Share

Solomon Legacy
Solomon Legacy
Penulis: Langit Biru

Bab 1 Mata Yang Terbuka

Hanya persekian detik, tubuh Rain mendadak menjadi kaku. Ketika seluruh teman sekelasnya bergerak dengan konstan, Rain seperti terhenti dipusat bumi. Gadis berkacamata itu merasakan degup jantungnya mendadak menjadi cepat. Lalu, seolah tanpa jeda, sebuah kendaraan bermotor menabraknya dari samping. Laju motor dengan kecepatan sedang langsung oleng karena mengenai lobang di samping jalan. Sang pengendara tidak bisa mengendalikan laju kendaraannya, bagian depan roda bergoyang dan sang pengendara banting stang ke arah trotoar, dan menghantam Rain dari sisi samping. Tubuh Rain yang sesaat menjadi beku, tanpa terkendali mundur secara cepat ke belakang akibat hantaman sepeda motor, dan Rain terpelanting tanpa mampu menjaga keseimbangan tubuhnya. Lalu, dalam pandangan Rain semua menjadi gelap.

**

Bau anyir terasa menguar di udara, bercampur dengan bau kayu putih, aspal basah dan sampah beraroma busuk. Pusaran aroma tersebut memaksa sebagian isi perut Rain keluar. Rain muntah. Dia terbangun, memegang perutnya, dan seseorang dengan lembut menepuk nepuk punggung rain.

“Kamu nggak apa apa Rain??” Tanya Amelia, sambil terus mengusap punggung Rain dengan cemas.

Rain muntah lagi, yang kedua kali.

Bau kayu putih sudah mulai menguap, berganti bau anyir dan sampah. Rain pusing, dan muntah untuk yang ketiga kalinya. Amelia cemas. Disekeliling mereka masih ramai orang, berkerumun. Di sudut yang lain, pengendara motor yang menabrak Rain sedang terpincang pincang. Setelah motornya menabrak Rain dari samping—yang menyebabkan Rain terhindar dari luka fatal—motor si pengendara langsung menerobos tanpa terkendali dan terjungkal di selokan trotoar yang tidak berpagar. Tubuh si pengendara motor terjungkal dan hampir melorot jatuh ke dalam aliran got, namun tersangkut di tengah diantara lapisan penutup selokan jalan. Beberapa orang segera membantu si pengendara motor. Tubuhnya lecet, biru dan sepertinya ada yang retak karena hantaman, namun kepala si pengendara motor baik baik saja, helm sudah melindungi kepalanya dari cidera parah.

“Anak gadis itu bagaimana? Dia muntahkan? Takut ada cidera” seorang berujar sambil mendekat ke arah Rain, seorang bapak-bapak dengan tubuh penuh dan padat dari pinggang ke atas. Rain mencoba melihat dari garis matanya, terkesiap sesaat dan kemudian menegakkan wajahnya lebih tinggi. Bau anyir itu semakin merebak, dan Rain melihat sesuatu, bayangan hitam besar, bentuknya kabur dan tidak jelas, serta seolah olah transparan. Bau anyir semakin menguar jelas, dan bayangan tersebut semakin pekat. Rain merasa pusing.

---

Rain terbangun di atas tempat tidur ruang UGD. Pertama yang dirasakannya adalah aroma antiseptic langsung memuaskan indra penciumannya, bau anyir yang semula melumpuhkan rasa sudah berganti sehingga paru paru Rain terasa penuh oleh aroma pekat rumah sakit yang kuat. Amelia, kawan satu kelasnya berdiri sambil tersenyum lega melihatnya membuka mata. Seorang suster mendekat, memegang lengannya dan membalut alat ukur tensi.

“Ini….” Suara Rain tercekat.

“Ini, Rumah sakit, UGD. Kamu dibawa barengan sama yang nabrak. Sama polisi” bisik Amelia

Rain mengangguk, paham. Dia melihat suster yang sudah melepas alat ukur tensi, melipat lalu menggulungnya sebelum memasukkan ke dalam kotaknya. Suster tidak banyak bicara, dia berdiri dan berjalan menyibak tirai, lalu menutupnya kembali. Meninggalkan Amelia dan Rain.

“Saya mau pulang” ucap Rain, mencoba duduk.

“Iya, tunggu dokter dulu. Aku sudah telepon ke rumahmu Rain.”

“Saya nggak apa apa kok.”

“Apanya yang enggak apa apa, habis muntah, kamu langsung pingsan lagi. Tadi perawatnya juga bilang takut ada gegar otak” tukas Amelia, menahan Rain yang sudah bersiap turun dari ranjang.

“Saya beneran enggak apa apa kok Mel, Saya mau pulang” ucap Rain cepat, kali ini karena Rain merasa perasaannya menjadi tidak enak, dan perasaan tidak nyaman itu semakin meluas. Mendadak tirai jendela dibuka, dokter datang. Mendekat sambil tersenyum pada Rain.

“Bagaimana?” Tanya dokter sambil menaikkan stestoskop ke telinga, lalu kemudian duduk di samping Rain. “Coba, agak dilonggarkan kancing baju atasnya”

Rain membuka dua kancing baju atas, dokter segera memasukkan stetoskop diantara celah pakaiannya, memeriksa sebentar. Lalu, mengeluarkan senter dan menyuruh Rain untuk melihat ke atas, dia memeriksa bagian mata Rain.

“Pusing?” Tanya dokter. Rain menggeleng. “Sempat jatuh kena kepala?” Rain mengangguk. “muntah dan pandangan berkunang-kunang?”

“Tadi iya, sekarang enggak.”

Dokter berdiri kembali, melepaskan stetoskop dan meletakkannya ke dalam kantong.

“Bagaimana dia dok?” Tanya Amel.

“Sejauh ini, kalau tidak mengalami pusing, tidak masalah. Tapi untuk pastinya, saya khawatir ada gegar otak, baiknya di rontsen.”

“Enggak usah…saya udah enggak apa apa kok dok…” buru buru Rain menyela.

Dokter mengangkat bahu sedikit, “Untuk sementara ini dipantau saja. Tapi ingat, kalau nanti setelah sampai rumah terasa pusing dan mual kembali, dan gejala tidak hilang dalam tiga hari, segera kemari, nanti kita akan cek lagi.”

Dokter pun keluar dari ruangan yang hanya terpisah dengan tirai putih. Amelia menatap Rain, wajahnya masih terlihat khawatir.

“Saya tidak apa-apa kok, sungguh.” Ucap Rain dengan wajah berupaya meyakinkan kawan baiknya tersebut. Amelia menggaruk kepalanya dan sedikit menelengkan kepalanya, berusaha membaca air muka Rain. Keduanya saling tatap sedikit lama. Rain tetap memaksa untuk bersikap keras dengan memandang Amelia tanpa berkedip. Amelia menghela nafas. Masalah adu pandangan jelas dia akan kalah, matanya lebih cepat perih kalau harus menatap tanpa berkedip.

“Terserahlah,” jawab Amelia yang disambut dengan seringai Rain. Rain segera turun ranjang, mengambil sepatunya dan memasangnya sambil berjongkok. Lalu aroma anyir kembali tercium, baunya seperti darah yang sudah agak lama. Rain mendongakkan kepalanya, baunya terasa mengganggu.

“Apa ada yang kecelakaan?” Tanya Rain.

“Kenapa?”

“Habis, ada bau darah, nyengat banget.”

“Bau darah?” Amelia mengernyit, lalu kemudian mencoba mengendus, kembali terlihat bingung.

Rain berdiri, menutup hidungnya, bau anyir itu terasa kuat dan pekat. “Bau banget..”

“Bau apa?”

“Kayak bau darah gitu deh. Masa kamu enggak nyium Mel?”

“Enggak…” jawab Amel dengan gelengan kepastian.

Rain segera menyentuh tirai putih yang menutupi mereka, menariknya sedikit untuk mengintip. Ruangan UGD agak lengang, dengan beberapa ruang yang tertutup tirai.  Terlihat siluet pada tirai tirai yang tertutup. Rain mencondongkan kepalanya lebih dulu, melihat ke arah yang lebih lebar. Dia hanya melihat tiga orang suster berada di belakang meja dekat pintu keluar. Meja panjang tersebut menutupi separuh tubuh suster tersebut. Kedua suster tersebut tampak saling berbicara. Sedang suster yang lain sedang menulis catatan di atas meja.

“Ada apa sih?” Amelia mendadak menekan tubuh Rain dari belakang, ikut mengintip dari balik tirai.

Amelia melihat ke arah pintu keluar tempat suster suster tersebut berkumpul. Suster yang sedang menulis kemudian menutup lembar kertasnya, berdiri dan kemudian keluar dari pintu samping meja panjang.

“Eh, susternya mau pergi, ayo dikejar dulu, nanti kita terpaksa nunggu lagi.”

“Kan, masih ada suster yang dua lagi, bisa kita lapor pada mereka kan?” jawab Rain

“Dua lagi? Yang mana? Susternya Cuma ada satu kok.” jawab Amelia.

Rain merasa seolah kebekuan menyeruak diantara bulu bulu halus tangannya, masuk sampai terasa membekukan ruas darah uratnya dan membuat degub jantungnya berlomba. Rain membanting tirai, membalikkan wajahnya yang pucat, lalu kembali mengintip lagi.

Diruangan tersebut hanya ada dua suster yang sedang berbicara, sedang suster yang satu telah pergi. Keduanya membelakangi Ruangan Rain dan Amelia—dan keduanya hanya dapat dilihat oleh Rain.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status