Share

Sepiring Talak di Pagi Hari
Sepiring Talak di Pagi Hari
Author: Zuya

Bab 1. Awal Mula Petaka

“Bangun, Perempuan Pendosa!”

Suatu pagi, Nilna terperanjat saat tubuhnya diguncang dengan kasar disertai bentakan keras.

“Bangun aku bilang!” Suara itu kembali terdengar.

Nilna yang awalnya masih terlelap, mencoba membuka mata. Saat sedikit cahaya mulai menyapa indra penglihatan, ia lebih terkejut lagi. Sang suami, mertua, dan adik iparnya berjejer, menatap dengan pandangan tajam. Sementara kepalanya terasa nyeri luar biasa.

“Katakan dengan siapa kamu tidur semalam!” bentak Satria, sang suami.

Ruh Nilna belum sepenuhnya terkumpul. Ia tergesa-gesa bangun, tetapi baru menyadari tubuhnya hanya berbungkus selimut. Ia pun kembali berusaha membenahi letak selimut yang sempat sedikit tersingkap.

“A-apa maksudmu, Bang?” Terbata-bata Nilna mengucapkannya.

“Kenapa kamu bisa ada di hotel ini? Jawab!”

“Ho-hotel? A-aku nggak tahu.” Mata Nilna mencoba menyapu pandangan ke sekitar. Sebuah ruangan yang sangat asing baginya.

“Nggak tahu kamu bilang? Hah! Kamu telah berzina! Kamu selingkuh! Katakan dengan siapa!” Suara Satria kian meninggi.

“Sumpah demi Allah, aku–“

“Jangan menyebut nama Tuhan dengan bibirmu yang kotor itu. Nilna Fauziah, saat ini, dalam keadaan sadar, kujatuhkan talak untukmu!” Lantang, tegas, dan keras. Tangan Satria mengepal kuat. Matanya tidak sekalipun memandang wajah mengiba sang istri. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun.

Nilna mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadaran. Pendengarannya mungkin saja keliru. "B-bang, a-aku semalam nggak sadar kalau–“

“Nilna, cukup! Selama ini Ibu selalu membelamu, mengasihi, menyayangimu. Tapi apa balasannya? Di belakang Ibu dan suamimu kamu bertindak begitu menjijikkan!” Maya, ibu mertua Nilna ikut meradang.

“Tap-tapi, Bu. Aku bisa menjelaskan–"

“Kak Nilna sudah aku anggap seperti kakak sendiri, tapi ternyata seperti ini sifat asli Kakak. Pantas selama ini Bang Satria begitu membenci Kakak.” Samara, adik Satria buka suara.

“Atas dasar apa kalian menuduhku selingkuh, berzina?” Nilna sudah merasa tersudut atas apa yang sebenarnya terjadi sementara ia sendiri benar-benar tidak ingat apa-apa.

Satria mengangkat dalaman pria dan bungkus rokok. Lalu, dua benda itu dilempar tepat di wajah Nilna.

“Ini buktinya!”

Bukti nyata terpampang. Sulit bagi orang lain mempercayai meski Nilna terus berusaha menjelaskan. Meskipun saat ini ia sendirian, tidak ada pria di sampingnya, tetapi dengan bercecernya bajunya dan juga barang yang baru saja dilempar Satria, membuatnya mati kutu.

“Mau ngeles apa lagi kamu, hah!” Satria lalu berjalan, mengambil tas Nilna di atas nakas. Ponsel dikeluarkan, kemudian menggulirnya sejenak. Setelah itu, ia berjalan menghampiri Nilna yang masih terduduk di ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya.

“Kondisimu saat ini, barang-barang itu buktinya! Dan foto ini! Katakan dia siapa!” Tangan kiri Satria bergerak menarik rambut Nilna yang tergerai, sedangkan tangan kanan memegangi ponsel yang menampilkan foto Nilna tengah terlelap dengan seorang pria dalam kasur sama. Namun, wajah pria itu tidak terlihat.

“Aku sudah bilang, nggak tahu, Bang.” Nilna berucap lirih.

Nilna merasa menyesal karena tidak pernah mengunci ponselnya dengan pola atau sandi. Ia berpikir tidak ada rahasia di sana, tetapi nyatanya semua itu justru menjadi bumerang karena siapa saja bisa mengakses. Foto itu diambil mungkin saat ia tidak sadar.

“Aku benar-benar enggak tahu, Bang. Bu, tolong Nilna. Semua ini fitnah.” Nilna berusaha mengiba, tangannya berusaha melepaskan cekalan tangan Satria. Matanya yang berembun, menatap Maya, sang mertua.

“Jujur lebih baik sekarang, Na. Katakan, siapa pria yang membuatmu durhaka pada suami dan ibumu ini?” Mata Maya juga berkaca-kaca, bukti ia kecewa luar biasa.

Nilna hanya menggeleng berulang kali sambil terisak-isak. “Sumpah, Bu. Aku nggak tahu kenapa bisa sampai sini.”

“Talak sudah jatuh atasmu, Nilna. Kamu bukan lagi istriku. Ambil barang-barangmu dari rumahku dan lekaslah enyah dari sana. Aku tidak sudi punya istri pezina sepertimu!” Usai mengatakan itu, Satria melepaskan cekalan dengan menyentak, membuat tubuh lemas Nilna terhuyung ke ranjang.

“Bu, ayo kita pulang. Sekarang Ibu tahu sendiri kenapa selama ini aku sangat membencinya. Bukan hanya wajah dan tubuhnya yang buruk, sikapnya lebih menjijikkan.” Satria lalu menggandeng ibu dan adiknya keluar dari kamar hotel. Kamar yang Nilna sendiri tidak sadar kenapa berada di sana.

Sorot mata Nilna terus mengawasi tiga orang itu hingga pintu kamar dibanting sangat keras. Wanita itu terperanjat.

“Aaa!” Nilna berteriak sekeras-kerasnya, tidak peduli penghuni kamar lain yang mungkin terganggu. Ia lalu menarik-narik rambut dan mencakari tubuhnya hingga terasa sakit dan perih.

“Aku kenapa? Siapa yang lakuin semua ini sama aku?”

“Apa yang terjadi semalam, Ya Allah.”

Nilna tersedu-sedu.

Setelah puas menyakiti diri sendiri, Nilna bangkit dan berusaha berjalan hendak menuju kamar mandi. Area sensitifnya terasa perih. Mungkin, semalam memang ada yang menjamah tubuhnya.

“Aw! Astagfirullah. Siapa yang tega bertindak buruk ke aku?” Nilna berhenti sejenak memegangi area yang sakit.

Area yang lima bulan menikah tidak pernah disentuh sang suami.

Dengan tubuh gemetar, ia masih sempat memungut baju yang tercecer di lantai. Sedikit bercak darah kering juga terlihat di selangkangannya. Isak tangis terus terdengar dari bibir pucat itu.

“Allah, takdir macam apa lagi yang harus aku jalani?” Lirih, Nilna melafazkannya.

Adakah yang lebih mengejutkan dari ini? Baru bangun tidur, Nilna langsung disuguhi secangkir kepulan panas amarah dan sepiring talak dari suaminya.

**

Nilna ingat betul. Malam itu, sekitar jam sepuluh malam, ia baru pulang dari kerja. Wanita itu bekerja di sebuah restoran merangkap menerima pesanan katering. Di sana, ada tiga sif kalau pesanan katering membludak. Kebetulan saat itu Nilna bagian sif kedua. Sif ketiga yang rawan untuk wanita, sengaja dipilih untuk para karyawan pria.

Saat itu, semua keluarga termasuk Satria tengah menghadiri acara pernikahan saudara di desa sebelah. Nilna yang baru saja mengambil cuti karena sakit, tidak enak jika kembali izin. Ia memutuskan untuk tidak ikut serta.

Tiba di rumah ketika sedang mencari anak kunci di tas, tiba-tiba ada benda yang membekap mulut dan hidung Nilna. Wanita itu sekedap bisa memberontak, tetapi lama-lama lemas, pusing, dan tidak sadarkan diri. Begitu sadar, drama menyakitkan terjadi di hidupnya.

Entah apa yang terjadi dalam kurun waktu sekitar enam sampai tujuh jam saat Nilna tidak sadarkan diri. Yang pasti, ia merasa tubuhnya kini tidak suci lagi.

Air mata Nilna berlomba dengan air shower untuk mencapai lantai. Rasa dingin yang dirasakan, tidak bisa mendinginkan hatinya yang membara.

“Apa yang telah terjadi? Siapa!” Nilna berteriak di sela-sela tangis.

Siapa? Kenapa? Bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itu bertengkar di kepala Nilna hingga terasa berat. Pertanyaan yang harus segera diusut demi membersihkan nama yang sudah telanjur tercoreng.

Cepat-cepat Nilna mengakhiri ritual mandi setelah otaknya menemukan langkah awal yang akan diambil. Ia lalu berwudu dan keluar kamar. Di tasnya selalu ada mukena hingga ia tidak bingung jika salat di mana pun berada.

Dalam sujud panjang setelah salat Subuh, Nilna terus menangis. Ia menumpahkan rasa sakit hati dan kegundahan yang mengengkangnya.

“Allah, jika ini cara hamba untuk naik kelas, hamba ridho. Tapi kenapa ujiannya begitu sulit? Apa hamba bisa melewatinya? Apa hamba bisa mencari keadilan dari apa yang terjadi? Hamba tahu ini cara-Mu agar hamba mendekat kepada-Mu, agar hamba selalu memohon kepada-Mu. Tapi kenapa seberat ini? Kuatkan hamba, beri hamba pertolongan agar bisa menguak dan mencari siapa pria itu.” Sajadah Nilna basah, bukti ia benar-benar berserah.

Setelah puas menyeduh dan mengisi tenaganya dengan sarapan doa, Nilna bangkit. Ia memakai hijab dan mencangklong tas. Di depan cermin, Nilna mengamati dirinya. Wajah penuh jerawat, kusam, ditambah dengan tubuh yang lebar. Sempurna. Semua keburukan menempel di sana. Ia menelisik lebih jauh. Tidak ada setitik hal indah. Berbanding terbalik dengan suaminya yang tampan dan mapan.

“Wanita buruk rupa.” Nilna bergumam sambil menyentuh wajahnya.

Nilna menggeleng, mengusir pikiran yang mulai membawanya pada kufur nikmat. Tetes demi tetes yang sesekali masih keluar dari matanya, dihapus kasar.

Sebelum keluar kamar, Nilna mencengkeram kuat gagang pintu untuk menguatkan diri. Ia lalu keluar dan berjalan tergesa-gesa menuju resepsionis sambil membawa cardlock.

“Permisi, Mbak. Mau tanya. Pemesan kamar yang baru saya tempati siapa, ya?” tanya Nilna kepada resepsionis. Ia juga menyebutkan nomor kamarnya.

“Pemesan atas nama Nilna Fauziah,” jawab sang resepsionis setelah mencari pada komputer di hadapannya.

“A-apa! Saya?” tanya Nilna tidak percaya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agus Irawan
hai kak mampir juga ke Novelku yuuk. judul "Kembang Desa Sang Miliarder" pena "Agus Irawan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status