“Bangun, Perempuan Pendosa!”
Suatu pagi, Nilna terperanjat saat tubuhnya diguncang dengan kasar disertai bentakan keras.
“Bangun aku bilang!” Suara itu kembali terdengar.
Nilna yang awalnya masih terlelap, mencoba membuka mata. Saat sedikit cahaya mulai menyapa indra penglihatan, ia lebih terkejut lagi. Sang suami, mertua, dan adik iparnya berjejer, menatap dengan pandangan tajam. Sementara kepalanya terasa nyeri luar biasa.
“Katakan dengan siapa kamu tidur semalam!” bentak Satria, sang suami.
Ruh Nilna belum sepenuhnya terkumpul. Ia tergesa-gesa bangun, tetapi baru menyadari tubuhnya hanya berbungkus selimut. Ia pun kembali berusaha membenahi letak selimut yang sempat sedikit tersingkap.
“A-apa maksudmu, Bang?” Terbata-bata Nilna mengucapkannya.
“Kenapa kamu bisa ada di hotel ini? Jawab!”
“Ho-hotel? A-aku nggak tahu.” Mata Nilna mencoba menyapu pandangan ke sekitar. Sebuah ruangan yang sangat asing baginya.
“Nggak tahu kamu bilang? Hah! Kamu telah berzina! Kamu selingkuh! Katakan dengan siapa!” Suara Satria kian meninggi.
“Sumpah demi Allah, aku–“
“Jangan menyebut nama Tuhan dengan bibirmu yang kotor itu. Nilna Fauziah, saat ini, dalam keadaan sadar, kujatuhkan talak untukmu!” Lantang, tegas, dan keras. Tangan Satria mengepal kuat. Matanya tidak sekalipun memandang wajah mengiba sang istri. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun.
Nilna mengerjap, mencoba mengumpulkan kesadaran. Pendengarannya mungkin saja keliru. "B-bang, a-aku semalam nggak sadar kalau–“
“Nilna, cukup! Selama ini Ibu selalu membelamu, mengasihi, menyayangimu. Tapi apa balasannya? Di belakang Ibu dan suamimu kamu bertindak begitu menjijikkan!” Maya, ibu mertua Nilna ikut meradang.
“Tap-tapi, Bu. Aku bisa menjelaskan–"
“Kak Nilna sudah aku anggap seperti kakak sendiri, tapi ternyata seperti ini sifat asli Kakak. Pantas selama ini Bang Satria begitu membenci Kakak.” Samara, adik Satria buka suara.
“Atas dasar apa kalian menuduhku selingkuh, berzina?” Nilna sudah merasa tersudut atas apa yang sebenarnya terjadi sementara ia sendiri benar-benar tidak ingat apa-apa.
Satria mengangkat dalaman pria dan bungkus rokok. Lalu, dua benda itu dilempar tepat di wajah Nilna.
“Ini buktinya!”
Bukti nyata terpampang. Sulit bagi orang lain mempercayai meski Nilna terus berusaha menjelaskan. Meskipun saat ini ia sendirian, tidak ada pria di sampingnya, tetapi dengan bercecernya bajunya dan juga barang yang baru saja dilempar Satria, membuatnya mati kutu.
“Mau ngeles apa lagi kamu, hah!” Satria lalu berjalan, mengambil tas Nilna di atas nakas. Ponsel dikeluarkan, kemudian menggulirnya sejenak. Setelah itu, ia berjalan menghampiri Nilna yang masih terduduk di ranjang sambil memegangi selimut untuk menutupi tubuhnya.
“Kondisimu saat ini, barang-barang itu buktinya! Dan foto ini! Katakan dia siapa!” Tangan kiri Satria bergerak menarik rambut Nilna yang tergerai, sedangkan tangan kanan memegangi ponsel yang menampilkan foto Nilna tengah terlelap dengan seorang pria dalam kasur sama. Namun, wajah pria itu tidak terlihat.
“Aku sudah bilang, nggak tahu, Bang.” Nilna berucap lirih.
Nilna merasa menyesal karena tidak pernah mengunci ponselnya dengan pola atau sandi. Ia berpikir tidak ada rahasia di sana, tetapi nyatanya semua itu justru menjadi bumerang karena siapa saja bisa mengakses. Foto itu diambil mungkin saat ia tidak sadar.
“Aku benar-benar enggak tahu, Bang. Bu, tolong Nilna. Semua ini fitnah.” Nilna berusaha mengiba, tangannya berusaha melepaskan cekalan tangan Satria. Matanya yang berembun, menatap Maya, sang mertua.
“Jujur lebih baik sekarang, Na. Katakan, siapa pria yang membuatmu durhaka pada suami dan ibumu ini?” Mata Maya juga berkaca-kaca, bukti ia kecewa luar biasa.
Nilna hanya menggeleng berulang kali sambil terisak-isak. “Sumpah, Bu. Aku nggak tahu kenapa bisa sampai sini.”
“Talak sudah jatuh atasmu, Nilna. Kamu bukan lagi istriku. Ambil barang-barangmu dari rumahku dan lekaslah enyah dari sana. Aku tidak sudi punya istri pezina sepertimu!” Usai mengatakan itu, Satria melepaskan cekalan dengan menyentak, membuat tubuh lemas Nilna terhuyung ke ranjang.
“Bu, ayo kita pulang. Sekarang Ibu tahu sendiri kenapa selama ini aku sangat membencinya. Bukan hanya wajah dan tubuhnya yang buruk, sikapnya lebih menjijikkan.” Satria lalu menggandeng ibu dan adiknya keluar dari kamar hotel. Kamar yang Nilna sendiri tidak sadar kenapa berada di sana.
Sorot mata Nilna terus mengawasi tiga orang itu hingga pintu kamar dibanting sangat keras. Wanita itu terperanjat.
“Aaa!” Nilna berteriak sekeras-kerasnya, tidak peduli penghuni kamar lain yang mungkin terganggu. Ia lalu menarik-narik rambut dan mencakari tubuhnya hingga terasa sakit dan perih.
“Aku kenapa? Siapa yang lakuin semua ini sama aku?”
“Apa yang terjadi semalam, Ya Allah.”
Nilna tersedu-sedu.
Setelah puas menyakiti diri sendiri, Nilna bangkit dan berusaha berjalan hendak menuju kamar mandi. Area sensitifnya terasa perih. Mungkin, semalam memang ada yang menjamah tubuhnya.
“Aw! Astagfirullah. Siapa yang tega bertindak buruk ke aku?” Nilna berhenti sejenak memegangi area yang sakit.
Area yang lima bulan menikah tidak pernah disentuh sang suami.
Dengan tubuh gemetar, ia masih sempat memungut baju yang tercecer di lantai. Sedikit bercak darah kering juga terlihat di selangkangannya. Isak tangis terus terdengar dari bibir pucat itu.
“Allah, takdir macam apa lagi yang harus aku jalani?” Lirih, Nilna melafazkannya.
Adakah yang lebih mengejutkan dari ini? Baru bangun tidur, Nilna langsung disuguhi secangkir kepulan panas amarah dan sepiring talak dari suaminya.
**
Nilna ingat betul. Malam itu, sekitar jam sepuluh malam, ia baru pulang dari kerja. Wanita itu bekerja di sebuah restoran merangkap menerima pesanan katering. Di sana, ada tiga sif kalau pesanan katering membludak. Kebetulan saat itu Nilna bagian sif kedua. Sif ketiga yang rawan untuk wanita, sengaja dipilih untuk para karyawan pria.
Saat itu, semua keluarga termasuk Satria tengah menghadiri acara pernikahan saudara di desa sebelah. Nilna yang baru saja mengambil cuti karena sakit, tidak enak jika kembali izin. Ia memutuskan untuk tidak ikut serta.
Tiba di rumah ketika sedang mencari anak kunci di tas, tiba-tiba ada benda yang membekap mulut dan hidung Nilna. Wanita itu sekedap bisa memberontak, tetapi lama-lama lemas, pusing, dan tidak sadarkan diri. Begitu sadar, drama menyakitkan terjadi di hidupnya.
Entah apa yang terjadi dalam kurun waktu sekitar enam sampai tujuh jam saat Nilna tidak sadarkan diri. Yang pasti, ia merasa tubuhnya kini tidak suci lagi.
Air mata Nilna berlomba dengan air shower untuk mencapai lantai. Rasa dingin yang dirasakan, tidak bisa mendinginkan hatinya yang membara.
“Apa yang telah terjadi? Siapa!” Nilna berteriak di sela-sela tangis.
Siapa? Kenapa? Bagaimana? Pertanyaan-pertanyaan itu bertengkar di kepala Nilna hingga terasa berat. Pertanyaan yang harus segera diusut demi membersihkan nama yang sudah telanjur tercoreng.
Cepat-cepat Nilna mengakhiri ritual mandi setelah otaknya menemukan langkah awal yang akan diambil. Ia lalu berwudu dan keluar kamar. Di tasnya selalu ada mukena hingga ia tidak bingung jika salat di mana pun berada.
Dalam sujud panjang setelah salat Subuh, Nilna terus menangis. Ia menumpahkan rasa sakit hati dan kegundahan yang mengengkangnya.
“Allah, jika ini cara hamba untuk naik kelas, hamba ridho. Tapi kenapa ujiannya begitu sulit? Apa hamba bisa melewatinya? Apa hamba bisa mencari keadilan dari apa yang terjadi? Hamba tahu ini cara-Mu agar hamba mendekat kepada-Mu, agar hamba selalu memohon kepada-Mu. Tapi kenapa seberat ini? Kuatkan hamba, beri hamba pertolongan agar bisa menguak dan mencari siapa pria itu.” Sajadah Nilna basah, bukti ia benar-benar berserah.
Setelah puas menyeduh dan mengisi tenaganya dengan sarapan doa, Nilna bangkit. Ia memakai hijab dan mencangklong tas. Di depan cermin, Nilna mengamati dirinya. Wajah penuh jerawat, kusam, ditambah dengan tubuh yang lebar. Sempurna. Semua keburukan menempel di sana. Ia menelisik lebih jauh. Tidak ada setitik hal indah. Berbanding terbalik dengan suaminya yang tampan dan mapan.
“Wanita buruk rupa.” Nilna bergumam sambil menyentuh wajahnya.
Nilna menggeleng, mengusir pikiran yang mulai membawanya pada kufur nikmat. Tetes demi tetes yang sesekali masih keluar dari matanya, dihapus kasar.
Sebelum keluar kamar, Nilna mencengkeram kuat gagang pintu untuk menguatkan diri. Ia lalu keluar dan berjalan tergesa-gesa menuju resepsionis sambil membawa cardlock.
“Permisi, Mbak. Mau tanya. Pemesan kamar yang baru saya tempati siapa, ya?” tanya Nilna kepada resepsionis. Ia juga menyebutkan nomor kamarnya.
“Pemesan atas nama Nilna Fauziah,” jawab sang resepsionis setelah mencari pada komputer di hadapannya.
“A-apa! Saya?” tanya Nilna tidak percaya.
"Pemesan atas nama Nilna Fauziah.” Resepsionis menjawab.“Apa! Tapi saya nggak ngerasa pesan kamar di sini.” Nilna benar-benar bingung. Pelaku fitnah begitu lihai bermain dengan menggunakan namanya sebagai pemesan kamar.“Tapi itu kenyataannya, Bu.”“Lalu siapa yang datang bersama saya ke sini? Maksudnya, saya merasa tidak pernah memesan kamar di sini.” Nilna kembali buka suara.“Kalau masalah itu, saya tidak tahu, Bu. Mungkin rekan saya yang tahu. Saya baru gantian sif.”“Di sini ada CCTV, kan? Bisa minta tolong tunjukkan saya rekamannya? Saya sangat butuh ini karena menyangkut hidup saya.” Nilna kembali memohon.“Maaf, kalau bukan untuk kepentingan penyidikan polisi atau hal mendesak, kami tidak bisa mengumbar rekaman CCTV seenaknya. Ini demi menjaga privasi penghuni kamar.”“Tapi saya difitnah, Mbak. Untuk membersihkan nama saya dari fitnah, saya butuh beberapa bukti. Hanya sedikit yang saya butuhkan. Siapa yang membawa ke sini. Itu saja.” Suara Nilna bergetar. Ia benar-benar lelah
"Hai, Wanita Buruk Rupa. Saya dengar dari suamimu, kamu habis ke-grep, ya. Kasihan. Baguslah, itu berarti saya bisa lekas menggantikan posisimu.”Nilna tahu betul siapa wanita yang kini ada di hadapannya. Dialah Rosa, kekasih Satria. Keduanya bahkan tidak segan dan sering menunjukkan kemesraan di depan Nilna. Entah itu secara langsung atau via telepon.Rosa mengetuk-ngetukkan jari di meja depan Nilna. Sementara seperti biasa, Nilna hanya menunjukkan wajah tenang.“Kenapa diam? Ngerasa malu? Etapi, masih punya nyali juga kerja di sini,” ujar Rosa sambil tersenyum buaya.Nilna ikut tersenyum meski batinnya berdenyut manyun. “Cepat sekali, ya, beritanya menyebar. Heran. Pasti kamu puas banget.”“Jelas. Jadi, saya tidak perlu bersusah-susah memutar otak, mengotori tangan saya demi memisahkan kalian. Nggak nyangka, kelihatannya alim, berkerudung, ternyata kelakuannya busuk. Digrebek pula sama semua keluarga. Malu nggak, tuh? Atau jangan-jangan kerudungmu cuma buat tutup aja? Padahal lehern
"Keluar dari rumahku! Kamu bukan lagi istriku, tapi kenapa masih di sini, hah!”“Gi-gimana keadaan Ibu, Bang? Tadi aku udah beresin barang Ibu yang mau dibawa.” Terbata-bata Nilna mengucapkannya saat sang suami kian merapatkan tubuh kepadanya.Satria mendekat, sedangkan Nilna bergerak mundur. Tatapan tajam Satria beradu dengan pandangan sendu Nilna. Keduanya berhenti saat tubuh Nilna terantuk tembok. Satria mengurungnya dengan kedua tangan.“Masih berani kamu tanya kondisi ibu?” Satria bertanya lirih, tetapi penuh penekanan.“A-aku salah apa lagi?”“Ibu kena stroke dan ini gara-gara kamu, Nilna! Dia pasti kepikiran dengan kelakuan busukmu tadi pagi!”“Bang, berkali-kali aku bilang demi Allah aku enggak ngelakuin apa-apa. Aku nggak sadar.”“Lantas kenapa kamu bisa ada di hotel!”“Kalau pertanyaannya dibalik. Kenapa Abang bisa tahu aku ada di hotel!”“Kamu masih bisa tanya? Hah! Lawak. Ada seorang pria yang menghubungiku dengan ponselmu! Dan apa katanya? Dia mengakui semua kalau kalian
“Luar biasa kalian. Kalau mau me*sum, minimal sewa hotel, jangan di rumah sakit! Nggak malu kalau tiba-tiba ada perawat masuk!” Nilna kembali berteriak.Mati-matian Nilna tetap menguatkan diri untuk masuk ke kamar Maya. Ia berusaha mengabaikan dua manusia yang mungkin saat ini sedang kehilangan kewarasan. Mereka menunggu orang sakit, tetapi justru tertawa dan ber*cumbu mesra dengan Rosa ada di pangkuan Satria.Saat melihat kedatangan Nilna, Satria menoleh dan melepaskan diri dari Rosa. Nilna tidak peduli meski tahu Satria menatapnya tajam. Ia berjalan menuju samping ranjang Maya, lalu mengelus tangan wanita paruh baya yang tengah terlelap itu lembut. Diletakkannya makanan yang dibawa ke nakas samping Maya terbaring.“Bilang aja kalau kamu cemburu?” Rosa berjalan menghampiri Nilna.Nilna hanya menoleh sambil tersenyum.“Aku bahkan sudah khatam melihat kemesraan kalian. Dan hatiku mungkin sudah mati rasa saat melihat kalian kayak gitu.”“Oh, kasihan sekali. Istri, tapi tidak pernah dise
“Iyalah. Maksud Kakak apa nanya gitu?”“Kakak hanya curiga semua fitnah ini konspirasi dari abangmu. Tapi, ya, sudahlah. Mungkin hanya perasaan Kakak saja. Lalu, kenapa kamu dan Ibu ikut Bang Satria waktu itu?”“Kakak ini playing victim, ya. Udah tahu salah, masih aja melempar kesalahan ke Abang. Asal Kak Nilna tahu, aku sama ibu diajak Abang yang saat itu tergesa-gesa. Kami nggak tahu diajak ke mana karena Abang hanya diam saja saat ditanya. Ternyata diajak buat mergoki sendiri ulah menji*jikkan Kakak. Udah ah. Aku mau nemui Ibu.” Gadis yang masih duduk di bangku SMA itu melangkah, menjauhi Nilna.Baru beberapa langkah, tangan Samira dicekal Nilna. “Titip Ibu. Jaga beliau baik-baik. Kalau ada apa-apa, kabari Kakak.”“Basi, Kak. Tanpa Kakak bilang, aku dan Abang akan jaga Ibu. Kami sudah nggak butuh Kakak lagi, nggak butuh hubungi Kakak lagi.” Samira melepaskan kasar pergelangan tangannya dari cengkeraman Nilna.Nilna meremas tali tasnya untuk meredam panas hati yang tengah bergejolak
Teriakan dari luar kamar kos-kosan diabaikan Nilna. Ia bersimpuh di lantai sambil menutup kedua telinga dengan ponsel masih di genggaman tangan kanan. Air mata wanita berwajah pucat itu terus berderai. Hingga akhirnya, suara di luar yang merupakan suara pemilik kos-kosan menghilang.Perlahan, ia merebahkan dirinya di lantai. “Apa ini yang dimaksud Bang Satria sanksi sosial? Tega sekali dia, Ya Allah.”Nilna terus terisak sambil mendekap dada dengan kedua tangan.“Aku lelah, ingin menyerah.”**Video dengan Nilna tokoh utamanya terus menyebar ke orang-orang terdekat Nilna. Mereka semua menggunjing dan mencemooh wanita itu seenaknya.Nilna pun terpaksa bercerita kepada Anggi tentang tragedi yang dulu pernah menimpa dan kenapa bisa ada video itu. Ia tidak ingin sang sahabat ikut menyalahkan dan mengucilkannya.“Aku ngerasa bo*doh dan kotor dalam satu waktu, Nggi. Sementara pelakunya bebas berkeliaran di luar sana,” ujar Nilna.“Usut ke hotelnya. Di sana ada CCTV.”“Udah dan aku nggak dii
Begitu dicek, hasilnya ... garis dua. Nilna terduduk lemas di lantai kamar mandi.“Ini nggak adil buatku! Ini sangat keja*m!” Nilna menutup telinga dengan kedua tangan seiring bisikan nakal setan terus-menerus seperti ditiup ke telinganya.Nilna memukuli perutnya dengan sangat kuat. Ia berharap noda di dalamnya bisa luruh.Setelah menangis cukup lama, Nilna benar-benar tidak kuat. Wanita itu berdiri mengambil gunting yang biasa digunakan untuk memotong sampo atau sabun. Dengan tangan gemetar dan mata terpejam, ia memutus urat nadi tangan kirinya. Tekanan hidup benar-benar membuatnya gelap mata.Tepat saat darah mulai keluar, hatinya mati rasa. Sudah tidak ada lagi tangis atau sekadar ucapan protes kepada Sang Maha Kuasa. Rasa sakit di pergelangan tangan sebisanya tidak dirasakan. Wanita itu juga masih sempat memasukkan hasil tes kehamilan ke saku baju.Matanya hanya menyorot kosong saat melihat darah menetes di lantai kamar mandi. Perlahan, pandangannya mengabur, kepalanya terasa berp
“Sudah bangun?” tanya pria itu kembali sambil tersenyum.Sementara Nilna masih berusaha menormalkan kinerja jantung yang hampir lompat dari tempatnya.“Mas Lukman ngagetin aja. Sejak kapan ada di sini?” tanya Nilna.Lukman hanya tertawa menanggapinya. “Baru lima jaman. Ya, maaf kalau bikin kamu kaget.”Nilna mengamati jam dinding. Perasaan baru sejam yang lalu ia tertidur. Ia tahu Lukman bercanda.“Kenapa nggak dibangunin?”“Nggak tega. Pules banget kayaknya.”Pria itu mengambil sesuatu dari nakas. Setelah sebuah styrofoam sudah ada di tangan, ia mengangsurkan kepada Nilna setelah menata isinya. Ada nasi hangat dan cumi-cumi lada hitam yang terlihat menggugah selera.“Makasih.” Nilna menerimanya. Entah dari mana Lukman tahu kalau itu makanan favoritnya. Apalagi olahan tangan Lukman memang tidak diragukan lagi rasanya.“Makanlah. Entah sudah berapa abad kamu nggak makan sampai kurus kering begini.” Lukman mencoba bergurau.“Terakhir ketemu kamu sekitar sebulan yang lalu. Hampir saja ak