Share

Suamiku Doyan Selingkuh
Suamiku Doyan Selingkuh
Author: buchaa

#1. Kesempatan Tidak Datang Dua Kali

“Firdaus gila, nih,” tuding Eko seenaknya. Suara seraknya membahana di meeting room, yang hanya berisikan dirinya, Firdaus, serta Affan.

Mereka tengah menunggu rekan lain berkumpul di ruangan ini. Ada meeting dadakan dari Eko, selaku team leader showroom mobil ini.

“Gila kenapa?” tanya Affan karena tidak mengerti apa yang tengah atasannya itu bicarakan.

“Dia deketin Bella,” jawab Eko bersemangat.

Affan masih mengernyitkan keningnya. Bingung. “Bella siapa, nih?!” Nada suaranya cukup tinggi.

Tergurat rasa tidak suka jika Firdaus mendekati wanita lain. Bukan karena ia suka sama rekan kerjanya itu, tapi karena cukup mengenal istri Firdaus. Mereka satu fakultas walaupun berbeda jurusan.

Kalau benar Firdaus memiliki wanita lain, Affan akan sangat merasa bersalah jika menutupi hubungan itu. Ia merasa ikut menjadi pengkhianat, dan Affan benci akan hal itu.

“Ngga deketin,” kilah Firdaus.

“Jangan bohong lo, Us. Gue lihat kemaren elo ngajakin dia pulang bareng abis shift pameran di Botani.” Eko bersikukuh dengan bukti yang dilihatnya di depan mata.

"Okay. Gue cuma penasaran aja seperti apa Bella itu," jawab Firdaus santai. Seringai meremehkan juga melengkapi pernyataannya. Seolah mengatakan kalau tidak mungkinlah dia suka sama seorang sekelas Bella -yang dicap wanita murahan.

“Jadi, seperti apa dia menurut lo?” tanya Eko penasaran.

“Biasa saja. Sok punya harga diri tinggi, mungkin untuk nutupin sifat manjanya. Suaranya agak manja mendesah gimana gitu,” jawab Firdaus. Ia mencoba mengingat rupa Bella, namun yang terlintas malah kemolekan wanita itu.

“Hold on. Alon-alon,” mohon Affan. “Ini ngomongin Bella SPG kompetitor itu?” tanyanya dengan mata hampir mencuat keluar.

“Iya, Bambang,” jawab Eko kesal. “Kemana aja, sih pikirannya?” dumelnya bergumam.

Lototan Affan beralih ke arah Firdaus. “Tapi, beneran kau cuma penasaran, kan?” Untuk alasan yang dia sendiri tidak tahu, jantung Affan cukup berdetak kencang daripada biasanya.

Firdaus pukul pelan lengan Affan demi meyakinkannya. “Ya, iyalah. Kalau serius, sudah kuminta nomor hape-nya dari kemarin,” timpal Firdaus bersikeras.

Sejurus kemudian, rekan kerja mereka mulai berdatangan. Affan bergegas duduk di kursi belakang, sementara Firdaus memilih tetap di tempat duduknya sekarang ini.

Firdaus bisa melihat sekilas Affan yang mengernyitkan keningnya, lantas beralih pada Eko yang memulai rapat pagi menjelang siang ini.

Tiba-tiba ponsel Firdaus berbunyi, seperti suara celupan air. “Sorry,” ucapnya singkat ke arah Eko. Dia tahu suara sekecil apapun akan mengganggu suasana meeting.

Dia ubah suara panggilan dan notifikasi menjadi getar, lalu membuka chat yang masuk.

‘Ini Firdaus, sales itu, kan? Apa kabar? Sehat, kan? Kenapa sampai hari terakhir ngga ada di pameran?’

Kening Firdaus berkerut. Siapa ini? Kenapa ingin tahu sekali keberadaannya saat ini? Pentingkah? Kenal nomornya juga tidak, pikir lelaki berumur tiga puluh tahun itu.

‘Maaf, ini siapa, ya?’

Selesai mengetikkan balasan, Firdaus kembali memerhatikan Eko menerangkan pencapaian sales mereka yang baru tiga puluh persen bulan ini. Padahal, akhir bulan tinggal dua minggu lagi.

Getaran ponsel kembali memeca konsentrasi Firdaus.

‘Ini Bella, Mas. Yang satu pameran dengan Mas. Sudah ingat?’

Ow! Kaget benak Firdaus mengetahui siapa yang mengirimkan chat ini. Ia tidak menyangka kalau Bella cukup berani menghubunginya duluan.

Seiring kepalanya kembali tegak, muncullah seringai di sudut bibirnya. Sebagai seorang pria ada kebanggaan tersendiri dalam benak jika ada wanita mengejar-ngejar dirinya.

Firdaus cukup piawai. Dia mengerti strategi menggaet wanita. Bukan hanya Bella yang dekat dengannya. Ada beberapa gadis lain sebelumnya. Jika mengingat mereka, terbersit sedikit kerinduan di benak untuk menikmati keasyikan pacaran diam-diam itu.

‘Nanti saja aku balas chat Bella. Biar dia penasaran,’ cetus batin Firdaus licik.

Hampir satu jam berlalu, meeting ini belum juga kunjung selesai. Firdaus kembali menunduk, mengetik di layar gawainya.

‘Oh, Bella. Iya. Masih ingat, kok. Ada apa, Bel?’ Balasnya sok tidak tahu tujuan chat itu.

Cukup cepat balasan yang Firdaus terima daripada chat yang pertama.

‘Besok bisa makan siang bareng?’

Firdaus mendesis. ‘Sungguh wanita yang berterus terang,’ pujinya salut. ‘Atau, terlalu terburu-buru?’ lanjut benaknya meragu.

‘Besok? Baiklah. Nanti aku info lagi, ya.’

Firdaus terlihat puas setelah mengirimkan balasan itu. Mengiyakan tapi juga tidak memberi kepastian. Agak jual mahal dikit, lah supaya Bella kian penasaran.

Besoknya, jam satu siang sesuai janji, Bella dan Firdaus bertemu. Foodcourt di Botani Square, tempat yang sama dengan mereka makan siang tempo hari saat bertugas di pameran mobil.

Firdaus sengaja datang terlambat, tak mau terlihat tertarik dengan janji ini.

Sementara itu, Bella duduk dengan gelisah di sofa empuk itu. Sesekali ia memanjangkan leher menatap pintu masuk foodcourt, namun tak terlihat juga sosok yang ditunggu.

Dia sampai kebawa mimpi semalam, dinner bareng lelaki beristri dan beranak dua itu. Ya, Bella tidaklah lupa akan status lelaki itu. Dia akan mengkonfirmasinya langsung dengan Firdaus.

Tatkala Bella menoleh ke pintu masuk foodcourt, dilihatnya sosok Firdaus baru hendak masuk. Ia pun langsung membuang muka. Berpura-pura tidak tahu kedatangan pria itu. Ditatanya sedemikian rupa detak jantungnya yang menggila.

Sedangkan Firdaus bisa langsung menemukan sosok Bella dari kejauhan. Seragam kantor membalut ketat raga wanita seksi yang agak berisi itu.

“Hai, sudah lama?” tanya Firdaus sok santai, seraya duduk di sofa hadapan Bella.

“Ngga. Baru sampai, kok,” bohong Bella. Padahal, ya, sudah satu jam dia duduk seorang diri di sini. Lihat aja ice lemon tea-nya sudah lenyap setengah gelas.

Bella biarkan Firdaus memesan makanan sebelum diinterogasinya.

“Ada apa kamu mau ketemu sama aku?” tanya Firdaus belagak pilon. Namun, ia sulit untuk menyembunyikan senyum penuh kemenangan itu.

Bella meraih gawainya. Dibukanya medsos pria itu. Lantas, didorongnya pelan gawai ke arah Firdaus. “Ini, Mas, kan?"

Firdaus melongok, mencondongkan bahunya ke depan. ‘Gercep juga dia. Langsung kepoin medsos gue.’

Firdaus kembali menempelkan punggungnya ke sofa. “Iya. Memangnya kenapa?” Tidak ada gunanya juga ia berbohong, apalagi mengelak. Bukti sudah di depan mata.

“Mas sudah beristri juga punya anak, tapi masih deketin aku?” tanya Bella. Ditahan emosinya agar tidak tersirat kalau ia sempat mengharap.

Firdaus terkekeh, lantas tertawa terbahak-bahak.

Dengan kening mengernyit, Bella mengumpat lewat tatapan matanya. ‘Kenapa dia malah ketawa begini, sih?! Dia mempermainkanku?’

"Sorry, sorry." Firdaus berusaha mengatur sikapnya. Tawanya mulai terhenti. “Aku merasa lucu saja dengan pertanyaanmu barusan. Memangnya selama ini kamu main sama perjaka? Tidak, kan? Mereka juga orang-orang yang punya keluarga di rumah.”

Mendadak tenggorokan Bella terasa sakit. Dia bagai meneguk batu kerikil padahal kenyataannya hanya air ludah biasa.

“Kamu ngga usah mengelak. Semua orang sudah tahu tentang sepak terjangmu,” imbuh Firdaus saat dilihatnya Bella menarik napas, bersiap mengeluarkan pembelaan.

Ya, memang sudah rahasia umum bagi sesama sales mobil kalau Bella kerap kali staycation dengan customernya demi deal penjualan mobil.

Bella buang muka seraya melipat kedua tangan di dada. “Terus? Mas sengaja mendekatiku?”

“Kenapa? Ngga boleh?” tantang Firdaus.

Bella terdiam. Dia tahu betul jawabannya akan menjadi penentu masa depannya kelak.

“Aku terserah padamu, Bel. Bukan berarti aku menganggapmu murahan, tapi memang begitu kan kenyataan yang ada?" imbuh Firdaus santai.

Bella menarik napas perlahan, berusaha dijernihkannya otak untuk sesaat. Lantas, dihempasnya cukup pelan.

“Mas ngga masalah dengan itu?” tanya Bella hati-hati sekaligus mengharap.

Firdaus mendelik. “Sama sekali ngga.”

“Baiklah. Setidaknya aku akan mencoba hubungan ini daripada penasaran,” jawab Bella kemudian.

Masa bodohlah apa yang terjadi ke depan. Masa bodoh juga dengan harga diri, toh ia tak punya itu. Pokoknya sekarang ia ingin tahu perasaan apa yang mengganggu benaknya ini. Betulkah kalau ini jatuh cinta? Sudah lama sekali ia tak mengalaminya, sudah lupa akan rasanya.

Firdaus menyeruput espresso-nya seraya melirik Bella. Tatapan matanya turun ke bawah, ke bagian dada. ‘Kesempatan itu akan datang,’ ujar benaknya menasehati agar bersabar sebentar lagi.

Semenjak hari itu, Bella dan Firdaus lebih intens bertemu. Mereka saling melepaskan birahi di mana saja. Kadang mereka berkeliling kota hingga ke tempat sepi hanya untuk mengusir rasa haus kerinduan.

City car silver ini pulalah saksi bisu akan keganasan mereka saat bergerumul di dalamnya.

Bella tidak pernah merasakan hasrat menggebu-gebu dari seorang pria seperti Firdaus ini. Apa ini karena lelaki itu keturunan Arab, nikmatnya sungguh luar biasa. Membuatnya kecanduan setiap hari.

Sementara itu, penjualan Bella jelas menurun karena tidak lagi bisa ditiduri customernya. Begitu juga dengan Firdaus, terlalu sibuk pergi berdua selingkuhannya hingga hilang fokus mencapai target.

Ponsel Firdaus berbunyi malam itu. Seperti bunyi celupan air. Dua kali. Tapi, itu berhasil membuat ia terbangun.

Sebelum membuka chat, dilihatnya jam menunjukkan pukul satu dini hari. Walaupun mengantuk, tetap saja ia berusaha membaca chat yang masuk. Dari Bella.

‘Mas, aku rindu. Aku iri pada istrimu yang bisa tidur di sisimu. Aku juga ingin tidur semalaman berdua hanya dengan Mas.’

Firdaus tersenyum. Diliriknya sang istri di sebelahnya yang masih tidur. Lantas, bangkit perlahan. Sekuat tenaga diusahakannya supaya derap kaki telanjangnya tidak menimbulkan suara.

Tempat yang Firdaus tuju adalah garasi. Garasinya terbuka berada di depan rumah. Di sekat sebelah ada mobil kijang lama milik istrinya, ah lebih tepatnya milik mertuanya. Sekedar info, mereka masih satu rumah dengan orang tua istrinya.

Firdaus masuk ke dalam mobil. Dinyalakannya mobil, supaya bisa menikmati pendingin udara. Dibukanya sekitar satu centi kaca pintu, supaya kabin minim gas karbondioksida serta udara tidak pengap.

Butuh lima menit ia berada di posisi ini. Rumah mertuanya memang cukup luas. Jarak antar ruangan memang lumayan lebar.

Tidak menunggu lebih lama lagi, Firdaus segera saja menghubungi Bella.

Hanya dua kali nada tunggu, panggilannya langsung disambut mesra Bella. “Mas,” lirihnya manja sedikit mendesah.

“Mas juga rindu padamu, Sayang,” ucap Firdaus lembut.

“Kapan kita bisa tidur malam bersama. Aku juga ingin tidur sambil memeluk Mas sampai pagi,” rengek Bella. Masih diunggulkannya gaya bicara manja itu.

“Sabar, Saya...”

Tok-tok-tok. Terdengar ketokan di kaca mobil, tepat di sisi kanan Firdaus, memecah keheningan tengah malam.

Refleks, Firdaus menoleh. Matanya membelalak melihat siapa yang ada di luar.

Jenisha, istrinya!

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status