Angin musim gugur berdesir melintasi padang rumput luas yang membentang di kaki Gunung Que. Dedaunan kering berguguran bagai serpihan emas yang terbawa arus waktu, sementara langit senja menyala dengan warna jingga kemerahan, seolah para dewa di kayangan tengah melebur logam mulia untuk menempa senjata surgawi.
Keenam penunggang kuda itu adalah para bandit yang telah lama menguasai jalur perdagangan di wilayah perbatasan. Wajah-wajah mereka keras dan kasar, terlukis dengan bekas luka pertempuran dan kehidupan jalanan yang tak kenal belas kasihan. Mata mereka berkilat dengan nafsu akan emas dan darah, sementara tangan-tangan mereka yang kasar menggenggam erat senjata yang telah berkali-kali merenggut nyawa. Yang mereka kejar adalah seorang pemuda bertopeng yang baru saja membawa lari gadis bercadar buruan mereka. Pemuda itu bergerak dengan kelincahan yang luar biasa, melompat dari pohon ke pohon bagaikan monyet emas yang menguasai hutan, sesekali menyentuh tanah hanya untuk kemudian meluncur kembali ke udara dengan gerakan yang begitu anggun dan mematikan. Tiba-tiba, sosok pemuda bertopeng itu dengan sengaja berhenti di tengah jalan, menghadang para bandit yang sekarang berjarak tak jauh darinya. Mata di balik topeng itu memancarkan cahaya dingin seperti bintang di malam yang sunyi. Keenam pria itu menghentikan laju kudanya di belakang pemuda bertopeng yang sengaja membelakangi mereka. Pemuda bertopeng dengan santai berkacak pinggang dan berseru, "Hei, para Bandit Jelek, sepertinya kalian suka sekali mengejar orang?" Suaranya terdengar santai bernada main-main, tapi di dalamnya tersimpan ancaman yang membuat bulu kuduk merinding. "Siapa kau, Anak Tengik? Cepat kembalikan gadis itu pada kami!" bentak si kepala botak dengan banyak codet di wajahnya. Wajah bandit berkepala botak itu tampak seperti bulan purnama yang cacat, dengan bekas luka bakar dan torehan pedang yang menciptakan pola mengerikan. Matanya yang kecil dan sipit berkilat dengan amarah yang membara, sementara giginya yang ompong menampakkan senyum jahat. "Aku?" Pemuda bertopeng menunjuk dirinya sendiri dengan gerakan teatrikal. "Aku adalah, emmhh ...." Di balik topeng hitamnya, senyum misterius mengembang. Hembusan angin membuat jubah hitamnya berkibar bagaikan sayap kelelawar raksasa yang siap menerkam mangsa. Pemuda bertopeng mulai bertingkah tengil, ia berjalan-jalan ke kanan dan ke kiri dengan gerakan santai namun seperti sedang meremehkan lawan. "Aku adalah utusan Dewa Yama yang akan mengambil nyawa kalian semua hari ini." "Bagaimana, apa kalian takut sekarang?" lanjut pemuda bertopeng. Energi spiritual di sekelilingnya bergetar, menciptakan aura kegelapan yang membuat tanaman-tanaman kecil di sekitarnya layu seketika. Bahkan kuda-kuda para bandit mulai resah dan menghentak-hentak kaki, merasakan hawa maut yang menguar dari sosok misterius itu. "Hei, Bocah Tengik! Beraninya kau berlagak sok jago di hadapan kami! Tidakkah kau tahu siapa kami?" hardik pria berkumis sambil mengacungkan golok panjangnya. Golok panjang di tangannya bergetar karena amarah, menciptakan denging logam yang nyaring. Kumis tebalnya bergerak-gerak seperti ulat bulu hitam yang kesal, sementara mata bulatnya memelototi pemuda bertopeng dengan kebencian yang mendalam. "Siapa?" Pemuda itu dengan santai memungut sebutir batu hutan dan memainkannya penuh kesenangan. Batu kecil itu berputar-putar di antara jari-jarinya dengan gerakan yang hipnotis, sesekali mengeluarkan percikan api kecil akibat gesekan dengan energi spiritual yang mengalir dalam tubuhnya. Gerakan sederhana itu menunjukkan tingkat penguasaan ilmu bela diri yang mencengangkan. Salah seorang dari para bandit menjawab dengan suara parau, "Kami adalah ...." "Siapa yang bertanya?" Pria muda bertopeng memotong perkataan pria berkumis sambil memutar tubuhnya dalam gerakan seperti tarian. "Apa aku terlihat sedang menanyakan gelar dan asal-usul kalian?" Gerakan putarannya menciptakan pusaran angin kecil yang mengangkat dedaunan di sekitarnya, membentuk spiral emas yang berputar mengelilingi tubuhnya. Pemandangan itu begitu indah sekaligus mengerikan, seperti dewa kematian yang sedang menari sebelum memanen nyawa. "Topeng Iblis!" Bandit berbadan tambun terkejut dan menunjuk ke arah pemuda bertopeng, matanya melotot hingga hampir keluar dari rongganya. "Topeng Iblis?" Orang lain tak kalah kaget, tubuhnya tiba-tiba bergetar akibat takut."Lalu, di antara kita siapa yang akan pergi menemani Fei Kecil?" tanya Bai Zhen dengan suara tenang, tetapi ada rasa penasaran yang dalam. Ia berharap, jika utusan tersebut adalah orang yang tentunya bisa dipercaya dalam mengemban tugasnya. Wu Liangyi tersenyum sebelum berkata sesuatu. "Zhen Ge, aku dan Xian Gege tidak mungkin pergi. Aku harus membantu memulihkan kesehatan Tetua Agung. Saranku sebaiknya Zhen Ge atau Anzi Gege yang ikut pergi.""Wu Liangyi, kamu tidak perlu melarangku seperti itu. Saya baik-baik saja dan bisa pergi untuk menemani Fei Kecil," timpal Xia Luxian. Sorot matanya menunjukkan sedikit kehangatan ketika melihat Wu Liangyi.Duan Anzi sebagai tuan pertama akhirnya mengambil keputusan. "Xia Luxian, berhenti keras kepala! Kamu harus menjaga tubuhmu, jangan sampai cideramu semakin parah. Biarkan Bai Zhen turun gurung untuk menemani Fei Kecil.""Duan Anzi, ini bukan masalah keras kepala atau tidak. Saya lebih tahu kondisi tubuhku. Biarkan aku pergi," pinta Xia Luxia
"Sudah tidak terlalu serius, Anzi Gege, tapi tubuhnya tidak cocok untuk berpergian jauh," jelas Wu Liangyi dengan suara lembut.Tidak ingin membuat semua orang khawatir, Xia Luxian kembali berkata, "Wu Liangyi, kamu terlalu berlebihan. Keadaan saya sudah membaik dan saya siap untuk pergi.""Xian Gege, jangan memaksakan diri," ucap Zhu Fei, "biarkan aku yang pergi kali ini. Kebetulan aku tidak ada urusan mendesak jadi bisa bebas bepergian.""Bagaimana kalau aku yang ikut?" Zhu Fei menawarkan diri, matanya berbinar cerah."Fei Kecil, kamu baru kembali dari Yunnan." Feng Jin menatap adik iparnya kemudian melanjutkan, "Kalau kamu pergi lagi, kakakmu pasti akan sangat khawatir.""Kakak Ipar, aku pergi untuk urusan sekte dan ini tugasku sebagai tuan keempat di sini. Jika aku tidak pernah melibatkan diri dengan urusan sekte, apa aku masih pantas menjadi bagian dari kelima tuan?" tanya Zhu Fei. Wajahnya berubah serius dengan mata berbinar penuh ketegasan. Kepolosan yang biasa melekat pada dir
Beberapa hari berlalu, Kekaisaran Chu mengeluarkan pengumuman resmi yang menggemparkan seluruh negeri. Sebuah sayembara akan digelar dengan hadiah yang membuat banyak kalangan terkejut.Sayembara pertama menyangkut pencarian jodoh bagi sang putri kesayangan. Namun yang lebih menarik perhatian adalah pengumuman kedua, siapa pun yang berhasil menangkap ketua Kelompok Topeng Iblis, baik hidup maupun mati, akan menerima hadiah satu juta tael emas. Bila pemenangnya seorang pemuda, ia akan diangkat menjadi pejabat tinggi istana.Para utusan dari berbagai negara dan suku-suku yang berkunjung ke istana akhirnya harus pulang dengan membawa berita mengejutkan itu. Mereka bergegas mempersiapkan kandidat terbaik untuk dikirim ke Kekaisaran Chu.Selebaran pengumuman sayembara disebarkan ke seluruh penjuru, termasuk ke sekte-sekte terkemuka di wilayah Kekaisaran Da Chu. Salah satunya adalah sebuah sekte yang bertengger di puncak Gunung Zi Jin.Kekaisaran Chu memang sengaja menyebarkan undangan Pert
Sementara itu di istana Kekaisaran Da Chu. Pada sore yang cerah itu juga, di sebuah taman bunga yang bernama Taman Fajar Merekah. Seorang pria berusia separuh baya tengah duduk di gazebo bersama dengan seorang gadis berparas jelita. Dia adalah putri kedelapan dan merupakan kecantikan yang paling memukau di Kekaisaran Da Chu pada saat ini.Sang putri bukan saja memiliki wajah serupa bidadari, dia juga memiliki sifat yang baik, ramah lagi tenang dengan tutur kata lemah lembut. Sikapnya sangat santun kepada siapa saja, hal itu sungguh menambah keanggunan yang tak bisa dibandingkan dengan perhiasan paling mahal sekali pun.Kaisar teramat menyayangi sang putri melebihi kasih sayangnya kepada siapa pun. Karena di antara keturunannya, hanya Putri Chu Rong Xi-lah perempuan satu-satunya. Seorang pujangga kekaisaran pun sampai menuliskan dalam sebuah sajaknya.Dia (Sang Putri) adalah sebutir mutiara di antara puluhan berlian yang diikat dengan rangkaian logam mulia.Nilainya tiada berbanding de
Yang Shui menggelengkan kepala, semakin pusing memikirkan motif adik sepupunya yang eksentrik itu. Semakin ia mencoba memahami, semakin pusing pula kepalanya. 'Yang satu ingin membunuh dan satunya lagi melindungi. Tapi meski Adik Yuan berbuat kesalahan fatal, tetap saja pamanku itu sangat menyayanginya,' batin Yang Shui. "Ketua kalian itu memang sukar dipahami. Entah terbuat dari apa otak yang ada di kepalanya itu sampai-sampai memiliki kegemaran merampas harta orang lain," ujar Yang Shui. "Kami juga tidak tahu," jawab Qing Wei dan Niu Li hampir bersamaan. "Kalian saja tidak tahu apalagi aku," gerutu Yang Shui merasa frustasi sambil menggelengkan kepala sekali lagi, lalu meluruskan jubahnya. "Sudahlah. Aku masih memiliki urusan lain yang harus diselesaikan." "Kalian katakan juga pada Adik Yuan untuk segera bersiap-siap keluar hutan untuk mengikuti acara itu!" Yang Shui berseru dari kejauhan. Dengan langkah lebar dan mantap, Yang Shui bergegas meninggalkan area latihan. Ujun
Saat ini, Qing Yuan berdiri tegak di tepi arena dengan jubah hitamnya berkibar lembut. Matanya yang tajam namun indah mengamati setiap gerakan-gerakan yang dimainkan oleh muridnya dengan cermat. Jurus yang diajarkannya kali ini bukanlah sembarang teknik, Tarian Sang Phoenix Pemimpi, sebuah seni bela diri langka yang hanya cocok dipelajari oleh mereka yang memiliki tubuh giok. Gerakan-gerakannya memadukan kelembutan air dengan kekuatan api, menciptakan tarian indah yang kelihatannya tidak berbahaya .Yang Lin duduk bersila di atas batu besar sambil meniup seruling giok hijau miliknya. Jemarinya menari di atas lubang-lubang seruling, melahirkan melodi lagu Samudra Merampas Bulan yang merupakan karyanya sendiri, sebuah lagu yang terinspirasi dari kisah samudra yang merampas bulan.Nada-nada yang mengalir dari seruling itu seolah membawa pendengarnya melayang di atas gelombang samudra di bawah cahaya rembulan, menciptakan suasana mistis yang sempurna untuk latihan ilmu bela diri tingkat