Qizha malah terbengong menatap Qasam yang sedang berusaha menyuapinya. “Ini beneran kamu mau nyuapin aku?”“Menurutmu? Apakah arah sendok ini ke mulutku? Jelas ini sendok mengarah ke mulutmu, tentu saja ini untukmu!” sahut Qasam.Qizha tersenyum dan menyantap makan dengan lahap. “Sebenarnya yang sakit itu kakiku, bukan tangan. Aku masih bisa makan sendiri, kok.”Qasam membelalak. “Maksudmu, kamu menolak disuapi olehku?”“Bukan begitu. Cuma penjelasan aja itu tadi.”“Terlanjur, makanannya juga sudah habis.” Qasam meletakkan piring yang sudah kosong ke meja. Dia mengambilkan minum dan memberikannya kepada Qizha.“Ternyata begini rasanya diperhatiin suami. Aku bahagia.” Qizha menatap Qasam haru. Sunyi. Keduanya membisu. Suasana jadi terasa kaku.“Beri aku penjelasan, kenapa kau meracuni Qansha, adikku?” tanya Qasam.“Jawaban dan penjelasanku nggak akan berubah. Percaya atau nggak percaya, kenyataannya adalah aku nggak tahu apa- apa soal itu. aku dijebak. Ayah yang memi
Qizha senyum- senyum sendiri di depan cermin, menatap wajahnya. Kelihatan lebih bersinar. Sejak semalam, Qasam memeluknya sepanjang tidur. Tak hanya itu saja, Qasam juga tadi membimbingnya saat turun ke lantai bawah untuk makan.Dan satu lagi, Qizha ingat perkataan Qasam tadi sebelum pergi ke kantor. Pria berpakaian stelan jas lengkap itu berkata, “Tidak perlu bekerja. Stay di rumah saja.”“Pekerjaanku bagaimana?” tanya Qizha tadi.“Sebelum ada kamu, perusahaanku tetap jalan. Jadi jangan cemas. Tanpa kamu, perusahaan tetap beregrak kok.”“Dih, kamu melarang aku kerja, tapi kalimatmu itu sama saja kayak bilang kalau aku tuh nggak berarti apa- apa di perusahaanmu.”Qasam balik badan hanya untuk menyembunyikan senyumnya sambil emmasang dasi. Pria itu mencari pakaian sendiri tanpa bantuan Qizha.“Aku pergi kerja. Aku tidak mau mendengar ada masalah di rumah!” pesan Qasam.“Masalah apa maksudmu?”“Entah itu kau terjatuh, kakimu patah, atau apa saja.”“Oh.” Qizha tersenyum senang.
Qizha meninggalkan pintu kamar Sina saat melihat Sina menyudahi telepon. Qizha melangkah menuju ke dapur dengan hati- hati supaya tidak menimbulkan suara. Kruk ditekan ke lantai dengan pelan, lalu cepat memasuki area dapur yang luas sekali. Ya ampun, hanya untuk menuju dapur saja, ia sampai harus melewati banyak ruangan. "Loh loh loh... Non Qizha kok kemari? Ada apa?" tanya Fara sembari menghampiri Qizha. "Dapur ini tuh jauh banget dari ruangan lainnya. Kalau ada apa- apa, Non kan bisa telepon bibi."Qizha tersenyum. "Nggak apa- apa. Ini kakiku mesti banyak gerak kata dokter, nggak boleh dibiarin nggak gerak, soalnya takut kaku dan malah nggak bisa digerakkan. Jadi aku jalan ke sana sini biar urat- uratnya pada lemas," sahut Qizha."Oh, sekarang Non Qizha mau dibuatin apa? Minum atau makan? Biar saya buatin." Fara menawarkan."Aku pingin makan pasta sama jus tomat. Boleh?""Walaaah... Ya boleh dong. Bentar biar bibi buatkan pastanya ya. Non cantik duduk manis aja dulu di situ." Fara
"Iya. Cicipi pakai sendok. Rasa jus nya bagaimana? Apakah kemanisan atau malah kurang manis.” Qizha tersenyum. Nah, kalau Sina berani mencicipi, artinya jus aman. Bebas dari racun. Tapi kalau tidak berani, artinya jus bermasalah. Cerdas Qizha!Sina mengambil sesendok jus. Lalu meminumnya. “Sedang. Ini pas rasanya,” jelas Sina.Beberapa menit berlalu, tak ada reaksi apa pun pada Sina. Baiklah, berarti minuman itu aman. Toh Sina tidak kejang- kejang. “Oke. Makasih.” Qizha pun meneguk jus tersebut. Tak lama kemudian Fara menyajikan pasta panas. Aromanya sedap sekali, menggugah selera. Pasta dicampur udang dan toping sosis serta daging. Qizha pun menyantap pasta dengan lahap. Melihat Qizha makan enak, Sina menelan saliva. Ingin sekali mencicipi makanan itu."Sina, kenapa kamu menunggui Non Qizha makan?" tanya Fara."Mm... Nggak apa- apa. Siapa tahu Non Qizha butuh lainnya biar aku bisa ambilkan," jawab Sina.Fara pun mengangguk dan berlalu kembali ke dapur."Kamu nggak bilang ke sia
"Bi Fara, panggil Sina kemari! Suruh dia menemuiku!" titah Qasam yang bertemu dengan Fara di anak tangga. Pria itu mengenakan piyama tidur, tampak santai sekali."Oh, baik, Tuan. Akan saya panggil." Fara balik menuruni anak tangga. Qasam menunggu di ruang tamu. Tak lama kemudian sosok yang ditunggu muncul juga, Sina menunduk menghadap Qasam. "Selamat pagi, Tuan! Ada yang bisa saya bantu?" Qasam menatap Sina yang menunduk. Dia menatap dari ujung kaki ke ujung rambut. Tatapannya sinis pada Sina. Modelan begini bagaimana bisa menjadi pembantu di rumah itu? Sungguh tidak memenuhi kriteria sama sekali. Qasam menyungging senyum."Mumpung kau belum lama bekerja di sini, aku akan berikan mandat kepadamu," ucap Qasam sambil mengangkat kaleng minuman dan meneguknya.Sina mengangkat wajah. Lalu tersenyum. "Tuan muda, saya tahu kalau kita ini ipar bukan? Pastilah Tuan mau memberikan keistimewaan buatku. Aku ini adiknya Kak Qizha."Wah, pintar sekali dia mengakui persaudaraan di saat begini. "
Tak lama kemudian, Qizha muncul. Wanita itu menuruni anak tangga dengan bantuan kruk. "Qizha, mama ingin menanyakan kepadamu satu hal, tapi sebelumnya, mama ingin tahu, kenapa kamu pakai kruk begini?" tanya Habiba yang baru tahu kalau menantunya itu dalam kondisi tidak baik- baik saja."Ini kemarin kecelakaan dikit pas naik mobil sama teman. Tapi nggak apa- apa kok," sahut Qizha dengan tenang."Sungguh? Itu kamu sampai harus pakai kruk loh, berarti parah ya? Ada yang patah?""Enggak, Ma. Cuma kaki agak sakit jadi butuh bantuan kruk."Qasam mengawasi wajah mamanya dengan serius, takut mamanya akan curiga. Habiba mengangguk. Akhirnya Qasam lega melihat mamanya mengangguk."Baiklah, sekarang mama mau tanya, ini Sina adalah adik tirimu, kenapa kamu biarkan dia menjadi pembantu di sini?" tanya Habiba.Qizha menatap Qasam, takut salah menjawab. Pria itu bisa saja kecewa padanya jika ia sampai salah bicara. Namun Qasam hanya diam, tak memberikan kode apa pun. Sepertinya dia memasrahkan ja
Semuanya tercengang. Qasam pun terkejut, tapi bukan terkejut atas penjelasan Sina, melainkan terkejut kenapa Sina berani buka mulut atas kasus itu. ingin sekali Qasam menggantung kepala Sina di pohon durian. Sudah sangat muak atas kelakuan wanita penyihir itu.Sejak awal melihat Qasam sebagai preman yang berpura- pura miskin, wanita itu dengan entengnya menghujat, menghina dan membenci. Sekarang memohon- mohon minta tinggal di rumah bagus dan setelah ditolak, dengan enaknya berusaha menyingkirkan Qizha. Dasar tukang dengki!“Kau bicara apa, huh? Jangan sembarangan bicara kalau tidak mau kepalamu ini ke lempar ke sawah!” tegas Qasam sambil menarik lengan Sina dan menyeretnya. “Keluar kau dari sini!”“Qasam, tunggu! Biarkan dia bicara dulu!” pinta Husein. “Meskipun benalu itu menyebalkan, tapi kita butuh informasi dari dia!” “Apa yang perlu papa dengarkan dari wanita pendusta ini? aku jauh lebih kenal dia, dia ini pembohong, tukang tipu, tukang fitnah!” geram Qasam.“Nyonya,
“Qasam, tunjukkan hasil pemeriksaan milik Qansha pada mama!” pinta Habiba tegas.“Mama tidak percaya padaku? Qansha meninggal bukan karena keracunan. Bagaimana mungkin mama malah mempercayai Sina?” Qasam tampak frustasi, dia sedang berusaha menutupi kenyataan yang sebenarnya. Sejak awal, Qasam berniat akan menyelesaikan masalah Qansha sendirian tanpa campur tangan siapa pun. Ada banyak masalah yang akan muncul bila fakta yang sebenarnya itu terbongkar. Pertama, mamanya pasti akan marah besar mengingat Qasam menyembunyikan masalah besar itu sendirian. Kedua, Qasam kini melindungi Qizha. Jika Habiba sampai tahu kasus yang sebenarnya, Qizha pun pasti akan terancam juga.“Justru sekarang mama ingin melihat hasilnya, berikan saja pada mama!” pinta Habiba.“Papa juga mau lihat! Selama ini hanya kamu sendiri yang mengurus masalah itu. papa percayakan segala urusan kepadamu, jangan sampai malah menjadi masalah. Berikan dokumen itu kepada kami!” tegas Husein yang terkesan mendesak.