Home / Rumah Tangga / Sepiring Talak di Pagi Hari / Bab 1. Awal Mula Petaka

Share

Sepiring Talak di Pagi Hari
Sepiring Talak di Pagi Hari
Author: Zuya

Bab 1. Awal Mula Petaka

Author: Zuya
last update Last Updated: 2023-02-03 20:20:51

“Bangun, Perempuan Pendosa!”

Suatu pagi, Nilna terperanjat saat tubuhnya diguncang dengan kasar disertai bentakan keras.

“Bangun aku bilang!” Suara itu kembali terdengar.

Nilna yang awalnya masih terlelap, mencoba membuka mata. Saat sedikit cahaya mulai menyapa indra penglihatan, ia lebih terkejut lagi. Sang suami, mertua, dan adik iparnya berjejer, menatap dengan pandangan tajam. Sementara kepalanya terasa nyeri luar biasa.

“Katakan dengan siapa kamu tidur semalam!” bentak Satria, sang suami.

Ruh Nilna belum sepenuhnya terkumpul. Ia tergesa-gesa bangun, tetapi baru menyadari tubuhnya hanya berbungkus selimut. Ia pun kembali berusaha membenahi letak selimut yang sempat sedikit tersingkap.

“A-apa maksudmu, Bang?” Terbata-bata Nilna mengucapkannya.

“Kenapa kamu bisa ada di hotel ini? Jawab!”

“Ho-hotel? A-aku nggak tahu.” Mata Nilna mencoba menyapu pandangan ke sekitar. Sebuah ruangan yang sangat asing baginya.

“Nggak tahu kamu bilang? Hah! Kamu telah berzina! Kamu selingkuh! Katakan dengan siapa!” Suara Satria kian meninggi.

“Sumpah demi Allah, aku–“

“Jangan menyebut nama Tuhan dengan bibirmu yang kotor itu. Nilna Fauziah, saat ini, dalam keadaan sadar, kujatuhkan talak untukmu!” Lantang, tegas, dan keras. Tangan Satria mengepal kuat. Matanya tidak sekalipun memandang wajah mengiba sang istri. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun.

Nilna mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadaran. Pendengarannya mungkin saja keliru. "B-bang, a-aku semalam nggak sadar kalau–“

“Nilna, cukup! Selama ini Ibu selalu membelamu, mengasihi, menyayangimu. Tapi apa balasannya? Di belakang Ibu dan suamimu kamu bertindak begitu menjijikkan!” Maya, ibu mertua Nilna ikut meradang.

“Tap-tapi, Bu. Aku bisa menjelaskan–"

“Kak Nilna sudah aku anggap seperti kakak sendiri, tapi ternyata seperti ini sifat asli Kakak. Pantas selama ini Bang Satria begitu membenci Kakak.” Samara, adik Satria buka suara.

“Atas dasar apa kalian menuduhku selingkuh, berzina?” Nilna sudah merasa tersudut atas apa yang sebenarnya terjadi sementara ia sendiri benar-benar tidak ingat apa-apa.

Satria mengangkat dalaman pria dan bungkus rokok. Lalu, dua benda itu dilempar tepat di wajah Nilna.

“Ini buktinya!”

Bukti nyata terpampang. Sulit bagi orang lain mempercayai meski Nilna terus berusaha menjelaskan. Meskipun saat ini ia sendirian, tidak ada pria di sampingnya, tetapi dengan bercecernya bajunya dan juga barang yang baru saja dilempar Satria, membuatnya mati kutu.

“Mau ngeles apa lagi kamu, hah!” Satria lalu berjalan, mengambil tas Nilna di atas nakas. Ponsel dikeluarkan, kemudian menggulirnya sejenak. Setelah itu, ia berjalan menghampiri Nilna yang masih terduduk di ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Kondisimu saat ini, barang-barang itu buktinya! Dan foto ini! Katakan dia siapa!” Tangan kiri Satria bergerak menarik rambut Nilna yang tergerai, sedangkan tangan kanan memegangi ponsel yang menampilkan foto Nilna tengah terlelap dengan seorang pria dalam kasur sama. Namun, wajah pria itu tidak terlihat.

“Aku sudah bilang, nggak tahu, Bang.” Nilna berucap lirih.

Nilna merasa menyesal karena tidak pernah mengunci ponselnya dengan pola atau sandi. Ia berpikir tidak ada rahasia di sana, tetapi nyatanya semua itu justru menjadi bumerang karena siapa saja bisa mengakses. Foto itu diambil mungkin saat ia tidak sadar.

“Aku benar-benar enggak tahu, Bang. Bu, tolong Nilna. Semua ini fitnah.” Nilna berusaha mengiba, tangannya berusaha melepaskan cekalan tangan Satria. Matanya yang berembun, menatap Maya, sang mertua.

“Jujur lebih baik sekarang, Na. Katakan, siapa pria yang membuatmu durhaka pada suami dan ibumu ini?” Mata Maya juga berkaca-kaca, bukti ia kecewa luar biasa.

Nilna hanya menggeleng berulang kali sambil terisak-isak. “Sumpah, Bu. Aku nggak tahu kenapa bisa sampai sini.”

“Talak sudah jatuh atasmu, Nilna. Kamu bukan lagi istriku. Ambil barang-barangmu dari rumahku dan lekaslah enyah dari sana. Aku tidak sudi punya istri pezina sepertimu!” Usai mengatakan itu, Satria melepaskan cekalan dengan menyentak, membuat tubuh lemas Nilna terhuyung ke ranjang.

“Bu, ayo kita pulang. Sekarang Ibu tahu sendiri kenapa selama ini aku sangat membencinya. Bukan hanya wajah dan tubuhnya yang buruk, sikapnya lebih menjijikkan.” Satria lalu menggandeng ibu dan adiknya keluar dari kamar hotel. Kamar yang Nilna sendiri tidak sadar kenapa berada di sana.

Sorot mata Nilna terus mengawasi tiga orang itu hingga pintu kamar dibanting sangat keras. Wanita itu terperanjat.

“Aaa!” Nilna berteriak sekeras-kerasnya, tidak peduli penghuni kamar lain yang mungkin terganggu. Ia lalu menarik-narik rambut dan mencakari tubuhnya hingga terasa sakit dan perih.

“Aku kenapa? Siapa yang lakuin semua ini sama aku?”

“Apa yang terjadi semalam, Ya Allah.”

Nilna tersedu-sedu.

Setelah puas menyakiti diri sendiri, Nilna bangkit dan berusaha berjalan hendak menuju kamar mandi. Area sensitifnya terasa perih. Mungkin, semalam memang ada yang menjamah tubuhnya.

“Aw! Astagfirullah. Siapa yang tega bertindak buruk ke aku?” Nilna berhenti sejenak memegangi area yang sakit.

Area yang lima bulan menikah tidak pernah disentuh sang suami.

Dengan tubuh gemetar, ia masih sempat memungut baju yang tercecer di lantai. Sedikit bercak darah kering juga terlihat di selangkangannya. Isak tangis terus terdengar dari bibir pucat itu.

“Allah, takdir macam apa lagi yang harus aku jalani?” Lirih, Nilna melafazkannya.

Adakah yang lebih mengejutkan dari ini? Baru bangun tidur, Nilna langsung disuguhi secangkir kepulan panas amarah dan sepiring talak dari suaminya.

**

Nilna ingat betul. Malam itu, sekitar jam sepuluh malam, ia baru pulang dari kerja. Wanita itu bekerja di sebuah restoran merangkap menerima pesanan katering. Di sana, ada tiga sif kalau pesanan katering membludak. Kebetulan saat itu Nilna bagian sif kedua. Sif ketiga yang rawan untuk wanita, sengaja dipilih untuk para karyawan pria.

Saat itu, semua keluarga termasuk Satria tengah menghadiri acara pernikahan saudara di desa sebelah. Nilna yang baru saja mengambil cuti karena sakit, tidak enak jika kembali izin. Ia memutuskan untuk tidak ikut serta.

Tiba di rumah ketika sedang mencari anak kunci di tas, tiba-tiba ada benda yang membekap mulut dan hidung Nilna. Wanita itu sekedap bisa memberontak, tetapi lama-lama lemas, pusing, dan tidak sadarkan diri. Begitu sadar, drama menyakitkan terjadi di hidupnya.

Entah apa yang terjadi dalam kurun waktu sekitar enam sampai tujuh jam saat Nilna tidak sadarkan diri. Yang pasti, ia merasa tubuhnya kini tidak suci lagi.

Air mata Nilna berlomba dengan air shower untuk mencapai lantai. Rasa dingin yang dirasakan, tidak bisa mendinginkan hatinya yang membara.

“Apa yang telah terjadi? Siapa!” Nilna berteriak di sela-sela tangis.

Siapa? Kenapa? Bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itu bertengkar di kepala Nilna hingga terasa berat. Pertanyaan yang harus segera diusut demi membersihkan nama yang sudah telanjur tercoreng.

Cepat-cepat Nilna mengakhiri ritual mandi setelah otaknya menemukan langkah awal yang akan diambil. Ia lalu berwudu dan keluar kamar. Di tasnya selalu ada mukena hingga ia tidak bingung jika salat di mana pun berada.

Dalam sujud panjang setelah salat Subuh, Nilna terus menangis. Ia menumpahkan rasa sakit hati dan kegundahan yang mengengkangnya.

“Allah, jika ini cara hamba untuk naik kelas, hamba ridho. Tapi kenapa ujiannya begitu sulit? Apa hamba bisa melewatinya? Apa hamba bisa mencari keadilan dari apa yang terjadi? Hamba tahu ini cara-Mu agar hamba mendekat kepada-Mu, agar hamba selalu memohon kepada-Mu. Tapi kenapa seberat ini? Kuatkan hamba, beri hamba pertolongan agar bisa menguak dan mencari siapa pria itu.” Sajadah Nilna basah, bukti ia benar-benar berserah.

Setelah puas menyeduh dan mengisi tenaganya dengan sarapan doa, Nilna bangkit. Ia memakai hijab dan mencangklong tas. Di depan cermin, Nilna mengamati dirinya. Wajah penuh jerawat, kusam, ditambah dengan tubuh yang lebar. Sempurna. Semua keburukan menempel di sana. Ia menelisik lebih jauh. Tidak ada setitik hal indah. Berbanding terbalik dengan suaminya yang tampan dan mapan.

“Wanita buruk rupa.” Nilna bergumam sambil menyentuh wajahnya.

Nilna menggeleng, mengusir pikiran yang mulai membawanya pada kufur nikmat. Tetes demi tetes yang sesekali masih keluar dari matanya, dihapus kasar.

Sebelum keluar kamar, Nilna mencengkeram kuat gagang pintu untuk menguatkan diri. Ia lalu keluar dan berjalan tergesa-gesa menuju resepsionis sambil membawa cardlock.

“Permisi, Mbak. Mau tanya. Pemesan kamar yang baru saya tempati siapa, ya?” tanya Nilna kepada resepsionis. Ia juga menyebutkan nomor kamarnya.

“Pemesan atas nama Nilna Fauziah,” jawab sang resepsionis setelah mencari pada komputer di hadapannya.

“A-apa! Saya?” tanya Nilna tidak percaya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agus Irawan
hai kak mampir juga ke Novelku yuuk. judul "Kembang Desa Sang Miliarder" pena "Agus Irawan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 131. Sepinggan Kebahagiaan

    “Mas!” panggil Zia. Ia mendatangi Faruq di ruang fitness pribadi yang ada di rumahnya. “A-pa, Sa-yang,” jawab Faruq sambil berolahraga angkat beban. “Aku mau kasih tahu sesuatu. Tapi udahi dulu olahraganya.” Faruq menatap sang istri sebentar, lalu menuruti apa yang dipinta. Dengan napas masih terengah-engah, Faruq duduk sambil mengelap peluh dengan handuk kecil. Zia menyerahkan amplop. “Apa ini? Tagihan?” Faruq membolak-baliknya. “Iya. Tagihan dalam jumlah gede pokoknya. Cepetan buka!” Faruq pun membuka amplop itu dan ternyata isinya tiga buah testpack berbeda merek bergaris dua. “Ka-kamu hamil?” Faruq tergagap. Zia mengangguk. “Hm’eh. Gimana ini? Aku takut.” Faruq terdiam. Harusnya ia yang takut, harusnya ia yang khawatir. Istrinya pun ternyata punya rasa yang sama. Jika ketakutannya juga ditunjukkan, pria itu takut sang istri tambah kepikiran. “Ssst! Jangan mikir macam-macam. Kita berdoa saja semoga semuanya selamat dan baik-baik saja. Mulai sekarang kalau Mas ada dinas k

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 130. Seleksi Alam dan Tuhan

    “Katanya, Latifa hamil,” jawab Faruq sambil menunjukkan pesan teks dan gambar dari Mahardika. “Apa! Ini kabar luar biasa, Mas Sayang!” Zia terlonjak, memeluk suaminya erat. “Ya, dan katanya lagi, kemungkinan mulai bulan depan Mahardika akan dimutasi ke Surabaya. Itu artinya, Latifa juga akan dibawa ke sana. Alhamdulillah, semoga dengan semua ini kehidupan semuanya jauh lebih baik.” “Aamiin. Semoga setelah jauh dari Mas, obsesinya itu bisa mereda.” “Dan kamu nggak ada yang ngusik!” Faruq kembali menggotong istrinya menuju ranjang. ** “Zia sudah siap dirias, Mbak?” tanya Faruq kepada Farah yang baru masuk kamar. “Belum, dikit lagi. Jangan usik dia dulu. Nanti kalau selesai, pasti kamu Mbak panggil,” jawab Farah, lalu keluar lagi. Hari ini adalah walimatul ursy sekaligus resepsi pernikahan di Kilisuci Ballroom Hotel Grand Surya Kediri. Sementara Zia dirias, Faruq harus mengungsi di kamar kakaknya. Fariz tengah bermain di sampingnya. “Boy, kalau punya adek, kamu pengen cowok apa

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 129. Secawan Madu (21+)

    “Ya, Mas jijik.” Zia mendorong kasar tubuh suaminya hingga pria itu mundur selangkah. “Pergilah. Aku ingin menyelesaikan mandi,” ujar Zia sambil berusaha menutupi tubuh depannya. Faruq kembali merapatkan diri dengan istrinya. Dicekalnya pinggang ramping itu. Tubuh keduanya kembali saling menempel. “Mas jijik dengan kelakuan mantan suamimu itu. Dia yang membuat tubuhmu jadi seperti ini.” Faruq menyapu bibir Zia dengan ganas. Ia juga menciumi semua bekas luka itu termasuk luka bekas operasi cesar, membuat Zia kembali terpejam sambil menggigit bibir menahan agar suara khas gejolak gairah terdengar. Tangannya refleks meremas rambut sang suami. “Bekasnya memang tidak bisa hilang, tapi Mas pastikan tidak akan ada lagi tambahan luka di tubuhmu. Mas sangat mencintaimu.” Faruq menatap Zia serius. Dengan tubuh masih berpakaian lengkap meski basah, Faruq kembali mendekap tubuh sang istri. “Ya sudah, lekaslah mandi. Jangan lama-lama. Mas mau ganti pakaian di ruang sebelah. Bajumu sudah pind

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 128. Namanya Mahardika

    “Assalamualaikum. Ada apa, Ka?” Faruq mengangkat panggilan seraya masih menggandeng sang istri, membawanya duduk di bibir ranjang.Zia melepas cadar, lalu berkata lirih, “Loudspeaker, Mas.”Faruq mengangguk dan panggilan dilakukan dengan pengeras suara.“Latifa dirawat di rumah sakit, Mas. Dari tadi teriak nyebut nama Zia. Saya ingat-ingat, itu nama calon istri Mas bukan?”“Iya dan hari ini dia resmi jadi istri saya. Apa yang terjadi?”Zia mulai didera ketakutan.“Maaf kalau telepon saya mengganggu. Tapi saya ingin bertanya apa yang sudah dilakukan istri Mas ke Latifa sampai dia sekacau itu.”Spontan Faruq menatap Zia. Wanita itu merebut ponsel suaminya. “Maaf, Mas. Apa dia beneran bunuh diri? I-ini saya Zia yang bicara.”“Ya, dia mengamuk bahkan melukai dirinya sendiri. Apa yang sudah Mbak lakukan ke dia?”Zia menghela napas berat dan mengeluarkan pelan. “Baik, akan saya ceritakan apa yang terjadi.”Zia menceritakan semua yang terjadi tadi pagi saat Tuti menemuinya. Faruq yang juga b

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 127. Ancaman Latifa

    “Mengancam bunuh diri?” Zia mengulang. Beruntung Tuti datang setelah ia memakai cadarnya. Ia masih duduk, enggan berdiri sebab gaun pengantinnya lumayan panjang. Salah berdiri takutnya malah menginjak baju dan bisa-bisa jatuh.“I-iya. Hanya kamu yang bisa menghentikannya.” Tuti terlihat sangat khawatir. Ia sempat mengunci pintu kamar agar tidak ada orang yang masuk.“Bu, mohon maaf sebelumnya. Bukankah Latifa sudah punya suami? Harusnya Ibu mencari suaminya, bukan saya.”“Tapi ini ada urusannya sama kamu. Bukan sama suaminya.”“Tapi dia masih menggertak, ‘kan? Belum bunuh diri sungguhan?”Tuti menggeleng. “Tolong. Bilang sama Faruq agar membatalkan pernikahan ini. Demi Latifa.”Sikap Tuti berbanding terbalik dengan saat dulu pernah melabrak Zia saat di rumah sakit. Keangkuhan dan kesombongannya seolah-olah runtuh berganti tampang permohonan.“Kenapa harus saya, Bu? Bukannya Ibu bisa bicara sendiri ke Mas Faruq?”Tuti menggeleng. “Kalau saya yang meminta, dia tidak akan mau. Kalau kamu

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 126. Trauma

    Zia bangkit. Ia berjalan cepat meninggalkan Faruq dan Fariz yang masih ada di samping peristirahatan terakhir Rizkia. “Yang, tunggu!” Faruq mengejar sampai ia tiba di samping sang istri. Dicekalnya pergelangan tangan Zia dengan tangan kiri sementara yang kanan menggendong Fariz. “Bukan gitu maksud Mas. Mas hanya trauma. Mas nggak mau kehilangan kamu! Apalagi kamu bilang kayak gitu barusan. Untuk itu cukup Fariz saja yang jadi anak kita. Sungguh, Mas sanggup lagi jika harus kehilangan istri lagi.” “Memang tadi Mas tahu aku mau ngomong apa? Main motong gitu aja.” “Tahu. Pengen mati syahid kayak Rizkia, 'kan? Mas jadi mikir mungkin lebih baik anak kita cukup Fariz saja. Sudahlah, ayo pulang. Kita bicara lagi kalau sudah di rumah.” Zia terdiam. Sepertinya Faruq menyembunyikan banyak hal. Ia harus mengorek lebih jauh jika nanti tiba di rumah. Sepanjang perjalanan pulang, hanya didominasi suara cerewet Fariz. Sementara Zia menolak membahas hal apa pun dan meminta suaminya fokus menyeti

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 125. Hempaskan Bibit Pelakor

    “Assalamualaikum.” Zia mengucapkan salam, lalu langsung menuju ke samping ranjang suaminya. Faruq terpejam, terlihat sedang tidur.“Bu Latifa apa kabar?” tanya Zia sopan. Mati-matian ia menahan diri agar tidak marah melihat keberadaan Latifa di sana.Latifa melengos tanpa berniat menjawab.Zia mengambil tangan kanan suaminya pelan karena terpasang jarum infus, lalu menciumnya takzim.Latifa menyeret tangan Zia keluar ruang inap setelah Zia melepaskan tangannya dari Faruq.“Berani-beraninya kamu kembali menampakkan diri,” ucap Latifa dengan napas memburu.“Kamu sekarang istri dr. Faruq Dahlan, Sp. A. Hempaskan rasa minder, bangun kepercayaan dirimu setinggi-tingginya. Kamu punya hak atas Mas. Kasih perhitungan sama Latifa biar dia menjauh dari kehidupan kita karena penolakan Mas sudah tidak mempan.” Perkataan Faruq kembali terngiang di benak Zia. Suaminya benar. Ia sekarang punya kuasa penuh atas Faruq, termasuk menjaganya dari bibit pelakor seperti Latifa.“Memangnya ada yang salah?”

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 124. Kepergok

    “Bu-bu Latifa?” Zia hendak melepaskan diri dari pelukan suaminya, tetapi pelukan itu justru makin erat.“Jangan salah paham. Saya bisa menjelaskan. Manggilnya aku kamu aja kali, ya, mulai sekarang? Biar kesannya nggak formal dan kaku banget. Gimana?” tanya Faruq. Zia masih diam.“Ngambek? Cemburu? Alhamdulillah kalau istri saya, eh, istri Mas cemburu.” Faruq tertawa, lalu menggelitiki istrinya.Ada rasa tak biasa dirasakan Zia saat Faruq menyebut dirinya dengan sebutan mas. Ah, pria itu memang pandai membuatnya jungkir balik.“Lepas! Nggak lucu.” Zia berusaha melepaskan diri, tetapi tidak berhasil.“Dengerin Mas sini, jangan ngambeknya yang diduluin. Jadi, Latifa itu sudah menikah dengan dokter umum yang dinasnya di Puskesmas Grogol. Dia menikah karena dijodohkan orang tuanya pasca Mas menolak keinginan mertua turun ranjang. Mungkin Latifa menikah karena terpaksa, melihat bagaimana dulu dia ngebet banget dinikahi Mas. Entah apa yang terjadi dengan rumah tangganya, sebulan lalu dia dat

  • Sepiring Talak di Pagi Hari   Bab 123. Sebuah Tempat Cincin

    “Yang, ditanya, kok, diem?” Faruq terpejam. Sementara hidungnya sibuk menghidu aroma harum tubuh sang istri. “Eh, i-itu. Sa-at saya di rumah sakit kemarin, di-dia terpaksa lepas sama saya, nggak mau ASI lagi,” jawab Zia terputus-putus. Faruq terkekeh. “Grogi, ya, diginiin?” Bukannya melepaskan pelukan, tangan pria itu justru bergerilya nakal. “Mulai sekarang, kamu harus membiasakan diri dengan stimulasi kayak gini. Nggak usah grogi, dibuat santai saja. Saya nggak bakal nerkam kamu. Mungkin hanya menghamilimu.” “Pak!” Faruq tertawa. “Saat bertemu pertama kali di kontrakanmu kemarin, kalau saya tidak punya iman kuat, saya hampir saja kalap ingin memelukmu.” Faruq kembali berbisik. “Pak, geli. Ta-tangannya tolong dikondisikan,” ucap Zia sambil menangkap jari telunjuk suaminya. Faruq tertawa. “Sumpah saya itu gemes banget sama kamu. Fariz udah tidur lagi?” “Sudah kayaknya.” “Ya sudah, ayo kita sholat Isya’ dulu.” Faruq melepaskan pelukan, lalu meletakkan kepalanya di atas pipi Z

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status