Share

Bab 1 : Awal Pertemuan Dengannya

Pagi masih menyimpan kabutnya. Di sebuah kota yang dingin ini, aku menimba ilmu di sebuah pondok pesantren dari Tsanawiyah hingga Aliyah. Alhamdulillah, aku sudah menyelesaikan hafalanku, juga mendapat ijazah sanad qira'ah. Seperti biasa, setiap santri yang lulus, maka akan melakukan pengabdian selama satu tahun di sebuah lembaga yang ditunjuk oleh pesantren. Dan, inilah awal mula perjalanan aku mengenalnya.

Namaku Aisyah. Abi bilang, itu adalah nama istri nabi shalallahu 'alaihi wasallam. Katanya juga, agar aku bisa meneladani kecerdasan dan akhlak beliau. Aku sulung enam bersaudara. Keempat adikku perempuan dan yang paling kecil laki-laki. Diusia yang ke delapan belas tahun ini, aku mendapat tugas untuk pengabdian di kota Yogyakarta, kota yang aku pernah bermimpi untuk tinggal di sana.

"Baik-baik ya, Nak. Abi percaya kamu bisa menjaga diri." Ah, abi, terima kasih atas kepercayaanmu selama ini.

Abi pamit untuk pulang. Aku tetap berdiri menunggunya hingga punggung lelaki itu hilang dari pandangan. Rasanya selalu sama, seperti saat aku pertama kali berpisah dengannya untuk menuntut ilmu.

Di pesantren ini, aku menjadi pengajar tahfizh anak-anak usia SD. Senang? Tentu saja! Aku menikmati hari-hari di pesantren ini.

Hingga tak terasa, setahun hampir berlalu. Sebentar lagi aku akan meninggalkan tempat ini. Ada rasa lega, juga sedih berbaur menjadi satu.

"Ust Aisy, dipanggil Ust Aminah," bisik Maryam teman sekamarku yang juga pengabdian di sini.

"Ada apa, sih?" tanyaku penasaran.

"Udah, ke sana aja dulu. Ada yang gurih-gurih nyoy,"

"Haaah?" Aku memutar bola mata ke arahnya. Dia memang selalu seperti itu, anaknya humoris dan menyenangkan. Dia asli Bandung, dan sering mengajariku bahasa sunda.

"Gurih-gurih nyoy?" gumamku. Aku pikir, itu adalah sebuah rasa untuk makanan, karena Maryam kalau dapat makanan enak sering bilang seperti itu, tapi ... entahlah.

Aku  mengetuk pintu ruangan yang biasa dipakai untuk menerima tamu. Ustadzah Aminah mempersilakanku masuk. Kupikir ada tamu yang ingin bertemu, tapi ternyata tak ada siapa-siapa.

"Iya, ada apa ustadzah?"

"Duduk dulu. Emm ... Aisyah, sebentar lagi tugas mengajarmu di sini akan selesai, apa kamu sudah punya rencana ke depannya mau ngapain?"

Aku menggeleng. Memang, belum terpikirkan akan melakukan apa. Rasanya, ingin menikmati masa liburku dulu saat nanti pulang ke kampung halaman.

"Begini." Ustadzah Aminah menggeser duduknya agar lebih dekat denganku. "Ada ikhwan yang lagi cari calon istri, kamu mau?"

Cari calon istri? Aku mengerjap, tak tahu harus bagaimana.

"Dia ini lulusan Universitas Madinah, loh. Dua minggu lagi akan pulang ke Indonesia. Dia minta dicariin calon istri. Saya pikir, kamu cocok dengannya."

Apa? Aku tak salah dengar? Aku memang pernah berkeinginan untuk memiliki suami lulusan UIM, tapi tak menyangka secepat ini. Aku mulai membayangkan lelaki itu bagaimana. Hei! Aisyah, sadarlah! Belum tentu juga dia mau sama kamu!

"Kamu ketemu aja dulu ya, kali cocok Alhamdulillah, gak juga gak apa-apa, berarti belum jodoh," ucap Ustadzah Aminah mengakhiri pembicaraan kami sore itu.

Malam itu, sulit untuk memejamkan mata. Hatiku sibuk menerka bagaimanakah dia. Parasnya, sipatnya, akhlaknya, entahlah, ini pertama kalinya aku akan menjalani ta'aruf, rasanya berbagai rasa bercampur aduk di dalam sini.

Astaghfirullah, apa yang kulakukan? Jika belum apa-apa hatiku sudah sibuk dengannya, apa lagi nanti. Ampuni hamba ya Allah. Aku mencoba beristighfar berkali kali hingga terlelap agar jerat setan tak menguasai hati.

****

Aku duduk bersebelahan dengan Ustadzah Aminah, sedang suaminya, Ustadz Abdullah duduk di sebelahnya. Tanganku sedikit gemetar, aku sudah segugup ini padahal lelaki yang akan ta'aruf denganku belum datang.

Ustadzah Aminah menggenggam tanganku. "Gak usah gugup," ujarnya seraya tersenyum.

Aku mengangguk dan membalas senyumannya.

Terdengar suara ketukan di pintu.

Deg! Apakah itu dia?

"Assalamu'alaikum."

"W*'alaikumusalam." Ustadz Abdullah dan istrinya serempak menjawab salam. Sedang aku hanya menjawabnya dalam hati.

Dia datang, berdua dengan ayahnya. Kutundukkan kepalaku. Sebenarnya aku penasaran bagaimana paras lelaki itu, tapi aku terlalu malu untuk menatap wajahnya. Aku hanya sedikit melihat badannya yang duduk di sebrang sana, terhalang oleh meja.

Ayahnya memberi tahukan maksud kedatangan mereka. Aku yakin, dia juga sudah cukup tahu tentang aku melalui biodata yang diberikan ustadzah Aminah.

"Aisyah." Ustadzah memanggilku.

<span;>"I-iya, Ustadzah."

"Angkat wajahmu, Nak."

Aku mengangkat wajah perlahan, hingga bisa melihat wajahnya yang, Masya Allah hatiku meleleh.

Segera aku menundukan kembali wajah. Hatiku berdebar kencang, hingga aku khawatir orang-orang di ruangan itu mendengar debarannya.

"Aisyah menyelesaikan hafalannya di usia enam belas tahun, dia juga merupakan salah satu santri terbaik di pesantrennya," ujar Ustadzah Aminah.

Entah kenapa aku malu dibilang seperti itu.

"Jadi bagaimana, Faqih?" tanya ayah lelaki itu.

"Kalau Dek Aisyah setuju, kita bisa melanjutkan ke tahap selanjutnya," ujar lelaki itu.

Ya Allah, hanya mendengar suaranya aja hatiku tambah dag dig dug tak karuan.

"Bagaimana, Aisy?" tanya Ustadzah Aminah.

Aku melemparkan pandangan ke arahnya, dan tersenyum. Ustadzah Aminah paham maksudku dan menyampaikannya kepada mereka. Ya, kami akan melanjutkan proses ta'aruf. Dan dia, akan menemui ayahku tiga hari lagi.

Ah, secepat ini? Bahkan aku belum pernah membayangkan hal ini sebelumnya.

-Bersambung-

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status