“Lakukan apa saja asal dia selamat,” imbuh pria itu.
Dua perawat itu mengangguk kemudian berlalu pergi meninggalkan pria tak dikenal itu. Ghea yang ada di sana hanya diam sambil sesekali melirik pria tersebut.
Siapa sejatinya pria ini? Kenapa dia sangat peduli dengan Lisa? Apa dia kerabat dekat Lisa? Namun, kenapa wajahnya tidak asing di ingatan Ghea.
Karena harus melanjutkan pekerjaan, akhirnya Ghea berlalu pergi meninggalkan pria itu. Sementara itu, pria yang tak lain Tuan Fandi tampak sedang melakukan sebuah panggilan.
“Siapkan semuanya. Aku akan bawa putriku menemui neneknya!!”
Malam telah bergayut saat Lisa membuka mata. Wajahnya sangat lesu dan tampak lemah. Bibirnya pucat dengan banyak keringat yang bercokol di keningnya. Tubuhnya yang kurus sangat sinkron dengan keadaaannya sekarang.
Perlahan Lisa melihat perutnya. Perutnya sudah rata dan Lisa yakin, bayinya sudah tidak bisa diselamatkan. Nyonya Eliana dan ora
“APA!!!”Ghalib langsung berdiri dari kursinya dan menatap Lisa dengan tak percaya. Meski penampilan Lisa telah berubah, tapi wajah licik itu masih melekat di ingatan Ghalib. Bukannya dia bersama keluarga Kenan, kenapa tiba-tiba ada di sini dan menjadi adik tirinya?“Selamat siang, Nek. Selamat siang, Ghalib.” Lisa menyapa dengan senyum manisnya.“Permainan licik apa lagi yang kamu mainkan, Pelakor? Hingga masuk ke keluargaku?” sergah Ghalib.Semua yang hadir di sana tampak terkejut mendengar kalimat Ghalib. Nyonya Emilia kebingungan sambil menoleh ke Tuan Fandi seolah meminta penjelasan. Tentu saja melihat reaksi putra dan ibunya membuat Tuan Fandi mengambil sikap.“Ghalib!! Jaga sopan santunmu. Ayah tahu Ayah pernah melakukan kesalahan, tapi bagaimanapun Lisa adalah adikmu.”Ghalib mendengkus kesal, menatap tajam ke arah Tuan Fandi. Lalu tanpa berkata apa-apa meninggalkan ruang makan itu. Nyonya Emilia terkejut dan memanggilnya.“Gh
“Tidak. Ini sudah jam pulang kantor. Kalau ingin menemui saya, buat janji dulu dengan asisten saya,” ketus Ghalib.Tuan Fandi terdiam, menganggukkan kepala sambil menatap Ghalib penuh kerinduan. Ghalib memalingkan wajah dan bersiap pergi. Namun, Tuan Fandi keburu mengejarnya.“GHALIB!!! Ayah hanya ingin bicara sebentar.”Ghalib menghentikan langkah, tapi dia tidak menoleh sedikit pun ke Tuan Fandi.“Maaf, Tuan. Ayah saya sudah meninggal. Mungkin Anda salah orang. Untuk keperluan yang lain, besok pagi saja.”Tuan Fandi membisu, mengerat bibirnya sambil menatap Ghalib dengan mata berkaca. Ini semua memang salahnya, tapi dia tidak menduga Ghalib akan menganggapnya sudah tiada. Tanpa menunggu jawaban dari Tuan Fandi, Ghalib sudah berlalu pergi meninggalkan kantor.Dari jauh, Pak Jonas hanya diam memperhatikan. Pria paruh baya itu sudah bekerja cukup lama dengan keluarga Ghalib. Ia tahu bagaimana hancurnya Ghal
“Lakukan apa saja asal dia selamat,” imbuh pria itu.Dua perawat itu mengangguk kemudian berlalu pergi meninggalkan pria tak dikenal itu. Ghea yang ada di sana hanya diam sambil sesekali melirik pria tersebut.Siapa sejatinya pria ini? Kenapa dia sangat peduli dengan Lisa? Apa dia kerabat dekat Lisa? Namun, kenapa wajahnya tidak asing di ingatan Ghea.Karena harus melanjutkan pekerjaan, akhirnya Ghea berlalu pergi meninggalkan pria itu. Sementara itu, pria yang tak lain Tuan Fandi tampak sedang melakukan sebuah panggilan.“Siapkan semuanya. Aku akan bawa putriku menemui neneknya!!”Malam telah bergayut saat Lisa membuka mata. Wajahnya sangat lesu dan tampak lemah. Bibirnya pucat dengan banyak keringat yang bercokol di keningnya. Tubuhnya yang kurus sangat sinkron dengan keadaaannya sekarang.Perlahan Lisa melihat perutnya. Perutnya sudah rata dan Lisa yakin, bayinya sudah tidak bisa diselamatkan. Nyonya Eliana dan ora
“JANGAN, TANTE!! JANGAN USIR SAYA!!”Lisa menolak apalagi kini Nyonya Eliana sudah bangkit dari duduknya dan menyeret Lisa agar keluar dari rumahnya. Lisa langsung bersimpuh dan memeluk erat kaki Nyonya Eliana. Tangannya gemeteran dengan wajah yang penuh air mata.“Saya mohon, Tante. Jangan usir saya.”Nyonya Eliana hanya diam sambil menatapnya penuh kebencian.“Gara-gara kamu, anakku cerai dari istrinya. Gara-gara kamu juga, anakku mati. Jadi untuk apa aku mengizinkanmu tinggal di sini.”Lisa menatap Nyonya Eliana dengan penuh linangan air mata. Ia benar-benar takut jika diusir dari sini. Akan ke mana lagi dia tinggal. Lisa sudah tidak punya tempat untuk berlindung.“Saya tahu, saya salah, Tante. Tapi, mohon … jangan usir saya.”Nyonya Eliana terdiam, matanya terus menatap penuh kebencian ke Lisa. Dia pikir Lea dulu sangat buruk di matanya. Kini Lisa bahkan lebih buruk. Wanita ta
“KENAN!!!”Teriakan Nyonya Eliana mengejutkan seisi rumah. Wanita paruh baya itu hendak membawakan sarapan untuk putranya. Namun, dia sangat terkejut saat membuka pintu kamar, melihat Kenan ambruk di lantai dengan bersimbah darah.Tak ayal semua penghuni rumah mendekat ke kamar Kenan. Lisa membeku di tempatnya saat melihat jasad Kenan sudah tak bergerak. Seorang pelayan sontak mendekat dan memeriksa detak jantungnya.“Maaf .. Nyonya. Sepertinya Tuan Kenan sudah tiada.”Nyonya Eliana tidak berkata apa pun, tapi langsung pingsan. Semua makin panik bahkan Lisa tidak bisa berdiri dengan tegak dan memilih bersandar ke dinding sebelum ia ikut pingsan.Selang beberapa jam kemudian, terlihat kesibukan di pemakaman. Tidak banyak yang datang untuk melepas kepergian Kenan. Bahkan hanya beberapa kerabat saja yang hadir, itu pun dengan terpaksa.Lea yang baru saja mendapat kabar kematian Kenan, hanya terdiam di sudut paling jauh d
“Jadi kamu sudah bertemu Kenan, Lea?” tanya Ghea. Sengaja malam itu Ghea mampir ke rumah Lea untuk bertanya kabarnya. Lea hanya mengangguk sambil tersenyum. “Lalu bagaimana reaksinya? Aku yakin dia pasti sedang mengemis maafmu, kan?” Lea mengulum senyum. “Aku sudah memaafkannya sebelum dia minta, Ghe. Namun, tebakanmu tepat. Mas Kenan mengemis agar aku mau kembali padanya.” “SIALAN!! Gak tahu malu sekali dia. Memangnya selama ini dia gak sadar telah menyakitimu.” Lea mengendikkan bahu, kemudian dia menceritakan alasan Kenan berselingkuh dengan Lisa. Ghea langsung tampak marah usai mendengarnya. “Berengsek banget Kenan ini. Aku gak nyangka dia akan seperti ini. Mana ada pemikiran seperti itu. Aku yakin itu hanya alasannya.” “Iya, Ghe. Dia tidak mau mengakui kesalahannya, malah mengalihkan masalah ke sudut yang lain. Mungkin dia berpikir, aku akan menerimanya usai mendengar alasannya.” Ghea mendengkus sambil menyibak rambut keritingnya. “Gemas banget aku, Lea. Untung saja tadi g