MasukBab Utama : 2/2 Selesai. Author akan usahakan 5 bab sehari ya... semoga bisa mulai besok :) Bab ini merupakan bab terakhir hari ini... Selamat beristirahat. Hujan di tempat author, bagaimana di tempat kalian?
Ratu Safira melangkah turun dari singgasananya.Bukan langkah angkuh—tetapi langkah seorang penguasa yang tahu bahwa setiap gerakannya mampu menentukan hidup dan mati ribuan orang. Gaun ungu berbahan sutra naga menyapu lantai marmer, mengeluarkan suara lembut seperti desir angin malam.Jason menelan ludah.Semakin dekat sang Ratu, semakin kuat tekanan yang menusuk tulang. Seolah udara di sekelilingnya dipadatkan, membuat Jason merasa jiwanya sedang diukur, ditimbang… lalu diputuskan apakah layak atau tidak.Ratu berhenti tepat di depannya.Jarak mereka hanya beberapa langkah.Tangan Safira terangkat, membelai udara di antara mereka—gerakan ringan seperti membaca aura seseorang.“Jason.”Suaranya lembut… tapi berat seperti beban kerajaan itu sendiri.Tatapannya menusuk.Bening, tajam, dan terlalu jernih untuk ditantang.“Kau melakukan perjalanan panjang. Kau terluka. Otakmu pasti kelelahan. Kau bilang melihat kamp besar?” Bibirnya melengkung sedikit. “Empat puluh laporan penjaga perbat
Udara di lorong terdalam istana terasa berbeda—lebih pekat, lebih berat, seolah setiap helai debu menyimpan rahasia yang tidak mau terbongkar. Jason dan Karina berjalan di belakang Jenderal Alexander, mengikuti langkah mantap sang panglima yang bergema di dinding batu hitam. Cahaya obor redup menari liar, membuat bayangan mereka memanjang, menggeliat di lantai.Dan di ujung lorong itu…Dua pintu emas setinggi lima meter berdiri menjulang. Ukirannya berbentuk naga kembar dengan mata permata ungu yang memantulkan cahaya seperti dua makhluk hidup yang siap menelan siapa pun yang lewat.Alexander berhenti tepat di depan pintu itu.“Ratu Safira ada di dalam,” katanya, suaranya rendah namun mantap. “Kalian harus menjelaskan semuanya dengan jelas. Ini menyangkut nasib satu kerajaan.”Jason mengusap keningnya, jantungnya berdetak seperti genderang perang yang dipukul tak beraturan. Karina menggenggam pergelangan tangan Jason begitu kuat hingga ia bisa merasakan dinginnya telapak tangan gadis
Hari sudah sore menjelang malam saat Jason dan Karina tiba di kediaman Keluarga Wikaya, tapi Jenderal Alexander dan perdana Menteri Nathan tidak ada di tempat.“Kita harus ke istana!” ucap Jason disertai anggukan kepala Karina.Langkah Jason dan Karina membelah hiruk-pikuk Kota Aryaloka. Pasar mulai tutup, pedagang menurunkan tirai, sementara lampu-lampu minyak di sepanjang jalan menyala satu per satu. Namun tidak ada waktu menikmati pemandangan itu—Jason berjalan cepat, hampir berlari, napasnya berat setelah insiden dengan Vardos yang membuat waktunya semakin sempit.Karina menyusul dari belakang. “Jason… pelan sedikit! Kau jalan seperti dikejar hantu!”“Aku memang sedang dikejar sesuatu yang jauh lebih buruk,” jawab Jason tanpa menoleh. “Kalau laporan ini terlambat lima menit saja, Kerajaan Sangkala bisa jatuh sebelum sempat mengangkat pedang untuk melawan.”Karina merinding. Ia sudah melihat mata Jason berkali-kali—namun baru kali ini tatapan itu menunjukkan bahaya sebesar ini.Is
Vardos berdiri menghadang jalan Jason, kedua tangannya terlipat di depan dada, dagu terangkat seperti seorang bangsawan yang baru menang perang.“Kau menyembuhkan seluruh warga Desa Satyaloka?” Vardos menyeringai, suaranya menampar udara. “Mana buktinya? Setahuku… semua penduduk desa itu sudah mati. Tidak ada satu pun yang hidup.”Nada congkaknya membuat darah Jason mendidih. Ia sudah kelelahan dari perjalanan panjang, dan sekarang orang yang ditemuinya di ibu kota adalah tabib arogan yang selalu mencari celah menjatuhkannya.“Terserah apa yang kau percaya,” kata Jason, suaranya tajam seperti pisau bedah. “Aku tidak punya waktu bermain denganmu, Vardos. Ada urusan yang jauh lebih penting.”Vardos mengangkat satu alis. “Kau sudah kalah taruhan. Pergi dari Aryaloka sekarang juga!”Asher, yang berdiri sedikit di belakang, ikut maju. “Vardos benar. Lebih baik kau pergi, Jason. Atau…”Jason mendengus. “Atau apa, Asher? Kau mau membunuhku?”Ia menatap keduanya bergantian, aura kelelahan ber
Setelah berhari-hari menangani pasien satu demi satu, Jason akhirnya memastikan seluruh warga Desa Satyaloka berada pada jalur kesembuhan. Obat-obatan modern dari Kotak Obat Medis—tablet antibakteri, salep regeneratif, dan cairan steril—telah bekerja seperti keajaiban yang tak pernah dikenal oleh zaman ini.Ia menutup kotak itu perlahan, napasnya melembut.“Pergilah dari sini sementara,” ucap Jason kepada para tetua desa. “Cari desa lain yang jauh dari perbatasan Widyaloka. Jika mereka tahu kalian sembuh… kalian bisa dianggap ancaman.”Warga hanya bisa mengangguk, sebagian dengan mata berkaca-kaca.Jason memandangi mereka terakhir kali sebelum berbalik. Ia harus pulang dengan membawa kabar yang lebih berbahaya daripada penyakit apa pun.Kebetulan ia menemukan kuda yang masih sehat di desa yang bisa mempercepat dirinya kembali ke ibukota.Perjalanan pulang Jason berlangsung tenang—terlalu tenang. Tidak ada pasukan Widyaloka yang mengepung, tidak ada anggota Sekte Iblis Medis yang beru
Seluruh desa bersorak, berlutut, dan menangis ketika Jason akhirnya berhasil menyembuhkan seluruh warga desa Satyaloka sekaligus melenyapkan wabah penyakit kusta di desa ini. Tapi ada satu orang yang tidak ikut bersyukur.Kepala desa.Ia berdiri di belakang, wajahnya tegang, pupilnya menyempit—bukan karena takjub, tapi panik.Jason menangkap tatapan itu sekilas.Tatapan seperti orang yang rencananya baru saja hancur berkeping-keping.Malam hari pertama setelah seluruh pasien sembuh, Jason berjalan sendirian menuju sungai, mencuci tangan dari sisa obat dan darah. Udara dingin menggigit kulit. Tepat ketika ia membungkuk…Kraaak!Suara ranting patah terdengar jelas, tapi Jason tidak menoleh.“Keluar kalian! Jangan seperti pengecut!”Dari balik kegelapan, tiga sosok berjubah hitam muncul, membawa kotak jarum beracun dan pisau bedah kuno berkilauan.Simbol tengkorak dan ular tergambar di dada jubah mereka.Jason menarik nafas panjang.“Sekte Iblis Medis…” gumamnya. Ia sudah membaca catata







