Share

Suami Egois
Suami Egois
Author: Rosa Rasyidin

Akad Nikah

POV Fauzi

“Saya terima nikah dan kawinnya Bening Sari binti Haji Ramadhan, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai,” ucapku sebagai lelaki yang detik ini juga telah berubah statusnya. Dari bujangan menjadi seorang suami dari perempuan yang sebenarnya tidak aku inginkan.

Selesai akad nikah dibacakan, kemudian pengantin yang sangat tidak aku harapkan, datang dibawa oleh adiknya. Iya, aku sangat menginginkan adiknya—Embun Suci, bukan kakaknya. Kenapa?

Sederhana saja alasannya, adiknya lebih cantik dan banyak kelebihan dibandingkan kakaknya. Bukankah wajar kalau seorang laki-laki mapan sepertiku mencari perempuan cantik? Istilahnya sekufu. Kalau istri tidak cantik, kalau mata tidak puas memandang, maka setia hanyalan sebuah isapan jempol saja.

“Nak Fauzi, ini putri Bapak, Bapak serahkan padamu.” Bapak mertuaku agak berat melepas anaknya. Dari yang aku dengar, antara Bening Sari dan Embun Suci, beliau ini lebih menyayangi Ning—panggilan dari Bening sendiri.

Panggilan dari Embun Suci, tentu saja aku tahu, dia dipanggil Suci, sesuci cintaku padanya yang tak kesampaian, dan aku berencana ingin memanggilnya Bun, kalau kami jadi menikah, dan dia memanggilku Ayah.

Romantis sekali khayalanku, tapi semua buyar ketika Ning meraih tanganku untuk dicium. Terpaksa aku tersenyum palsu di depannya. Aku sanggup melakukan itu, aku sudah biasa bersandiwara berpura-pura baik-baik saja di depan orang, aslinya aku ingin memaki wanita jelek di depanku.

“Udah jangan lama-lama.” Aku menarik tanganku yang dicium sangat khidmat oleh Ning. Dia sedikit terkejut.

Aku melirik ke arah perempuan yang paling aku sayangi di lubuk hati ini, dia bukan istriku, melainkan adik kandung istriku sendiri. Ah, andai boleh poligami menikahi kakak adiknya sekaligus. Tentu aku akan lebih menyayangi adiknya.

Soal kakaknya? Itu gampang, cukup berikan uang bulanan lebih banyak. Bukankah perempuan di dunia ini selalu membangga-banggakan bahwa ketika mereka punya uang banyak, mereka tak butuh laki-laki lagi? Benar, kan, perkataanku ini.

“Cantik sekali,” ucapku di sebelang Ning. Dia sudah duduk bersanding denganku.

“Makasih, Mas,” bisiknya padaku. Padahal bukan dia yang aku maksud. GR sekali jadi orang. Menjijikkan!

Suci ternsenyum ala kadarnya padaku. Berbeda dengan Ning yang sangat tulus ikhlas. Ya, bisa dikatakan antara Ning dan Suci, didikan agamanya Ning lebih bagus. Entah mengapa bisa berbeda, padahal mereka lahir dari rahim yang sama.

Apa mungkin bapak mertuaku tidak mengajari dengan baik. Kalau begitu Suci belajar saja dariku, walau aku tidak pintar, aku bisa belajar duluan dan mengajarinya nanti. Mudah saja tinggal baca dan dikte ulang padanya. Yang aku tahu istri itu harus menurut pada suaminya, apa pun perintahnya. Itulah nikmat hidup lahir sebagai laki-laki, selain tentu saja kami bisa memiliki empat orang istri.

Setelah itu sesi foto bersama dilangsungkan. Mulai dari Ning mencium tanganku sebagai bentuk kepatuhan lahir batinnya padaku. Kemudian aku mencium keningnya, sebagai bentuk apa? Sebagai rasa kasihan, di usianya yang sudah menginjak angka 25 tahun, katanya dia tidak pernah pacaran sama sekali.

Ya, bisa dilihat dari jilbab lebar yang ia kenakan sehari-hari. Gaun pernikahan pagi ini saja, longgar dan lagi-lagi jlbabnya menutupi dada. Ah, tak ada istimewanya sama sekali. Seharusnya sehari ini saja dia mau tampil berbeda. Dia, kan, pengantin, bukan tamu. Bagaimana Ning ini? Itu saja dia tidak paham?

“Saya masih ingat, Ning. Gaun pengantin yang saya pilihkan untuk kamu, bukan yang ini.” Aku melihat ke arah matanya. Dia kaget lagi mungkin.

“Maaf, Mas. Gaun yang kemarin, press body. Saya nggak biasa pakai baju ketat.” Alasan darinya.

“Ya, apa salahnya satu hari aja. Aneh kamu itu, di mana-mana perempuan lomba-lomba pamer body, ketinggaalan zaman banget jadi orang!”

Kata orang, laki-laki akan sangat beruntung kalau mendapatkan perempuan yang sangat terjaga. Ya, bisa jadi, andai hal itu terjadi pada Suci, dan dia jadi milikku. Sekarang hanya ada Ning di sampingku. Kami sedang foto memamerkan buku nikah di hadapan saksi-saksi dan warga perumahan yang hadir. Akad hari ini dilaksanakan di rumah dua kakak beradik beda wajah ini. Kata bapak mertuaku karena ia ingin ada peristiwa sakral di rumahnya.

Ibu mertuaku sendiri sudah lama berpulang ke rahmatullah. Katanya sekitar 10 tahun yang lalu, dan beliau betah sekali menduda sampai sekarang. Alasannya? Karena istrinya yang menemani perjalanan hidupnya dari 0 sampai bernilai 100.

Lalu setelah istrinya tiada Ning yang mengurus rumah dan Suci. Karena itulah Suci sangat menyayangi kakaknya yang usianya terpaut hanya tiga tahun darinya. Lihatlah, begitu ranum sekali wajah adik iparku, aku jadi ingin …

“Masih lama malam ya?” Aku tak sadar jadi bicara sama Ning.

“Kenapa, Mas? Sekarang masih pagi.” Eh, dia malah menjawab.

“Nggak penting. Mending kamu diem aja!” Apa, sih, ikut campur aja urusan orang.

Sesi akad nikah di pagi hari selesai, kami tidak melaksanakan resepsi di hari yang sama. Besok hari rencananya. Di sebuah gedung yang aku sewa dan menggunakan semua uang dariku. Aku laki-laki yang mampu, aku banyak uang, aku bisa mendapatkan perempuan mana saja yang aku inginkan, kecuali Suci. Sampai kapan pun aku tetap penasaran dengannya. Dia yang berparas jauh lebih cantik daripada kakaknya. Hidung mancung, bibir tipis, dan ada lesung pipi. Suci mirip dengan bapak mertuaku.

Sementara Ning sendiri, kulit cokelat, bibir tebal di bagian bawah, dan hidung pas-pasan kalau tak mau dikatakan pesek. Sulit diterima dengan akal sehat bahwa aku menikah dengan wanita yang kurang cantik, tapi apa mau dikata.

Jalani saja dulu nasehat orang-orang. Katanya para tetua dan orang bijak, witin tresno jalaran soko kulino. Benarkah? Bagaimana kalau justru sejak aku menilkah dengan Ning justru cintaku pada Suci yang semakin bertambah besar.

“Mas Fauzi, makan dulu sama Mbak Ning, kasihan dari tadi malam dia nggak mau makan, katanya gugup sama grogi.” Nyees, ucapan Suci barusan menembus relung hatiku yang paling dalam.

Ya, tamu-tamu sedang menikmati hidangan yang disediakan tuan rumah. Suci berbaik hati sekali mengambilkan sepiring nasi dan lauknya untukku. Terutama lagi senyumnya sangat menggoda. Ah, andai aku bisa merasakan bibir itu malam ini juga, tentu kebahagiaanku akan semakin tak terkira.

“Disuapin, Mas, Mbak Ning, biar makin deket,” ucapnya lagi.

Bagaimana aku tidak berkesan? Suci sangat romantis. Berbeda dengan istriku yang, ck, malas sekali aku melihat wajahnya, menunduk saja dari tadi.

“Makan.” Aku mengatakan itu agak tegas pada Ning, supaya wajahnya terangkat. Dia menurut, tentu saja, daripada aku memarahinya di depan umum, bukan?

Ning membuka mulut, baru kali ini aku perhatikan kalau giginya gingsul. Ah, lagi-lagi aku membandingkan dengan Suci yang giginya rapi. Aku menyodorkan sendok berisi nasi agak kasar ke mulutnya. Semoga tidak ada yang sadar.

Ning mengunyah makanan itu perlahan. Dia tak bicara atau bereaksi apa-apa, mungkin dia takut denganku. Ya, tentu saja, aku adalah suami yang harus dipatuhi, tanpa ada bantahan sama sekali.

“Giliran, Mas.” Akhirnya dia buka mulut juga setelah sepersekian detik membisu.

“Nggak usah, saya bisa sendiri!” Aku menjawab ketus dan pelan saja. Lalu tersenyum ketika tak sengaja bapak mertua melihatku.

Sandiwara tetap harus berjalan lancar, dan aku lanjutkan saja menyuapi Ning sampai nasi di piringku habis. Aku sendiri sedang tak berselera makan, lebih asyik memandang wajah Suci, yang walaupun make upnya sederhana dia sangat cantik. Perempuan di sebelahku ini, sudah make up lengkap juga kalah cantik dengan adiknya. Ck, betapa beruntung laki-laki yang mendapatkan Suci, dan aku masih ingin menjadi yang beruntung.

Beberapa menit setelah itu ada seorang laki-laki datang. Terlambat sepertinya dan dia membawa sebuah kado, diserahkan pada pihak perempuan yang tak lain adalah Suci. Dia berwajah tampan. Penampilannya sederhana saja, kemeja batik cokelat muda dipadukan dengan celana jeans warna agak gelap. Rambutnya sangat pendek, aku tahu sekali itu gaya khas seorang polisi.

Suci kemudian membawa lelaki itu berkenalan dengan bapak mertuaku. Aku tahu siapa dia. Lelaki itu sudah aku cari tahu namanya sejak dulu. Dia adalah alasan mengapa Suci menolak pinanganku. Selain karena usia kami yang terpaut jauh. Aku 33 tahun dan Suci 22 tahun. Terihat sekali lelaki itu dengan senyumannya, sepertinya dia diterima dengan baik oleh bapak mertuaku, tapi tidak denganku.

Apa coba yang dilihat Suci dari lelaki itu. Secara keuangan saja aku jauh lebih banyak daripada Bagas Alfian. Bukannya perempuan itu menilai laki-laki dari jumlah uang? Katanya kalau lelaki uangnya banyak maka bisa jadi jaminan hidupnya jadi bak ratu yang dimanja dengan harta dunia. Ah, iri sekali aku melihat Suci dan Alfian itu, terlihat serasi. Tidak seperti aku dan Ning. Dia terus saja menunduk. Bagaimana aku membawanya ke acara-acara penting nanti? Terlihat sekali dia sangat pemalu dan pasti tak pintar berdandan.

“Mas Fauzi, selamat ya atas pernikahannya,” ucap Alfian yang mendatangi kami berdua.

Aku pura-pura tersenyum dan mejabat tangannya demi kesopanan. Suci ada disampingnya berjarak sekian senti saja. Ingin rasanya aku dorong Alfian dan Bening, lalu Suci yang aku seret bawa ke kamar.

“Iya, sama-sama, makasih ya udah menyempatkan diri buat datang.” Kembali aku bersandiwara.

Alfian tersenyum simpul, aku menilainya sebagai sebuah kesombongan. Polisi ini berniat menyalami istriku, tapi Ning lekas meyatukan dua tangannya di dada, pertanda dia menjaga diri dari yang bukan muhrim, atau mahrom, ah ya begitulah intinya.

Aku tak terlalu tahu, tak penting juga. Apa salahnya kalau laki-laki dan perempuan hanya bersalaman saja? Memangnya bisa timbul nafsu apa kalau sekali bersentuhan.

Suci ikut-ikutan salaman denganku. Ya, ini kali pertama kami bersentuhan. Aku tak menjaga jarak seperti halnya Ning. Ah, itu kewajibannya sebagai istri menjaga kehormatan suaminya. Dan dia tak punya hak mengaturku. Lalu jabatan tangan sebentar tadi membuatku bagaikan disengat listrik.

Suci sudah pergi tapi getaran itu terasa sampai ke ubun-ubunku. Halus sekali tangannya, juga wangi parfum yang dia gunakan, luar biasa memacu adrenalinku. Bapak mertuaku sampai berdehem padanya agar jaga jarak dengan Alfian.

Tersisa aku di sini, dengan perasan dan debar tak menentu. Jujur, sebagai laki-laki aku butuh pelampiasan melihat kecantikan dan lekuk tubuh sempurna seperti Suci. Tangan Bening tak sengaja menyenggol pahaku. Dia lantas menjauh, dan aku tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Aku butuh pelampiasan.

Aku memegang erat tangan Bening, dan ekor mataku melihatnya. Terlihat Ning tersenyum malu-malu. Aku terus meremas tangannya yang juga halus ternyata. Kami terlihat sangat mesra di pelaminan. Dia tak henti-hentinya tersenyum manis. Dia maksudku adalah Suci bukan Bening. Senyum yang membuat jantungku semakin berdebar dan iblis seperti berbisik sebuah kejahatan padaku. Tidak, aku masih tahu diri.

Lagi pula apa gunanya Ning aku nikahi. Jiwa dan raganya sudah aku beli dengan seperangkat emas dari anting, kalung, cincin, juga gelang. Tentu Ning harus membayarnya malam ini juga. Itu sudah mas kawin yang cukup mahal aku berikan padanya, rencana hanya seperangkat alat sholat. Dia hanya wanita biasa yang tak layak mendapatkan kemewahan, berbeda dengan Suci, jangankan seperangkat emas, sebuah mobil mewah pun aku tak akan pernah ragu memberikannya. Suci, yang sampai kapan pun akan bertakhta di hatiku.

Bersambung …

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status