“Sudah pulang? Gimana rasanya nginep beberapa hari di hotel mewah?” ejek Mas Aqsal dari lantai atas. Wanita yang bersamanya terlihat bergelayut manja.Ejekannya terasa ... sakit sekali. Saat aku meregang nyawa karena ulahnya, dengan entengnya dia malah berkata seperti itu. Rumah sakit dibilang hotel mewah? Apakah nurani pria itu sudah mati?Aku mencoba tegar dengan tersenyum. Tak disangka, Mas Aqsal dan wanita itu menuruni anak tangga dan sepertinya berjalan ke arahku.“Mbak Sa, tolong bantu saya ke kamar, aja, ya.” Aku meminta Mbak Sa memapah menuju kamar. Wanita itu mengangguk.Ketika baru beberapa langkah, tanganku terasa ada yang mencekal.“Rumah sakit bayarnya mahal, jadi kamu harus menggantinya. Memang aku yang membayarkan, tapi itu tidak gratis dan aku anggap utang.”Aku terpejam. Perlakuan kasar Mas Aqsal seolah-olah kembali berputar. Namun, aku menguatkan diri untuk melawan rasa trauma ini. Ketakutan hanya akan membuat pria ini senang.Aku membuka mata, lalu bibirku tersunggi
Pria itu ... Arjuna. Untuk apa dia datang ke sini? Konfeksi ini terdiri dari beberapa ruang. Ruang paling depan ada ruang untuk menerima tamu. Di sampingnya yang bersekat tembok, ada ruangan Mama Elena yang sekarang aku tempati. Sementara di belakangnya, ada ruangan menjahit dengan banyak jendela hingga sinar matahari bisa langsung masuk dan ruangan jahit sangat terang meski tanpa lampu.Jam seperti ini, para pekerja biasanya sudah mulai bersiap-siap kerja di ruang jahit. Tidak ada satu pun yang terlihat. Mungkin mereka hanya mempersilakan Arjuna masuk, lalu ditinggal pergi.Dengan masih diselimuti banyak tanya, aku menghampiri pria berkemeja biru laut tersebut.“Assalamualaikum. Selamat pagi, Pak Arjuna. Ada yang bisa saya bantu?” sapaku ramah. Dia pun mendongak. Lalu bangkit.“Wa-waalaikumussalam. Niha, bagaimana kabarmu? Akhirnya kamu datang juga.” Matanya menyorot lembut ke arahku. Sementara bibirnya terus menyunggingkan senyum. Pria itu mengulurkan tangan. Aku membalas dengan me
Ternyata, mereka adalah ustaz dan ustazah utusan dari pesantren Nizam. Aku tersenyum lebar kala menyapanya.“Assalamualaikum, Mbak Niha. Kami datang ke sini untuk memesan seragam untuk para santri,” ujar salah seorang dari mereka setelah aku menyalami dan duduk.“Masyaallah, terima kasih karena sudah mempercayakan seragamnya kepada kami. Ustaz dan Ustazah sampai datang jauh-jauh dari Bandung,” ucapku penuh haru.“Saya sering mendengar tentang Mbak dari abah, umi, dan Nizam. Kata Nizam, kakaknya bekerja di sebuah konfeksi besar. Ternyata malah ownernya. Kami juga membaca ulasannya di Goo**e, ternyata memang bagus. Banyak yang merekomendasikan. Kebetulan sekolah dan pondok juga butuh seragam. Makanya kami ke sini. Biasanya kami memberikan kain buat dijahit wali santri sendiri, tapi tahun ini mau nyoba yang beda. Biar nanti jadi perbandingan lebih efisien yang mana.” Salah seorang ustazah menjelaskan.“Alhamdulillah. Saya bukan owner, hanya menjalankan saja. Konfeksi ini milik mertua say
Aku mengamati Asti, menatapnya penuh selidik.“Maksudnya gini. Setelah gue nikah sama Aqsal, kita bisa bersatu buat menghadapi dia sama-sama. Gue akan bantu lu buat balas dendam menghancurkan hidupnya,” papar wanita itu berapi-api. Matanya berkilat amarah.Aku tidak paham apa yang diinginkan, tetapi dari tatapannya, Asti seperti menyimpan dendam.“Lu nggak waras. Udah, nggak usah mempersulit diri lu sendiri buat bantu gue. Gue insyaallah bisa menghadapi semua ini. Eh, katanya lu pengen gue kenalin sama Arjuna? Tadi dia datang ke konfeksi dan ngasih gue ponsel. Tapi gue tolak.” Aku mencoba mengalihkan bahasan.“Apa? Niha, gue rasa lu udah ketularan punya penyakit jiwa kayak si Aqsal. Masa dikasih ponsel malah ditolak. Fix, setelah sakit, otak lu bukan lagi geser, tapi ilang.”Aku menoyor kepala gadis berambut sebahu itu sambil tertawa.“Asem. Lu pikir gue cewek apaan main terima barang orang asing?”“Eh, gue ada ide. Lu gunain aja si Arjuna buat manas-manasin, bikin Aqsal cemburu. Biar
Tubuhku oleng ke depan. Namun, sedikit lagi aku tersungkur ke kolam renang, sebuah tangan mencekal kedua lenganku. Tubuh kecil ini lantas tersentak ke belakang dan menubruk sesuatu. Sebuah tangan mengunci leherku. Oh, berarti yang ada di belakangku ini tubuh manusia.“Kamu kangen sama aku?” Suara bariton yang sedikit serak terdengar sangat dekat di telinga. Sapuan napasnya terasa hangat menerpa dari balik hijab. Aku terpejam, merinding dibuatnya.Ah, ralat. Bukan manusia yang ada di belakangku ternyata, tetapi raja iblis yang hidup di tubuh manusia bernama Aqsal Aderald.“Lepas!” Aku berontak.“Katakan, apa kamu merindukanku sampai nyanyi kayak gitu?”Aku meludah ke samping. “Cih, amit-amit!”Mas Aqsal mengeratkan kunciannya di leherku, membuat aku terbatuk-batuk dan kesulitan bernapas.“Lalu siapa yang kamu rindukan? Katakan!” Dia mulai bergerak liar dari balik hijab.“Mas, a-ku cu-ma nya-nyi,” ujarku terputus-putus.Aku menyikut perutnya keras hingga cengkeraman lengannya di leherku
Aku cepat-cepat keluar dari kolam renang, menuju di mana handuk berada. Aku memilih yang berbentuk kimono. Lantas masuk menuju kamar.Bagaimanapun juga, aku terus memikirkan perkataan Mas Aqsal. Apa yang akan dilakukannya untuk menghukumku? Jangan-jangan, ah, itu tidak boleh terjadi.Aku sekali disentuh Mas Aqsal dan aku pastikan itu tidak akan terulang lagi. Biarlah kebutuhan biologinya dipenuhi oleh Dinda saja. Sebab sungguh perlakuannya membuat trauma.Aku tidur di kamar Mama, semoga dia tidak senekat itu melakukannya.**Beberapa hari sejak Mas Aqsal pergi yang katanya gudang kebakaran itu, kami jarang bertemu meski tinggal serumah. Ancamannya kala itu juga tidak terbukti. Mungkin karena aku berlindung di kamar Mama. Aman.“Mas Aqsal nggak pernah pulang, ya. Mbak Sa?” tanyaku kepada Mbak Sa pagi ini setelah sarapan.“Pulang, kok, Mbak. Mbak berangkat kerja saat beliau belum keluar kamar. Saat Mbak pulang kerja, beliau belum pulang. Kan, habis pulang kerja Mbak di kamar Nyonya teru
Mas Aqsal masih terpejam saat suara seraknya terucap. Ketika ingin meloloskan diri, aku gagal. Kungkungannya terasa kian kuat.“Lepas! Aku bukan Dinda,” desisku. Bukannya melonggar, kunciannya justru mengetat.Aku mencoba mengendalikan rasa takut dan trauma. Jika berontak malah membuat pria ini makin menjadi, akhirnya tubuh ini kubuat sesantai mungkin.Tenang, Niha, tenang. Aku harus bisa menguasai keadaan.Mas Aqsal memiringkan tubuh, otomatis tubuhku ikut miring.Mumpung Mas Aqsal sedang mabuk, aku ingin mengorek lebih dalam perasaannya. Mungkin dia juga tidak sadar kalau yang dipeluknya aku, bukan Dinda atau wanita lain yang mungkin biasa dibelinya di luaran sana. Ini kesempatan baik.Beberapa hal belakangan yang dilakukan kepadaku dan yang terlihat saat bermesraan dengan Dinda, mematahkan asumsiku kalau pria ini penyuka sesama. Mas Aqsal sepertinya pria normal yang punya nafsu dengan lawan jenis. Hanya saja, dia terlalu dingin dan kasar. Mungkin, tetapi aku belum tahu pasti.Setel
Keinginan berangkat pagi aku urungkan. Akhirnya aku menuju kamar Mama. Rasa sedih, kecewa, marah, hilang jika sudah melihat wajah tak berdaya Mama Elena.Dulu, saat Mama masih sehat, sikap Mas Aqsal hanya sebatas dingin, tidak kasar seperti ini. Walaupun tak ada kehangatan dalam pernikahan kami, setidaknya dia bersikap manis kepadaku saat di depan mamanya. Kini, semua telah berubah. Tidak berubah menjadi lebih baik, tetapi justru makin buruk.“Mama makan dulu, ya,” ucapku, sambil menyendok susu ke mulutnya. Beliau menurut.Walaupun tidak sepenuhnya aku yang merawat beliau, tetapi selalu aku sempatkan berinteraksi dengannya. Entah itu menyuapi makan, kadang memandikannya, atau bahkan mengganti popoknya.“Mama harus sembuh, nanti kita sama-sama ke baitullah. Mau?” tanyaku. Beliau terlihat mengangguk-angguk, lalu bulir air menetes dari matanya. Racauan tak jelas juga keluar dari mulutnya. Mungkin beliau bahagia, atau terharu. Entahlah.Aku dan Mama memang pernah punya keinginan umrah ber