“A-apa?” Mata Anne membola lebar. Suaranya tercekat.
Leon tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menatap Anne dengan lama dan dingin, seolah tak punya waktu untuk menjawab pertanyaan yang bahkan tak perlu ia jawab.
“Aku tidak suka mengulang perintah,” ucapnya datar.
Udara di ruangan terasa sangat dingin dan menakutkan bagi Anne.
Gadis itu masih berdiri di dekat pintu, tubuhnya kaku, dan napasnya tersendat. Tangannya menutupi dada dan daerah kewanitaannya yang nyaris terbuka seluruhnya. Ia menatap lantai, menolak menatap mata Leon yang terasa seperti pisau.
Belum juga Anne menuruti apa yang dikatakan oleh Leon, tiba-tiba seorang wanita paruh baya melangkah masuk membawa baki emas dengan sepasang pakaian malam merah menyala di atasnya.
Itu Martha, pelayan kepercayaan Leon.
“Permisi, Tuan.” Martha, seraya membungkuk pada Leon.
“Ganti pakaiannya!” perintah Leon singkat.
"Tu-tunggu!” Anne melangkah mundur saat Martha mendekat. Sepasang matanya yang jernih tampak berkaca-kaca.
Ia tahu pakaiannya sekarang ini tidak layak, tapi ditelanjangi di depan Leon membuat Anne merasa tidak nyaman. Sekalipun pria itu adalah orang yang sudah membayar atas dirinya dan merupakan orang paling berbahaya dari dunia bawah.
“Kau sudah dilihat oleh ratusan pasang mata malam ini,” Leon kembali berkata. Nadanya rendah, membuat bulu kuduk Anne berdiri. “Apakah kau berniat menggodaku dengan tetap berpenampilan begitu?”
Anne menggigit bibir.
Apa yang dikatakan oleh Leon tidak salah. Sejak diseret ke aula lelang itu, harga diri Anne sudah nyaris tidak bersisa. Toh, pakaian yang ia kenakan ini tidak bisa menyembunyikan apa pun.
Tatapan Anne kemudian jatuh pada pakaian di atas baki emas yang dibawa Martha.
“Martha,” panggil Leon. “Paksa–”
“Saya akan lakukan sendiri.”
Leon tampak tersenyum miring sebelumnya. Namun, melihat Anne yang menurut, pria itu justru mengernyit. Seperti merasa asing.
Belum juga setengah jalan, pria itu sudahpergi meninggalkan kamar.
Anne sempat terhenyak, karena ia pikir Leon sengaja menyuruhnya buka baju karena ingin melihat tubuhnya. Sepertinya dia salah besar.
Kain tipis yang sejak tadi menempel di tubuh Anne perlahan diganti. Martha menyerahkan sehelai gaun lembut berwarna pastel. Tidak mewah berlebihan, tapi tetap berkelas.
“Pakailah ini, Nona. Tuan tidak suka sesuatu yang murahan,” ucap Martha dengan nada tegas, tapi tidak kasar.
"Martha, apa aku harus melakukan semua ini?" Anne bertanya pelan.
“Nona Anne, kalau kau ingin bertahan, dengarkan aku baik-baik. Di rumah ini, satu-satunya jalan adalah menurut. Kalau tidak, maka nyawamu bisa berada dalam bahaya.”
Anne menerima gaun itu tanpa perlawanan. Gerakannya tenang dan pasrah, meski matanya menyiratkan ribuan pikiran. Ia berganti pakaian di ruang ganti kecil di kamar itu. Ia menutupi tubuh yang sebelumnya terekspos, lalu keluar dengan langkah pelan.
Gaun itu membungkus tubuhnya dengan anggun. Bahunya kini tertutup, meski lekuk tubuhnya tetap terlihat jelas. Martha menatapnya sejenak, lalu mengangguk.
“Lebih baik. Ingat, jangan pernah menentang Tuan Leon. Kau pasti tahu siapa dia kan? Dia adalah Leon Dominic.”
"Kau jangan pernah memanggilnya sembarangan. Biasakan memanggil dengan sebutan Tuan Leon, karena dia sangat benci pada orang yang tidak menghormatinya."
Anne menunduk singkat sebagai jawaban.
Begitu Martha keluar, barulah Anne punya kesempatan mengamati ruangan itu dengan saksama. Matanya berkeliling, menelusuri setiap sudut mansion megah ini.
Langit-langit kamar menjulang tinggi, dihiasi lampu gantung kristal yang berkilauan. Dindingnya dilapisi panel kayu mahoni gelap yang mengeluarkan aroma khas, berpadu dengan karpet Persia lembut yang menutupi lantai marmer. Di dekat jendela, tirai putih tipis melambai ringan diterpa angin, memperlihatkan taman luas dengan air mancur yang bersinar keemasan.
Meja kaca bundar di sudut ruangan dipenuhi vas-vas bunga segar, dan di sisi lain, sebuah rak buku tinggi berdiri dengan deretan buku berkulit mewah. Setiap detail interior memancarkan kekayaan. Terlalu indah dan terlalu sempurna.
Anne tidak bisa menahan diri untuk berdecak kagum kecil.
“Mansion ini benar-benar seperti istana,” bisiknya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi segera setelah itu, senyum getir menghiasi wajahnya.
"Hanya saja, istana ini adalah sangkar emas. Dan aku … burung yang terjebak di dalamnya."
Ia melangkah pelan menuju sofa panjang dekat jendela, lalu menjatuhkan tubuhnya dengan hati-hati. Pikirannya mulai berputar.
"Aku tidak boleh tinggal di sini terlalu lama. Aku tahu persis dunia macam apa ini. Aku sudah berjanji untuk tidak kembali, dan aku harus menemukan jalan keluar sebelum semuanya terlambat."
Namun, harapan itu tiba-tiba sirna seketika ketika pintu besar di kamarnya itu berderit terbuka.
Langkah kaki berat dan berwibawa masuk ke dalam. Anne tidak perlu melihat untuk tahu siapa yang datang. Gadis itu tetap terdiam, sambil matanya menatap ke luar jendela.
Leon Dominic.
Pria itu melangkah santai, jas hitamnya masih terpasang sempurna, menandakan bahwa ia adalah raja di istananya sendiri. Sorot mata hazel yang tajam langsung mengunci tubuh Anne, membuat udara di sekitarnya terasa semakin menegangkan.
Anne tetap duduk di sofa. Ia mencoba menahan napas dan menatap lantai agar tidak terlalu lama terjebak dalam tatapan pria itu.
“Siapa yang menyuruhmu duduk?” suara Leon terdengar datar, tapi tegas.
Anne mendongak sejenak, sebelum akhirnya bangkit berdiri.
“Kemari!” panggil Leon sambil melambai pada Anne.
Gadis itu menghela nafas pelan. Ia ingat kata-kata Martha, bahwa agar bisa bertahan disini maka ia tidak boleh melawan.
Ia berjalan mendekat. Langkahnya terasa ringan tapi penuh tekanan saat menghampiri Leon.
“Berlutut di hadapanku!”
Anne diam sesaat, lalu perlahan menuruti tanpa berucap sepatah kata pun. Gaunnya menyapu lantai marmer, kedua tangannya terlipat di pangkuan, kepalanya sedikit menunduk. Tidak ada protes, dan hanya keheningan yang pasrah.
Leon menatapnya lama, lalu menyeringai tipis. Ada aura kemenangan yang tercipta di wajahnya.
“Aku hanya punya satu pertanyaan malam ini.” Ia menurunkan gelasnya ke meja, lalu mencondongkan tubuh tepat di hadapan Anne.
"Pertanyaan?" Mata Anne memicing, kebingungan.
"Aku ingin kau menjawabnya." Leon mencengkram kedua pipi Anne, membuat wajah gadis itu mendongak menatapnya.
“Apa hubunganmu dengan Elle Valerie?”
Sudah beberapa hari sejak kejadian hari itu, Anne belum pernah bertemu Leon lagi. Setiap hari, hanya Lina yang menemaninya. Gadis itu masih tampak lemah, tapi jauh lebih tenang daripada sebelumnya. Lina yang mengurus semua keperluannya dari mulai makan, minum obat, sampai menemani jalan sore di taman belakang mansion.Semua itu tentu dia lakukan atas perintah dari Leon. Majikannya itu bahkan sudah memberikan bonus besar untuk Lina, agar ia melayani Anne dengan baik, dan merahasiakan tentang rencana Leon dari siapa pun.Sedangkan Leon, ia benar-benar menepati ucapannya. Ia tidak mendekati Anne sama sekali, meskipun setiap hari ia tetap mengawasinya dari jauh. Ia tahu setiap langkah Anne, tahu jam tidurnya, bahkan tahu kapan Anne mulai bisa tersenyum sedikit lagi. Ia hanya tidak bisa menatapnya langsung.Tapi selama itu pula, diam-diam Leon terus mengirimkan hal-hal kecil dan kejutan untuk Anne.Ia mengirimkan bunga segar di meja makan. Kotak cokelat di dekat ranjang. Dan kali ini, ada
“Anne, tenang dulu. Aku tidak akan menyakitimu.” Leon mengulurkan tangannya hendak meraih tangan Anne.“Pergi!”Suara napas Anne masih tersengal-sengal. Tatapannya liar, seperti binatang yang baru saja keluar dari jerat. Ketika Leon hendak mendekat, tiba-tiba gadis itu menjerit lagi dan meraih benda apa pun yang bisa dijangkaunya di atas nakas.“Jangan dekati aku!”Prang!Tanpa peduli pada infus yang masih menancap di punggung tangannya, Anne melempar vas bunga itu tepat ke arah Leon. Pecahannya beterbangan dan nyaris mengenai wajah pria tampan itu.“Anne, hentikan!”“Keluar!” teriak Anne histeris. Suaranya pecah, parau, penuh amarah dan ketakutan.Leon tak bergerak. Tatapan matanya membeku, antara kaget, merasa bersalah, dan tak percaya. Ia hanya mampu menatap gadis itu lekat-lekat.“Aku tidak akan menyakitimu lagi, Anne. Aku janji.”Namun, Anne sudah terlalu jauh dalam ketakutannya. Tubuhnya gemetar hebat, dan wajahnya penuh air mata. Ia menutup telinganya dan meringkuk di pojok ran
“Hey budak, kenapa kau tidak bangun juga? Apa kau tidak ingin melayani Tuanmu ini, hah?” Leon menatap wajah Anne lekat-lekat.Sudah dua hari berlalu sejak kejadian di ruang bawah tanah itu, dan Anne belum juga sadar. Tubuh gadis itu masih lemah, wajahnya pucat seperti sosok yang tak bernyawa. Berbagai peralatan medis masih terpasang di sisinya.Sementara itu di sisi ranjang, Leon masih setia duduk menunggunya di sana. Lingkar hitam mengitari matanya karena dua malam penuh ia tak tidur. Hanya sesekali Leon terpejam, tapi setelah itu ia akan terbangun kembali.Suara alat medis berdenting pelan di antara sunyi. Leon menatap jarum infus yang menetes lambat, seolah menghitung detik demi detik harapan yang tersisa untuk gadis itu.“Hey, bangun,” gumamnya lirih sambil menggenggam tangan gadis itu yang terasa dingin. “Aku tidak tahu harus marah atau takut kehilanganmu.”Ia menghela napas panjang, lalu memanggil pelan.“Lina!”Lina yang sejak tadi sedang berdiri di depan pintu, kini segera mas
Suara Leon menggema ke seluruh ruangan lembap itu, memantul di dinding batu yang dingin dan berlumut. Ia segera berlari dan berlutut di samping tubuh Anne yang tergeletak tak bergerak. Wajah gadis itu sudah tampak sangat pucat.“Anne, bangun! Kau dengar aku?” teriak Leon lagi dengan suaranya yang serak.Tangannya gemetar ketika menyentuh pipi Anne yang terasa sangat dingin. Ia menepuk-nepuk pipi Anne perlahan, tapi tidak ada reaksi sama sekali.Dada Leon rasanya sesak, seperti ada batu besar yang menindihnya. Napasnya tersengal, dan matanya menatap lekat pada luka di kepala gadis itu.Darah sudah mengering, membentuk garis gelap di pelipis. Di sebelahnya, sudut meja batu juga tampak berlumur darah segar yang mulai mengering.“Anne, dia membenturkan kepalanya sendiri?” tanya Leon pada dirinya sendiri dengan gemetar.“Apa yang kau lakukan, Bodoh.” Leon berbisik, suaranya hampir tak keluar.Ia kembali menepuk-nepuk wajah Anne dengan panik dan berharap ada sedikit gerakan, helaan napas, a
Dada Leon berdebar sangat kencang dan terasa sesak. Ia menatap layar itu sangat lama. Rahangnya mengeras, giginya gemeretak, dan jemarinya mengepal hingga buku jarinya memutih.“Apa maksudnya ini? Permainan apa?” gumamnya dengan suara bergetar oleh kebingungan dan amarah yang terpendam.Kalut menguasai pikirannya. Tanpa berpikir panjang, Leon segera menekan tombol panggil interkom di meja kerjanya.“Jonathan, ke kamarku sekarang. Dan panggil Dev juga.”Tak butuh waktu lama, ketukan pelan terdengar di pintu. Jonathan masuk lebih dulu dengan langkap tegapnya, diikuti seorang pria berjaket hitam dengan laptop di tangan. Dev, sang hacker andalan kepercayaan Leon.“Tuan Leon, apa yang terjadi?” tanya Jonathan dengan hati-hati.Leon melemparkan ponselnya ke meja. Ia memegang dagu dan menopang sikunya di pegangan kursi.“Baca sendiri.”Jonathan dan Dev mencondongkan tubuh untuk membaca pesan di ponsel Leon. Dev menatap layar ponsel itu dengan alis terangkat naik.“Pesan anonim, tanpa ID peng
“Akh, sakit!” pekik Anne meronta-ronta, tetapi tangannya tetap dicengkeram kuat oleh Martha.Suara langkah sepatu Martha bergema di lorong bawah tanah yang lembap. Tangannya masih setia mencengkeram lengan Anne dengan kasar, dan menyeret gadis itu menuruni tangga batu.“Ayo cepat ikut! Tidak usah banyak melawan!” sentak Martha kasar.“Lepaskan aku, Martha! Aku tidak salah apa-apa!” jerit Anne yang masih terus berusaha melepaskan diri. Tapi Martha justru menariknya lebih keras.“Diam!” bentak Martha. “Kau pikir Tuan Leon akan memaafkanmu setelah kau menghancurkan kepercayaannya? Kau sudah mengkhianati Tuan Leon, dan kau masih berani-berani bilang kalau kau tidak bersalah?”Anne terus saja menangis karena dibentak oleh Martha, yang kini sudah menyeretnya semakin kasar.Tak lama, mereka pun akhirnya tiba di ruang gelap beraroma apek, di mana dindingnya lembab dan lantainya basah. Martha membuka pintu ruangan itu dengan kasar.Suasana sangat mencekam, dan gelap pekat. Tubuh Anne gemetar,