Sejak jam lima pagi Senja sudah berkutat di dapur. Dia ingin membuatkan sarapan khusus untuk suaminya, Langit Biru. Rencananya hari ini dia ingin membuat telur balado, tumis kacang panjang campur tempe dengan udang tepung. "Sayang, masak apa hari ini? Butuh bantuan?" tanya Langit tiba-tiba muncul dari kamar. Senja yang sebelumnya agak melamun spontan menjerit. Tak hanya kaget, tapi telunjuknya pun tergores pisau saat mengiris bawang merah. Senja buru-buru mengguyur telunjuknya dengan air di wastafel. "Astaghfirullah, Sayang. Kamu kena pisau?" Langit sedikit panik saat melihat istrinya meringis kesakitan. "Iya, Mas. Cuma dikit sih, nggak apa-apa kok," ujar perempuan itu setelah mengusap telunjuknya dengan tissu. Bercak merah menempel di tissunya. "Sini coba lihat. Kamu melamun?" Langit meniup-niup telunjuk istrinya lalu meminta Senja duduk di sofa. "Sedikit, Mas." "Melamunin apa sih, Sayang? Kalau ada masalah cerita ya," balas Langit sembari mengobati luka istrinya lalu membalut
"Mas, tolong aku. Aku nggak pernah memakai barang haram itu. Lagipula aku ke rumah Faisal karena dia yang maksa." Tasya merengek pada Dimas saat anak dan bapak itu menjenguk Tasya di kantor polisi. "Maaf, Pak Dimas. Sebelumnya kami akan jelaskan sedikit tentang kronologi penangkapan itu. Ketiga laki-laki ini memang target kami sejak dua bulan belakangan. Mereka sering berpindah-pindah tempat dan kebetulan semalam kami berhasil menggerebek mereka dengan sejumlah barang bukti. Kebetulan juga Bu Tasya ada di rumah itu dengan seorang perempuan lainnya, makanya mau tak mau kami bawa ke sini. Kami belum tahu apakah Bu Tasya ini pecandu atau hanya kebetulan berada di sana saja seperti yang beliau jelaskan pada kami. Kami masih menunggu hasil pemeriksaan lanjutan." Seorang aparat menjelaskan pada Dimas dan Langit. Tasya begitu mengiba, sementara tiga laki-laki itu hanya diam saja, termasuk Faisal yang sesekali memejamkan kedua matanya. "Mas, tolong kali ini percaya sama aku. Aku nggak pern
"Apa, Pa? Dibawa ke kantor polisi? Kok bisa?!" tanya Langit kaget saat mendengar kabar buruk dari papanya itu. "Oke, Pa. Aku ke sana sekarang." Langit mematikan panggilan lalu menghela napas panjang. "Kenapa, Mas? Siapa yang dibawa ke kantor polisi?" tanya Senja ikut kaget dan panik. "Tasya, Sayang. Tadi polisi telepon papa, minta papa ke sana sekarang. Kamu di sini saja ya, temani bapak. Biar aku yang bantu papa mengurus masalah ini. Sepertinya Tasya mulai kena batunya. Dia tak tahu berhubungan dengan siapa." Langit menghela napas panjang. "Maksudmu Faisal, Mas? Dia--"Mereka digrebek saat pesta narkoboy, Sayang. Sudahlah, kamu tak perlu memikirkan masalah ini. Lagipula papa juga tak akan bantu apapun. Papa hanya mengikuti permintaan polisi untuk datang, selebihnya semua akan diserahkan pada yang berwajib. Semoga saja setelah ini Tasya bisa berubah." Senja mengaminkan harapan suaminya itu. Langit pun pamit setelah mencium kening dan puncak kepala istrinya. "Telepon adikmu, Ja.
"Akhirnya setelah cerai dari Adi, Abel bisa lebih mandiri. Sekarang bahkan bisa beli mobil sendiri," ujar Susan yang begitu membanggakan anaknya. Senyum di kedua sudut bibirnya melebar. Susan pun begitu semringah. "Bu ... sini!" panggil Anwar yang diabaikan oleh istrinya. Anwar pasti tak ingin istrinya kembali malu jika terlalu berlebihan membanggakan Abel. Abel yang kini belum jua berubah bahkan semakin menggila. "Bu, sini!" Anwar kembali memanggil, tapi Susan masih sibuk meneliti mobil baru itu. Tak lupa membanggakan dan memamerkannya pada para tetangga yang kini mengerubutinya. "Mobil Abel. Kata masnya sih dibayar cash. Nggak sia-sia dia sering lembur akhir-akhir ini." Susan tersenyum lebar."Lihat, Ja. Abel juga bisa beli mobil sendiri. Memangnya kamu, kalau nggak dibeliin suami mana bisa semandiri ini," tunjuk Susan yang kembali plin-plan. Sebelumnya dia cukup sering membanggakan Langit yang kaya. Dia bahkan berulang kali memuji keberuntungan Senja karena mendapatkan mertua
"Benar ini rumahnya Mbak Abel?" tanya seorang laki-laki sedikit gugup saat Langit membuka pintu mobilnya. Senja pun ikut keluar lalu buru-buru membantu bapaknya mengambil kruk dari bagasi. "Maaf banget kalau tadi agak kasar ketuk kacanya, Mas. Saya buru-buru soalnya baru saja ditelepon bini yang mau lahiran. Ini benar-benar rumah Mbak Abel kan?" ulang laki-laki itu membuat Langit mengangguk cepat. Dia yang sebelumnya begitu kesal, akhirnya memaklumi setelah mendengar alasan laki-laki itu. "Benar ini rumahnya Abel, Mas. Ada apa ya?" tanya Anwar cukup tenang. "Kami mau mengantar mobil baru milik Mbak Abel, Pak. Kebetulan tadi Mbak Abel bilang ada urusan mendadak, jadi beliau meminta kami mengantar mobilnya ke sini. Itu mobilnya," tunjuk laki-laki itu ke jalan raya. Bukannya senang, Anwar justru terlihat tegang. Dia menatap ke jalan raya beberapa saat lalu menghela napas panjang. Kekhawatiran dan ketakutannya semakin bertambah saat melihat mobil baru dengan harga lebih dari dua ratu
"Sudah berapa hari kamu nggak jenguk bapak? Mentang-mentang sudah jadi orang kaya lantas lupa kalau masih punya orang tua di sini??" sentak Abel saat Senja dan Langit datang ke rumah Anwar. "Apa maksudmu ngomong begitu, Bel? Kalau aku lupa, nggak mungkin datang ke sini hari ini. Nggak mungkin aku bertukar kabar dengan bapak setiap hari. Jangan mengada-ngada deh." Senja menepis tuduhan Abel yang terlalu berlebihan itu. "Bertukar kabar tiap hari??" cibir Abel sembari melipat tangan ke dada. "Kemarin kemana kutelepon berkali-kali nggak diangkat? Keenakan jalan-jalan ya? Atau menikmati rumah mewahmu itu?" sentak Abel lagi. "Semakin ngelantur kamu, Bel. Perkara telepon nggak diangkat saja sampai begini. Aku sudah jelaskan sama bapak kalau handphone ketinggalan di rumah papa, makanya nggak diangkat. Lagipula suaranya memang aku kecilkan jadi mungkin nggak ada yang dengar kalau handphoneku berdering. Aku nggak perlu jelaskan kenapa mengecilkan volumenya kan? Nggak perlu cerita sama kamu