Tanpa bisa ditahan, Anne bergidik.
Tiba-tiba tangan Leon terulur, menyentuh dagu Anne dan memaksanya menatap. Anne mencoba menahan napas agar tak menunjukkan rasa takut, tapi denyut jantungnya mengkhianatinya. Ia semakin berdebar saat menatap pria itu.
“Kau akan belajar cepat, karena yang lambat biasanya tak bertahan lama. Jadi lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kau milikku.”
Leon tersenyum sinis dan melepaskan sentuhannya di dagu Anne. Ia membuang muka dengan cepat, lalu menekan bel kecil di atas meja. Tak berapa lama, dua pria berseragam serba hitam masuk ke dalam kamar.
“Bawa dia ke kamarnya! Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini,” perintahnya pada kedua pengawal tersebut.
“Baik, Tuan!”
Tubuh Anne pun ditarik paksa. Namun, sebelum pintu tertutup, ia menoleh pada Leon yang kini segera duduk santai, seolah semuanya hanya permainan. Tapi di hati Anne, ia tahu bahwa permainan ini sangat berbahaya.
Anne terus ditarik menuju ke sebuah kamar yang letaknya ada di sebelah kamar utama Leon tadi. Kedua lengan kekar itu terus memaksanya untuk melangkah, meskipun Anne sudah meronta dan menolak.
“Lepaskan aku! Aku tidak mau di sini!” Anne berontak dan meronta, tapi tenaganya terlalu kecil untuk bisa melepaskan diri dari kedua pria bertubuh kekar itu.
“Diam atau kami akan memberimu pelajaran!” ancam salah seorang pria dengan kasar. Matanya bahkan melotot tajam, dan tangannya terangkat seolah hendak memukul Anne.
Seketika Anne pun terdiam, tapi air mata tak henti mengalir di pipinya.
Dalam waktu kurang dari satu minggu, hidupnya tiba-tiba saja berubah drastis.
Semuanya dimulai dari malam itu.
Awalnya, ia pulang lebih awal untuk memberikan kejutan untuk kekasihnya, Raka. Pria itu sudah sejak lama meminta Anne untuk menghabiskan malam bersamanya–yang selalu Anne tolak hingga Raka marah dan merajuk.
Hari itu, Anne ingin memperbaiki hubungannya dengan pria itu. Toh, momennya tepat.
Namun, ia justru mendapati pria itu bercinta dengan wanita lain. Bahkan tidak berhenti meski Raka tahu, Anne sedang menyaksikan.
Sakit hati dan tidak kuasa menghadapi pengkhianatan itu, Anne melarikan diri dan pindah rumah. Ia meninggalkan semuanya untuk tinggal di sebuah kos baru untuk bekerja di tempat baru juga.
Akan tetapi di malam naas itu, beberapa pria justru menculiknya dan saat terbangun ia sudah berada di tempat lelang dan dibeli oleh Leon Dominic.
“Ah!”
Tubuh Anne masih diseret paksa oleh kedua pria itu hingga membuat pergelangan tangannya memerah sebelum kemudian didorong ke sebuah kamar. Detik berikutnya, pintu tertutup dan Anne yakin dua penjaga kasar tadi kini bersiaga di depan.
Anne terdiam.
Setelah ia cukup tenang, kepalanya baru bisa digunakan untuk berpikir.
Pria itu membelinya dengan harga tinggi. Bahkan dua kali lipat dari penawaran terakhir. Namun, Leon Dominic tampaknya tidak menyukai ‘barang’ yang ia beli. Pria itu justru terlihat ingin menyiksa benda itu.
Yang mana adalah Anne sendiri.
Memikirkan itu membuat Anne bergidik. Apalagi saat mengingat bagaimana tatapan penuh amarah dan dendam yang ia tangkap dari sorot mata hazel milik Leon tadi.
Apakah Leon mengenalnya? Tapi itu tidak mungkin. Anne sama sekali tidak ingat pernah bertemu ataupun terlibat dengan penguasa dunia bawah itu.
“Pria itu sakit,” gumam Anne, akhirnya memutuskan sembari memeluk dirinya sendiri. Ia masih belum terlalu paham apa yang sebenarnya terjadi, tapi jika memang Leon ingin menyiksanya, itu artinya Anne dalam bahaya.
Dan ia harus segera kabur dari sini.
—
Sudah dua hari ia terjebak di sini. Dan dalam dua hari itu, sudah 7 kali Anne berusaha melarikan diri, tapi gagal.
Kamarnya terletak di lantai 3. Jendelanya kini terkunci, begitu juga pintu kamarnya.
Kadang, orang yang dipanggil Martha itu akan datang dan memberinya makanan. Wanita paruh baya itu yang mengatur semua tentang pakaian, gaya rambut, bahkan parfum yang harus ia pakai.
Anne merasa seperti benar-benar hidup di penjara. Meski mewah dan kebutuhannya terpenuhi, tapi tetap saja penjara adalah penjara.
Belum lagi Leon yang muncul tiba-tiba.
Namun, untungnya, sejauh ini Anne selamat.
“Semoga saja dia tidak datang lagi. Aku selamat untuk dua hari kemarin, tapi belum tentu aku selamat untuk hari ini,” cemas Anne, seraya meremas tangannya yang tiba-tiba terasa dingin.
Tok! Tok! Tok!
Anne menoleh cepat ke arah pintu. Wajahnya memucat.
Benar saja!
Malam itu, ketukan pintu terdengar. Pintu terbuka dari luar dan seorang pria bersetelan hitam masuk.
“Tuan memanggilmu.”
Anne menatapnya tajam, kemudian membuang muka.
“Kenapa? Apakah dia sudah memutuskan untuk melepaskanku?” balas Anne ketus.
Pengawal itu tidak bereaksi. Ia hanya memiringkan kepala, dan memberi isyarat untuk berjalan.
Dengan napas berat, Anne terpaksa melangkah keluar. Koridor panjang dengan lampu gantung kristal membawanya ke sebuah pintu ganda berwarna gelap. Dua pria berjaga di depan, lalu bergegas membuka pintu begitu ia tiba di sana.
Anne melangkah masuk. Ruangan ini adalah kamar yang berbeda dengan kamar tempat ia dibawa pertama kali.
Ruangan itu tampak hangat, diterangi oleh lampu kuning yang temaram. Bau tembakau bercampur aroma kayu manis menguar di udara. Di sana, Anne melihat Leon yang sedang duduk di kursi besar di depan perapian. Pria itu melepaskan jasnya, dan hanya mengenakan kemeja hitamnya yang rapi.
Mendengar suara langkah kaki Anne, ia mengarahkan tatapannya pada gadis itu. Mata hazelnya yang dingin menatap Anne, seolah menguliti kulit gadis cantik itu satu lapis demi satu. Senyum miring tercipta, ketika melihat Anne mengenakan gaun malam yang tipis dan transparan seperti biasa.
“Duduk.” Suaranya tenang dan datar seperti biasa, seolah tak memberi ruang untuk dibantah.
Namun, Anne masih tetap berdiri.
“Kapan kamu akan melepaskanku?” tanya gadis itu.
Alis Leon sedikit terangkat. Ia bangkit dari tempat duduknya, kemudian berjalan pelan mendekati Anne.
“Kamu benar-benar suka menguji kesabaranku.”
Leon memberi isyarat dengan jarinya, dan tiba-tiba seorang pria sudah mendekat dari belakang Anne. Sebelum ia sempat berbalik, tangannya sudah diikat dengan sebuah tali kulit berwarna hitam.
“Ada apa dengan tubuhku?” bisik Anne lirih. Jemarinya menggenggam kuat sisi meja makan.Panas itu datang begitu tiba-tiba. Anne merasakan tubuhnya bergetar, seolah ada sesuatu yang menyusup dalam darahnya. Hatinya berteriak menolak, tetapi tubuhnya berkhianat, dan menggeliat tanpa bisa ia kendalikan. Nafasnya tersengal, kulitnya seperti terbakar dari dalam.Peluh menetes di pelipis. Jantungnya berdegup tak beraturan. Ia menatap piring di depannya yang baru berkurang sedikit. Ia menatap Martha yang kini berjalan semakin menjauh, bahkan hilang dari pandangannya. Mata Anne memerah.Perempuan itu menatapnya samar sebelum pergi, meninggalkannya sendirian di ruang makan besar itu.“Martha, dia pasti menaruh sesuatu di makananku.” Anne mendesis lirih.Anne menggigit bibir, menahan sesuatu yang aneh merambat di seluruh tubuhnya. Ia merasa haus, tapi bukan haus akan air, melainkan sebuah sentuhan. Tubuhnya seperti berteriak minta disentuh, sementara pikirannya menolak mentah-mentah.Dengan tan
“Mmhh, ahh,” desahan kecil keluar dari bibir Anne tanpa bisa ditahan.Kedua matanya terpejam rapat. Jantungnya berdegup cepat, dan tubuhnya meremang. Ia merasa malu pada dirinya sendiri.Leon bergerak perlahan. Jemarinya yang kokoh itu menyentuh tali tipis di bahu Anne lalu menurunkannya dengan gerakan kasar.Sekejap kemudian, lingerie halus yang menempel di tubuh indah itu melorot, meninggalkan Anne hanya dengan underwear yang membuat kulitnya tampak putih pucat di bawah cahaya lampu. Anne membelalak dan berusaha melepaskan tali yang mengikat tangannya.“Jangan macam-macam, Leon! Lepaskan aku!” Percuma!Ia tak akan bisa lepas dari tali yang kuat itu.Anne menelan ludah susah payah. Matanya berkaca-kaca ketika Leon telah berhasil menarik tali tipis lingerie di tubuhnya. Kain satin itu meluncur pelan dari bahunya, jatuh ke lantai, menyisakan bra dan celana dalam yang nyaris tak memberi perlindungan di area intimnya.“Napasmu bergetar, Anne,” suara Leon terdengar rendah, berat, dan pen
“Hei, apa-apaan ini?” teriak Anne meronta-ronta, tapi Leon hanya mengamati dengan pandangan malas.“Aku tidak butuh budak yang keras kepala,” ucap Leon. “Tapi kalau kamu bisa menghiburku, akan kumaafkan kamu kali ini.”Ia semakin mendekatkan wajahnya dengan wajah Anne. Ujung jarinya menyentuh rahang gadis itu, mengangkat wajahnya agar menatapnya. Tatapan itu membuat napas Anne seolah terhenti.“Takut?”Anne menahan tatapannya. “Tidak. Sama sekali tidak.”Sudut bibir Leon terangkat tipis.“Bagus..”Leon berjalan memutari tubuh Anne. Jarinya menyusuri tali yang mengikat pergelangan tangan gadis itu, lalu berhenti di belakang. Leon menunduk, mendekatkan bibir ke telinga Anne, cukup dekat untuk membuat kulitnya merinding, tapi tidak sampai menyentuh.Anne menggigit bibirnya. Jantungnya berdetak terlalu cepat. Bukan karena suka dengan sentuhan Leon, tapi karena marah dan ada sesuatu yang ia benci untuk akui. Darahnya berdesir hebat, bahkan saat membayangkan jika jemari Leon akan menyentuh
Tanpa bisa ditahan, Anne bergidik.Tiba-tiba tangan Leon terulur, menyentuh dagu Anne dan memaksanya menatap. Anne mencoba menahan napas agar tak menunjukkan rasa takut, tapi denyut jantungnya mengkhianatinya. Ia semakin berdebar saat menatap pria itu.“Kau akan belajar cepat, karena yang lambat biasanya tak bertahan lama. Jadi lakukan tugasmu dengan baik. Ingat, kau milikku.”Leon tersenyum sinis dan melepaskan sentuhannya di dagu Anne. Ia membuang muka dengan cepat, lalu menekan bel kecil di atas meja. Tak berapa lama, dua pria berseragam serba hitam masuk ke dalam kamar.“Bawa dia ke kamarnya! Mulai sekarang, dia akan tinggal di sini,” perintahnya pada kedua pengawal tersebut.“Baik, Tuan!”Tubuh Anne pun ditarik paksa. Namun, sebelum pintu tertutup, ia menoleh pada Leon yang kini segera duduk santai, seolah semuanya hanya permainan. Tapi di hati Anne, ia tahu bahwa permainan ini sangat berbahaya.Anne terus ditarik menuju ke sebuah kamar yang letaknya ada di sebelah kamar utama Le
“A-apa?” Mata Anne membola lebar. Suaranya tercekat.Leon tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap Anne dengan lama dan dingin, seolah tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan yang bahkan tak perlu ia jawab.“Lakukan,” ucapnya datar.Udara di ruangan terasa sangat dingin dan menakutkan bagi Anne. Gadis itu masih berdiri di dekat pintu, tubuhnya kaku, dan napasnya tersendat. Tangannya menutupi dada dan daerah kewanitaannya yang nyaris terbuka seluruhnya. Ia menatap lantai, menolak menatap mata Leon yang terasa seperti pisau.“Aku tidak mau,” ucap Anne. Suaranya lirih dan bergetar, tapi tegas. Alis Leon sedikit terangkat. Ia meneguk minuman di tangannya perlahan, lalu berkata dengan nada datar yang menusuk.“Tidak mau?”Anne menggeleng. “Tuan, tolong–”“Aku sudah membelimu.” Suara Leon tajam, menusuk. “Dua miliar. Itu berarti, kamu milikku.”Anne mengangkat wajah, menatapnya dengan kemarahan yang berusaha menutupi takutnya.“Aku bukan barang, Tuan. Adanya aku di sana di luar ke
“Ahh, Ohh! Sentuh tubuhku lebih dalam, Sayang.”“Nikmat sekali!”Desahan demi desahan terdengar dari segala penjuru aula lelang mewah itu. Bukan desahan yang indah di telinga, melainkan suara rakus, haus, memuakkan, dan penuh nafsu.Aroma menguar di udara, campuran antara parfum mahal, alkohol, dan cairan tubuh manusia. Kombinasi itu membuat perut Anne Valerie terasa mual.“Lepaskan aku dari sini! Siapa kalian?” Anne berteriak saat dirinya didudukkan di belakang panggung. “Melepaskanmu? Itu mustahil. Hahaha!” Suara tawa para pria itu membuat Anne semakin ketakutan, apalagi saat salah satu dari mereka mencengkeram rahangnya untuk membuat Anne meratapnya. “Untuk apa kami susah payah menculikmu kalau hanya untuk melepaskanmu?” Gadis berusia 25 tahun itu menciut. Air mata sudah membasahi pipinya yang mulus.Ia sangat takut, karena kini, beberapa pria yang sedang duduk mengitarinya tengah menatapnya dengan liar.“Lihatlah, gadis ini cantik sekali! Masih perawan pula. Dia pasti akan laku