?" tanya Aluna meremehkan. "Aku akan bercerai dengan Kai jika dalam setahun belum bisa memberikan keturunan." Sahutan Abia sontak membuat Benji menyorot istrinya tajam. "ABIA!" bentak pria itu tidak habis pikir. Namun Abia, hanya menggenggam erat tangan suaminya dari balik meja sambil menyorot kedua mertuanya tanpa gentar. "Aku akan memberikan cucu untuk kalian. Tunggulah kabar baik dari kami." Perempuan itu kembali berucap penuh keyakinan. "Baiklah. Kupegang ucapanmu," sahut Geovano Galendra pada menantunya. Kali ini, bukan hanya Benjamin Kaisar, namun Lily yang berada di ujung meja juga meneguk ludah ketakutan. Ucapan Abia justru menambah beban di pundaknya. Itu artinya, Lily harus segera hamil demi menyelamatkan pernikahan Abia."Apa dia akan benar-benar datang malam ini?" Waktu sudah menunjukkan pukul duabelas malam. Lily yang sudah tidur dan istirahat sejak siang tadi, tentu saja tidak bisa terlelap lagi. Alasan lain mengapa gadis itu terjaga ... adalah janjinya pada Abia."Apa Bibi Abia belum bilang pada Tuan Benji kalau aku sudah siap melakukannya?" gumam gadis itu lagi sambil menatap jam dinding yang entah kenapa semakin membuatnya gelisah.Lily ingin tidur lagi tapi tidak bisa. Bayangan seperti apa rasanya diperawani membuat gadis itu resah. Apakah Benji akan melakukannya dengan kasar meski ini pertama kalinya untuk Lily? Apakah pria itu setidaknya punya belas kasihan dan sisi lembut untuk orang yang bukan istrinya?Rasanya, Lily luar biasa ragu. Mengingat seberapa mengerikan pria itu di ranjang saat Lily tak sengaja memergokinya memadu kasih dengan sang istri, sudah jelas jadi bukti bahwa Benjamin Kaisar bukan tipe orang yang lembut sama sekali.Cklek!"Kau sudah tidur?" Pertanyaan dingin berikut sua
"T-tuan Benji ...."Lily mendongak menatap pria yang kini berdiri di hadapannya. Benjamin Kaisar mendengkus melihat keadaan gadis yang susah payah ia jemput atas permintaan istrinya."Kenapa? Kau mau kabur lagi?" sindir Benji sambil mengetuk kepala Lily sebal.Lily menggeleng cepat dan segera bangkit berdiri. "Tidak! Maaf ... maafkan aku .... Tolong bawa aku pulang!" pinta gadis itu panik.Benji bersedekap dada sambil melirik sekujur tubuh Lily dari atas sampai bawah. "Abia sudah mengurusmu seperti keponakannya sendiri, dan kau memilih kembali ke tempat ini?" decak pria sipit itu takjub."A-aku mau pulang ke panti asuhan. Tapi Tante Binta menemukanku di jalan," sanggah Lily menceritakan bagaimana ia akhirnya berakhir di tempat pelacuran ini lagi."Dasar pelacur bodoh!" maki Benji sebelum kemudian menarik lengan kurus gadis itu kasar. "Ayo pulang! Kau membuat istriku khawatir!" "ARGHH!" Lily mengerang kesakitan begitu tangan besar Benji melingkari pergelangannya. Mendengar itu, sang
“Kenapa dia kasar sekali?” Lily berjongkok di bawah guyuran air shower kamar mandi. Waktu baru menunjukkan pukul empat pagi, namun gadis itu memilih mandi dengan air dingin dalam suhu yang bisa dibilang cukup rendah. Mengabaikan tubuhnya yang perlahan menggigil kedinginan, gadis berambut hitam legam yang terurai berantakan itu justru termenung sambil membayangkan kejadian beberapa saat tadi.Bagaimana Benji menatapnya rendah dalam kondisi tanpa busana. Bagaimana pria itu mendorong dan menjambaki Lily kasar. Bagaimana sang tuan membuang habis seluruh harga diri yang Lily punya dengan makian dan tatapan. Serta bagaimana mulutnya dipaksa melahap kesejatian seorang pria untuk pertama kalinya dalam hidup. Membayangkan rasa dan bentuk benda itu dalam mulutnya saja sudah berhasil membuat Lily mual. Maka, meludah berkali-kali ke arah lantai lembab kamar mandi adalah pilihan.“ Aku tidak mau melakukannya lagi ... aku tidak mau .... Itu menjijikkan ....” Lily meracau sambil mengusap-usap
"Hkkk!"Lily terkesiap begitu tubuhnya terpelanting kasar hingga terlentang di atas kasur. Tanpa diberikan kesempatan untuk melindungi diri, Benjamin Kaisar menarik celana piyamanya hingga tanggal dan teronggok pasrah di kaki ranjang. "T-tuan ...." Lily memanggil gemetaran begitu pria sipit itu kini memegangi betis mulusnya kemudian memaksa kedua kaki Lily mengangkang lebar."Kenapa kau terlihat takut? Bukankah gadis nakal sepertimu suka ditonton oleh orang lain?" tanya Benji sambil terkekeh mengejek."Tol-long lepaskan aku ...." Lily memohon panik sambil memegangi lengan kekar Benji yang mencengkeram betisnya agar terus terbuka."Kenapa aku harus menuruti permintaanmu? Aku majikanmu ...." Benjamin Kaisar bertanya sambil meremas betis putih mulus dalam cengkeramannya."Arghh---" ringis gadis itu begitu kali ini lututnya bahkan ditekuk kemudian ditekan hingga menyentuh dada.Tubuh Lily seolah tengah terlipat dua. Hanya dengan tekanan dari sebelah lengan kekar Benji, Lily merasa kesuli
"Aku simpankan nomor Kai juga, ya?" "Memangnya boleh, Bibi?""Tentu saja boleh. Kau bisa menghubunginya saat butuh bantuan kalau aku sulit dihubungi."Benji memutar bola mata jengah melihat dua perempuan yang tengah sibuk mengutak-atik benda pipih di genggaman. Itu handphone baru Lily. Dibelikan oleh Abia karena istrinya kasihan gadis itu tidak pernah punya handphone sebagai pegangan."Untuk apa membelikan dia handphone? Dia tidak punya keluarga atau teman untuk dihubungi," komentar Benji menginterupsi kegiatan seru Lily yang tengah belajar memakai handphone pada Abia."Aku punya banyak keluarga, Tuan. Aku punya banyak saudara di panti asuhan," koreksi Lily cepat."Dengar, kan? Kau pikir keluarga hanya tentang hubungan sedarah saja?" ledek Abia malah terdengar bangga karena Lily menyanggah ucapannya."Kenapa membelikan dia handphone semahal itu? Kau bisa membelikan dia yang murah. Kau terlalu banyak menghamburkan uang untuknya," komentar Benji lagi karena tidak terima disahuti."Aku
"Siapkan istriku sarapan!"Lily terlonjak kaget begitu suara seseorang dari arah belakang mengejutkannya. Begitu menoleh, gadis itu bahkan langsung termundur menyadari pemandangan di hadapan.Di depan lemari pendingin dapur, Benjamin Kaisar berdiri hanya mengenakan celana training hitam. Pria itu bertelanj*ng dada sambil memandang Lily tajam. Beberapa bekas cakaran bahkan tampak terlukis jelas di lengan berototnya yang besar."Kenapa kau terkejut sekali? Bukankah kau terbiasa melihat pria telanj4ng di tempat tinggalmu sebelumnya?" tanya Benji meremehkan sambil berbalik dan mengambil air dingin dari dalam kulkas. Begitu pria itu membelakanginya, Lily bahkan dapat melihat banyak bekas cakaran lain di punggung pria itu.Sudah jelas itu perbuatan siapa. Mengingat seberapa keras mereka bersuara saat bermain semalam.Lily yang merasa malu begitu teringat hal itu sontak buru-buru menghidangkan nasi goreng yang baru selesai dibuatnya. Gadis itu mengambil nampan dan menaruh dua piring nasi gor