เข้าสู่ระบบRuangan Diego terlihat sepi tanpa aktivitas. Sepanjang pagi ruangan tersebut membuat Valerie kehilangan konsentrasi saat melihatnya. Gosip hangat tentang pernikahan Diego sudah menyebar dan tidak ada satu pun staf yang diundang dalam acara mewah tersebut.
“Nona Valerie?” seseorang berdiri di depan meja membawa sebuah bingkisan besar di tangan.
“Ya, saya Valerie.”
“Bingkisan untuk anda.” Lelaki berjas hitam dengan penampilan necis itu menyodorkan paper bag hitam besar dengan logo salah satu butik termahal di Chicago.
Valerie ragu-ragu menerimanya, tetapi lelaki itu langsung meletakkannya di meja dan pergi sebelum mengatakan siapa pengirimnya.
“Apa yang harus kulakukan?” Valerie cemas.
Ia mengeluarkan Box hitam berlapis gold tersebut dari paper bag. Tidak ada nama pengirim, tapi Valerie cukup tahu siapa pengirimnya.
Dengan hati-hati, ia menarik pita besar berwarna keemasan, membuka tutupnya perlahan. Sebuah gaun putih terlipat rapi seperti salju. Halus, jatuh, dan mahal. Sebuah kartu kecil tergeletak di atasnya dengan ukiran huruf emas.
Hall and Convention Stanford Hotel.
Temui aku di ruang mempelai pria. Satu jam lagi.
Diego Oliver Stanford
Belum sempat menghela napas, ponsel Valerie bergetar. Nama Diego memenuhi layar. Wajah lelaki itu menyambutnya pada foto kontaknya. Wanita itu hanya bisa menggigit bibirnya, segera mengangkat panggilan bosnya.
“Kamu sudah menerima gaunnya, sekretarisku yang lucu?” tanya Diego menggoda.
“Ya, saya sudah menerimanya.”
Valerie bersikap dingin, sikap Diego sama sekali tidak bisa membuatnya tersenyum.
“Bagus, saya sudah menunggumu. Cepatlah datang,” Suara Diego rendah, padat, seperti perintah, tetapi terdengar menggoda di akhir.
“Tuan Stanford, itu acara private untuk keluarga dan relasi bisnis keluarga Stanford. Saya tidak punya alasan untuk datang.”
Valerie masih berusaha menolak, sepanjang hari di kantor tidak ada staf sama sekali yang membahas pergi ke acara pernikahan mewah bosnya. Lantas, kenapa Valerie harus datang?
“Bukankah kamu datang untuk menemuiku? Itu satu alasan bukan?” Diego menyela, nada suaranya dingin. “Kamu tahu, kan, apa jadinya kalau kamu tidak datang?”
“Anda mengancam? Anda benar-benar gila. Sebentar lagi anda menjadi suami wanita lain, tetapi anda meminta seorang wanita datang. Astaga … !”
Diego malah tertawa mendengar Valerie. Suara tawanya terdengar jelas dari kejauhan.
“Valerie.” Suaranya menurun, namun tekanannya justru meningkat. “Saya meminta sekretarisku datang, apa itu salah? Apa ada yang aneh? Kamu bisa saja tidak datang, tetapi saya juga akan meninggalkan acara ini hanya untuk menjemputmu.”
Dunia Valerie seakan runtuh. Malam itu mereka habiskan dengan penuh energi dan Diego tidak pernah bicara kosong soal apa yang selalu dikatakannya. Lelaki itu bisa nekat kapan saja dan Valerie tidak mau hal itu terjadi.
“Silakan pilih, datang atau tidak.” Diego kembali bersuara.
“Tuan Stanford— “
“Nona Valerie— “
“Baiklah, saya akan datang.” Valerie menyerah. Ia menghembuskan napas kasar.
Mendengar jawaban Valerie, telepon Diego terputus. Valerie langsung menunduk pada gaun itu. Ia tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginan bosnya jika tidak ingin hancur. Marah, kesal, tetapi ia tidak bisa melakukannya.
***
Valerie melangkah cepat ke ruangan mempelai pria dengan degup jantung yang tidak beraturan. Setiap tatapan tamu yang dijumpai membuatnya merasa seperti penyusup.
Ia mengetuk pintu ruangan mempelai pria dengan rasa cemas. Menoleh kanan-kiri, takut ada yang memergokinya masuk ruangan Diego.
Pintu terbuka.
Diego berdiri di dalamnya.Valerie terpukau melihatnya, membeku tersihir sesaat pesona seorang Diego Oliver Stanford.
Tuxedo putih membingkai bahu Diego, rambutnya disisir rapi, dan wajahnya… begitu tenang berkarisma dan tampan. Mata lelaki itu turun menelusuri gaun yang dipakai Valerie, lalu kembali menatap bola mata yang melihatnya takjub.
“Cantik,” kata Diego.
Ia berjalan mendekat dengan langkah lambat dan pasti. Tangan Diego langsung meraih pinggang Valerie, menariknya masuk sebelum menutup pintu di belakang mereka.
Diego langsung menciumnya, seperti sapaan yang sudah biasa Ia lakukan. Valerie terkejut, hal gila apa lagi yang coba bosnya itu lakukan. Ajaibnya, tangan Valerie sama sekali tidak melawan seolah menyambut sapaan tersebut.
“Diego—”
“Saya hanya butuh lima menit, tidak lebih.”
Lelaki itu dengan gesit sudah menekan tombol kunci.
Klik.
Valerie menegang. “Anda tidak bisa melakukannya.”
Diego tidak menjawab. Ia memutar tubuh Valerie dan menekannya ke dinding dengan telapak tangan yang hangat di sisi wajahnya. Bibirnya tersenyum tipis melihat kedatangan wanita di depannya.
“Kenapa saya tidak bisa melakukannya?” katanya pelan. “Ciuman tadi untuk sapaan selamat datang.” Diego mengangkat kedua alisnya.
“Anda akan menikah. Tidak pantas kita melakukannya.” Valerie mengelak meski dalam hati ia kagum melihat ketampanan bosnya memakai tuxedo putih.
“Tapi, kamu menikmatinya.”
“Anda— “
Suara Valerie terputus saat Diego kembali mencium. Lebih dalam. Lebih menuntut dan agresif. Ia tidak bisa menyangkal dan menyambut ciuman lembut yang menyambar bibirnya. Statis dan hangat.
Gaun putih yang menempel di tubuhnya seperti ejekan—ia berpakaian seperti mempelai, namun bukan dia yang berdiri di altar nanti. Diego bahkan seperti melakukan pemanasan sebelum melakukannya dengan orang lain.
KNOCK. KNOCK.
Suara pintu terketuk.
“Tuan Diego? Anda di dalam?”
Valerie membeku. Nafasnya tersangkut di tenggorokan. Diego menahan pipinya, menatapnya, dan tersenyum seolah kegelisahannya terlihat sangat lucu.
“Tenang,” bisiknya.
“Tuan Stanford! Ini serius, ada seseorang di luar!” bisik Valerie panik. “Anda tidak bisa—”
Diego menempelkan jari ke bibir Valerie. “Ssst.”
Ketukan kedua lebih keras dan memaksa. Kembali memanggil nama Diego berulang kali.
“Tuan Diego, Anda harus segera ke ballroom untuk foto keluarga sebelum acara mulai!”
Diego tak menjawab, sengaja membuat seseorang di luar menunggu tanpa jawaban. Ia lebih tertarik memandangi Valerie daripada keluar membuka pintu.
Tangan Valerie mencengkram ujung gaunnya. Ia ingin menjauh, tapi Diego justru menarik pinggangnya dan mencium lagi—lebih rakus, seakan sengaja bermain dengan bahaya.
“Berhenti,” desis Valerie, mendorongnya pelan. “Anda harus segera kelu–uar.”
Diego tak mundur, tenaganya lebih kuat menahan dorongan lemah Valerie. Bibirnya mulai turun ke leher Valerie. Menelusurinya dengan buas.
Napas Valerie patah serasa ingin menjerit, tetapi Diego terus membungkamnya hingga tak menyisakan suara.
Diego mengambil jeda, Valerie bisa bernapas sesaat.
“Tuan Diego, apa anda kesulitan di dalam?” tanya seseorang dari luar. Kali ini dengan suara keras dan sedikit mendorong pintu.
“Tuan Stanford, anda gila—”
“Saya memang gila.” Diego menyeringai tipis.
Pegangan pintu mulai berputar, tetapi tidak berhasil. Diego bahkan masih menahan Valerie dengan napas yang beradu mengambil jeda. Ia kembali membungkam bibirnya dengan ciuman, lebih keras dan dalam, membuat suara Valerie kembali tenggelam di tenggorokan.
Valerie hampir berteriak. Tangannya sekuat tenaga memukul-mukul dada bosnya, tetapi tenaganya tidak terlalu kuat untuk melepas jeratan Diego.
Sentuhan logam di gagang pintu makin agresif. Seseorang dari luar jelas berusaha masuk dan membobolnya.
Valerie mencengkeram jas Diego, tubuhnya gemetar panik.
Jika pintu itu terbuka, seseorang menemukan mereka di ruangan mempelai tengah berciuman dan kariernya tamat.Ruangan Diego terlihat sepi tanpa aktivitas. Sepanjang pagi ruangan tersebut membuat Valerie kehilangan konsentrasi saat melihatnya. Gosip hangat tentang pernikahan Diego sudah menyebar dan tidak ada satu pun staf yang diundang dalam acara mewah tersebut.“Nona Valerie?” seseorang berdiri di depan meja membawa sebuah bingkisan besar di tangan. “Ya, saya Valerie.”“Bingkisan untuk anda.” Lelaki berjas hitam dengan penampilan necis itu menyodorkan paper bag hitam besar dengan logo salah satu butik termahal di Chicago.Valerie ragu-ragu menerimanya, tetapi lelaki itu langsung meletakkannya di meja dan pergi sebelum mengatakan siapa pengirimnya.“Apa yang harus kulakukan?” Valerie cemas.Ia mengeluarkan Box hitam berlapis gold tersebut dari paper bag. Tidak ada nama pengirim, tapi Valerie cukup tahu siapa pengirimnya. Dengan hati-hati, ia menarik pita besar berwarna keemasan, membuka tutupnya perlahan. Sebuah gaun putih terlipat rapi seperti salju. Halus, jatuh, dan mahal. Sebuah kartu
Pagi menunjukkan kekuasaannya. Pakaian terlihat berserakan di lantai dan aroma bercampur antara cologne Diego dan parfum Valerie masih menggantung di udara.Di atas ranjang besar itu, Valerie terbaring memandang wajah lelaki yang tidur di sampingnya. Diego Stanford, lelaki asing yang ia temui di bar ternyata bos barunya di kantor. Takdir membawa mereka bertemu, meskipun Valerie ingin melupakan malam labilnya bersama Diego saat pertama bertemu. Mereka malah kembali terikat dengan malam penuh gairah. “Anda terlihat lebih tampan saat tertidur. Tenang, hangat dan menarik,” gumam Valerie. Helai rambut Diego jatuh menutupi dahinya. Valerie menyingkirkannya. Cahaya pagi menangkap garis rahangnya, menonjolkan ketampanan yang selalu membuat Valerie tersipu dalam diam. Ia mengangkat sedikit tubuh, berniat bangun. Namun sebuah lengan kuat melingkar dan mengencang di pinggangnya, menahan. Tubuh Valerie terkunci tidak bisa bergerak. “Berani sekali kamu mencoba pergi lagi setelah apa yang terj
Valerie masih merasakan panas di kulitnya ketika pintu ruangan bosnya menutup di belakangnya. Napasnya tersengal, langkahnya linglung.Beberapa menit lalu, Diego Stanford hampir menjeratnya dalam ketegangan. Satu gerakan kecil memutar pegangan pintu akhirnya menyelamatkannya. Aroma cologne Diego yang hangat, maskulin dan mahal masih menempel di kemejanya. Valerie mengusap dadanya, seakan ingin menghapus sensasi yang terlalu nyata. “Gila,” gumamnya pelan. “Kenapa harus Diego Stanford?”Hari berjalan lambat, Diego tidak muncul lagi di depannya; jadwal rapat yang padat membuat sang CEO sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Ketika jam pulang tiba, Valerie membereskan mejanya dengan kecepatan ingin segera kabur dari medan perang. Ia mengintip ruangan Diego. Gelap, kosong. Tidak ada bayangan lelaki itu di balik kaca.“Syukurlah…” bisiknyaHari itu tidak boleh diakhiri dengan insiden lain. Ia butuh mandi air panas, butuh ranjangnya, butuh melupakan semua ketegangan yang Diego ciptakan.
Ucapan Diego di ruang meeting kemarin terus bergema di kepala seperti rekaman rusak. Nona Horny… kalau kau mau, kita bisa lanjutkan sisa malam itu. Valerie menutup wajah dengan kedua telapak tangan setiap kali mengingatnya. Itu memalukan. Sangat memalukan. Malam liar itu sudah cukup membuatnya ingin menghapus diri dari muka bumi, tapi Diego Stanford, bos barunya, pewaris Stanford Corporation yang dingin dan berwibawa itu, justru menyeret rasa malu Valerie ke level yang lebih brutal.“Apa yang harusnya kulakukan saat bertemu Tuan Stanford?” Valerie menutup wajahnya. Ia kehilangan percaya diri dan keberanian.Seharusnya Valerie menemani Diego meeting di luar kantor hari ini. Namun, karena tidak nyaman dengan yang terjadi kemarin membuat Valerie memilih menghindari bosnya. Akhirnya ia meminta staf lain menggantikan posisinya dengan alasan sakit kepala. Alasan aman dan Valerie bisa menghindari Diego walau sesaat. Setidaknya jadwal bosnya meeting di luar hingga sore nanti. Sayangnya, se
Valerie keluar ruangan dengan wajah pucat pasi. Ia masih berusaha mengatur napasnya agar stabil. Lila mendekat dan menarik tangannya.“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Lila berbisik.Valerie berjalan menuju kabin tempatnya. Ucapan Diego benar-benar membuatnya tidak tenang. Dan panggilannya pada Valerie sangat memalukan.“Valerie, apa dia memecatmu?” tanya Lila penasaran.Wanita berambut pendek dengan make up tebal itu sangat penasaran. Mendekati Valerie dan terus memburunya dengan pertanyaan.“Dia bos yang sangat menakutkan.” Valerie berkata spontan.Lila membelalakkan kedua bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Di saat lainnya menganggap Diego lelaki tampan dengan sejuta pesona, Valerie malah menganggapnya menakutkan.“Dia …kenapa harus dia?” kesal Valerie.“Kenapa? Ada apa dengan Tuan Stanford?” tanya Lila penasaran.Valerie melirik Lila kesal. Kepala bagian itu terlalu ingin tahu. Valerie memalingkan muka dan kembali mengecek agendanya.“Valerie, kamu belum menjawab pertany
“Kamu yakin?”Seorang pria asing menarik pinggang Valerie erat. Pria itu melihat tajam penuh perhitungan.Valerie mengangguk, matanya gelap dan basah. “Ya.” Wanita berkacamata itu pasrah dengan apa yang terjadi.Langkah mereka terhuyung kecil menuju kamar hotel, masih dengan bibir yang sesekali bertemu. Pintu menutup dengan bunyi lembut di belakang mereka. Cahaya kamar yang redup membuat semuanya terasa lebih dekat dan intim.“Bertahanlah, ini tidak akan lama,” bisiknya lembut.Lelaki itu membopong Valerie ke tempat tidur. Ujung jarinya mengayun lembut menyisir tubuh Valerie yang memanas. Tatapannya mulai liar tak terkendali, begitu pula dengan desahan napasnya yang membuat Valerie mengerang pelan, menarik leher pria tersebut lebih dekat dan begitu dekat tanpa batas.Malam habis tanpa hitungan waktu. Dua orang asing yang saling menemukan menukar hasrat yang tertahan. Tiap sentuhan pria itu tak terburu-buru, menyisakan Valerie yang tersenggal dalam balutan gairah yang membara.Kepala







