Share

Taat Suami

POV Fauzi

Di sinilah kami berdua. Selesai akad nikah yang baru siang hari menjelang dzuhur tamu-tamu mulai pulang. Ya, masih pesta kecil saja karena yang besarnya baru akan diselenggarakan dua minggu kemudian. Ah, sebenarnya malas pesta, coba saja bisa aku skip, alasan kerja atau apalah, tapi rasanya nanti tidak enak dengan Suci, bukan dengan Ning—istriku yang sekarang ada satu kamar denganku.

Dia duduk diam saja, mungkin berharap aku melakukan sesuatu seperti di film-film barangkali. Yang ada kepalaku sedang sakit karena tadi sempat bersalaman dengan Suci, dan aku jadi kepikiran sampai sekarang, jujur saja hal ini sangat menyesakkan. Membayangkan adik iparku bersalaman, berdekatan, saling melempar senyuman, dan bercanda tawa dengan Alfian. Sungguh aku ingin merebut adik iparku itu dari tangan pacarnya.

“Ehm, Mas—”

“Diam. Saya lagi sakit kepala, jangan ajak bicara dulu.” Aku langsung memotong perkataanku istriku.

Tepat sekali, dia langsung diam karena teguranku. Istri yang baik. Baik untuk diperintah-perintah, bukan untuk dicintai.

“Iya, maaf.” Ah, nggak penting kata maaf dia bagiku.

Aku berbaring di kamar yang sepertinya ini milik Ning. Aku memejamkan mata sebentar, lelah dan pusing karena terlalu banyak beban pikiran. Bagaimana bisa, aku mencintai adiknya yang aku nikahi kakaknya.

Semua ini karena Suci juga, dia bilang dia tidak akan menikah sampai Mbak Ning ada yang mau melamar. Dan tololnya aku malah melamar Ning, kupikir dulu boleh menikahi kakak sekaligus adiknya. Apalagi aku kaya jangankan emas, rumah mewah juga bisa aku berikan.

Ternyata setelah lamaranku pada Ning diterima dengan baik baru aku tahu menikahi kakak sekaligus adik ternyata tidak boleh. Ingin aku batalkan lamaran rasanya malu dan tidak ada alasan yang tepat terutama kata ibuku.

“Kamu mau cari yang gimana lagi, Zi, udah berumur gini, Ning itu memang kurang cantik tapi nggak jelek-jelek amat kok, dan Ibu lihat dia anaknya baik, sopan, agamanya juga bagus. Nah, siapa tahu nanti kamu malah ketularan dia jadi lelaki sholeh.” Masih terngiang ucapan ibuku waktu itu.

“Tapi kalau jelek saya yang malu, Ma. Saya pasti ada pertemuan sama temen dan sama relasi. Bawa istri. Masak perempuan buruk rupa itu saya bawa ke depan orang? Mau ditaruh di mana muka saya, Ma.” Aku masih berusaha mencari pembelaan kala itu.

“Zi, soal penampilan, masih bisa diperbaiki. Kasih uang buat beli skin care. Suruh Bening perawatan ke salon biar cantik, kasih dia outfit yang bagus-bagus. Mama yakin dia nggak kalah cantik sama Suci. Tapi kalau masalah kelakuan, Zi, percaya sama Mama, perempuan ini lebih susah dibentuk. Kelihatannya aja perempuan lemah di luar, aslinya bisa bikin kamu pusing tujuh keliling. Nanti kamu yang repot sendiri kalau dapat perempuan yang perangainya nggak bagus. Buat kasus ini itu, perkara begini begitu. Udah paling cocok kamu sama Bening. Masalah cinta nanti bisa tumbuh belakangan. Karena kamu hidup sama perilakunya bukan lagi sama orangnya. Fisik hanya sekadar cover, Zi. Trust me!”

Skak mat. Aku tidak bisa lagi membantah kata-kata beliau kalau sudah bertitah. Bukan karena aku anak mama, tapi aku tidak mau dicoret sebagai penerus usaha beliau. Ya sudah aku ikuti saja apa mau mamaku. Setelah menikah dengan Bening, aku yakin masih banyak perempuan lain yang mau denganku. Walau harus diam-diam. Laki-laki kawin lagi, kan, tidak perlu izin istri. Tidak ada dosa sama sekali. Yang berdosa itu kalau istri membangkang terhadap perintah suami.

Aku melihat Ning mulai beranjak. Tepatnya aku mengintip sedikti. Dia sepertinya mencari baju ganti di dalam lemari. Kemudian seperti kesusahan membuka baju pengantinnya. Padahal modelnya tidaklah ribet kalau aku lihat.

“Aduh, kok, macet, sih.” Aku dengar dia bicara seperti itu.

Apakah aku mau membantu? Tentu tidak. Hal receh seperti itu harus mandiri. Tugas seorang istri itu mengurangi beban pekerjaan suami. Bukan malah menambah-nambahi dengan rengekan tak menentu. Memang punya dua tangan dan kaki gunanya apa?

Dari dulu aku selalu ingat dengan slogan. Jadilah wanita mandiri agar disayang dan dibanggakan oleh suami. Terlalu sering merepotkan suami, bisa jadi laki-laki yang sudah membantumu lepas dari predikat perawan tua akan mencari hati wanita lain. Toh, jumlah wanita di dunia ini banyak. Tinggal pilih saja, wanita mana yang mau menolak uangku. Hanya Suci, ingat, hanya Suci saja yang menolakku.

Aku ini seorang suami. Bening sudah menjadi hak milikku sepenuhnya, dan rasanya rugi sekali kalau aku tak melihat bagaimana rupa kulit yang tertutup baju serba lebar itu. Setiap kali aku bertemu dengan dia di rumah, entah urusan lamaran, persiapan pernikahan, atau ada saja alasan yang aku cari agar bisa bertemu dengan Suci, Ning selalu saja memakai baju longgar, jilbab besar dan wajahnya ditundukkan. Pantas lama menikah, tidak menarik sama sekali ternyata. Tidak tahu cara memikat lawan jenis. Ibarat bunga, dia ini bunga bangkai.

“Busuk,” ucapku kelepasan bicara. Dia menoleh, mungkin merasa sedang aku bicarakan.

Berbeda dengan Suci, pakaian selalu modis, dandan tipis-tipis. Bibir pink menggoda seolah-olah minta untuk dicoba. Penampilan kakak beradik ini bagaikan bumi dan langit. Yang aku sangat yakin kalau lelaki seluruh dunia ini dikumpulkan jadi satu, termasuk yang berprofesi menjadi ustadz, guru ngaji, ulama, kiyai dan segala macamnya. Maka semua sepakat bahwa Suci yang lebih cantik dari kakaknya. Kalau ada yang bilang tidak, fix matanya kena katarak.

“Apes sekali nasibuku hari ini.” Sengaja aku bicara kuat-kuat biar Ning dengar. Terserah mau tersinggung atau tidak. Bodo amat.

“Jelek, jelek, jelek.” Sengaja aku bicara itu berulang-ulang ketika Ning membersihkan wajahnya.

Memalukan! Aku harus memikirkan bagaimana caranya agar tak malu membawanya ke hadapan orang lain.

Sedikit aku lihat dia menoleh ke arahku. Aku lekas memejamkan mata, lalu mengintip lagi. Dan terlihat dia membuka baju pengantinnya. Aku terus mengintip, ternyata ukuran pinggangnya cukup menggoda hasratku sebagai lelaki juga. Kupikir wanita sejelek dia tak bisa membuatku bernafsu, dan sakit kepala yang aku rasakan tadi semakin menjadi saja.

“Ning. Kamu pasti tahu, kan, kalau istri menolak ajakan suami bisa dilaknat malaikat sampai mendapat ampunan dari suaminya.” Aku harus terus menekannya agar patuh padaku.

“Tahu, Mas.” Dia menjawab sambil memejamkan mata.

“Kalau begitu saya nggak mau ada penolakan ketika sedang ingin. Paham, ya?”

“Paham, Mas.” Nah, ini yang aku suka. Dia menurut sekali di bawah kakiku. Cocok jadi keset kamu, Ning.

Soal ancaman suami masuk ke neraka? Entahlah, aku belum pernah baca. Karena sebelum menikah yang aku pelajaran cara mendidik istri agar menjadi baik. Soal jadi suami baik, gampang, tinggal berikan saja uang pada Bening. Aku bisa memberikannya yang banyak. Bisa, aku orang kaya, aku bukan orang miskin.

Tidak ada ceritanya Ning menemaniku dari nol, aku sudah bernilai 100 saat menikahinya. Dan nanti suka-sukaku saja berlaku seperti apa padanya. Mana ada cerita istri mengatur suami. Aku tak mau seperti bapakku, diceraikan ibu karena terlalu lemah dalam berumah tangga. Harus aku yang memegang kekuasaan.

“Mas, sudah Ashar, nggak sholat.” Aku sedang asyik melamunkan Suci, berani sekali Ning menggangguku.

“Apa, sih?” tanyaku padanya baik-baik sebelum meledak menjadi amarah.

Seorang suami jika tak ridho dengan apa pun perbuatan istrinya, maka semua amalan istri akan dikali 0 tidak bernilai sama sekali. Begitulah nilai amalan istri, sangat bergantung sekali pada suaminya. Mau sebaik dan sesoleha apa pun kalian, kalau suami tak ridho, bagaimana jalan kalian masuk surga?

“Udah 15 menit adzan Ashar selesai, Mas nggak sholat?” Lembut sekali nada bicaranya, berbeda dengan Suci yang agak genit manja.

“Nggak usah sok ngatur kamu. Baru juga hari pertama udah berani merintah suami.” Aku menatapnya serius. Dia terlihat agak terkejut. Beberapa detik kemudian pintu kamar kami diketuk. Yang mengetuk mengeluarkan suara dan itu Suci.

“Mbak aku mau ke masjid, banyak makanan lebih banget, sayang masih bagus-bagus. Ikut nggak?” tanya Suci dari depan pintu kamar. Wah, ini kesempatan aku bisa bersama-sama dengannya.

“Iya, Ci, bentar, Mbak ambil mukena dulu,” jawab istriku. Oh, tidak bisa, dia harus patuh apa kataku.

“Kamu sholat di rumah, nggak usah ikut ke masjid. Bukannya sebaik-baik perempuan itu sholatnya di dalam rumah, ya?” Aku memang pintar, aku ingat semua ajaran untuk perempuan yang harus dikerjakan.

“Iya, Mas, tapi, kan—”

“Nggak usah bantah. Pulang saya dari masjid, kamu siap-siap kita pergi ke hotel. Saya ngga bisa tidur di kamar kamu, sempit!” Kali ini aku jujur memang.

Kamar Bening tidak seluas kamarku. Sekalian saja aku bawa dia ke salah satu hotel atau losmen milikku. Aku yakin anak sekuper, seculun, dan selugu dia tidak pernah tahu rasanya menginap di tempat selain rumah seperti apa.

“Iya, Mas.” Dia mengangguk tanpa bantahan sama sekali. Urusan mengantar makanan ke masjid biar jadi urusanku saja dengan Suci.

Sial sekali! Ternyata Alfian ikut membantu. Aku pikir anak tidak tahu diri ini sudah pulang dari tadi. Ternyata dia ikut obrolan serius dengan bapak mertuaku. Beliau memang tertarik dengan masalah politik dan kemanan negeri ini. Berbeda denganku yang lebih tertarik dengan masalah ekonomi.

“Jadi, Mas, nggak ada kaitannya dengan kasus Sambo, kan?” tanya Suci. Aku hampir menjawab lalu diserobot begitu saja oleh Alfian. Kupikir Mas sapaan untukku.

“Ya, nggak lah, kan beda daerah, beda divisi juga. Mas, kan, mengurus bagian kriminal, kasus pembunuhan, penculikan, ya kejahatan masyarakat, Ci, masak kamu lupa,” jawab Alfian.

Dua orang ini ngobrol seolah-olah menganggapku tak ada saja. Sial, bukan hari keberuntunganku sekarang.

“Ya, kan, itu Sambo sama PC katanya bunuh Brigadir Yosua, kok nggak Mas aja yang menyelediki?”

“Udah ada tim khususnya, mungin Mas ke sana kalau dapat panggilan, tapi kayaknya nggak, sih, tugas di kantor aja udah numpuk. Malam nanti balik ke kantor lagi, habis Ashar Mas langsung pulang.” Begitu kata Alfian.

Cuih! Sok romantis sekali, padahal rata-rata abdi negara apalagi sekelas polisi ini pacarnya di sini satu di sana satu, seperti aku tidak tahu saja perangai mereka.

Beban di tanganku terasa berat membawa kue-kue yang masih sangat enak dan bagus ini. Katanya ini buatan Bening. Wanita jelek yang jadi istriku ini digadang-gadangkan pintar memasak. Apa pun yang diolah oleh tangannya selalu saja enak tidak pernah tidak.

Pernah aku memakan masakannya, memang enak sekali, tapi alasan enak tidak selalu bisa membuat suami jadi cinta. Membayar koki pun aku sanggup untuk dapat masakan yang jauh lebih enak daripada buatan Bening.

Setidaknya aku mendapatkan keuntungan sambil jalan ke masjid. Aku bisa melihat senyum Suci yang terus terkembang, dan terutama pikiranku yang mulai liar. Aku memperhatikan pergerakan pinggul adik iparku yang luar biasa nyaris meruntuhkan pertahananku. Aku jadi penasaran bagaimana gaya berpacaran antara Fian dan Suci. Tidak mungkin hanya tatap-tatapan mata saja.

Aku yakin sudah lebih daripada itu. Tapi, bagaimana pun adik iparku, aku akan sangat senang menerimanya apa adanya. Namanya cinta bisa menerima kekurangan. Kalau tidak cinta, perawan sekelas Ning saja sulit aku terima. Iya kalau dia masih perawan, kalau tidak? Sudah jelek tak tahu jaga diri lagi.

***

Selesai sholat aku kembali ke rumah sendirian, Suci dan Alfian entah pergi ke mana. Sudah kuduga dua anak muda itu pasti lewat dari pengawasan bapak mertuaku. Sampai di dalam kamar, Bening sudah bersiap.

Ya, ampun penampilannya kenapa sederhana sekali. Gamis satu warna gelap pula, lurus tanpa membentuk tubuh, padahal dia punya pinggang yang menggoda. Apa, sih, yang ada dalam pikiran Bening?

“Kamu nggak ada baju lain?” tanyaku padanya.

“Ada, Mas, kenapa, jelek, ya?”

“Yang gaul atau modis, gitu, Ning, pakai. Kenapa kamu jadi seperti ibu-ibu pengajian gini. Jadi kelihatan udah 30 tahun lebih. Coba ganti pakai celana jeans dan baju kaus gitu.” Aku merapikan rambut di depan cermin. Pemampilanku sudah langsung rapi, urusan penampilan lelaki tak banyak cerita.

“Ning, nggak punya baju gitu, Mas. Lagian nggak boleh perempuan pakai baju ketat dan seksi.”

“Oh, kamu ngajarin saya?”

“Nggak, cuma ngasih tahu aja, supaya Mas nggak salah paham.”

“Kalau kamu mau ikut saya ke hotel, ganti baju kamu, pinjam punya Suci kalau perlu. Nggak usah pakai jilbab lebar juga nggak apa-apa. Udah kayak ustazah aja kamu. Saya tunggu kamu di mobil. Ingat, jangan membantah kata suami, ya!” Aku serius dengan perkataanku. Berani Ning membantah, lihat apa yang akan aku lakukan padanya.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status