เข้าสู่ระบบPagi menunjukkan kekuasaannya. Pakaian terlihat berserakan di lantai dan aroma bercampur antara cologne Diego dan parfum Valerie masih menggantung di udara.
Di atas ranjang besar itu, Valerie terbaring memandang wajah lelaki yang tidur di sampingnya. Diego Stanford, lelaki asing yang ia temui di bar ternyata bos barunya di kantor.
Takdir membawa mereka bertemu, meskipun Valerie ingin melupakan malam labilnya bersama Diego saat pertama bertemu. Mereka malah kembali terikat dengan malam penuh gairah.
“Anda terlihat lebih tampan saat tertidur. Tenang, hangat dan menarik,” gumam Valerie.
Helai rambut Diego jatuh menutupi dahinya. Valerie menyingkirkannya. Cahaya pagi menangkap garis rahangnya, menonjolkan ketampanan yang selalu membuat Valerie tersipu dalam diam.
Ia mengangkat sedikit tubuh, berniat bangun. Namun sebuah lengan kuat melingkar dan mengencang di pinggangnya, menahan. Tubuh Valerie terkunci tidak bisa bergerak.
“Berani sekali kamu mencoba pergi lagi setelah apa yang terjadi semalam?” suara Diego serak, malas, tetapi tajam.
Valerie menahan napas. “Anda sudah bangun?” Valerie mengusap pipi Diego.
“Belum,” jawabnya santai, masih memejamkan mata. “Tapi saya akan sadar kalau kamu menghilang.” Diego menangkap telapak tangan Valerie, mengecupnya lembut.
Diego membuka mata, menatapnya dari jarak yang terlalu dekat. Tatapan itu… gelap, lembut, dan berbahaya. Senyum malas terukir di bibirnya, senyum yang selalu meluruhkan benteng Valerie.
“Apa kamu selalu punya kebiasaan pergi setelah menyiksa seorang pria?” Diego menyipitkan mata.
Valerie tertawa ringan, lelaki yang terkenal dingin menakutkan kini terlihat lebih kekanak-kanakan.
“Saya harus pulang, saya tidak ingin mengganggu hari liburmu,” bisik Valerie.
“Bagaimana kalau saya ingin kamu tinggal? Saya ingin bersamamu lebih lama. Bukankah hari ini libur?” Suara Diego rendah, manja dengan caranya sendiri.
“Tuan Stanford—”
“Diego.”
“Anda adalah bos saya.”
“Dan kamu adalah wanitaku.”
Diego menarik Valerie hingga wajah mereka hampir bersentuhan. “Jangan rusak suasana hatiku di pagi hari. Tinggallah dan kamu harus tinggal. Aku memerintahkannya sebagai atasanmu.”
Valerie tertawa kecil, gugup. “Ini tidak masuk akal. Saya hanya tidak ingin banyak orang bergosip saat mereka melihat kita bersama.”
“Mmm, apa itu penting? Siapa yang peduli. Bagiku hal paling penting adalah semalam kamu membuatku hampir kehilangan akal.” Diego mengusap punggungnya pelan. “Itu tidak akan terjadi dengan sembarang wanita.”
“Karena Anda memang begitu pada semua wanita,” sahut Valerie, mencoba menahan diri.
Diego tertawa, rendah dan menggetarkan. “Mungkin. Tapi kamu berbeda.”
Kata-kata itu menancap pada Valerie. Berbeda? Satu kata yang terdengar menggantung, tapi istimewa.
“Kamu menginginkanku sejak pertama bertemu di bar, kan? Saya bisa melihatnya.”
Pipi Valerie memanas. “Sa—ya…” Ia merasa malu jika mengingat waktu itu. Pertemuan konyol yang ingin Valerie hapus dari salah satu ingatannya.
“Tidak perlu menjelaskan.” Diego mengusap pipinya dengan ibu jari, lembut tapi menguasai. “Saya tahu, setiap wanita tidak akan bisa menolakku, termasuk kamu!”
“Tuan Stanford, Anda begitu menggelikan. Anda terlalu narsis, saya tidak menyukainya.” tawa Valerie terdengar manja.
“Benarkah? Apakah kamu tidak suka dengan ini.” Diego menggoda Valerie. Mencium pipinya berulang kali dengan mengejek. Hingga tatapannya berhenti saat kedua bola mata itu beradu.
Valerie hampir tidak sanggup bertahan di bawah tatapan itu. Seumur hidup ia tidak pernah bercinta dengan lelaki manapun, separuh hidupnya hanya untuk belajar dan bekerja.
“Valerie,” bisik Diego, “bisakah kita terus bersama? Aku membutuhkanmu.”
Kata butuh itu terdengar terlalu manis… terlalu berbahaya. Valerie menatapnya lama, mencari kejujuran di balik sorot mata pria itu. Ia melihat ketertarikan, gairah… tapi tidak yakin menemukan komitmen.
Dan tepat saat ia hendak menjawab, Diego mengucapkannya begitu santai:
“Besok adalah hari pernikahanku. Semua terasa membosankan, tetapi tidak saat denganmu. Semua menjadi lebih menarik dan tidak membosankan.”
Valerie membeku. Perkataan Diego barusan seperti petir menyambar saat tak hujan. “Me… menikah? Besok?”
Wanita berambut cokelat itu masih belum percaya. Ia selalu update tentang berita seputar perusahaan, tetapi ia tidak tahu ada kabar sang pewaris akan menikah besok. Kedua iris gelapnya mencoba mencari kebenaran sekali lagi.
Diego mengangguk seolah mengkonfirmasi hal remeh. “Tapi, saya tidak berniat melepaskanmu. Kamu sudah menjadi milikku sekarang dan kita sudah sepakat.”
Valerie merasakan amarah naik. Merasa dibohongi. “Apa saya terlihat semurah itu? Anda tidur dengan saya, mempermainkan saya dan menikah dengan wanita lain besoknya.” Ujung kalimat terdengar ngilu, kecewa.
“Kita sudah sama-sama dewasa, saya pikir ini hal biasa. Kamu tidak perlu meributkannya.”
Mendengarnya, Valerie hendak bangkit, tetapi Diego menangkap pergelangan tangannya. Gerakannya cepat, seperti sudah memperkirakan reaksi itu. Ia membekapnya erat dan mencoba menenangkan wanitanya yang merajuk.
“Valerie.” Diego menariknya kembali ke ranjang. “Tenanglah.”
“Lepaskan!”
“Aku tidak akan melepaskanmu. “
Diego menunduk, mencium bahu Valerie, lalu lehernya. Sentuhan itu membuat Valerie gemetar meski ia sedang marah. Ia terasa lemah saat Diego mulai menyentuhnya.
“Diego… hentikan…” bisiknya lemah.
Tapi Diego selalu tahu kapan tubuhnya menyerah lebih dulu daripada kata-katanya.
“Kamu pikir, kamu bisa pergi setelah yang terjadi?” suara Diego dalam, menekan. “Kamu datang kemarin malam. Kamu tetap tinggal. Jangan berpura-pura kamu tidak menginginkannya. Kita sudah sepakat sebelum melakukannya dan kamu setuju.”
“Karena Anda membuat saya terlihat bodoh! Anda menikah… tapi—”
“Pernikahan itu hanyalah urusan bisnis,” potong Diego. “Tidak berarti apa pun. Kamu yang ku mau, bukan dia.”
Valerie menatapnya tidak percaya. Betapa berbahayanya pria ini. Secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak tahu malu. Pernikahan terdengar seperti permainan baginya.
“Tidak,” desis Valerie. “Saya tidak bisa melakukannya. Saya masih waras!”
Diego tersenyum miring. “Kamu tidak punya pilihan, Nona Horny.”
Kata-kata itu seperti jerat. Lembut, tetapi menekan begitu dalam. Valerie merasakan ketakutan yang lembut tapi nyata karena ia tahu Diego bukan hanya menginginkannya, tetapi menahannya.
“Kenapa Anda harus menahan saya? Bukankah saya hanya seorang wanita kuno dan tidak menarik?” Valerie berusaha mempertahankan logikanya. “Kita bisa lupakan semua ini. Anggap tidak terjadi apa-apa di antara kita sebelumnya.”
“Melupakan?” Diego mendekat, suaranya nyaris berbisik di bibirnya. “Tidak mungkin. Kamu yang memulainya, dan kamu akan mengakhirinya denganku.”
Valerie menelan ludah keras ketika Diego mengungkapkan kalimat yang benar-benar menegangkan:
“Besok, kamu harus datang ke pernikahanku.”
Senyum Diego terangkat, santai. “Kalau tidak… aku bisa batalkan pernikahan, bilang bahwa sekretarisku menggodaku sebelum hari pernikahan.”
“Tuan Stanford! Anda gila!”
“Ya,” ia mengangguk santai. “Aku memang gila. Karena kamu yang membuatku gila!”
Valerie menatapnya, marah, bingung, terseret arusnya. Ia membenci caranya diperlakukan… tapi tubuhnya masih bergetar oleh ciumannya. Ia tidak munafik merasakannya.
“Anda memang bos yang gila,” gumam Valerie dengan napas tidak stabil, “dan saya… terlalu bodoh membiarkan Anda menyentuh saya.”
Ruangan Diego terlihat sepi tanpa aktivitas. Sepanjang pagi ruangan tersebut membuat Valerie kehilangan konsentrasi saat melihatnya. Gosip hangat tentang pernikahan Diego sudah menyebar dan tidak ada satu pun staf yang diundang dalam acara mewah tersebut.“Nona Valerie?” seseorang berdiri di depan meja membawa sebuah bingkisan besar di tangan. “Ya, saya Valerie.”“Bingkisan untuk anda.” Lelaki berjas hitam dengan penampilan necis itu menyodorkan paper bag hitam besar dengan logo salah satu butik termahal di Chicago.Valerie ragu-ragu menerimanya, tetapi lelaki itu langsung meletakkannya di meja dan pergi sebelum mengatakan siapa pengirimnya.“Apa yang harus kulakukan?” Valerie cemas.Ia mengeluarkan Box hitam berlapis gold tersebut dari paper bag. Tidak ada nama pengirim, tapi Valerie cukup tahu siapa pengirimnya. Dengan hati-hati, ia menarik pita besar berwarna keemasan, membuka tutupnya perlahan. Sebuah gaun putih terlipat rapi seperti salju. Halus, jatuh, dan mahal. Sebuah kartu
Pagi menunjukkan kekuasaannya. Pakaian terlihat berserakan di lantai dan aroma bercampur antara cologne Diego dan parfum Valerie masih menggantung di udara.Di atas ranjang besar itu, Valerie terbaring memandang wajah lelaki yang tidur di sampingnya. Diego Stanford, lelaki asing yang ia temui di bar ternyata bos barunya di kantor. Takdir membawa mereka bertemu, meskipun Valerie ingin melupakan malam labilnya bersama Diego saat pertama bertemu. Mereka malah kembali terikat dengan malam penuh gairah. “Anda terlihat lebih tampan saat tertidur. Tenang, hangat dan menarik,” gumam Valerie. Helai rambut Diego jatuh menutupi dahinya. Valerie menyingkirkannya. Cahaya pagi menangkap garis rahangnya, menonjolkan ketampanan yang selalu membuat Valerie tersipu dalam diam. Ia mengangkat sedikit tubuh, berniat bangun. Namun sebuah lengan kuat melingkar dan mengencang di pinggangnya, menahan. Tubuh Valerie terkunci tidak bisa bergerak. “Berani sekali kamu mencoba pergi lagi setelah apa yang terj
Valerie masih merasakan panas di kulitnya ketika pintu ruangan bosnya menutup di belakangnya. Napasnya tersengal, langkahnya linglung.Beberapa menit lalu, Diego Stanford hampir menjeratnya dalam ketegangan. Satu gerakan kecil memutar pegangan pintu akhirnya menyelamatkannya. Aroma cologne Diego yang hangat, maskulin dan mahal masih menempel di kemejanya. Valerie mengusap dadanya, seakan ingin menghapus sensasi yang terlalu nyata. “Gila,” gumamnya pelan. “Kenapa harus Diego Stanford?”Hari berjalan lambat, Diego tidak muncul lagi di depannya; jadwal rapat yang padat membuat sang CEO sibuk dari satu ruangan ke ruangan lain. Ketika jam pulang tiba, Valerie membereskan mejanya dengan kecepatan ingin segera kabur dari medan perang. Ia mengintip ruangan Diego. Gelap, kosong. Tidak ada bayangan lelaki itu di balik kaca.“Syukurlah…” bisiknyaHari itu tidak boleh diakhiri dengan insiden lain. Ia butuh mandi air panas, butuh ranjangnya, butuh melupakan semua ketegangan yang Diego ciptakan.
Ucapan Diego di ruang meeting kemarin terus bergema di kepala seperti rekaman rusak. Nona Horny… kalau kau mau, kita bisa lanjutkan sisa malam itu. Valerie menutup wajah dengan kedua telapak tangan setiap kali mengingatnya. Itu memalukan. Sangat memalukan. Malam liar itu sudah cukup membuatnya ingin menghapus diri dari muka bumi, tapi Diego Stanford, bos barunya, pewaris Stanford Corporation yang dingin dan berwibawa itu, justru menyeret rasa malu Valerie ke level yang lebih brutal.“Apa yang harusnya kulakukan saat bertemu Tuan Stanford?” Valerie menutup wajahnya. Ia kehilangan percaya diri dan keberanian.Seharusnya Valerie menemani Diego meeting di luar kantor hari ini. Namun, karena tidak nyaman dengan yang terjadi kemarin membuat Valerie memilih menghindari bosnya. Akhirnya ia meminta staf lain menggantikan posisinya dengan alasan sakit kepala. Alasan aman dan Valerie bisa menghindari Diego walau sesaat. Setidaknya jadwal bosnya meeting di luar hingga sore nanti. Sayangnya, se
Valerie keluar ruangan dengan wajah pucat pasi. Ia masih berusaha mengatur napasnya agar stabil. Lila mendekat dan menarik tangannya.“Bagaimana? Apa yang terjadi?” tanya Lila berbisik.Valerie berjalan menuju kabin tempatnya. Ucapan Diego benar-benar membuatnya tidak tenang. Dan panggilannya pada Valerie sangat memalukan.“Valerie, apa dia memecatmu?” tanya Lila penasaran.Wanita berambut pendek dengan make up tebal itu sangat penasaran. Mendekati Valerie dan terus memburunya dengan pertanyaan.“Dia bos yang sangat menakutkan.” Valerie berkata spontan.Lila membelalakkan kedua bola matanya dengan mulut sedikit terbuka. Di saat lainnya menganggap Diego lelaki tampan dengan sejuta pesona, Valerie malah menganggapnya menakutkan.“Dia …kenapa harus dia?” kesal Valerie.“Kenapa? Ada apa dengan Tuan Stanford?” tanya Lila penasaran.Valerie melirik Lila kesal. Kepala bagian itu terlalu ingin tahu. Valerie memalingkan muka dan kembali mengecek agendanya.“Valerie, kamu belum menjawab pertany
“Kamu yakin?”Seorang pria asing menarik pinggang Valerie erat. Pria itu melihat tajam penuh perhitungan.Valerie mengangguk, matanya gelap dan basah. “Ya.” Wanita berkacamata itu pasrah dengan apa yang terjadi.Langkah mereka terhuyung kecil menuju kamar hotel, masih dengan bibir yang sesekali bertemu. Pintu menutup dengan bunyi lembut di belakang mereka. Cahaya kamar yang redup membuat semuanya terasa lebih dekat dan intim.“Bertahanlah, ini tidak akan lama,” bisiknya lembut.Lelaki itu membopong Valerie ke tempat tidur. Ujung jarinya mengayun lembut menyisir tubuh Valerie yang memanas. Tatapannya mulai liar tak terkendali, begitu pula dengan desahan napasnya yang membuat Valerie mengerang pelan, menarik leher pria tersebut lebih dekat dan begitu dekat tanpa batas.Malam habis tanpa hitungan waktu. Dua orang asing yang saling menemukan menukar hasrat yang tertahan. Tiap sentuhan pria itu tak terburu-buru, menyisakan Valerie yang tersenggal dalam balutan gairah yang membara.Kepala







