"Kamu menuduh aku mencelakai putriku sendiri?" ujar Mawar menunjuk dadanya. "Apa aku ada bicara seperti itu? Tidak, bukan?""Tapi kata-katamu mengarah ke sana. Kamu tidak percaya dengan penjelasanku, malah mengatakan asumsi-asumsi yang tidak benar. Sepertinya kamu memang dendam padaku, ya Ranum!" Aku menggelengkan kepala seraya tertawa sumbang. Aku hanya mengeluarkan isi pikiranku saja, dia sudah kepanasan. Aku hanya menduga-duga, dia sudah ketakutan. "Sudah, cukup. Hentikan semuanya," ujar Mas Sandi seraya menyugar rambutnya. Wajahnya begitu frustrasi penuh dengan tekanan. "Mantan istrimu yang mulai, Mas. Lagian untuk apa, sih kamu di sini, Ranum? Kamu bukan siapa-siapa kami, bukan siapa-siapa Cahaya. Kamu hanya orang lain yang mencari perhatian dengan pura-pura bersedih. Caper.""Aku gak caper—""Ranum, hentikan! Sudah hentikan! Sebaiknya kamu pulang saja, tidak ada gunanya saling debat saling menyalahkan. Bagiamanapun mula kejadiannya, semua tidak akan bisa diulang lagi. Semua
Aku menundukkan pandangan tidak berani menatap mata Ibu yang menyorotku tajam. Aku tahu, jika Ibu menginginkan aku lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan mengurusi Cahaya yang jelas-jelas masih memiliki keluarga. Namun, tekadku sudah bulat untuk membongkar siapa dalang dibalik komanya anak istimewa itu. Jikapun ibunya sendiri, dia harus mendapatkan hukuman atas perbuatannya. "Ranum, dengarkan Ibu, kali ini saja. Sudahi kebodohanmu. Lupakan Cahaya. Dia punya orang tua, punya keluarga yang utuh. Yang harusnya kamu urusin itu, Shanum. Belum tentu ayahnya akan selalu membiayai hidupnya hingga dewasa. Maka dari itu, kamu sebagai ibunya harus pandai bekerja, mendapatkan uang untuk masa depan dia. Sekolahnya dia. Yang sakit mah biarkan saja di rumah sakit. Biar dirawat oleh dokter," ujar Ibu panjang lebar. "Ini bukan masalah sakitnya, Bu. Tapi, penyebab dia sakit. Aku menduga ada unsur kesengajaan yang membuat Cahaya koma." "Maksudmu, anak itu dicelakai ibu bapaknya?" tanya Ibu d
"Bu, Ibu lihat hape, Ranum yang ada di laci, gak?" tanyaku malam ini. Setelah mengobrak-abrik seluruh isi kamar, aku tidak sama sekali menemukan ponsel itu. Dan satu-satunya cara, ialah menanyakannya pada Ibu. Mata Ibu melirik sebentar ke arah Bapak yang tengah menikmati secangkir teh manis seraya duduk di sofa menonton televisi. Di bawahnya, Shanum sedang mewarnai gambar princess kesukaannya seraya duduk lesehan. "Iya, Ibu yang ambil." "Ya Allah, Ibu .... Kapan?" tanyaku tidak percaya. "Tadi. Saat kamu dan Bapak ke rukonya Haji Darmin, Ibu pulang dengan ojek." "Sekarang, mana ponselnya? Kembalikan padaku." Aku mengadahkan tangan meminta barangku kembali. Namun, Ibu menggelengkan kepalanya menolak memberikan ponsel yang menyimpan jawaban atas pertanyaan yang bersarang di otakku. "Ibu, tidak akan memberikannya padamu.""Kenapa, Bu? Ayolah, jangan seperti ini?" Kembali Ibu menggelengkan kepala. Tangannya sibuk melipat pakaian, tanpa menatapku yang mengiba. "Dengarkan Ibu, Ranu
"Bunda, hari ini aku mau bekal roti isi selai cokelat, ya?" pinta Shanum saat aku tengah menyisir rambutnya. "Siap, Sayang. Minumnya mau apa? Susu kotak, atau susu yang hangat?" "Emh ... susu kotak saja, Bunda. Kalau susu hangat, aku jadi ingat pada kakak. Bunda, hari ini mau jenguk kakak, gak? Kalau jenguk, bilang pada kakak, ya, kalau Shanum sedang rindu pada dia."Aku tersenyum dibalik punggung putri kecilku yang semakin hari semakin pintar. Ucapannya aku jawab dengan gumama saja. Mendengar nama Cahaya, ingatanku kembali pada Ibu. Hati dia masih keras. Jangankan untuk meminta balik ponselku, sudah menyinggungnya saja Ibu tidak memberikan respon sama sekali. "Sudah, Sayang. Sekarang, Shanum tunggu di ruang tengah dulu, ya? Bunda mau buatkan bekal untuk Shanum." "Iya, Bunda." Kami sama-sama keluar dari kamar. Shanum pergi ke ruang tengah, dan aku pergi ke ruang makan yang di sana sudah ada Ibu dan Bapak. "Shanum mana?" tanya Ibu. "Lagi nungguin aku buat bekal, Bu.""Tidak mau
"Kamu nguping, Ranum?" tanya Mawar semakin panik. "Enggak. Orang aku baru dateng, kok. Aku mau minta ijin buat masuk ke kamar Cahaya, mau jenguk dia sebentar," kataku seraya mengeluarkan tangan dari dalam tas. Aku menatap Mawar yang juga menatapku penuh ketakutan. "Yakin, kamu gak nguping?" ujarnya lagi. "Enggaklah. Emang kamu ngomongin apa, sih sampai ketakutan kayak gitu? Merencanakan kejahatan, ya?" "Jangan nuduh kamu! Bukan urusanmu aku bicara apa, dengan siapa. Kalau mau masuk, masuk saja. Gak usah ijin-ijin segala. Ganggu orang aja." Mawar menggerutu. Dia berjalan melewatiku, lalu duduk di bangku panjang dekat pintu kamar Cahaya. Dan aku hanya tersenyum puas melihat dia salah tingkah. Tanpa bicara lagi, aku pun masuk melihat Cahaya yang masih sama seperti hari kemarin. Tidur tanpa bergerak. "Selamat pagi, Kakak. Bunda datang lagi, nih buat bangunin Kakak. Yuk, bangun. Emang gak pegel, tidur terus?" Aku mengusap lengan dia dengan lembut. Tanganku beralih mengusap keningn
Kulangkahkan lebih cepat karena harus bertemu dengan seseorang. Hari ini, aku sudah buat janji dengan Devano. Aku butuh dia dalam menyelesaikan masalah yang tengah aku hadapi sekarang dengan bukti yang aku punya. Kafe Magnolia menjadi tempat kami membuat janji. Masih pagi, pengunjung di sini pun masih sedikit. Di depanku sudah ada cokelat panas dengan aroma yang khas. Juga kopi susu untuk Devano. "Hay, Num! Sudah lama?" Aku mendongak melihat pada pria yang baru saja datang. Devano menyimpan kunci mobilnya di meja, lalu duduk berhadap-hadapan denganku. "Tidak, baru beberapa menit saja. Aku sudah pesankan kopi untukmu. Silahkan diminum, mumpung masih hangat," ujarku menggeser sedikit gelas ke depan Devano. "Wah, baik sekali klien yang satu ini. Terima kasih banyak, Bu Ranum," kelakarnya membuatku ikut tertawa. Beberapa saat kami saling diam menikmati minuman kami masing-masing. Aku memperbaiki letak duduk agar semakin nyaman dalam berbicara. "Van, kamu tahu kenapa aku meminta b
Baju serta tubuhku basah kuyup dari atas hingga bawah. Bukan satu gelas air, melainkan satu ember yang sengaja ditumpahkan wanita itu padaku. Wanita asing yang baru aku lihat sekarang. "Kamu ini siapa, punya dendam apa hingga membuatku seperti ini?" ujarku seraya berdiri dengan tatapan ke arahnya. Wanita cantik bertubuh ramping itu bersidekap dada melihatku tanpa iba. Bibirnya mencebik, mengejek merendahkanku."Woi, kalau ditanya, tuh jawab!" ujar Soni kembali berteriak. "Kalian mau tahu siapa saya? Kamu mau tahu kenapa aku melakukan itu padamu, wahai Wanita Ganjen!" Aku sedikit tersentak dengan panggilannya padaku. Ganjen. Aku ganjen? Pada siapa? "Apa maksudmu?" tanyaku lagi masih tidak mengerti. "Harus kamu tahu, aku ini istri dari pria yang tadi duduk bersamamu. Oh, jadi ini rupa wanita yang selalu mengajak suamiku berjumpa? Wajah-wajah lugu tapi penuh dengan tipu daya."Laki-laki yang bersamaku? "Kamu istrinya Devano?" ujarku bertanya. "Iya. Aku istrinya Devano. Berhent
Aku mengedikkan bahu. Jika Safira mengatakan Devano belum menikah, itu artinya wanita tadi hanya mengaku-ngaku saja untuk memperlakukanku? "Bentar-bentar, ini bukan wanitanya?" ujar Safira memperlihatkannya foto wanita yang sama persis dengan wajah perempuan yang melabrakku tadi. "He'em, dia orangnya," ucapku yakin. "Wah, parah. Dia ini, emang pernah dikenalkan Devano pada keluarga sebagai pacarnya, tapi tidak mendapatkan restu dari ibunya Devano. Kok, berani banget ngaku-ngaku?" ujar Safira lagi. "Kenapa tidak restui?" Pembahasan kami semakin menarik. Apalagi sumber pembahasan adalah Devano dan wanita yang tadi telah melabrakku. "Mana aku tahu, Num. Mungkin gak sreg aja sama wanita itu.""Apa jangan-jangan, mereka sudah nikah tapi diam-diam, ya, Fir?" ujarku lagi mengatakan kemungkinan. Karena tidak mungkin wanita tadi akan seberani itu, jika hanya sebagai kekasih. Kemungkinannya hanya ada dua. Dia memang istrinya, atau dia disuruh seseorang. Dalam artian, dibayar untuk mempe