“Jadi kamu nuduh saya yang menabrak kamu?” sembur Yolla terang-terangan. “Kamu menganggap saya yang salah?”
Byanz tidak menjawab.“Bersihkan!” perintah Yolla semena-mena.Sebetulnya Yolla tidak perlu bertingkah seperti itu, karena Byanz sudah pasti akan membersihkan semua tumpahan kopi dan pecahan cangkir yang berserakan di lantai.“Ada apa ini?” Sony melangkah memasuki ruangan putrinya saat Byanz tengah bekerja.“Papa?” sahut Yolla sambil menoleh. “Hati-hati, banyak pecahan cangkir di sini.”Sony menunduk dan melihat lantai di ruangan anaknya yang berantakan.“Kamu menjatuhkan cangkir?” tanya Sony sambil memandang anaknya.Yolla balas memandang ayahnya dengan tatapan sedih.“Kenapa sih Papa mempekerjakan office boy seperti dia?” tanya Yolla. “Kerjaan dia nggak begitu bagus, Pa ....”Byanz diam saja sambil terus mengepel lantai tanpa berkata apa-apa.“Kebetulan memang Byanz ini office boy baru di kantor papa,” sahut Sony tenang.“Pantas aja!” seru Yolla dengan nada menang. “Aku udah nggak sreg sejak pertama lihat dia kerja di sini ... dia mahasiswa magang ya, Pa?”Sony tidak menjawab, apalagi Byanz yang lebih memilih untuk diam membisu.“Berarti dia ini Cuma sementara kerja sama Papa?” tanya Yolla ingin tahu.“Begitulah, Byanz menggantikan ayahnya yang sedang sakit.” Sony mengangguk membenarkan.“Untunglah ...” Yolla mengembuskan napas lega.Byanz mempercepat pekerjaannya dan segera pamit pergi kepada Sony yang masih terlibat obrolan dengan Yolla.“Papa sudah sering menerima laporan kalau kamu tidak bekerja sebagaimana mestinya,” ujar Sony sambil memandang putri semata wayangnya. “Yol, papa tetap mau kamu bekerja dengan benar meskipun kamu adalah anak papa.”Yolla mengerjabkan matanya, dalam hati dia mengutuk keras siapapun pegawai yang dengan berani telah mengadukan dirinya kepada Sony.“Pa, itu nggak benar ... aku selalu bekerja dengan baik seperti yang Papa suruh kok ...” bantah Yolla cepat-cepat. “Siapa sih yang suka gosip macam-macam tentang aku?”Sony menarik napas dan tidak segera menanggapi ucapan putrinya.“Memangnya papa tidak tahu kamu ngapain saja di sini?” tanya Sony setelah terdiam beberapa saat lamanya.Yolla diam dan tidak menjawab.“Tidak ada yang mengadukan tingkah kamu sama papa,” kata Sony lagi.“Lalu kenapa Papa berpikir kalau aku nggak bekerja dengan baik di perusahaan ini?” tanya Yolla sedikit tidak terima.“Memangnya kamu kira papa tidak memeriksa setiap pekerjaan yang diberikan ke kamu?” tanya Sony balik. “Karyawan papa bahkan selalu menyelesaikan pekerjaan yang seharusnya kamu selesaikan sendiri.”Yolla memandang ayahnya dengan wajah bersalah.“Pa, itu ....”“Akui saja, benar atau tidak?” tanya Sony lugas.Yolla masih diam saja.“Kamu tidak perlu menyalahkan siapa-siapa yang kamu curigai melaporkan kamu,” kata Sony lagi. “Papa tentu tahu pekerjaan apa saja yang diantarkan ke ruangan kamu, karena semua itu sudah mendapat persetujuan papa lebih dulu.”Yolla meremas jemari tangannya dengan salah tingkah.“Maaf Pa, aku akan berusaha memperbaiki caraku bekerja ...” Yolla berjanji.“Bagus,” tanggap Sony. “Jangan karena kamu adalah putri papa, jadi kamu merasa antikritik terhadap apa yang orang lain berusaha ajarkan kepada kamu.”Yolla mengangguk saja tanpa berkata apa-apa.“Kamu minta jabatan sebagai CEO, papa sudah kabulkan.” Sony melanjutkan ucapannya. “Tapi kamu juga harus menjaga sikap dan kinerja kamu, paham?”“Paham, Pa. Aku nggak akan mangkir dari tugas yang diberikan Papa lagi,” sesal Yolla.“Selain itu ada baiknya kalau kamu bersikap wajar terhadap pegawai papa yang lain,” kata Sony tegas. “sekalipun itu adalah office boy di kantor ini.”Yolla ingin sekali membantah saat itu juga, tetapi dia berkeras menahan dirinya. Biar bagaimanapun dia tidak ingin kehilangan jabatan sebagai CEO di perusahaan sang ayah. Apalagi teman-teman baiknya sudah tahu semua.“Pa, tolonglah. Nggak perlu berlebihan,” kilah Yolla. “Yang penting kan aku nggak jahat sama mereka.”“Memangnya kamu bisa membedakan yang baik dan yang jahat?” tanya Sony seakan sangsi. “Lupakan saja, mulai bulan depan papa akan mempekerjakan CEO baru untuk melengkapi perusahaan kita ....”“CEO baru, Pa?” potong Yolla dengan mata melebar. “Kan sudah ada aku di sini, buat apa Papa merekrut banyak-banyak CEO baru?”Sony tersenyum simpul mendengar rengekan anaknya.“Cuma satu,” ralat Sony. “dan itu papa tidak merekrut, apa kamu pikir kita ini perusahaan multi level marketing?”Yolla terdiam menahan gelisah di tempatnya duduk.“Sepertinya papa nggak suka aku bekerja di perusahaan,” kata Yolla mengadu kepada ibunya saat dia tiba di rumah. “Kalau gitu buat apa aku disuruh bantu-bantu kerjaan di kantor?”Virnie menoleh memandang putrinya dengan heran.“Maksud kamu apa, Yol?” tanya Virnie dengan nada bingung.“Papa mau cari orang buat jabatan CEO,” jawab Yolla lesu. “Aku keluar sja dari kantor kalau begini caranya.”Virnie menarik napas.“Ya sudah, nanti mama akan coba bicara sama papa kamu.” Dia mengusap bahu Yolla. “Kamu mandi dulu sana.”Yolla tidak menjawab dan langsung pergi dari hadapan ibunya.Malamnya, Virnie menceritakan apa yang telah dia dengar dari putri mereka kepada Sony.“Apa itu benar?” tanya Virnie memastikan.“Ya, perusahaan papa butuh orang berkompeten.” Sony mengangguk membenarkan. “Papa tidak bisa menunggu Yolla sampai dia sadar tugasnya sebagai CEO perusahaan, mau tidak mau papa harus memasukkan orang lain agar dia bisa termotivasi.”Virnie terdiam karena dia tidak mengerti apa-apa soal mekanisme perusahaan.Pagi itu Yolla berangkat ke kantor tanpa semangat sama sekali. Kabar bahwa ayahnya akan memasukkan orang lain sebagai CEO perusahaan membuatnya malas melakukan apa pun.Untungnya Byanz baru saja selesai mengeringkan lantai ruangannya saat Yolla tiba.“Selamat pagi Bu,” sapa Byanz tanpa berminat menunggu balasan dari Yolla.Namun, perempuan muda itu hanya berdecih tak suka menanggapinya.“Eh, office boy?” panggil Yolla sambil menoleh. “Oy, siapa nama kamu ... Babanz atau siapa sih, Bangs?”Merasa dirinya terpanggil, Byanz menghentikan langkahnya dan menoleh.“Ibu memanggil saya?” tanya Byanz ingin tahu.Awalnya, Yolla menunjukkan ekspresi bahwa dia sangat terpaksa memanggil Byanz.“Enggak, saya Cuma mau tanya ... Kamu apa sempat lihat ... ada orang mencurigakan di kantor?”Byanz mengernyit dan berpikir sebentar.“Sepertinya nggak ada,” jawabnya sambil menggelengkan kepala.Yolla mengembuskan napas dengan nada tidak puas.“Kamu yakin?” desak Yolla. “Macam pegawai baru atau apa ...?”“Nggak, mungkin yang lain tahu.” Byanz menggeleng sopan. “Saya permisi.”Yolla mendengus saat Byanz kelihatan ingin segera pergi dari hadapannya.“Gimana sih, malah pergi ...” hujat Yolla, padahal dia masih ingin bertanya soal kemungkinan CEO baru itu datang hari ini.Dalam rangka mengambil hati ayahnya, Yolla bertekat untuk menyelesaikan pekerjaan apa pun yang dibawakan ke ruangannya.Mita, yang didaulat menjadi sekretarisnya sampai heran saat melihat Yolla menunduk serius pada lembar dokumen yang sedang dipelajarinya.Bersambung—"Begitulah," sahut Clerin melalui sambungan telepon. "Kalau nggak, mana mungkin dia bisa tahu soal obat yang kamu berikan itu." Sunyi sesaat selain hanya dengusan napas yang Clerin dengar dari seberang sana. "Sekarang bagaimana? Aku bisa dicabut izin praktekku kalau sampai masalah Callisto ini ketahuan ...." "Tenang!" potong Clerin segera. "Aku akan menanggung semua risikonya, kamu nggak perlu khawatir izin praktek kamu dicabut." Teman Clerin tentu saja mulai gelisah mendengar kabar ini. Dulu, awalnya dia sudah tidak setuju saat Clerin memintanya untuk menangani Callisto dengan masalah ingatannya. "Aku akan berusaha bikin Callisto mau periksa di tempat kamu lagi," janji Clerin. "Asal kamu ...." "Ya ampun Clerin, jangan lagi-lagi deh!" tolak teman Clerin. "Aku nggak mau terlibat lebih jauh soal pria asing yang kamu panggil pakai nama mendiang suami kamu. Sadarlah, suami kamu sudah meninggal dan bukan hal yang bagus kalau kamu sengaja menghidupkannya kembali dalam diri pria itu .
"Halo?" "Kamu suka?" tanya Callisto begitu Yolla menjawab panggilannya. "Buket bunga yang aku kirim tadi ...." "Suka sekali!" sahut Yolla, nyaris melonjak seperti anak kecil yang mendapatkan mainan kesukaannya. "Bunga yang kamu kirimkan ke aku selalu bagus-bagus, terima kasih." Sunyi sebentar. "Bunga itu mungkin akan layu dan mati dalam beberapa hari ke depan, tapi kamu harus yakin kalau niat aku untuk melamar kamu tidak akan pernah mati." Callisto menegaskan. "Kamu cuma harus bersabar sedikit, Yolla." "Iya ..." lirih Yolla tersipu saat Callisto terang-terangan memanggil namanya. "Kamu juga ya ... Niat baik pasti akan menemukan jalannya sendiri." "Kamu benar," sahut Callisto. "Ya sudah, aku kerja dulu. Ingat, jangan mikir macam-macam hanya karena aku satu kantor sama Bu Clerin." "Iya ..." sahut Yolla sambil tersenyum meskipun Callisto tidak dapat melihat tingkahnya. "yang penting kamu tidak macam-macam sama dia. Jangan kegenitan juga, ingat kalau dia yang sengaja membuat ingat
Yolla langsung lemas saat mendengar jawaban papanya yang tidak sesuai harapan. "Tapi kenapa, Pa?" tanya Yolla ingin tahu. "Kan yang penting Shano masih sendiri. Bukannya itu yang Papa tunggu sejak Shano melamar aku?" Sony menarik napas dan memandang Yolla lurus-lurus. "Papa lega kalau memang benar Shano itu masih sendiri," katanya lambat-lambat. "Tapi di luar itu, ada beberapa hal lain yang menjadi pertimbangan papa juga. Misalnya saja siapa kedua orang tua Shano dan keluarganya yang lain." Yolla menarik napas. "Namanya juga orang hilang ingatan, Pa. Shano juga sedang menjalani proses pengobatan ... Tapi kalau Papa mengharapkan dia sembuh dalam waktu dekat, siapa yang bisa menjamin itu? Apa aku juga harus nunggu sampai Shano benar-benar sembuh total?" Sony tidak segera menjawab. "Ayo dong, Pa ..." bujuk Yolla dengan wajah memelas. "Apa Shano yang mendesak kamu untuk segera menikah?" tanya Sony ingin tahu. Yolla buru-buru menggelengkan kepalanya. "Shano sudah tahu kalau Pap
"Maksud kamu apa sih?" tanya Callisto bingung. "Aku sama Bu Clerin hanya bertemu setiap hari di kantor, itu juga karena pekerjaan saja. Tidak lebih, jadi kenapa kamu harus mempermasalahkan soal ini?" Yolla melengos. "Aku tidak mempermasalahkannya," bantah Yolla. "Kalau aku menjadikannya masalah, pasti aku sudah dari kemarin protes sama kamu." Callisto tersenyum samar, menurutnya ucapan Yolla sangat berbanding terbalik dengan sikapnya. "Kamu mempermasalahkannya dengan cara menghindari aku," komentar Callisto sambil mengangkat cangkir kopinya. "sengaja tidak mau menjawab telepon dari aku bahkan tidak membalas pesanku sama sekali." Yolla tidak menampik, karena semua yang diucapkan Callisto adalah benar adanya. "Terus maksud kamu kalau aku sama Bu Clerin itu seperti keluarga kecil yang bahagia itu apa?" tanya Callisto ingin tahu. "Kamu tidak perlu berpikir jelek soal aku ...." "Memang itu kenyataannya," potong Yolla sambil merogoh tasnya untuk mengambil ponsel. "Kamu tidak perlu m
Hari itu Yolla sedang mengendarai mobilnya di jalan raya sepulangnya dia dari kantor. Tanpa dia sadari, ada sebuah mobil merah yang berjalan tepat beberapa meter di belakangnya. Awal-awal, lalu lintas di sekitar ruas jalan yang dilalui Yolla terlihat biasa-biasa saja. Sampai pada saat mobil yang dia kendarai memasuki jalanan yang lebih lebar tapi dengan dominasi kendaraan-kendaraan besar seperti mobil dan truk. Mobil merah yang semula berjarak agak jauh dari mobil Yolla, perlahan menambah kecepatan hingga kini jaraknya agak lebih mendekat. Namun, Yolla sama sekali tidak memperhatikan karena baginya jalan raya adalah tempat umum yang siapapun bebas mengendarai mobilnya di sana. Namun, lama kelamaan Yolla merasa juga jika mobil itu seakan sengaja membuntutinya. "Kok mobil itu nggak nyalip-nyalip sih?" gumam Yolla curiga. "Perasaan dari tadi di belakang terus ... apa jangan-jangan tujuannya sama?" Yolla tanpa ragu menambah kecepatan mobilnya demi memperlebar jarak dengan mobil merah
"Papa ...?" Callisto tidak mampu lagi untuk tidak mempedulikan bocah perempuan yang tak berdosa itu. "Vhea, kamu harus cepat tidur ya?" ucap Callisto akhirnya, membuat langkah Clerin terhenti. "Aku kangen Papa," ulang Vhea sambil melongok melewati bahu sang mama. "Aku mau Papa temani aku ... Aku sayang Papa ...." Beberapa kata terakhir yang dilontarkan Vhea sukses membuat hati Callisto terenyuh, dan dia seketika sadar yang menjadi musuh dalam selimutnya adalah Clerin. Bukannya Vhea. "Kamu mau tidur sama papa?" tanya Callisto sambil berdiri. Vhea diam saja dan hanya menganggukkan kepalanya. "Tidak perlu kalau kamu sedang tidak ingin diganggu," geleng Clerin sambil menolehkan wajahnya. "Saya mengerti kalau kamu juga mempunyai kehidupan sendiri." Callisto kali ini yang terdiam, seharusnya dia senang saat Clerin menyadari hal itu. Namun, kenapa rasanya dia tidak tega jika harus menolak Vhea dan membuat bocah perempuan itu kecewa? "Malam ini kamu boleh tidur di tempat papa k