“Jadi kapan kita mulai?” tanya Widi tak sabar.“Besok! Sekarang kau siapkan dulu saja dia. Kenalkan dia pada semua orang bermuka dua di kantor angkuh itu dan katakan padanya kalau tak semua orang yang tersenyum di hadapannya juga tersenyum di belakangnya,”Widi dan Kholil terkekeh mendengar pesan dari Pak Warsa itu, mereka memang tau meski Bram adalah orang yang terlihat galak di depannya namun di aslinya gitaris kenamaan ini adalah pria yang melankolis dan tak bisa melihat keburukan manusia yang disembunyikan pemilik tubuhnya.Setelah berbincang lama, Bram dan Widi lalu pamit pada dua teman mereka yang lain. Mereka harus pulang untuk menjenguk putri Widi yang belum sempat diberi nama oleh ayah kandungnya ini.Mereka lalu menuju rumah Widi di kawasan elit kota Bandung tempat bayi cantik itu berada dan setiba di rumah Dwi, ibunda Widi menyambut mereka dengan wajah yang ceria.“Bram!” serunya lalu menarik lembut tangan menantunya. “Apa kabar? Ayo masuk!”“Ibu!” Widi nampak kaget dengan
“Kenapa Ibu sejahat itu padamu?” lirih Widi lalu menarik tangan suaminya bergegas pergi dari ruang makan. “Kalau begitu, kita pergi saja!”“Widi!” panggil Ibu yang tiba-tiba berdiri di antara pintu. “Kalian mau kemana?”“Ibu berniat jahat pada Bram, kan?”“Aku?!” Dwi menatap menantunya itu dengan tatapan sayu. “Dia ayah dari anakmu, mana mungkin aku sejahat itu, Nak?”“Lihat itu!” tunjuk Widi dengan penuh kemarahan pada kucing yang lemas dekat tempat sampah.“Astaga, kucingku kenapa?”“Dia menelan racun yang kau tambahkan di batagor itu!”“Aku?” Dwi memasang wajah kesal pada putrinya yang begitu yakin akan perkataan kejinya. “Mana mungkin aku sejahat itu, Nak!”Widi tak menjawab pertanyaan ibunya, dia tau wanita ini tak mungkin mengaku jika dia terus mendesaknya. Wanita cantik itu lalu menatap Bram kemudian menarik kembali tangannya melewati tubuhDwi yang masih berdiri menghadang mereka.“Kau mau kemana? Aku belum selesai bicara!” teriak Dwi lalu menarik bahu menantunya. “Kau juga, B
“Siap!” seru Bram yang semakin bersemangat saja dengan ide kembalinya dia ke kampus.Ide ini kemudian dikatakan Bram sepulangnya dia ke rumah Enin, wanita paruh baya itu terlihat begitu bahagia ketika keinginan itu diutarakan oleh cucunya yang sangat dia sayangi.“Kau pantas mempertahankan Widi! Dia itu anak yang baik,” tutur Enin sambil terus mengelus lembut kepala Bram.Mendengar pujian itu tentu Bram jadi senang, dia tak menyangka jika neneknya bisa suka pada Widi padahal sebelumnya dia sering kesal karena sikap manja istri kayanya.“Kalau kau kembali ke kampus, kau harus siap dengan semua cemoohan teman-temanmu, ya!”Bram menarik senyumnya ketika petuah itu terlontar dari neneknya. Dia kembali teringat pada ketakutannya dulu. “Iya!”“Jangan patah semangat! Ingat, Enin akan selalu mendukungmu. Widi juga pasti akan sepemikiran dengan Enin.”Helaan nafas terlepas dari tubuh Bram, dia lalu tersenyum tipis di hadapan neneknya lalu meletakkan kepalanya di pangkuan wanita paruh baya ini.
“Kenapa, Bram?” tanya Enin begitu wajah Bram berubah cemas.“Pak Warsa, pengacara yang akan membantuku kembali ke perusahaan ayah Widi kecelakaan!” Tangan Bram segera mematikan ponselnya lalu berdiri. “Aku harus cepat!”“Dia dimana sekarang?”“Di rumah sakit. Ini Widi sedang WA alamat rumah sakitnya,”Bram segera masuk kamar mandi untuk berganti baju kemudian keluar dengan setelan baju rapi dan rambut yang sudah dia sisir.“Rapi sekali,” puji Enin yang tak pernah melihat cucunya serapi ini.“Aku harus terlihat rapi di depan keluarga istriku agar mereka tak memandangku sebagai mantan napi narkoba,”Enin yang mendengar alasan cucunya terkekeh karena sebelumnya Bram tak pernah memperdulikan pandangan orang tentang dirinya.“Kenapa Enin tertawa?”“Lucu aja” jawabnya ringan.Bram yang tak mau buang-buang waktu kemudian melangkah ke halaman dan menemukan sebuah motor matic terparkir di sana. “Nin!” panggil Bram sambil menunjuk ke motor hitam itu. “Ini punya siapa?”“Oh! Itu punya ibumu. Dia
“Jadi kau mengijinkan aku tak kembali ke perusahaan ayahmu?” “Bukan begitu ceritanya!” tegas Widi yang segera menarik tangan suaminya menuju sebuah kantin kecil tak jauh dari tempat mereka berada.“Kita kemana?”“Ikuti aku saja,” pinta Widi lalu duduk di kursi kayu di pojok kantin lalu meminta Bram duduk dekatnya.Bram tak menolak, dia mengikuti permintaan Widi dan mulai mendengarkan rencana baru dari istrinya.Widi terus meyakinkan jika ibunya seperti itu karena Dory dan dia berharap suaminya mau menjauhkan sepupu itu tanpa kekerasan.“Tapi bagaimana caranya?” tanya Bram mencoba mengerti maksud dari rencana sang istri.“Itu yang belum aku ketahui,”Bram menghela nafas sambil menyandarkan punggungnya ke tembok kantin. “Tak akan mudah menyingkirkan dia dari ibumu karena dia tau ibumu akan memudahkan rencana jahatnya,”Hah!Widi nampak kesal karena tak menemukan jawaban yang dia harapkan. “Jangan kesal dulu, nanti kita tanya Kholil!”Dagu Widi segera menopang ke tangannya lalu wajah c
"Bram! Kenapa kau diam saja?" tanya Widi yang kesal dengan sikap Bram padanya."Tapi ibumu bersalah!" tegas Bram yang tau dia tak mungkin main-main soal hukum dengan Pak Warsa. "Kau harus rela ibumu dihukum kalau ternyata dia,""Cukup!" teriak Widi sambil mendorong suaminya. "Kalau sampai dia dihukum, aku tak akan mau kembali padamu!""Eh!" Bram meraih tangan Widi yang membalikkan badannya dengan cepat dari hadapannya. "Jangan begitu, Widi!" "Tidak! Aku tak akan rela jika kau memenjarakan ibuku," ucap Widi sambil terisak. "Aku baru saja kehilangan ayahku, sekarang kalian akan memenjarakan ibuku!""Sayang," Bram memeluk tubuh Widi yang mulai menangis sejadinya, dia tau wanita ini sangat lemah untuk urusannya dengan keluarga kaya yang selalu menopang hidupnya. "Aku akan melindungimu, tapi kalau ternyata kau,""Diam!" Widi meronta meminta Bram melepas pelukannya. "Jangan sentuh aku!" Widi berlari meninggalkan Bram dan Kholil berdua di sana."Ih, kenapa dia jadi seperti itu?" Kholil meli
"Jadi aku harus bagaimana?""Kau harus optimis, berbaik sangka atas apa yang akan kau hadapi kelak. Percayalah. Kalau kau sudah terbiasa maka kau akan punya hidup yang lebih berarti!" jelas Kholil dengan penuh penekanan.Bram sebenarnya tak sepenuhnya mengerti akan apa yang dikatakan oleh Kholil, tapi dia tetap mengangguk sebagai tanda dia menghargai nasehat dari pria tinggi besar ini. Dia kemudian melangkah pulang kerumah Enin sambil terus memikirkan tulisan yang ada di wallpaper ponselnya.Wajahnya yang terus menunduk membuat Enin penasaran. Wanita paruh baya itu lalu mendekati Bram yang memang semenjak pulang dari RSKO selalu saja merenung sendirian di malam hari.Tangan wanita paruh baya itu lalu meraba bahu Bram sebelum mulai bertanya akan kegalauan hatinya."Kau sudah makan?""Sudah," jawab Bram lirih. "Tadi makan sama Kholil sambil ngobrol.""Ngobrol apa?""Soal prasangka umat. Ku tak begitu paham tentang itu, tapi aku rasa dia benar.""Prasangka umat? Apa yang Ujang maksud?"
"Terima kasih, Pak," ucap Bram dengan lembut saat percakapannya di sambungan telepon yang tak lama itu akhirnya dia akhiri.Tangannya segera meletakkan ponselnya dengan wajah penuh kelegaan."Siapa itu?" tanya Enin sekali lagi berharap kali ini cucunya akan memberikannya jawaban."Itu tadi Pak Warsa, Nin!""Dia bilang apa?"Bram membaringkan tubuhnya di lantai sambil tersenyum simpul menambah penasaran wanita paruh baya ini. "Dia cuma minta aku ke kantor besok,""Ada apa?" tanya Enin sekali lagi dan kali ini sambil mendorong bahu Bram yang tak juga bergeming dari tempatnya."Cuma diminta memeriksa berkas, tak banyak yang dia katakan," Enin menghela nafasnya lalu matanya pun segera menyipit. "Tak mungkin hanya bicara begitu. Aku yakin kau tak katakan semuanya,""Ih!" Bram bangkit dari tempatnya berbaring lalu memeluk neneknya yang begitu penasaran dengan apa yang tadi dia perbincangkan. "Pokoknya Enin tahu beres!""Kau yakin tak ada hal penting lain yang dikatakan pria tua itu?'"Ya